Naka duduk di ruang kerjanya, tatapan matanya menatap layar komputer tanpa fokus. Rasa bersalah melingkupi hatinya seperti kabut tebal yang sulit dihindari. Ia merenung pada tindakan-tindakan yang telah dilakukannya, khususnya terhadap asistennya, Lika.
Ia sudah menyiapkan solusi, namun sayangnya gadis itu sudah dua hari tidak masuk kerja, dengan alasan sakit. Hal itu membuat Naka harus sabar menunggu, padahal ia sudah tidak tahan untuk menyelesaikannya dengan cepat.
Keputusan sudah diambilnya, ia menyadari bahwa tindakannya tidak hanya merugikan hubungan profesional mereka, tetapi juga menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman.
Meski sedikit khawatir dengan kondisi Lika, namun Naka mencoba mengabaikannya. Lika gadis sehat dan kuat berbeda dengan Indira yang sangat membutuhkannya.
Hingga hari ini, asistennya masuk kerja kembali. Posisi Lika kini kembali menjadi sekretaris Naka, baru masa percobaan. Tugasnya mudah hanya membantu Bara saja mengurus administrasi yang dibutuhkan Naka.
"Masuk." kata Naka dengan suara berat. Ia memang menyuruh Lika untuk menemuinya, dua hari tidak bertemu wajah Lika memang nampak pucat, ia menutupinya dengan make up yang sedikit tebal.
‘Apa-apaan gadis ini, kenapa jadi seperti ondel-ondel dengan make up tebal itu,’ batin Naka.
“Ada yang bisa dibantu pak Naka?” tanya Lika professional.
Naka mengambil nafas dalam-dalam sebelum berbicara. "Duduk! saya ingin bicara denganmu." ucap Naka dengan suara rendah.
Lika menatap Naka dengan sedikit kecurigaan namun mengangguk. Ia duduk dengan tenang di kursi seberang Naka, matanya berani menatap bosnya itu, berbeda dengan yang lain, hanya Lika yang berani menatapnya Ketika sedang berbicara.
"Saya menyadari bahwa saya telah berperilaku tidak baik kepadamu dalam beberapa waktu terakhir. Saya minta maaf." kata Naka dengan tulus.
Lika menatap Naka dengan tatapan yang campur aduk antara kejutan dan keraguan. Namun, ia memilih untuk memberi kesempatan pada Naka untuk menjelaskan diri.
"Saya benar-benar menyesal atas tindakan saya. Saya sadar bahwa itu tidak hanya merugikan hubungan kita di tempat kerja, tetapi juga merusak semangat kerja kita. Saya ingin memperbaiki kesalahan itu dan menghilangkannya agar tidak ada perasaan tidak nyaman." jelas Naka.
Lika merenung sejenak, lalu tersenyum tipis. "Saya menghargai kejujuran pak Naka. Mari kita mulai lagi dari awal. Seperti yang bapak bilang, ini kesalahan kita berdua jadi kita yang tanggung berdua.” tutur Lika.
Naka mengangguk, dan menyodorkan secarik kertas. Lika meragu, kemudian Naka mengangguk, “Ambilah.” ucap Naka.
Lika mengambil dan membacanya, ia tidak bodoh itu cek dengan nominal besar sekali ditulisnya. “Itu untuk kamu Lika. Saya harap kamu menerimanya, dan melupakan kejadian malam itu.” tegas Naka.
Lika mendongak, masih belum mengerti maksud Naka. “Maksudnya?.”
“Itu cek senilai 10 miliar, bisa kamu gunakan untuk kehidupan kamu ke depannya. Dengan syarat, lupakan malam itu jangan beritahu siapa-siapa soal itu. Dan,” Naka menjeda pernyataannya.
“Saya minta kamu meninggalkan kantor saya hari ini juga, kamu diberhentikan Lika Chandara!” ucap Naka dalam dengan sorotan mata menatap Lika dingin. Ia harus mengambil Keputusan ini, sepihak memang. Tapi apa lagi yang bisa ia lakukan, selain melakukan ini. Ya sama saja, dia membayar tubuh Lika semalam dengan harga fantastis.
“Apa!” pekik Lika, dia paham maksudnya. Tapi kenapa tega sekali bos nya ini. “Maksud pak Naka apa? Memberikan saya cek, seolah saya adalah Wanita bayaran yang menghangatkan ranjang Pak Naka semalam, begitu!” serunya, Naka mulai memijat keningnya, sakit kepala mendengarnya.
