"Apa kamu sakit, Mas. Oh ... atau jangan-jangan kamu habis jatuh ya, lalu kepalamu terpentok dinding?" sindirku. Terdengar sangat sarkas. "Mas serius Intan. Mas tahu ... Mas salah padamu, dan sekarang aku ingin memperbaikinya!" ucapnya begitu tegas. Namun membuatku ingin tertawa. Aku tertawa terbahak-bahak. Bagai suara kunti yang terkikik di waktu menjelang magrib. Membuat merinding.Aku mengusap sedikit air mata yang timbul di sudut mataku. Tawaku yang begitu nyaring membuat dadaku sesak seakan ingin mati. Aku menarik nafas dan menetralkan tawaku. "Aku acungi jempol keseriusanmu Mas. Keseriusan menghancurkan hatiku. Kamu ingin memperbaikinya? Memperbaiki dengan apa? Apa yang bisa kamu perbaiki, hah! Apa dengan menceraikan Sukma lalu kembali denganku, kamu pikir semuanya akan bisa kembali lagi seperti awal lagi, begitu, iya!" bentakku dipenuhi emosi. Walau intonasi suaraku harus aku tekan sedikit agar perdebatan ini tak terdengar hingga ke tetangga. "Bukan begitu Intan. Sukma han
"Apa sekarang kamu menyesal, Mas? Kita akan tahu seberapa beharga pasangan kita saat kita sudah kehilangan. Seperti apa yang kamu lakukan saat ini. Iya, kan, Mas! Tapi sayang, rasa penyesalan dan kehilanganmu itu sudah terlambat. Hati ini ...," Lanjutku sambil menunjuk dada sebelah kiriku. "Di sini sudah mati, tak ada lagi rasa untukmu. Karena telah kamu hancurkan berkeping-keping dan tak bersisa,""Tak bisakah kamu memberikanku kesempatan ke-dua, Intan? Tuhan saja maha pemaaf, masa kamu tidak?" "Tapi aku bukan Tuhan, Mas! Aku manusia, wanita rapuh yang berpura-pura menjadi kuat. Namun di hati ini, remuk redam, Mas! Bagiku tak ada yang namanya kesempatan ke-dua bagi seorang penghianat. Untuk Apa kesempatan ke-dua jika pada akhirnya kamu akan mengulanginya lagi dan lagi. Bahkan sampai detik ini saja, kamu tak menyadari kesalahanmu itu apa! Aku tak sanggup mengobati luka!" tekanku. Aku langsung membelokkan badanku, meninggalkan dia untuk masuk ke dalam rumah. Tanganku dengan cepat men
Keputusanku untuk pindah itu sudah bulat. Aku juga sudah mengurus semuanya. Hanya saja kini sedang terhalang, karena Ammar sedang memasuki ujian semester akhir. Jadi aku harus menunggu putraku itu selesai ujian. Itu artinya keputusan pindahku tertunda hingga bulan depan. Hari yang begitu cerah membuatku sayang menyia-byiakan hidupku hanya untuk menangis di kamar. Setelah mengantar Ammar ke sekolah. Aku memilih untuk pergi ke mall. Membeli kebutuhan dapur yang sudah mau habis.Sedangkan Mama, ia sibuk dengan putri kesayangannya. Aku tak dapat menyalahkan dan tak ingin mengganggu juga. Hal yang wajar jika saat ini, dia lebih memihak keseebakh sana. Karena masalah yang dihadapi Ayu, jauh lebih ruwet dan pelik dibandingkan masalahku.Tak terasa sudah sebulan Irene pergi keluar negeri. Aku merindukannya, aku membutuhkan teman cerita. Entah lah ... apa yang ia lakukan di negara orang tersebut. Statusnya yang singgle tanpa adanya seorang anak, membuatnya begitu bebas berkelana dari satu cin
"Tunggu Langit! Apa maksud semua ini?! Lepaskan troly aku. Kamu belanja saja sendiri dengan troly-mu!" protesku sambil menahan troly yang ia pegang. "Sekalian aja, Intan. Biar cepat dan hemat ruang," jawabnya santai. "Nggak! Lepaskan. Pindahkan lagi barang-barangmu, aku mau belanja sendiri!" Aku menarik troly mundur ke belakang, mau memindahkan barangnya ke dalam troly yang ditinggal tadi. Mataku mendelik melihat pria itu menahannya. Terjadilah aksi saling tarik menarik di antara kami. Tanpa aku sadari menjadi tontonan orang banyak. "Masya Allah, Mbak. Suami istri nggak boleh berantem, berbeda pendapat sama suami boleh. Berembuk berdua, mau maju atau mundur?" ujar seorang wanita berjilbab syar'i. Ia menegurku, tentu saja aku tercengang. Siapa yang suami istri? Apa kami tampak sedekat itu?"Bukan Mbak, kami bukan ...,""Terima kasih, istri saya memang suka keras kepala, namun hatinya sangat baik. Harap di maklumi saja," jawabnya memotong ucapanku. Wanita itu pun mengangguk pelan l
