Esoknya, Bara yang tidak tahu apa-apa dibuat kelimpungan saat pak bos memintanya mencari penghulu, lebih terkejut lagi karena bosnya yang akan jadi pengantin. Tambah mengejutkan lagi dengan Anulika rekan kernya yang menjadi mempelai wanitanya.
“Apa-apaan ini?” pekiknya sendirian, namun tetap saja dia mengerjakan apa yang diperintahkan sang bos. Sedangkan gadis cantik itu memberengut saja dari tadi, ia kira menikah dengan bos besar walau hanya secara agama, ia akan memakai gaun putih yang cantik dan mahal. Tapi ini apa, ia hanya memakai baju kerjanya. Sederhana namun terasa berat oleh beban yang tak kasat mata. Selendang putih menutupi kepala mereka berdua, simbol kesederhanaan yang mereka junjung. Dengan perasaan yang campur aduk, Lika menatap Naka yang kini resmi menjadi suaminya. Sesuai dengan kesepakatan, mereka menikah secara sederhana di ruangan kecil dengan hadirnya dua saksi yang seolah muncul begitu saja dari balik pintu. Setelah akad nikah yang berlangsung singkat dan diucapkan dengan suara yang hampir tak terdengar, penghulu menyatakan mereka sah sebagai suami istri. Lika, dengan rasa kikuk yang mendalam, mendongakkan kepala untuk menatap Naka. Apa yang harus dia katakan? Apakah ini awal dari sesuatu yang indah, atau hanya formalitas belaka? Naka, dengan wajah yang tidak bisa dibaca emosinya, segera berdiri dan berkata dengan nada yang lebih mirip perintah, "Kembali ke kantor." Lika yang masih mencoba menyesuaikan diri dengan realita baru ini, mencoba meringankan suasana. "Kok ke kantor sih, Pak. Nggak bulan madu nih kita?" godanya dengan nada santai. Namun, respons Naka tidak seperti yang diharapkan. Wajahnya mengeras, dan dari dalam dada yang tegap itu terdengar geraman tidak sabar. "Jangan banyak mau!" bentaknya, membuat jarak antara mereka semakin terasa. Lika tertegun, menyadari bahwa mungkin ini semua hanya transaksi, bukan pernikahan yang didasari perasaan. Hatinya mencelos, namun di wajahnya ia berusaha keras untuk tidak menunjukkan kekecewaan yang membara. “Galak banget.” Gumamnya. Bara yang ada disana pun kikuk. Ini dia harus memberi selamat atau bagaimana, dia juga kan turut berbahagia jika ada yang menikah. “Hmm, Bos selamat ya atas pernikahan barunya.” Ucapnya sopan. Namun tatapan mata Naka yang tajam menciutkan nyali Bara seketika. “Silakan masuk, bos.” Dia langsung membuka pintu mobil dan mempersilakan sang bos masuk ke dalam Bersama istri barunya. “Ciyeee pengantin baru.” Ledeknya pelan pada Lika. “Apa sih.” Cebik Lika galak. * * Anulika tidak habis pikir, kenapa dia malah dpindah tugaskan ke Gudang. Banyaknya karyawan pria disana juga membuat dia risih, lagipula pendidikannya sangat mumpuni jika dia ditugaskan ke Gudang. “Kok bisa sih pak?” tanyanya pada bagian HRD setelah dia diminta menghadap. “Ya bisa, ini Keputusan bos.” “Bos siapa?” “Ya pak Naka, memangnya bos kamu ada berapa Anulika?” tanya bagian HRD gemas. “Ya tapi kenapa pak?” tanyanya bingung. “Pekerjaan kamu enggak bagus jadi sekretaris bos. Atau kamu melakukan kesalahan, hanya kamu yang bisa menjawabnya sendiri.” Ujar Seno, kepala bagian HRD tempat Lika bekerja. “Sa-saya.. Saya rasa enggak ada masalah deh pak. Baik-baik saja.” “Ya berarti bos Naka yang bermasalah dengan kamu.” Serunya kembali. Ah iya benar juga. Ada masalah apa ini suaminya eh salah, bosnya pada dirinya. Sampai dia dipindah ke bagian Gudang. Malah seharusnya Lika naik jabatan jadi manager