Lika mengamuk, dia kembali melanjutkan umpatannya. “Terus bapak mecat saya gitu! Enak saja, sudah mengambil keperawanan saya, bapak seenaknya membuang saya. Saya nggak mau!” jerit Lika berdiri dengan lantangnya.
“Tenang Lika.” Bentak Naka. Meski ruangan ini kedap suara, tetap saja dia khawatir ada yang mendengarnya.
“Pak Naka bikin saya emosi.”
“Kita bicarakan baik-baik.” Kata Naka.
“Baik-baik bagaimana? Ini Keputusan sepihak pak, bapak untung saya rugi. Sama saja Pak Naka membayar keperawanan saya.” Ujarnya dan bersuara lirih di kalimat terakhirnya.Hal itu membuat Naka berdesir mendengar, dia memang bos dingin, ketus dan galak. Tapi Naka masih punya hati Nurani, tidak tega juga mendengar Lika dengan nada lirih seolah gadis itu sangat kecewa dan sakit hati.
“Hanya ini yang bisa saya lakukan.” Terang Naka, berharap Lika akan mengerti maksud dan tujuannya. “Bukan saya merendakan kamu. Tapi kamu paham status saya. Saya tidak bisa lebih dengan kamu.” Tutur Naka.
“Saya terima cek-nya. Tapi nggak mau berhenti, masa sudah tidak perawan, nganggur lagi pak! Tega banget, pak.” Polosnya berteriak lagi, padahal baru saja ditenangkan Naka.
Spontan Naka ikut berdiri dan menenangkan gadis itu, “Lika jangan berteriak, nanti ada yang mendengar.” ketusnya.
“Biarin, biar semua tahu Tindakan bapak, yang melecehkan saya,” ancamnya.
“Kamu ngancam saya Lika?” desis Naka.
“Tidak, tapi bapak yang maksa saya.” desahnya, ia luruh dikursi duduk kembali. Namun cek senilai 10 miliar itu masih ia pegang dengan erat. Jangan sampai lecek nanti tidak laku di bank.
“Ini yang terbaik Lika.” geram Naka.
“Terbaik untuk bapak, bukan untuk Lika. Bapak nggak mikir mana ada yang mau sama Lika yang udah nggak gadis lagi.” Lirihnya. Kata mamanya, anak gadis dijaga baik-baik, lalu serahkan ke suami. Ini malah ke bos, mau dibilang anak apa Lika ini.
“Bapak mau Lika jomblo seumur hidup, nggak punya suami karena sudah tidak suci lagi. Lika nggak suci gara-gara siapa, gara-gara bapak tahu nggak.. Hiks hiks huaaaaaa.” jerit Lika.
Naka memijit pelipisnya yang terasa sakit kembali, usai mendengar gadis itu menangis.
“Lika hentikan, saya pusing dengar tangisan kamu!” bentaknya.
“Bapak pikir saya nggak pusing, tiap hari dengar bentakan bapak.” balasnya polos.
“Lika!” desis Naka.
“Pak saya serius, gimana dengan nasib saya. Belum menikah tapi sudah tidak virgin!”
Naka tersentak dengan ucapan Lika. Terasa jika gadis itu tengah menyindirnya sebagai seorang pria. Hei dia mungkin pria yang tidak mempermasalahkan soal virginitas seorang gadis. Bahkan Ivanka, istrinya sudah tidak suci lagi ketika ia menidurinya, bagi Naka itu bukan hal utama dalam hal mencintai. Cinta akan mengalahkan logika soal suci atau tidak.
“Saya doain kamu dapat pria yang bisa menerima kamu Lika.” hanya itu saja yang Naka ucapkan. Pasti ada, buktinya Naka bisa menerima Ivanka istrinya dalam keadaan tidak suci lagi. Naka tidak munafik, dulu ia pernah melakukan itu dengan beberapa wanita sebelum menikah.
“Hah, masa itu saja. Pak, bagaimana kalau saya hamil, apa bapak nggak mikir kesana?” pekik Lika, seketika membuat Naka berdetak jantungnya dengan kencang.
