Anulika Chandara duduk di tepi ranjangnya, tangannya menggenggam erat cek yang diberikan Naka. Matanya sayu memandang ke luar jendela, memikirkan keputusan yang harus dia ambil.
"Aku tidak bisa menerima ini," gumamnya lirih, sambil memegang cek tersebut erat. Lika teringat akan semua yang telah terjadi, malam itu, tawaran itu, dan sekarang dilema yang menghantui pikirannya.
“Tapi sayang, 10 miliar kan gede juga.” Ah jadi dilema Lika ini.
Dia menghela napas berat, perasaan dilema menggelayuti setiap pikirannya. Lika tahu dia membutuhkan pekerjaan ini, tapi harga dirinya sebagai wanita juga penting baginya.
"Bagaimana kalau aku hamil karena kesalahan malam itu?" pikirnya dengan rasa takut. Bayangan masa depan yang suram mulai menghantui, takut tak ada pria yang mau menerimanya lagi.
Itu yang Anulika takutkan, hamil! Maka keadaan akan berubah semua. Hidupnya akan jungkir balik, apalagi jika tidak ada suami disisinya.
Dengan keputusan yang masih terombang-ambing, Lika berdiri dan berjalan ke meja kerjanya. Dia menarik sebuah kertas dan mulai menulis rencana. Setiap kata yang ditulisnya adalah upaya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia bisa melewati ini. "Aku harus kuat, aku harus cerdas, aku harus bertahan," tulisnya berulang-ulang.
Lika kemudian menatap cek di tangan dan dengan tegas, tertawa sendiri akan kisahnya. "Kaya perempuan bayaran saja." katanya pada diri sendiri.
Sebuah keputusan telah diambil. Dengan rasa lega namun masih ada rasa takut, Lika memutuskan untuk menghadapi apapun yang akan datang dengan kepala tegak. Dia tahu, ini baru permulaan dari perjuangan yang sebenarnya.
*
*
Lika kembali masuk keruangan bosnya ini, sang boss memanggilnya entah ada apa. Tapi Lika tahu ini urusan pribadi bukan pekerjaan. Padahal Lika sedang banyak pekerjaan, mana dia belum paham lagi dengan kerjaan sebagai sekretaris.
“Ada apa pak Naka, ada yang bisa dibantu?” tanyanya sopan, bagaimana pun Naka bosnya dikantor, jadi ya harus sopan.
Naka menghela napas panjangnya sebelum kemudian berbicara dengan sekretarisnya ini, bikin pusing saja.
“Saya mau bicara serius sama kamu.” ucapnya datar. Lika mengangguk dan mendongak mendengarkan pembicaraan serius apa yang dimaksud bosnya ini.
Kana juga sudah membuat Keputusan setelah dia memikirkan hal ini semalaman. Entah keputusannya tepat atau tidak, dia tidak tahu. Jalani saja dulu mengalir akan dibawa kemana nantinya.
“Dengar..” Wajah Naka sudah sangat serius sekali. Lika mengangguk, dan mendengarkan. “Saya akan menikahi kamu secara agama.” Ujarnya, Lika sudah mau protes namun Naka menahannya.
“Kamu tahu status saya sudah menikah. Dan.. Jika dalam waktu satu bulan ini kamu tidak hamil, maka saya akan menceraikan kamu. Paham!” jelas Naka dalam mode serius.
Lika tentu terkejut akan Keputusan itu. Artinya Naka menikahinya hanya karena takut dia hamil, hei lagipula apa yang Lika harapkan. Naka akan mencintainya begitu, mana mungkin. Mereka ini bagai bumi dan langit, dia orang biasa sedangkan Naka seorang pengusaha besar yang sangat suskes.
Gadis cantik itu diam, terlihat sedang menimbang-nimbang tawaran bos besarnya.
“Kalau Lika nggak hamil?”
“Kan sudah saya jelaskan Lika. Dan kamu bisa membawa cek yang kemarin.”
“Lika boleh pikirin dulu nggak pak, saya masih bingung.” ujarnya lemas. Naka berdecak, membuang waktu saja.
“Tidak ada yang perlu dipikirkan, semua sudah jelas Lika. Kalaupun saya menceraikan kamu, status kamu mantan istri orang. Sesuai ingin kamu kan?”