atau direktur sekalian, secara dia kan sudah sah menjadi istri bos. Ya, walaupun hanya secara agama saja pernikahan mereka. Lika pun keluar dari ruang HRD, mulai terdengar bisik-bisik jika dia dipindah tugaskan karena mengacau di pekerjaannya sebagai sekretaris bos besar. “Lika, kamu pindah ke gudang? Kekacauan apa yang kamu bikin?” pertanyaan mengejek dari Kimberlly, salah satu rekan kerja Lika diperusahaan itu. Sog cantik sekali, mana genit semua pria dirasa menyukainya saja. “Enggak ada masalah kok Ceu Kikim, santai saja.” Seru Lika berani. “Eh kamu jangan songong ya, anak baru saja songong.” “Siapa yang anak baru sih. Aku udah lumayan lama ah disini.” Serunya, dia pun sambil berjalan ada hal yang lebih penting yang harus dia urus. “Sudah ya bye Ceu Kikim.” Kikik Lika. * * Dengan langkah cepatnya Lika langsung menemui bosnya. Dia mau bertanya langsung ada masalah apa sampai dia harus dipindah tugaskan, memangnya dia punya salah apa. Dan ini harus diselesaikan secara jantan. Lika masuk begitu saja keruangan bosnya, hei kan sudah jadi suami Lika punya hak dong. “Pak Naka.” Pekiknya lantang. Bara dibelakangnya mencoba menahan gadis ini yang kurang ajarnya langsung masuk ruangan bos. Namun Naka memberi kode Bara untuk membiarkan, Bara pun menutup pintu an Lika langsung berjalan mendekat. “Ada apa?” tanya Naka dingin dengan mata yang masih fokus pada berkas ditangannya. “Pak kok Lika dipindah ke bagian gudang sih?” tanya Lika berkeluh pada bos yang juga suaminya itu. “Itu perintah, Lika!” jawab Naka masih acuh. “Iya tapi apa kesalahan saya pak?” tanyanya membela diri, karena merasa dia tidak melakukan kesalahan dalam hal pekerjaan. “Kenapa kamu berani sekali bertanya?” “Berani pak, karena saya enggak ngerasa salah kok.” Naka meletakkan berkas di meja, dan menatap gadis muda dihadapannya itu. “Pertama, saya tidak butuh sekretaris lagi. Bara sudah cukup. Kedua.. Saya nggak mau didekat kamu, Lika. Itu akan membuat rahasia kita terbongkar.” jawab Naka datar. Lika membelalakkan matanya, ia kira dia melakukan kesalahan sehingga dipindahkan ke bagian gudang. Ternyata karena masalah pribadi mereka saja yang menjadi alasannya. “Kok karena hal pribadi sih pak. Saya juga enggak akan membuka rahasia kita, malu pak!” serunya mulai jengah akan sikap otoriter Naka. “Itu sudah menjadi keputusan saya, Lika. Dan ingat, saya pimpinan kamu disini.” Ingatnya. “Tapi kenapa harus gudang pak.” “Disana saja yang terjauh.” “Enggak sekalian saja dikantor cabang.” Deliknya. “Kamu mau? Nanti saya urus.” Jawab Kana santai. “Eh eh nggak pak, jangan disini saja. Kejauhan saya berangkatnya.” Lika buru-buru meralat ucapannya bisa berabe dia kalau pindah ke kantor cabang. Merasa ada ide, dia mendekati Naka yang duduk di kursi kebesarannya, tanpa aba-aba dia langsung duduk dipangkuan bosnya eh suaminya. “Apa yang kamu lakukan?” pekik Naka terkejut ada gadis nakal duduk dipangkuannya. “Ih pak Naka, kan Lika istri bapak. Jadi wajar dong kalau duduk disini.” jawabnya malu-malu, melingkarkan tangannya dileher suaminya yang terbujur kaku. “Heheheh.. Kok nyaman yah.” Ujarnya semakin menggoda. “Turun Lika, nanti ada yang lihat” “Nggak ada, sepi kok,” Naka berdecak malas, ia menyentak tubuh seksi gadis itu, namun tangan yang melingkar dilehernya, dikuatkan gadis itu. “Diam dulu.” ujar Lika. “Mau apa?” “Mau merayu pak suami. Kata orang kalau istri mau sesuatu suaminya harus dirayu