Dia melupakan hal itu, kemarin karena pusing dengan tangisan Lika juga meeting yang harus ia hadiri, Naka lupa memberikan gadis itu pil darurat pencegah kehamilan.
Jika dengan Ivanka, dia sadar melakukannya. Karena itu dia selalu mengeluarkannya di luar. Naka tidak mau istrinya hamil, di saat belum ada cinta dihatinya. Tidak mau anak itu menjadi dilemma baginya, jika dia tidak cocok dengan Ivanka. Kini setelah Ivanka sakit, dokter juga memvonisnya akan sulit punya momongan.
“Double shit!” umpat Naka.
“Double shit kan.. Sama!” balas Lika, “Pokoknya pak Naka harus nikahin saya. Atau saya hmmm, apa ya?” Lika berpikir kalau dia akan mengadukan Naka ke siapa, masa ke istrinya nanti malah ia yang dikira pelakor.
“Saya aduin ke polisi.” akhirnya dia bersuara lagi.
Naka berdecak, polisi. Tentunya dengan cepat dia akan membereskan masalah itu jika berhubungan dengan hukum.
“Kamu tahu siapa saya tidak sih Lika. Kamu berani melawan saya?” Naka sengaja mengintimidasi Lika.
“Saya nggak takut sama pak Naka. Kalau bapak nggak mau tanggung jawa, saya.. Ah saya viralkan di toktok.” serunya merasa menang.
“Kamu yang malu Lika.” balas Naka, kini sudah duduk kembali dikursinya.
“Tidak apa, kan wajah saya bisa disamarkan. Kalau sebut nama bapak kan mudah, gugel saja kenal bapak.” serunya kembali.
Naka menatap tajam gadis itu, apa jawaban ini sudah disiapkan Lika sebelumnya.
“Lika, saya jadi curiga sama kamu. Apa jangan-jangan kamu sengaja merayu saya malam itu, agar mau meniduri kamu dan kamu akan memanfaatkan saya?” tudingnya dengan tenang.
Lika terperanjat dengan ucapan Naka, “Enak saja. Pak, saya memang pengen punya pacar kaya raya. tapi tidak dengan menggadaikan harga diri seperti ini. Saya hanya menegakkan norma untuk harga diri saya. Mana ada pria yang mau jika gadis yang dinikahkan sudah tidak suci.” seru Lika tidak mau kalah.
“Kalau saya mengaku saya janda, mungkin akan jauh lebih terhormat. Artinya saya gadis baik-baik, bukan murahan.” ketusnya. Kesal Lika sama Naka masa dia mengatakan Lika sengaja menjebaknya.
“Ah dan satu lagi pak. Saya kalau mau jebak juga mikir-mikir, masa sama tua bangka yang bedanya sama saya belasan tahun sih!”
“Kamu menghina saya Lika!” desis Naka.
“Siapa yang menghina, yang saya katakan kenyataan kok. Justru pak Naka yang menghina saya.” serunya galak, dan memilih keluar dari ruangan mewah bosnya.
“Sialan Pak Naka!” gumamnya.
“Sialan Pak Naka..” beo Bara, asisten Naka yang asli baru tiba dari meeting diluar.
