Aku masuk ke kantor tepat selesai jam makan siang. Jika bukan karena pekerjaan kantorku yang menumpuk, mungkin aku akan memilih untuk libur saja hari ini. Toh selama ini aku jarang mengambil cuti kerja. Lagi-lagi aku harus menghadapi wajah langit yang memandangku begitu sinis. Aku merasa tak nyaman lagi dengan keberadaannya di dekatku. Apalagi setelah aku tahu ternyata ia adalah mantan kekasih dari istriku dulu. Aku yakin, setelah tahu Intan janda. Pasti dia akan menjadi orang pertama yang berdiri di garda terdepan. Wajah Intan yang cantik dengan body yang aduhai, membuat lelaki manapun akan terpincut melihatnya. Jika mengingat itu, hatiku jadi geram. Ada rasa tak rela di dalam hati."Tumben banget loh ... datang jam segini?" Erlan melihat jam yang melingkar di lengan kirinya. Aku mengabaikan sapanya dan lebih memilih ke ruanganku. Menyelesaikan pekerjaanku yang sudah menanti. Percuma meladeni lelaki ceriwis itu. Bikin sakit kepala dengan guyonannya. Ujung-ujungnya, aku lagi yang
"Intan, kamu yakin akan pindah ke luar kota? Apa kamu tidak pikirkan lagi dengan baik-baik, Nak?" ujar Mama padaku. Saat ini aku dan Mama sedang duduk santai di taman belakang. Aku mengupas buah mangga yang baru saja jatuh tiga buah dari pohonnya. Memakannya, sangat manis dan wangi sekali. Tak terasa satu buah besar habis denganku sendiri."Aku sudah memikirkannya masak-masak, Ma. Sebelum perceraianku dengan Dika. Mungkin lebih baik untuk kami membuka lembaran baru berdua," jawabku. Aku membuang biji mangga yang ada di tanganku itu ke tong sampah yang berada tak jauh dari aku duduk. Tak lupa mencuci tangan ke bawah pancuran kran air, agar tanganku tidak lengket nantinya. Lalu kembali duduk bersama Mama di bangku semula."Mama harap kamu pikir-pikir lagi keinginanmu itu Intan. Mama sedih kalau harus tinggal di rumah ini sendiri," ujarnya lirih, sebelah alisku terangkat. "Loh ... bukannya waktu itu Mama berencana tinggal dengan Ayu. Kenapa sekarang tidak jadi? Oh ... ya, kenapa Ayu s
"Ini saya tambah, totalnya lima ratus ribu. Yakin Bapak nggak mau? Lumayan loh ... cuma buka gerbang langsung dapat uang segini," rayuku kembali. Wajah satpam itu mulai gelisah antara mau atau nggak. Namun pada akhirnya, tangan itu tetap menyambar uang yang aku pegang. Senyum kemenangan terbit di bibirku. Tak berapa lama, gerbang otomatis itu terbuka, aku kembali menghidupkan mesin mobil dan berjalan menyusuri setiap rumah yang ada di komplek ini. Perumahan 'Suite residence' perumahan yang mengusung tema modern klasik. Bangunan yang tersusun rapi ini tampak begitu mewah. Setiap kapling rumah sepertinya berdiri di atas bidang tanah yang tidak terlalu lebar. Hanya saja desain bangunannya yang berlantai dua tampak apik jika di lihat dari luar. Aku yakin yang menempati perumahan ini bukan lah orang sembarangan. Terlihat dari penjagaan pintu masuk yang begitu ketat. Di persimpangan jalan aku berhenti, bingung harus memilih kanan atau kiri. "Sekarang harus kemana? Masa aku harus mutar-m
"Benar kok Pak, di sini alamatnya. Coba bapak konfirmasi lagi deh. Dari pada saya bolak-balik lagi. Jauh Pak," dalihku. Aku memasang tampang memelas. "Ya sudah sini sama saya barang itu. Biar saya sampaikan ke atas," Pak tua itu mengulurkan tangannya ingin meraih kotak kado yang aku bawa. "Tidak boleh, Pak. Pesan bos saya harus orang bersangkutan yang ambil," elakku. Kalau ia ambil kadonya dan aku ditinggal sendiri di sisi. Tamat lah aku. Ya Tuhan ... kenapa hati ini, aku merasa satpam-satpam ini menyebalkan. "Tapi Bu ...,""Ya ampun, Pak. Kasihani lah saya Pak. Bapak tega memperumit kerja saya, saya juga punya anak kecil di rumah yang menunggu kepulangan saya, Pak. Sehabis mengantar paket ini, saya mau pulang menemui dia. Lagi pula ... Bapak lihat saja tampang saya, apa ada wajah orang jahat," Jari telunjukku menuding ke arah wajahku sendiri. Memasang tampang memelas. Aku sudah mulai kesal saat ini. Satpam itu pun menatap aku dari bawah ke atas. Akhirnya ia menghela napas dan mem