dulu pak.” Naka bedecak malas, mereka bukan suami istri yang sesungguhnya apa gadis ini amnesia, pikir Naka. “Apa mau kamu, cepat!” Naka tidak nyaman ia khawatir Bara atau keluarganya datang, tanpa mengetuk pintu. Humppp.. Tanpa aba-aba, istrinya langsung menyumpal bibir Naka dengan berani. Membuat Naka tertegun sesaat, bibir manis yang sempat menggodanya kini ia rasakan lagi. Meski hanya ditempelkan, namun sangat terasa bagi Naka. **Tubuh seorang Bayanaka Rasyid Gasendra membeku, tegang dikecup tiba-tiba oleh seorang gadis cantik yang sialnya, pernah ia rasakan tubuhnya. Tidak ada yang berubah masih manis, dengan perlahan Lika memberanikan diri memagut bibir Naka dengan kakunya. Merasakan sensasi yang lain, meski awalnya Naka diam namun lama kelamaan semakin tergoda, hingga tanpa sadar Naka membalasnya, malah kini Lika yang kehabisan napasnya. Keduanya saling memejamkan mata, menikmati lumatan dan belitan lidah yang hangat itu. Naka menekan tengkuk Lika, agar ia bisa melesakkan lidahnya kedalam dan semakin dalam. Eungh.. Lenguhan bernada sensual dari mulut Lika terdengar. Membuat Naka makin dalam lagi melumat bibit mania yang sepertinya akan membuatnya candu. Sesuatu yang terasa panas mulai menjalar ditubuh Naka, sebagai pria normal tentu dia sangat tertarik dengan tubuh Lika, apalai kini dia sudah sah menjadi istrinya. Hingga tangan Naka mulai nakal menjalar ke area punggung, dia memberi usapan le
Diruangan Naka, pria itu masih berkutat dengan berkas di meja. “Bagaimana Lika disana Bara?” tanya pada sang asisten, yang sudah paham mengapa Naka menikahi gadis itu.Ia juga tadi sedikit disalahkan, karena sakitnya Naka haurs mengajak Lika dinas ke luar negeri yang berakhir kekacauan.“Baik pak, sudah bisa beradaptasi dengan baik. Ya paling resikonya, hmm digodain pekerja Gudang pak.” jawab Bara, sengaja agar Naka berbaik hati memindahkan Lika kembali ke jalurnya. Dia juga sedikit terbantu dengan adanya Lika, si gadis lugu yang bagus dalam pekerjaannya.Naka mendengus, sudah bagus disana mau dipindahkan kemana. Gudang adalah tempat yang paling jauh darinya, namun masih bisa ia pantau. Berbeda jika di kantor cabang, lokasi yang jarang Naka jarang datangi.“Lika akan tetap disana pak?” tanya Bara memberanikan diri.“Disana saja.” jawabnya tegas.Ketika sendiri di ruangannya, Naka mulai memejamkan matanya. Tingkah lugu istri barunya benar-benar diluar nalar, seenaknya duduk diruanganny
Malamnya, Naka makin gelisah. Ada rasa entah apa namanya, dia selalu memikirkan Lika. Suaranya yang manja, sikapnya yang absurd terkadang menggodanya dan menjengkelkan. Tapi Naka suka, membuat harinya begitu berbeda dan berwarna.Dengan membuang rasa ego, Naka menghubungi Lika. Mau tahu dimana gadis ini sekarang. Hari sudah beranjak malam dan turun hujan.Sekali dua kali, tidak kunjung diangkat. Sampai Naka memeriksa kembali apa nomornya benar atau tidak. Kembali Naka menghubungi istri kecilnya itu.“Angkat Lika, angkat.” Ujarnya menggeram sendiri.Saat Naka mendengar suara Lika di ujung telepon, rasa lega sejenak menyelimuti hatinya. Namun, rasa lega itu segera tergantikan oleh gelombang kecurigaan. "Masih di jalan." kata Lika dengan suara yang terdengar lelah, menjawab panggilan suaminya.“Dijalan?” beo Naka, sudah malam masih keluyuran.“Iya, nanti di hubungi lagi.”“Lika.”“Apa?”“Dimana?” tanya Naka kembali memastikan.“Dibilang dijalan.” Sentak Lika kesal.“Sama siapa?”“Teman.”