“Eh hmmm nggak pak Bara. Bukan Naka yang didalam, Naka yang lagi viral di toktok.” elaknya, langsung kabur. Bara menggeleng, usia Lika ia rasa sudah cukup, tapi Bara melihatnya seperti anak kecil saja.**
Anulika Chandara duduk di tepi ranjangnya, tangannya menggenggam erat cek yang diberikan Naka. Matanya sayu memandang ke luar jendela, memikirkan keputusan yang harus dia ambil. "Aku tidak bisa menerima ini," gumamnya lirih, sambil memegang cek tersebut erat. Lika teringat akan semua yang telah terjadi, malam itu, tawaran itu, dan sekarang dilema yang menghantui pikirannya.“Tapi sayang, 10 miliar kan gede juga.” Ah jadi dilema Lika ini.Dia menghela napas berat, perasaan dilema menggelayuti setiap pikirannya. Lika tahu dia membutuhkan pekerjaan ini, tapi harga dirinya sebagai wanita juga penting baginya. "Bagaimana kalau aku hamil karena kesalahan malam itu?" pikirnya dengan rasa takut. Bayangan masa depan yang suram mulai menghantui, takut tak ada pria yang mau menerimanya lagi.Itu yang Anulika takutkan, hamil! Maka keadaan akan berubah semua. Hidupnya akan jungkir balik, apalagi jika tidak ada suami disisinya.Dengan keputusan yang masih terombang-ambing, Lika berdiri dan berjal
Esoknya, Bara yang tidak tahu apa-apa dibuat kelimpungan saat pak bos memintanya mencari penghulu, lebih terkejut lagi karena bosnya yang akan jadi pengantin. Tambah mengejutkan lagi dengan Anulika rekan kernya yang menjadi mempelai wanitanya. “Apa-apaan ini?” pekiknya sendirian, namun tetap saja dia mengerjakan apa yang diperintahkan sang bos. Sedangkan gadis cantik itu memberengut saja dari tadi, ia kira menikah dengan bos besar walau hanya secara agama, ia akan memakai gaun putih yang cantik dan mahal. Tapi ini apa, ia hanya memakai baju kerjanya. Sederhana namun terasa berat oleh beban yang tak kasat mata. Selendang putih menutupi kepala mereka berdua, simbol kesederhanaan yang mereka junjung. Dengan perasaan yang campur aduk, Lika menatap Naka yang kini resmi menjadi suaminya. Sesuai dengan kesepakatan, mereka menikah secara sederhana di ruangan kecil dengan hadirnya dua saksi yang seolah muncul begitu saja dari balik pintu. Setelah akad nikah yang berlangsung singkat dan diuc
Tubuh seorang Bayanaka Rasyid Gasendra membeku, tegang dikecup tiba-tiba oleh seorang gadis cantik yang sialnya, pernah ia rasakan tubuhnya. Tidak ada yang berubah masih manis, dengan perlahan Lika memberanikan diri memagut bibir Naka dengan kakunya. Merasakan sensasi yang lain, meski awalnya Naka diam namun lama kelamaan semakin tergoda, hingga tanpa sadar Naka membalasnya, malah kini Lika yang kehabisan napasnya. Keduanya saling memejamkan mata, menikmati lumatan dan belitan lidah yang hangat itu. Naka menekan tengkuk Lika, agar ia bisa melesakkan lidahnya kedalam dan semakin dalam. Eungh.. Lenguhan bernada sensual dari mulut Lika terdengar. Membuat Naka makin dalam lagi melumat bibit mania yang sepertinya akan membuatnya candu. Sesuatu yang terasa panas mulai menjalar ditubuh Naka, sebagai pria normal tentu dia sangat tertarik dengan tubuh Lika, apalai kini dia sudah sah menjadi istrinya. Hingga tangan Naka mulai nakal menjalar ke area punggung, dia memberi usapan le
Diruangan Naka, pria itu masih berkutat dengan berkas di meja. “Bagaimana Lika disana Bara?” tanya pada sang asisten, yang sudah paham mengapa Naka menikahi gadis itu.Ia juga tadi sedikit disalahkan, karena sakitnya Naka haurs mengajak Lika dinas ke luar negeri yang berakhir kekacauan.“Baik pak, sudah bisa beradaptasi dengan baik. Ya paling resikonya, hmm digodain pekerja Gudang pak.” jawab Bara, sengaja agar Naka berbaik hati memindahkan Lika kembali ke jalurnya. Dia juga sedikit terbantu dengan adanya Lika, si gadis lugu yang bagus dalam pekerjaannya.Naka mendengus, sudah bagus disana mau dipindahkan kemana. Gudang adalah tempat yang paling jauh darinya, namun masih bisa ia pantau. Berbeda jika di kantor cabang, lokasi yang jarang Naka jarang datangi.“Lika akan tetap disana pak?” tanya Bara memberanikan diri.“Disana saja.” jawabnya tegas.Ketika sendiri di ruangannya, Naka mulai memejamkan matanya. Tingkah lugu istri barunya benar-benar diluar nalar, seenaknya duduk diruanganny
Malamnya, Naka makin gelisah. Ada rasa entah apa namanya, dia selalu memikirkan Lika. Suaranya yang manja, sikapnya yang absurd terkadang menggodanya dan menjengkelkan. Tapi Naka suka, membuat harinya begitu berbeda dan berwarna.Dengan membuang rasa ego, Naka menghubungi Lika. Mau tahu dimana gadis ini sekarang. Hari sudah beranjak malam dan turun hujan.Sekali dua kali, tidak kunjung diangkat. Sampai Naka memeriksa kembali apa nomornya benar atau tidak. Kembali Naka menghubungi istri kecilnya itu.“Angkat Lika, angkat.” Ujarnya menggeram sendiri.Saat Naka mendengar suara Lika di ujung telepon, rasa lega sejenak menyelimuti hatinya. Namun, rasa lega itu segera tergantikan oleh gelombang kecurigaan. "Masih di jalan." kata Lika dengan suara yang terdengar lelah, menjawab panggilan suaminya.“Dijalan?” beo Naka, sudah malam masih keluyuran.“Iya, nanti di hubungi lagi.”“Lika.”“Apa?”“Dimana?” tanya Naka kembali memastikan.“Dibilang dijalan.” Sentak Lika kesal.“Sama siapa?”“Teman.”