Naka memang terkejut dengan pola pikir Lika, padahal bisa dibilang Lika bukan orang kampung kuliah dan bekerja di ibu kota seharusnya Lika terbiasa akan kehidupan bebas. Namun ia masih menjunjung norma agama dan sosial dalam hidupnya, tipe jarang dimiliki anak muda seusianya.
Muda, ya Lika masih muda tadi dirinya sampai memperjelas tahun kelahiran Lika, baru berusia dua puluhan itu. Pantas masih cantik dan sekal tubuhnya, daun muda ternyata.
“Lika jadi berasa kaya pelakor deh pak” keluhnya. Gemas ini Naka dibuatnya, kenapa jadi kearah sana pembahasannya.
“Terserah!” Malas sekali Naka meladeni asisten yang kini jadi sekretarisnya itu.
Lika meremas kedua tangannya, ya memang itu yang diinginkan status yang jelas. Tapi boleh kan ia memikirkan untung rugi dari perjanjian ini, ya Lika menganggapnya hanya sebuah perjanjian saja.
“Ya sudah deh iya. Daripada sudah nggak virgin nggak ada status.” lirihnya mengiyakan ajakan nikah bosnya.
Bukan ini yang ia harapkan, tapi juga tidak tahu apa yang ia inginkan. Semua kejadian berlalu begitu cepat, ia hanya ingin kerja yang benar, menabung dan membawa mamanya tinggal di kota ini. Memberi kehidupan yang layak, jauh dari kata kekurangan, apa salah cita-cita Lika.
“Baiklah, saya yang akan atur semuanya. Sekarang kembali bekerja.” Titah Naka tegas. Lika mengangguk, dengan lemas dia keluar ruangan bosnya.
Apa ini, apa dia baru saja dilamar diajak menikah. Kenapa tidak ada romantis-romantisnya ya.
*
*Pulang kerumah setelah seharian bekerja, Naka harus dibuat kerepotan dengan istrinya yang mendadak bersikap aneh.
“Apa lagi?” tanya Naka sudah mulai Lelah dan ingin beristirahat.
Ivanka menunduk, dia merasa tidak ada gunanya sebagai seorang istri. Dia sakit apa salahnya dia minta diperhatikan dan dimanja. Sayangnya dia menikah bukan dengan pria yang mencintainya, maka ini yang dia dapatkan.
“Babe, aku cuma mau sama kamu saja kok. Disini saja ya.” Pinta Ivanka lirih. Dia mau suaminya dikamarnya, sedangkan Naka ingin istirahat dikamarnya saja.
“Aku juga lelah Ivanka. Kamu tidur ya.”
“Aku bosan tidur terus, sedangkan kamu sibuk bekerja.”
“Memang tugas aku bekerja, Ivanka.” Seru Naka sedikit berteriak, hingga Ivanka menunduk dengan mata berkaca-kaca.Ahh, terjadi lagi. Naka mendesah kemudian duduk di tepi ranjang. Keadaan Ivanka memang memprihatinkan, dokter menyuruhnya bedrest bahkan tidak boleh turun dari ranjang. Kanker sudah mulai menggeorgoti tubuhnya dan membuatnya cepat kelelahan. Naka tidak mau istrinya drop, makanya dia membuat Ivanka nyaman di kamarnya sendiri.
“Maaf.. Aku hanya lelah saja.”
“Kamu marah ya sama aku?”
“No. Marah kenapa?” “Karena menikah denganku tidak seperti yang kamu harapkan.” “Ivanka bisa berhenti untuk membahas hal itu.” Pinta Naka, karena jika membahas hal itu akan panjang dan Naka sedang malas berdebat. “Aku istri nggak berguna, babe. Aku bahkan nggak bisa melayani kamu.” “Aku tidak meminta itu. Aku cuma minta kamu sembuh dan semngat, ap aitu sulit untukmu Ivanka?” “Gimana aku bisa sembuh, sedangkan kamu saja tidak memperhatikan aku?” jerit Ivanka terpancing emosinya.“Apa semua yang kamu dapatkan bukan bagian dari perhatian aku, Ivanka? Kamu mendapat perawatan dirumah, dirumah sakit. Lalu kamu pikir itu siapa, orangtuamu!” pekik Naka mulai tersulut.