Lika mengerjap kaget ketika Naka mengatakan akan menginap disini. Maksudnya bagaimana, kenapa pak bosnya mau menginap di apartemen mungilnya ini. lebih enak dirumahnya sendiri, Lika yakin ranjang milik Naka lebih besar dari miliknya.“Kamu tidak tuli bukan?” sindir Naka kesal, karena Lika seolah menolak kehadirannya.“No. Big no, bapak pulang saja. Tempat ini terlalu sempit buat berdua.” Lika mendekati Naka dan menarik tangan bosnya itu. Enak saja menumpang nginap, memang ia tidak punya rumah."Kenapa? Kamu lupa kalau kita juga pernah tidur bersama. Bahkan tanpa pakaian." sinis Naka, mengingatkan Lika tragedi malam berdarahnya. Lika berdecak, kesal jika diingatkan akan malam itu.“Bapak nggak punya rumah, sampai menumpang menginap dirumah karyawannya?” sindir Lika.Namun tenaganya kalah dari Naka, dan malah ditarik balik oleh Naka, hingga mereka berdua jatuh diatas ranjang kecil itu. Naka menahan napasnya ketika Lika ada diatas tubuhnya. Kedua mata itu saling pandang, menegaskan jika
Hari masih belum terang, ketika Naka terbangun karena mendengar suara pekikan dari arah kamar mandi. Meraba sisi ranjangnya, kosong. Lika di kamar mandi, dengan langkah gontai Naka menyusul gadis itu. Sempat melihat jam di dinding masih pukul 3 dini hari.Hoek..Lika sedang mengeluarkan semua isi perutnya di toilet, suaranya sangat mengenaskan.“Lika.. Kenapa?” tanya Naka, dia masuk ke dalam. Membantu gadis itu yang kesulitan dengan rambutnya. Rambut panjangnya Naka tangkup, dan memijit leher Lika.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Naka, mulai khawatir karena Lika tidak berhenti mengeluarkan isi perutnya.“Hmmm, keluar.” Usir Lika pelan. Tidak nyaman muntah ada orang lain. Naka mengabaikan, tetap ia pijat leher itu.Naka sadar dia pria dewasa, dalam kondisi ini Lika juga membutuhkannya. Sama ketika Ivanka sakit, Naka bersedia membantunya.Suara muntah itu memekikkan telinga, terlihat Lika berjuang mengeluarkan semua isi perutnya.“Sudah?” tanyanya, Lika mengangguk. Wajahnya merah, basah kar
Lika baru saja memasuki area kantor ketika dia dihadang oleh Kimberly, rekan kerjanya yang selalu mencari-cari kesalahan. Entah apa yang Kim irikan padanya, padahal Lika termasuk gadis yang biasa saja. Tidak seperti dia yang heboh sekali kalau ke kantor."Eh, ada gadis gudang. Kasihan sekali, hitam deh keliling terus." sindir Kimberly dengan nada mengejek.Lika berusaha mengabaikan komentar sinis tersebut karena kepalanya yang sedang sakit, tetapi Kimberly tidak berhenti. Dari Lika pertama masuk ke kantor ini, Kimberly memang sudah jahil padanya."Mulutmu iseng sekali ya. Berasa yang punya kantor ya." balas Lika, mencoba menahan emosinya. "Ya didoakan saja," sahut Kimberly dengan nada santai, seolah tidak terpengaruh oleh kemarahan Lika.“Terserahlah.” Abai Lika mencoba berjalan kembali.Kepala Lika semakin berdenyut dan tubuhnya terasa tidak enak, namun dia memilih untuk pergi meninggalkan Kimberly. Baru saja melangkah, tiba-tiba Kimberly dengan sengaja menyelengkat kakinya sehingga