Lika mengerjap kaget ketika Naka mengatakan akan menginap disini. Maksudnya bagaimana, kenapa pak bosnya mau menginap di apartemen mungilnya ini. lebih enak dirumahnya sendiri, Lika yakin ranjang milik Naka lebih besar dari miliknya.“Kamu tidak tuli bukan?” sindir Naka kesal, karena Lika seolah menolak kehadirannya.“No. Big no, bapak pulang saja. Tempat ini terlalu sempit buat berdua.” Lika mendekati Naka dan menarik tangan bosnya itu. Enak saja menumpang nginap, memang ia tidak punya rumah."Kenapa? Kamu lupa kalau kita juga pernah tidur bersama. Bahkan tanpa pakaian." sinis Naka, mengingatkan Lika tragedi malam berdarahnya. Lika berdecak, kesal jika diingatkan akan malam itu.“Bapak nggak punya rumah, sampai menumpang menginap dirumah karyawannya?” sindir Lika.Namun tenaganya kalah dari Naka, dan malah ditarik balik oleh Naka, hingga mereka berdua jatuh diatas ranjang kecil itu. Naka menahan napasnya ketika Lika ada diatas tubuhnya. Kedua mata itu saling pandang, menegaskan jika
Hari masih belum terang, ketika Naka terbangun karena mendengar suara pekikan dari arah kamar mandi. Meraba sisi ranjangnya, kosong. Lika di kamar mandi, dengan langkah gontai Naka menyusul gadis itu. Sempat melihat jam di dinding masih pukul 3 dini hari.Hoek..Lika sedang mengeluarkan semua isi perutnya di toilet, suaranya sangat mengenaskan.“Lika.. Kenapa?” tanya Naka, dia masuk ke dalam. Membantu gadis itu yang kesulitan dengan rambutnya. Rambut panjangnya Naka tangkup, dan memijit leher Lika.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Naka, mulai khawatir karena Lika tidak berhenti mengeluarkan isi perutnya.“Hmmm, keluar.” Usir Lika pelan. Tidak nyaman muntah ada orang lain. Naka mengabaikan, tetap ia pijat leher itu.Naka sadar dia pria dewasa, dalam kondisi ini Lika juga membutuhkannya. Sama ketika Ivanka sakit, Naka bersedia membantunya.Suara muntah itu memekikkan telinga, terlihat Lika berjuang mengeluarkan semua isi perutnya.“Sudah?” tanyanya, Lika mengangguk. Wajahnya merah, basah kar
Lika baru saja memasuki area kantor ketika dia dihadang oleh Kimberly, rekan kerjanya yang selalu mencari-cari kesalahan. Entah apa yang Kim irikan padanya, padahal Lika termasuk gadis yang biasa saja. Tidak seperti dia yang heboh sekali kalau ke kantor."Eh, ada gadis gudang. Kasihan sekali, hitam deh keliling terus." sindir Kimberly dengan nada mengejek.Lika berusaha mengabaikan komentar sinis tersebut karena kepalanya yang sedang sakit, tetapi Kimberly tidak berhenti. Dari Lika pertama masuk ke kantor ini, Kimberly memang sudah jahil padanya."Mulutmu iseng sekali ya. Berasa yang punya kantor ya." balas Lika, mencoba menahan emosinya. "Ya didoakan saja," sahut Kimberly dengan nada santai, seolah tidak terpengaruh oleh kemarahan Lika.“Terserahlah.” Abai Lika mencoba berjalan kembali.Kepala Lika semakin berdenyut dan tubuhnya terasa tidak enak, namun dia memilih untuk pergi meninggalkan Kimberly. Baru saja melangkah, tiba-tiba Kimberly dengan sengaja menyelengkat kakinya sehingga