“Iya iya aku tahu. Kamu menyediakan semua fasilitas untuk aku, aku hanya butuh perhatian kecil dari kamu Naka. Libur sehari hanya untuk menemani aku dikamar saja, apa kamu tidak bisa?” jeritnya.
Bisa.. Hanya Naka saja yang tidak mau.
Tidak ingin berlarut dalam perdebatan dan berujung pada drop-nya fisik Ivanka. Kana pun mengalah.
“Baiklah, weekend aku akan menemanimu.” Ucapnya membuat Ivanka lega mendengarnya.
Setidaknya satu hari dalam seminggu, Naka punya waktu untuknya. Sehari saja, Ivanka tidak meminta lebih.
“Terima kasih, terima kasih babe.” **
Esoknya, Bara yang tidak tahu apa-apa dibuat kelimpungan saat pak bos memintanya mencari penghulu, lebih terkejut lagi karena bosnya yang akan jadi pengantin. Tambah mengejutkan lagi dengan Anulika rekan kernya yang menjadi mempelai wanitanya. “Apa-apaan ini?” pekiknya sendirian, namun tetap saja dia mengerjakan apa yang diperintahkan sang bos. Sedangkan gadis cantik itu memberengut saja dari tadi, ia kira menikah dengan bos besar walau hanya secara agama, ia akan memakai gaun putih yang cantik dan mahal. Tapi ini apa, ia hanya memakai baju kerjanya. Sederhana namun terasa berat oleh beban yang tak kasat mata. Selendang putih menutupi kepala mereka berdua, simbol kesederhanaan yang mereka junjung. Dengan perasaan yang campur aduk, Lika menatap Naka yang kini resmi menjadi suaminya. Sesuai dengan kesepakatan, mereka menikah secara sederhana di ruangan kecil dengan hadirnya dua saksi yang seolah muncul begitu saja dari balik pintu. Setelah akad nikah yang berlangsung singkat dan diuc
Tubuh seorang Bayanaka Rasyid Gasendra membeku, tegang dikecup tiba-tiba oleh seorang gadis cantik yang sialnya, pernah ia rasakan tubuhnya. Tidak ada yang berubah masih manis, dengan perlahan Lika memberanikan diri memagut bibir Naka dengan kakunya. Merasakan sensasi yang lain, meski awalnya Naka diam namun lama kelamaan semakin tergoda, hingga tanpa sadar Naka membalasnya, malah kini Lika yang kehabisan napasnya. Keduanya saling memejamkan mata, menikmati lumatan dan belitan lidah yang hangat itu. Naka menekan tengkuk Lika, agar ia bisa melesakkan lidahnya kedalam dan semakin dalam. Eungh.. Lenguhan bernada sensual dari mulut Lika terdengar. Membuat Naka makin dalam lagi melumat bibit mania yang sepertinya akan membuatnya candu. Sesuatu yang terasa panas mulai menjalar ditubuh Naka, sebagai pria normal tentu dia sangat tertarik dengan tubuh Lika, apalai kini dia sudah sah menjadi istrinya. Hingga tangan Naka mulai nakal menjalar ke area punggung, dia memberi usapan le
Diruangan Naka, pria itu masih berkutat dengan berkas di meja. “Bagaimana Lika disana Bara?” tanya pada sang asisten, yang sudah paham mengapa Naka menikahi gadis itu.Ia juga tadi sedikit disalahkan, karena sakitnya Naka haurs mengajak Lika dinas ke luar negeri yang berakhir kekacauan.“Baik pak, sudah bisa beradaptasi dengan baik. Ya paling resikonya, hmm digodain pekerja Gudang pak.” jawab Bara, sengaja agar Naka berbaik hati memindahkan Lika kembali ke jalurnya. Dia juga sedikit terbantu dengan adanya Lika, si gadis lugu yang bagus dalam pekerjaannya.Naka mendengus, sudah bagus disana mau dipindahkan kemana. Gudang adalah tempat yang paling jauh darinya, namun masih bisa ia pantau. Berbeda jika di kantor cabang, lokasi yang jarang Naka jarang datangi.“Lika akan tetap disana pak?” tanya Bara memberanikan diri.“Disana saja.” jawabnya tegas.Ketika sendiri di ruangannya, Naka mulai memejamkan matanya. Tingkah lugu istri barunya benar-benar diluar nalar, seenaknya duduk diruanganny
Malamnya, Naka makin gelisah. Ada rasa entah apa namanya, dia selalu memikirkan Lika. Suaranya yang manja, sikapnya yang absurd terkadang menggodanya dan menjengkelkan. Tapi Naka suka, membuat harinya begitu berbeda dan berwarna.Dengan membuang rasa ego, Naka menghubungi Lika. Mau tahu dimana gadis ini sekarang. Hari sudah beranjak malam dan turun hujan.Sekali dua kali, tidak kunjung diangkat. Sampai Naka memeriksa kembali apa nomornya benar atau tidak. Kembali Naka menghubungi istri kecilnya itu.“Angkat Lika, angkat.” Ujarnya menggeram sendiri.Saat Naka mendengar suara Lika di ujung telepon, rasa lega sejenak menyelimuti hatinya. Namun, rasa lega itu segera tergantikan oleh gelombang kecurigaan. "Masih di jalan." kata Lika dengan suara yang terdengar lelah, menjawab panggilan suaminya.“Dijalan?” beo Naka, sudah malam masih keluyuran.“Iya, nanti di hubungi lagi.”“Lika.”“Apa?”“Dimana?” tanya Naka kembali memastikan.“Dibilang dijalan.” Sentak Lika kesal.“Sama siapa?”“Teman.”