Naka tidak jadi mengantarkan Lika ke dokter, istrinya memintanya untuk pulang cepat. Naka memenuhi keinginan itu, biasanya Ivanka akan minta dimanja, entah makan disuapi, minum obat atau tidur bersama.Naka harus memenuhi itu, Ivanka sedang sakit ia tidak mau istrinya merasa tidak ia perhatikan. Meski Ivanka juga mengerti akan kesibukannya diperusahaan.Niatnya meminta Bara untuk mengajak Lika ke dokter, namun dipikir lagi Naka suka menyusahkan Bara. Maka ia meminta Lika pergi sendiri, yang hanya dibalas iya saja.“Hai” sapa Naka, masuk ke dalam kamar Ivanka.“Sibuk sekali, aku sampai dilupakan.” Rajuk Ivanka, melihat suami tampannya. Tangannya mengulur, minta digapai sang suami. Naka yang mengerti lalu menggapai tangan itu, dan mengenggamnya.“Hmm.. Sedang banyak pekerjaan. Sudah makan?” tanya Naka, dan Ivanka menggeleng pelan, “Mau aku suapi?” tanya Naka, tentu saja ia mengangguk senang.“Lapar banget tidak, aku mandi dulu ya. Kotor kena debu.” Kata Naka, ia usahakan jika bertemu Iv
Cukup lama Naka mandi, karena sambil melamun. Ditambah dia tadi menghubungi Lika dan memikirkan gadis itu yang seenaknya saja pergi dengan laki-laki lain. Apa maunya Lika itu, pikir Naka.Usai memakai baju juga tidak langsung ke kamar Ivanka, dia malah menghubungi Lika kembali, dan gadis itu masih diluar. Bagaimana Naka tidak menggeram kesal.“Lama sekali mandinya.” Kata Ivanka menyambut kemunculan Naka.“Maaf, tadi habis terima telepon.” Ucapnya, langsung mengambil piring dan menyuapi Ivanka.“Maaf.”“Untuk?”“Karena merepotkanmu. Harusnya aku yang melayanimu, malah kamu yang melayani aku.” Ucap Ivanka sendu. Sebagai istri tentu Ivanka sedih, tidak dapat melakukan tugasnya.Naka tersenyum, ia mengusap kening wanita berwajah pucat itu. “Tidak apa. Nanti kalau kamu sudah sehat, aku akan menagihnya.” Canda Naka. Ivanka tertawa, “Tentu, tagih aku. Dan seumur hidup aku akan melayanimu.” Ucapnya sumringah. Senyum Naka berubah jadi ringisan, ia malah hendak membebaskan Ivanka jika wanita itu
“Suara bayi!” pekik Benedito, menunggu di luar ruang bersalin Lika bersama Nyra dan Elise.“Iya, sudah lahir,” ujar Mama Elise, mengucap syukurnya.“Tinggal satu lagi,” kata Papa Ben dengan cepat. Dia dihubungi Bara, asisten anaknya. Mengatakan jika menantunya telah ada di rumah sakit untuk melahirkan tentu saja, Ben tidak mau ketinggalan momen berharga ini.Semua bersorak, menyambut kelahiran cucu mereka. Nyra menundukkan pandangannya, matanya panas sekali. Cucunya sudah lahir, tapi apa ini bisa disebut sebagai cucunya, jika Naka saja bukan anak kandungnya.Melihat keterdiaman Nyra Gasendra, Mama Elise menarik tangannya lembut. “Selamat Bu Nyra, cucunya sudah lahir.” Elise mengucapkan dengan senyum tulus, membuat Nyra salah tingkah karena sikapnya yang memang tidak baik pada Elise, namun dibalas dengan kelembutan.Nyra yakin Elise mengetahui semua cerita tentang dirinya dan Naka, diberitahu Lika. Tapi bukannya membalas perbuatannya dengan ejekan, tapi Elise malah menyambutnya dengan
Naka merasa jantungnya terkoyak dua. Di satu sisi, Lika, istri keduanya, sekarang sedang berjuang melahirkan putra mereka di rumah sakit. Sementara di sisi lain, Ivanka, istri pertamanya, terbaring lemah di rumah, menghadapi tahap akhir kanker yang mematikan. Suasana kamar yang suram hanya diterangi oleh cahaya lampu remang-remang, menambah berat suasana hati Naka.“Ivanka.. Lika akan melahirkan,” kata Naka dengan nada paniknya. Ivanka tersenyum, lalu mengangguk. “Temani dia.. Tolong jaga Lika dan anak kita," bisik Ivanka dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya yang sembab memandang Naka dengan penuh kasih.Naka merasa seakan-akan sebuah pisau mengaduk perutnya, rasa bersalah dan kepedihan bercampur menjadi satu. Tangannya gemetar saat dia menggenggam tangan Ivanka yang sudah sangat kurus."Aku akan kembali, dengan si kembar. Tunggu aku, ya? Tolong tunggu kami," Naka mencoba menguatkan suaranya, meski hatinya remuk. Dia mencium kening Ivanka, mencoba menahan air mata yang ingi