“Suara bayi!” pekik Benedito, menunggu di luar ruang bersalin Lika bersama Nyra dan Elise.“Iya, sudah lahir,” ujar Mama Elise, mengucap syukurnya.“Tinggal satu lagi,” kata Papa Ben dengan cepat. Dia dihubungi Bara, asisten anaknya. Mengatakan jika menantunya telah ada di rumah sakit untuk melahirkan tentu saja, Ben tidak mau ketinggalan momen berharga ini.Semua bersorak, menyambut kelahiran cucu mereka. Nyra menundukkan pandangannya, matanya panas sekali. Cucunya sudah lahir, tapi apa ini bisa disebut sebagai cucunya, jika Naka saja bukan anak kandungnya.Melihat keterdiaman Nyra Gasendra, Mama Elise menarik tangannya lembut. “Selamat Bu Nyra, cucunya sudah lahir.” Elise mengucapkan dengan senyum tulus, membuat Nyra salah tingkah karena sikapnya yang memang tidak baik pada Elise, namun dibalas dengan kelembutan.Nyra yakin Elise mengetahui semua cerita tentang dirinya dan Naka, diberitahu Lika. Tapi bukannya membalas perbuatannya dengan ejekan, tapi Elise malah menyambutnya dengan
Naka merasa jantungnya terkoyak dua. Di satu sisi, Lika, istri keduanya, sekarang sedang berjuang melahirkan putra mereka di rumah sakit. Sementara di sisi lain, Ivanka, istri pertamanya, terbaring lemah di rumah, menghadapi tahap akhir kanker yang mematikan. Suasana kamar yang suram hanya diterangi oleh cahaya lampu remang-remang, menambah berat suasana hati Naka.“Ivanka.. Lika akan melahirkan,” kata Naka dengan nada paniknya. Ivanka tersenyum, lalu mengangguk. “Temani dia.. Tolong jaga Lika dan anak kita," bisik Ivanka dengan suara yang nyaris tak terdengar, matanya yang sembab memandang Naka dengan penuh kasih.Naka merasa seakan-akan sebuah pisau mengaduk perutnya, rasa bersalah dan kepedihan bercampur menjadi satu. Tangannya gemetar saat dia menggenggam tangan Ivanka yang sudah sangat kurus."Aku akan kembali, dengan si kembar. Tunggu aku, ya? Tolong tunggu kami," Naka mencoba menguatkan suaranya, meski hatinya remuk. Dia mencium kening Ivanka, mencoba menahan air mata yang ingi
Naka mulai dilemma, satu sisi ia ingin menemani Ivanka yang terbaring di rumah sakit, dengan keadaan yang semakin kritis. Di satu sisi, Anulika juga membutuhkan dirinya.Dalam sambungan telepon, Naka meminta Lika untuk banyak istirahat. “Sayang, ditemani mama ya tidurnya,” kata Naka dengan lembut.“Iya mas, jangan khawatir. Ada mama, Bik Lilis dan pelayan lain. Aku aman kok, Kak Ivanka gimana, mas?”“Masih kritis sayang, sedang di ruang operasi. Setelah itu aka nada observasi.” Naka menjelaskan, kemudian menghela napas lelahnya. “Entahlah, semoga ada keajaiban.”“Yakin mas, aku yakin Kak Ivanka pulih. Dia janji kok mau lihat si kembar lahir, mas.” lika penuh dengan keyakinan, karena Ivanka janji akan menunggu kedua anaknya lahir.“Ya berdoa saja sayang,” ucap Naka.Mengucapkan beberapa wajangan kepada istrinya dan meminta maaf karena tidak bisa menemani, beruntung Lika begitu pengertian sekali. Membuat Naka merasa lega, memiliki istri seperti Lika.**Di ruang putih steril rumah saki