Lika mengerjap kaget ketika Naka mengatakan akan menginap disini. Maksudnya bagaimana, kenapa pak bosnya mau menginap di apartemen mungilnya ini. lebih enak dirumahnya sendiri, Lika yakin ranjang milik Naka lebih besar dari miliknya.“Kamu tidak tuli bukan?” sindir Naka kesal, karena Lika seolah menolak kehadirannya.“No. Big no, bapak pulang saja. Tempat ini terlalu sempit buat berdua.” Lika mendekati Naka dan menarik tangan bosnya itu. Enak saja menumpang nginap, memang ia tidak punya rumah."Kenapa? Kamu lupa kalau kita juga pernah tidur bersama. Bahkan tanpa pakaian." sinis Naka, mengingatkan Lika tragedi malam berdarahnya. Lika berdecak, kesal jika diingatkan akan malam itu.“Bapak nggak punya rumah, sampai menumpang menginap dirumah karyawannya?” sindir Lika.Namun tenaganya kalah dari Naka, dan malah ditarik balik oleh Naka, hingga mereka berdua jatuh diatas ranjang kecil itu. Naka menahan napasnya ketika Lika ada diatas tubuhnya. Kedua mata itu saling pandang, menegaskan jika
Hari masih belum terang, ketika Naka terbangun karena mendengar suara pekikan dari arah kamar mandi. Meraba sisi ranjangnya, kosong. Lika di kamar mandi, dengan langkah gontai Naka menyusul gadis itu. Sempat melihat jam di dinding masih pukul 3 dini hari.Hoek..Lika sedang mengeluarkan semua isi perutnya di toilet, suaranya sangat mengenaskan.“Lika.. Kenapa?” tanya Naka, dia masuk ke dalam. Membantu gadis itu yang kesulitan dengan rambutnya. Rambut panjangnya Naka tangkup, dan memijit leher Lika.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Naka, mulai khawatir karena Lika tidak berhenti mengeluarkan isi perutnya.“Hmmm, keluar.” Usir Lika pelan. Tidak nyaman muntah ada orang lain. Naka mengabaikan, tetap ia pijat leher itu.Naka sadar dia pria dewasa, dalam kondisi ini Lika juga membutuhkannya. Sama ketika Ivanka sakit, Naka bersedia membantunya.Suara muntah itu memekikkan telinga, terlihat Lika berjuang mengeluarkan semua isi perutnya.“Sudah?” tanyanya, Lika mengangguk. Wajahnya merah, basah kar
Lika baru saja memasuki area kantor ketika dia dihadang oleh Kimberly, rekan kerjanya yang selalu mencari-cari kesalahan. Entah apa yang Kim irikan padanya, padahal Lika termasuk gadis yang biasa saja. Tidak seperti dia yang heboh sekali kalau ke kantor."Eh, ada gadis gudang. Kasihan sekali, hitam deh keliling terus." sindir Kimberly dengan nada mengejek.Lika berusaha mengabaikan komentar sinis tersebut karena kepalanya yang sedang sakit, tetapi Kimberly tidak berhenti. Dari Lika pertama masuk ke kantor ini, Kimberly memang sudah jahil padanya."Mulutmu iseng sekali ya. Berasa yang punya kantor ya." balas Lika, mencoba menahan emosinya. "Ya didoakan saja," sahut Kimberly dengan nada santai, seolah tidak terpengaruh oleh kemarahan Lika.“Terserahlah.” Abai Lika mencoba berjalan kembali.Kepala Lika semakin berdenyut dan tubuhnya terasa tidak enak, namun dia memilih untuk pergi meninggalkan Kimberly. Baru saja melangkah, tiba-tiba Kimberly dengan sengaja menyelengkat kakinya sehingga