Naka mulai dilemma, satu sisi ia ingin menemani Ivanka yang terbaring di rumah sakit, dengan keadaan yang semakin kritis. Di satu sisi, Anulika juga membutuhkan dirinya.Dalam sambungan telepon, Naka meminta Lika untuk banyak istirahat. “Sayang, ditemani mama ya tidurnya,” kata Naka dengan lembut.“Iya mas, jangan khawatir. Ada mama, Bik Lilis dan pelayan lain. Aku aman kok, Kak Ivanka gimana, mas?”“Masih kritis sayang, sedang di ruang operasi. Setelah itu aka nada observasi.” Naka menjelaskan, kemudian menghela napas lelahnya. “Entahlah, semoga ada keajaiban.”“Yakin mas, aku yakin Kak Ivanka pulih. Dia janji kok mau lihat si kembar lahir, mas.” lika penuh dengan keyakinan, karena Ivanka janji akan menunggu kedua anaknya lahir.“Ya berdoa saja sayang,” ucap Naka.Mengucapkan beberapa wajangan kepada istrinya dan meminta maaf karena tidak bisa menemani, beruntung Lika begitu pengertian sekali. Membuat Naka merasa lega, memiliki istri seperti Lika.**Di ruang putih steril rumah saki
Naka menerobos lorong rumah sakit dengan langkah-langkah besar, napasnya tersengal-sengal seolah-olah setiap detik adalah pertarungan. Begitu mendengar kabar dari dokter, tubuhnya seakan tak memiliki pilihan selain bergegas ke ruang rawat dimana Ivanka, istrinya, berjuang antara hidup dan mati."Apa yang terjadi, Suster Mirna?" suaranya serak penuh kekhawatiran saat ia menghampiri suster yang bertugas di sisi tempat tidur Ivanka.Suster Mirna menoleh dengan wajah penuh simpati, "Kondisi Bu Ivanka kritis, Tuan. Kanker yang diidapnya memperburuk keadaan."Air mata mulai menggenang di sudut mata Naka, tangannya gemetar saat ia meraih tangan Ivanka yang terkulai lemah di atas selimut. Kulitnya pucat, hampir transparan, dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.“Ivanka..” lirih Naka memanggil istri pertamanya itu.Tiba saat itu, dokter masuk dan ingin berbicara dengannya.“Silakan,” ujar dokter mempersilakan Naka keluar ruangan. "Dokter, tolong selamatkan dia," pintanya pada dokter ya
Ivanka terbaring lemah di ranjang rumah sakit, infus masih menancap di tangannya. Rambutnya yang sudah rontok sebagian menambah kesan pucat pada wajahnya. Sinar matahari sore menyelinap masuk melalui jendela, memberi sedikit kehangatan di ruangan steril itu. Elvan Daarwish memasuki ruangan dengan langkah gontai, membawa buket bunga mawar kuning yang melambangkan persahabatan dan dukungan. Warna kesukaan Ivanka, entahlah dia ingin membawa saja.Ceklek!Elvan membuka pintu, sudah di izinkan Suster Mirna di luar. Karena Elvan membawa perdamaian, tidak mengajak ribut."Papa akhirnya menjengukku," sapa Ivanka dengan suara serak, matanya berbinar sejenak melihat sosok ayahnya.Elvan meletakkan bunga di meja samping tempat tidur dan duduk di kursi yang telah disediakan. Dia menghela napas panjang, matanya menatap Ivanka dengan perasaan campur aduk. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Elvan meragu.Ivanka tersenyum, baru kali ini papanya bertanya keadaannya.“Aku baik Pa, jangan khawatir.”Elvan men