"Laras mau beli apa?" tanyaku pada gadis kecil yang ada dalam gandengan tanganku. Kami jalan berdua dengan tangan berayun. Laras berlari-lari kecil dengan riang. Gadis kecil ini memang aktif. Membuat Mas Yoga terkadang kewalahan. Namun akan menurut jika ia merasa nyaman. Dibandingkan semua itu, menurutku gadis kecil ini cerdas. "Aku mau beli cemilan Tante. Kita pergi ke lorong itu, ya!" pintanya. Jari kecil itu menunjuk lorong yang ada di sebelah kiri kami. Lorong panjang yang berisi aneka Snack ringan dan roti dari berbagai merek serta beberapa cemilan home Made.Tangan kecil itu melepas genggamannya di tanganku. Lalu berlari ke deretan rak yang berisi keripik kentang serta keripik yang rasa rumput laut. Seketika dalam hitungan detik, tangannya sudah penuh."Papa!" panggilnya Papa Mas Yoga yang menyusul di belakang. Sedangkan Langit, ia juga ikut menyusul dan berjalan beriringan dengan Mas Yoga. Jangan lupakan wajahnya yang di tekuk bagai kertas kusut."Tidak sayang, jangan sebanyak
"Aku suka udang krispy, cumi Krispy, ayam chentaky dan keripik kentang, siomay, pangsit dan burger!" Gadis kecil ini mulai menjabarkan satu persatu menu makanan yang ia sukai. Dan hampir sebagian yang ia sebut itu adalah jenis makanan junk food. Tak sehat dan tak baik dikonsumsi setiap hari, apalagi untuk anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan. "Kenapa makanan cepat saji semua, sayang?" tanyaku iseng. "Karena masakan Bibi tak enak. Apalagi masakan Papa, gosong dan pahit. Wuekk!" ejek Laras. Kepalaku sedikit menoleh, sudut mataku memandang ke arah Mas Yoga yang terlihat canggung. Langit yang berada di samping Mas Yoga juga turut tertawa mengejek."Om jangan tertawakan Papa aku. Om juga pasti nggak bisa masak kan, seperti Papa aku?" Aku melongo. Setelah menjatuhkan harga pasaran Ayahnya di mataku. Kini gadis kecil ini membela sang Papa dengan berani. "Nggak ... Om nggak ketawa kok, nih lihat!" jawab Langit mengecoh bocah kecil. Padahal sebenarnya bibir itu begetar menahan tawa.
POV. Sukma"Sukma buka pintunya!"Dor! Dor! Dor!Sayup-sayup aku mendengar pintu yang digedor-gedor secara tak sabaran. Aku membuka mata mengumpulkan kesadaranku, baru bangkit dari ranjang ternyamanku. Walau rasanya enggan melepas selimut yang memberi kehangatan di tubuhku. Kamar utama berada di sebelah depan dekat pintu masuk sedangkan kamar Maura dan pengasuhnya berada di tengah, dekat ruang keluarga. Jarak yang cukup jauh membuat mereka berdua kemungkinan tidak akan mendengar."Sukma buka pintunya! Apa telingamu tidak kamu pasang dengan benar! Cepat buka, sialan!" Lagi-lagi suara kasar itu bergema ke telingaku. Seakan menusuk gendang telinga serta menjalar ke dada lalu merobek hati. Aku mengelus dada berulang kali serta menghela napas mendengar suara umpatan dari luar pintu itu. Aku tahu suara siapa itu. Suara Mas Dika–lelaki yang dulu selalu mengumbar janji manis untukku. Namun kini nyatanya, seperti gula yang di masak terlalu lama menjadi hitam serta pahit. Seperti itu pula uca
Aku mengambil bantal kepala serta gulingku yang berada di dekat Mas Dika, lalu selimut baru di dalam lemari pakaian. Lebih baik aku tidur di sofa panjang di sudut ruangan. Untung saja aku membeli sofa panjang ini untuk tempatku bersantai kala senggang. Setidaknya berguna saat seperti ini. Aku tak perlu khawatir kakiku akan menggantung, terkadang di satu sisi ada waktu di mana aku bersyukur memiliki tubuh yang kecil. Malam berganti pagi, udara yang dingin kini mulai menghangat. Sang pengusaha siang muncul malu-malu diiringi kicauan burung gereja. Aku sudah siap, cantik dan wangi di meja makan. Makanan sudah terhidang dengan rapi. Bukan aku yang memasak, tapi si embak yang datang setiap pagi, lalu pulang sore. Ia lah yang bertugas membersihkan semua ruangan di rumah ini serta memasak. Aku tak pernah memasak, aku tak ingin meracuni orang lain dengan makananku yang jauh dari kata layak di konsumsi.Aku menikmati sarapanku dengan santai. Sedangkan Maura di urus oleh Neneng. Wanita itu