Naka tidak jadi mengantarkan Lika ke dokter, istrinya memintanya untuk pulang cepat. Naka memenuhi keinginan itu, biasanya Ivanka akan minta dimanja, entah makan disuapi, minum obat atau tidur bersama.Naka harus memenuhi itu, Ivanka sedang sakit ia tidak mau istrinya merasa tidak ia perhatikan. Meski Ivanka juga mengerti akan kesibukannya diperusahaan.Niatnya meminta Bara untuk mengajak Lika ke dokter, namun dipikir lagi Naka suka menyusahkan Bara. Maka ia meminta Lika pergi sendiri, yang hanya dibalas iya saja.“Hai” sapa Naka, masuk ke dalam kamar Ivanka.“Sibuk sekali, aku sampai dilupakan.” Rajuk Ivanka, melihat suami tampannya. Tangannya mengulur, minta digapai sang suami. Naka yang mengerti lalu menggapai tangan itu, dan mengenggamnya.“Hmm.. Sedang banyak pekerjaan. Sudah makan?” tanya Naka, dan Ivanka menggeleng pelan, “Mau aku suapi?” tanya Naka, tentu saja ia mengangguk senang.“Lapar banget tidak, aku mandi dulu ya. Kotor kena debu.” Kata Naka, ia usahakan jika bertemu Iv
“Suara bayi!” pekik Benedito, menunggu di luar ruang bersalin Lika bersama Nyra dan Elise.“Iya, sudah lahir,” ujar Mama Elise, mengucap syukurnya.“Tinggal satu lagi,” kata Papa Ben dengan cepat. Dia dihubungi Bara, asisten anaknya. Mengatakan jika menantunya telah ada di rumah sakit untuk melahirkan tentu saja, Ben tidak mau ketinggalan momen berharga ini.Semua bersorak, menyambut kelahiran cucu mereka. Nyra menundukkan pandangannya, matanya panas sekali. Cucunya sudah lahir, tapi apa ini bisa disebut sebagai cucunya, jika Naka saja bukan anak kandungnya.Melihat keterdiaman Nyra Gasendra, Mama Elise menarik tangannya lembut. “Selamat Bu Nyra, cucunya sudah lahir.” Elise mengucapkan dengan senyum tulus, membuat Nyra salah tingkah karena sikapnya yang memang tidak baik pada Elise, namun dibalas dengan kelembutan.Nyra yakin Elise mengetahui semua cerita tentang dirinya dan Naka, diberitahu Lika. Tapi bukannya membalas perbuatannya dengan ejekan, tapi Elise malah menyambutnya dengan
Naka merasa jantungnya terkoyak dua. Di satu sisi, Lika, istri keduanya, sekarang sedang berjuang melahirkan putra mereka di rumah sakit. Sementara di sisi lain, Ivanka, istri pertamanya, terbaring lemah di rumah, menghadapi tahap akhir kanker yang mematikan. Suasana kamar yang suram hanya diterangi oleh cahaya lampu remang-remang, menambah berat suasana hati Naka.“Ivanka.. Lika akan melahirkan,” kata Naka dengan nada paniknya. Ivanka tersenyum, lalu mengangguk. “Temani dia.. Tolong jaga Lika dan anak kita," bisik Ivanka dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya yang sembab memandang Naka dengan penuh kasih.Naka merasa seakan-akan sebuah pisau mengaduk perutnya, rasa bersalah dan kepedihan bercampur menjadi satu. Tangannya gemetar saat dia menggenggam tangan Ivanka yang sudah sangat kurus."Aku akan kembali, dengan si kembar. Tunggu aku, ya? Tolong tunggu kami," Naka mencoba menguatkan suaranya, meski hatinya remuk. Dia mencium kening Ivanka, mencoba menahan air mata yang ingi
Naka mulai dilemma, satu sisi ia ingin menemani Ivanka yang terbaring di rumah sakit, dengan keadaan yang semakin kritis. Di satu sisi, Anulika juga membutuhkan dirinya.Dalam sambungan telepon, Naka meminta Lika untuk banyak istirahat. “Sayang, ditemani mama ya tidurnya,” kata Naka dengan lembut.“Iya mas, jangan khawatir. Ada mama, Bik Lilis dan pelayan lain. Aku aman kok, Kak Ivanka gimana, mas?”“Masih kritis sayang, sedang di ruang operasi. Setelah itu aka nada observasi.” Naka menjelaskan, kemudian menghela napas lelahnya. “Entahlah, semoga ada keajaiban.”