v“Tante,” sapa Lika, melihat kedatangan mama mertua di rumah. Nyra melirik, ah gadis ini, sedang hamil besar, mengandung cucu yang bukan cucu kandungnya.Betapa Naka mencintai gadis ini, sampai rela menikahinya. Bukan hanya karena tengah mengandung buah hatinya, namun karena Naka benar-benar mencintainya.“Di mana Naka?” tanya Nyra, masih dengan nada pongah berbicara dengan Lika.“Mas Naka ada di kamar, Tante.”“Panggilkan!” serunya.Mama Elise yang kebetulan lewat, langsung tersentak mendengar nada perintah dari besannya ini.“Lagaknya seperti bos saja,” sindirnya, Lika langsung menggandeng tangan mamanya, untuk menghentikan sindiran itu. “Ma, sudah,” bisiknya. Tidak perlu cari ribut, suasana sedang tidak kondusif.Nyra yang melihat kedatangan besannya, enggan menanggapi juga. Dia bisa kalah, karena posisinya sedang terjepit juga. Jangan sampai Naka melihat dia bertengkar dengan mama mertuanya, sadar diri jika dia yang akan kalah.“Sebentar, Lika panggilkan Mas Naka.” Lika kemudian
Lika ingin mendekati suaminya, namun sepertinya Naka butuh waktu untuk sendiri. Lika membiarkan Naka di dalam ruang kerja, sibuk dengan pikiran yang entah kemana saja.“Di mana Naka?” tanya Mama Elise pada putrinya.Lika menoleh, tersenyum melihat mamanya yang baru kembali dari rumah sakit menjenguk Ivanka kembali.“Di ruang kerja, Ma.” Mama Elise menasehati Lika, agar menemani suaminya Naka yang sedih. Karena tahu dia bukan anak kandung mamanya. "Temani Naka, hibur dia," Kata Mama Elise. Lika mengangguk, lalu mendekati suaminya.Walau bingung harus bagaimana, dia menuruti nasehat sang mama. Suaminya butuh dia di sini, mungkin jika ada Ivanka, maka wanita itu yang akan menghibur Naka.Di ruang kerja yang sepi, hanya terdengar suara detak jam dinding yang menambah kesan sunyi. Lika menghampiri Naka yang terduduk lesu di sofa, matanya sayu menatap ke luar jendela. Lika duduk di sampingnya, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.“Mas,” panggilnya dengan suara yang mendayu, Naka ha
Naka terdiam, mencerna maksud dari Adela. Jujur dia ingin tahu maksud dari Adela, namun penawaran cabut gugatan juga membuatnya harus berpikir keras.“Mas,” lirih Lika..Lika sendiri berusaha menyadarkan suaminya untuk tidak terkecoh akan penawaran Adela“Apa maksudmu dengan mencari ibuku, Adela Daarwish?” tanya Naka sarat akan penekanan.Adela tersenyum merasa jika Naka sudah masuk perangkapnya, mulai tertarik dengan pancingannya.“Ya ibumu,” sahutnya masih dengan teka-teki.“Sudahlah, terlalu banyak omong kosong,” ucap Naka, sudah mau beranjak. Namun ucapan selanjutnya dari Adela berhasil menghentikannya.“Karena kamu bukan anak Nyra!”Deg!Naka langsung menoleh dan bertemu pandang dengan Adelan, terlihat jika wanita itu serius dengan ucapannya.“Maksudmu?”"Kamu bukan anak kandungnya!" ungkap Adela, dengan senyum sinis di bibirnya.Mata Naka terbelalak, dia tentu saja tidak percaya, tetapi orang semacam Adela tak akan mengungkapkan sesuatu yang salah.“Jangan mempermainkanku, Adela
Bukannya menurut, Naka malah tersenyum seolah mengejek larangan Lika. Tentu saja dia sudah memikirkannya dengan matang-matang. Naka tidak akan pergi saat itu juga, melainkan dia akan mengulur waktu."Aku harus ikut ke sana!" ucap Lika sambil melipat kedua tangannya di dada.Ucapan Lika membuat Naka memicingkan matanya dan dengan cepat menggeleng secara tegas. "Tidak! Mana ada orang hamil kunjungan ke penjara. Nggak bisa, aku nggak mau anakku terkontaminasi dengan hal-hal buruk," tolak Naka secara tegas.Jangan bercanda, istrinya sedang hamil besar. Mengandung bayi kembar juga membuat perut Lika membesar dua kali lipat."Kalau gitu kamu nggak boleh pergi juga. Gimana, adil 'kan?" Keduanya malah terlibat negosiasi alot, yang akhirnya Naka menyerah dan mengizinkan Lika untuk ikut bersamanya.Dengan catatan dan kesepakatan kalau Lika tidak akan berbicara sepatah kata pun, dia hanya bertugas menemani Naka saja. Dengan cepat Lika setuju, dia memang hanya harus menemani Naka tak lebih dari i