Ceritakan padaku semuanya, apa yang sebenarnya terjadi saat ini, Ma!" pintaku. Aku masih belum puas jika hanya mendengarnya setengah-setengah. Sedangkan tangisan Mama yang begitu pilu memakna lain di kepalaku. Ayu mengusap pelan punggung Mama. Gurat kepedihan yang mendalam tersirat di wajah manisnya. Ayu yang aku kenal begitu angkuh kini telah hilang seiring berjalannya waktu.Lama tak jumpa membuat dirinya yang begitu manja, kini berganti menjadi wanita mandiri yang anggun. Aku suka kepribadian ini, walau aku yakin ada kisah sedih di balik terbentuknya karakter ini. "Waktu itu aku tak sengaja menabrak mobil yang dikendarai seorang wanita serta anaknya yang berumur dua tahun. Semuanya terjadi begitu cepat. Akibat kecelakaan itu, Ibu dan anak itu meninggal di tempat. Sedangkan aku hanya mengalami cidera di lengan serta kakiku saja," Ayu menjeda ucapannya. Menenangkan gejolak hati, meremas erat ujung gaun yang ada di pahanya. Matanya memandang lurus ke satu objek. Lalu menarik napas
"Setelah tertangkap olehnya. Aku di kurung, diperlakukan kasar dengan segala kebencian yang ia pendam terhadapku. Karena tak tahan, aku memohon dan meminta ampun. Namun pria itu tak mau melepaskanku. Hingga akhirnya kami membuat kesepakatan." "Kesepakatan apa?!" Aku yang tak sabaran terus mendesaknya. Perasaanku tak enak dengan ujung dari cerita Ayu. Mama terus menangis meratapi nasib putri kesayangannya. Aku mengerti, Bahkan sangat mengerti bagaimana perasaannya. Karena aku juga seorang Ibu."Mengandung anaknya sebagai ganti anaknya yang telah meninggal," cicitnya. "Apa kalian menikah?" Ayu menggelengkan kepala. Mataku terbelalak lebar dengan napas yang seakan terhenti sejenak karena pasokan oksigen seakan menghilang. "Apa kamu gila Ayu. Kamu mengandung anak pria itu tanpa status pernikahan. Apa akalmu sudah hilang!" ujarku penuh amarah. Napasku pun ikut naik turun, rahangku mengerat. Ayu menundukkan kepalanya. Tangannya tak henti-henti mengusap pelan perutnya. "Apa lagi yang b
"Topan!" teriak Edward lantang. Lelaki berseragam hitam yang tadi membiarkan aku masuk menghampiri dengan tubuh yang gemetaran.Matanya melirik ke arahku. Kentara sekali rasa penyesalan di mimik wajahnya. Menyesal karena telah membiarkan aku masuk, hingga berdampak nasib sial untuk dirinya."Maafkan saya, Pak!" batinku berbicara lewat tatapan mata. "Aku sudah mengatakan padamu, Topan. Jangan biarkan orang asing masuk ke dalam rumahku!" hardik Edward.Eh ... busyet. Selain ganteng, ternyata pria ini juga sombong. Rumor yang mengatakan bahwa seorang Edward Snowden yang dingin dan tak berperasaan itu memang benar. Nggak kebayang, hidup sebagai Ayu. Betapa tersiksa batinnya menghadapi lelaki arogan ini."Tapi mereka bukan orang asing. Mereka keluargaku," timpal Ayu. Tangannya yang berkeringat mencengkram lenganku erat. "Aku tak peduli mereka keluargamu atau bukan. Bagiku mereka hanya orang asing!" Edwar menatap Ayu tajam. Tangannya terayun ke atas. Jari tengah dan jempol beradu membuat
"Apa kamu sakit, Mas. Oh ... atau jangan-jangan kamu habis jatuh ya, lalu kepalamu terpentok dinding?" sindirku. Terdengar sangat sarkas. "Mas serius Intan. Mas tahu ... Mas salah padamu, dan sekarang aku ingin memperbaikinya!" ucapnya begitu tegas. Namun membuatku ingin tertawa. Aku tertawa terbahak-bahak. Bagai suara kunti yang terkikik di waktu menjelang magrib. Membuat merinding.Aku mengusap sedikit air mata yang timbul di sudut mataku. Tawaku yang begitu nyaring membuat dadaku sesak seakan ingin mati. Aku menarik nafas dan menetralkan tawaku. "Aku acungi jempol keseriusanmu Mas. Keseriusan menghancurkan hatiku. Kamu ingin memperbaikinya? Memperbaiki dengan apa? Apa yang bisa kamu perbaiki, hah! Apa dengan menceraikan Sukma lalu kembali denganku, kamu pikir semuanya akan bisa kembali lagi seperti awal lagi, begitu, iya!" bentakku dipenuhi emosi. Walau intonasi suaraku harus aku tekan sedikit agar perdebatan ini tak terdengar hingga ke tetangga. "Bukan begitu Intan. Sukma han