“Yakin mas, aku yakin Kak Ivanka pulih. Dia janji kok mau lihat si kembar lahir, mas.” lika penuh dengan keyakinan, karena Ivanka janji akan menunggu kedua anaknya lahir.“Ya berdoa saja sayang,” ucap Naka.Mengucapkan beberapa wajangan kepada istrinya dan meminta maaf karena tidak bisa menemani, beruntung Lika begitu pengertian sekali. Membuat Naka merasa lega, memiliki istri seperti Lika.**Di ruang putih steril rumah saki
Naka menerobos lorong rumah sakit dengan langkah-langkah besar, napasnya tersengal-sengal seolah-olah setiap detik adalah pertarungan. Begitu mendengar kabar dari dokter, tubuhnya seakan tak memiliki pilihan selain bergegas ke ruang rawat dimana Ivanka, istrinya, berjuang antara hidup dan mati."Apa yang terjadi, Suster Mirna?" suaranya serak penuh kekhawatiran saat ia menghampiri suster yang bertugas di sisi tempat tidur Ivanka.Suster Mirna menoleh dengan wajah penuh simpati, "Kondisi Bu Ivanka kritis, Tuan. Kanker yang diidapnya memperburuk keadaan."Air mata mulai menggenang di sudut mata Naka, tangannya gemetar saat ia meraih tangan Ivanka yang terkulai lemah di atas selimut. Kulitnya pucat, hampir transparan, dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.“Ivanka..” lirih Naka memanggil istri pertamanya itu.Tiba saat itu, dokter masuk dan ingin berbicara dengannya.“Silakan,” ujar dokter mempersilakan Naka keluar ruangan. "Dokter, tolong selamatkan dia," pintanya pada dokter ya
Ivanka terbaring lemah di ranjang rumah sakit, infus masih menancap di tangannya. Rambutnya yang sudah rontok sebagian menambah kesan pucat pada wajahnya. Sinar matahari sore menyelinap masuk melalui jendela, memberi sedikit kehangatan di ruangan steril itu. Elvan Daarwish memasuki ruangan dengan langkah gontai, membawa buket bunga mawar kuning yang melambangkan persahabatan dan dukungan. Warna kesukaan Ivanka, entahlah dia ingin membawa saja.Ceklek!Elvan membuka pintu, sudah di izinkan Suster Mirna di luar. Karena Elvan membawa perdamaian, tidak mengajak ribut."Papa akhirnya menjengukku," sapa Ivanka dengan suara serak, matanya berbinar sejenak melihat sosok ayahnya.Elvan meletakkan bunga di meja samping tempat tidur dan duduk di kursi yang telah disediakan. Dia menghela napas panjang, matanya menatap Ivanka dengan perasaan campur aduk. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Elvan meragu.Ivanka tersenyum, baru kali ini papanya bertanya keadaannya.“Aku baik Pa, jangan khawatir.”Elvan men
v“Tante,” sapa Lika, melihat kedatangan mama mertua di rumah. Nyra melirik, ah gadis ini, sedang hamil besar, mengandung cucu yang bukan cucu kandungnya.Betapa Naka mencintai gadis ini, sampai rela menikahinya. Bukan hanya karena tengah mengandung buah hatinya, namun karena Naka benar-benar mencintainya.“Di mana Naka?” tanya Nyra, masih dengan nada pongah berbicara dengan Lika.“Mas Naka ada di kamar, Tante.”“Panggilkan!” serunya.Mama Elise yang kebetulan lewat, langsung tersentak mendengar nada perintah dari besannya ini.“Lagaknya seperti bos saja,” sindirnya, Lika langsung menggandeng tangan mamanya, untuk menghentikan sindiran itu. “Ma, sudah,” bisiknya. Tidak perlu cari ribut, suasana sedang tidak kondusif.Nyra yang melihat kedatangan besannya, enggan menanggapi juga. Dia bisa kalah, karena posisinya sedang terjepit juga. Jangan sampai Naka melihat dia bertengkar dengan mama mertuanya, sadar diri jika dia yang akan kalah.“Sebentar, Lika panggilkan Mas Naka.” Lika kemudian
Lika ingin mendekati suaminya, namun sepertinya Naka butuh waktu untuk sendiri. Lika membiarkan Naka di dalam ruang kerja, sibuk dengan pikiran yang entah kemana saja.“Di mana Naka?” tanya Mama Elise pada putrinya.Lika menoleh, tersenyum melihat mamanya yang baru kembali dari rumah sakit menjenguk Ivanka kembali.“Di ruang kerja, Ma.” Mama Elise menasehati Lika, agar menemani suaminya Naka yang sedih. Karena tahu dia bukan anak kandung mamanya. "Temani Naka, hibur dia," Kata Mama Elise. Lika mengangguk, lalu mendekati suaminya.Walau bingung harus bagaimana, dia menuruti nasehat sang mama. Suaminya butuh dia di sini, mungkin jika ada Ivanka, maka wanita itu yang akan menghibur Naka.Di ruang kerja yang sepi, hanya terdengar suara detak jam dinding yang menambah kesan sunyi. Lika menghampiri Naka yang terduduk lesu di sofa, matanya sayu menatap ke luar jendela. Lika duduk di sampingnya, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.“Mas,” panggilnya dengan suara yang mendayu, Naka ha
Naka terdiam, mencerna maksud dari Adela. Jujur dia ingin tahu maksud dari Adela, namun penawaran cabut gugatan juga membuatnya harus berpikir keras.“Mas,” lirih Lika..Lika sendiri berusaha menyadarkan suaminya untuk tidak terkecoh akan penawaran Adela“Apa maksudmu dengan mencari ibuku, Adela Daarwish?” tanya Naka sarat akan penekanan.Adela tersenyum merasa jika Naka sudah masuk perangkapnya, mulai tertarik dengan pancingannya.“Ya ibumu,” sahutnya masih dengan teka-teki.“Sudahlah, terlalu banyak omong kosong,” ucap Naka, sudah mau beranjak. Namun ucapan selanjutnya dari Adela berhasil menghentikannya.“Karena kamu bukan anak Nyra!”Deg!Naka langsung menoleh dan bertemu pandang dengan Adelan, terlihat jika wanita itu serius dengan ucapannya.“Maksudmu?”"Kamu bukan anak kandungnya!" ungkap Adela, dengan senyum sinis di bibirnya.Mata Naka terbelalak, dia tentu saja tidak percaya, tetapi orang semacam Adela tak akan mengungkapkan sesuatu yang salah.“Jangan mempermainkanku, Adela
Bukannya menurut, Naka malah tersenyum seolah mengejek larangan Lika. Tentu saja dia sudah memikirkannya dengan matang-matang. Naka tidak akan pergi saat itu juga, melainkan dia akan mengulur waktu."Aku harus ikut ke sana!" ucap Lika sambil melipat kedua tangannya di dada.Ucapan Lika membuat Naka memicingkan matanya dan dengan cepat menggeleng secara tegas. "Tidak! Mana ada orang hamil kunjungan ke penjara. Nggak bisa, aku nggak mau anakku terkontaminasi dengan hal-hal buruk," tolak Naka secara tegas.Jangan bercanda, istrinya sedang hamil besar. Mengandung bayi kembar juga membuat perut Lika membesar dua kali lipat."Kalau gitu kamu nggak boleh pergi juga. Gimana, adil 'kan?" Keduanya malah terlibat negosiasi alot, yang akhirnya Naka menyerah dan mengizinkan Lika untuk ikut bersamanya.Dengan catatan dan kesepakatan kalau Lika tidak akan berbicara sepatah kata pun, dia hanya bertugas menemani Naka saja. Dengan cepat Lika setuju, dia memang hanya harus menemani Naka tak lebih dari i