Naka menerobos lorong rumah sakit dengan langkah-langkah besar, napasnya tersengal-sengal seolah-olah setiap detik adalah pertarungan. Begitu mendengar kabar dari dokter, tubuhnya seakan tak memiliki pilihan selain bergegas ke ruang rawat dimana Ivanka, istrinya, berjuang antara hidup dan mati."Apa yang terjadi, Suster Mirna?" suaranya serak penuh kekhawatiran saat ia menghampiri suster yang bertugas di sisi tempat tidur Ivanka.Suster Mirna menoleh dengan wajah penuh simpati, "Kondisi Bu Ivanka kritis, Tuan. Kanker yang diidapnya memperburuk keadaan."Air mata mulai menggenang di sudut mata Naka, tangannya gemetar saat ia meraih tangan Ivanka yang terkulai lemah di atas selimut. Kulitnya pucat, hampir transparan, dengan selang oksigen terpasang di hidungnya.“Ivanka..” lirih Naka memanggil istri pertamanya itu.Tiba saat itu, dokter masuk dan ingin berbicara dengannya.“Silakan,” ujar dokter mempersilakan Naka keluar ruangan. "Dokter, tolong selamatkan dia," pintanya pada dokter ya
Ivanka terbaring lemah di ranjang rumah sakit, infus masih menancap di tangannya. Rambutnya yang sudah rontok sebagian menambah kesan pucat pada wajahnya. Sinar matahari sore menyelinap masuk melalui jendela, memberi sedikit kehangatan di ruangan steril itu. Elvan Daarwish memasuki ruangan dengan langkah gontai, membawa buket bunga mawar kuning yang melambangkan persahabatan dan dukungan. Warna kesukaan Ivanka, entahlah dia ingin membawa saja.Ceklek!Elvan membuka pintu, sudah di izinkan Suster Mirna di luar. Karena Elvan membawa perdamaian, tidak mengajak ribut."Papa akhirnya menjengukku," sapa Ivanka dengan suara serak, matanya berbinar sejenak melihat sosok ayahnya.Elvan meletakkan bunga di meja samping tempat tidur dan duduk di kursi yang telah disediakan. Dia menghela napas panjang, matanya menatap Ivanka dengan perasaan campur aduk. “Bagaimana keadaanmu?” tanya Elvan meragu.Ivanka tersenyum, baru kali ini papanya bertanya keadaannya.“Aku baik Pa, jangan khawatir.”Elvan men
v“Tante,” sapa Lika, melihat kedatangan mama mertua di rumah. Nyra melirik, ah gadis ini, sedang hamil besar, mengandung cucu yang bukan cucu kandungnya.Betapa Naka mencintai gadis ini, sampai rela menikahinya. Bukan hanya karena tengah mengandung buah hatinya, namun karena Naka benar-benar mencintainya.“Di mana Naka?” tanya Nyra, masih dengan nada pongah berbicara dengan Lika.“Mas Naka ada di kamar, Tante.”“Panggilkan!” serunya.Mama Elise yang kebetulan lewat, langsung tersentak mendengar nada perintah dari besannya ini.“Lagaknya seperti bos saja,” sindirnya, Lika langsung menggandeng tangan mamanya, untuk menghentikan sindiran itu. “Ma, sudah,” bisiknya. Tidak perlu cari ribut, suasana sedang tidak kondusif.Nyra yang melihat kedatangan besannya, enggan menanggapi juga. Dia bisa kalah, karena posisinya sedang terjepit juga. Jangan sampai Naka melihat dia bertengkar dengan mama mertuanya, sadar diri jika dia yang akan kalah.“Sebentar, Lika panggilkan Mas Naka.” Lika kemudian
Lika ingin mendekati suaminya, namun sepertinya Naka butuh waktu untuk sendiri. Lika membiarkan Naka di dalam ruang kerja, sibuk dengan pikiran yang entah kemana saja.“Di mana Naka?” tanya Mama Elise pada putrinya.Lika menoleh, tersenyum melihat mamanya yang baru kembali dari rumah sakit menjenguk Ivanka kembali.“Di ruang kerja, Ma.” Mama Elise menasehati Lika, agar menemani suaminya Naka yang sedih. Karena tahu dia bukan anak kandung mamanya. "Temani Naka, hibur dia," Kata Mama Elise. Lika mengangguk, lalu mendekati suaminya.Walau bingung harus bagaimana, dia menuruti nasehat sang mama. Suaminya butuh dia di sini, mungkin jika ada Ivanka, maka wanita itu yang akan menghibur Naka.Di ruang kerja yang sepi, hanya terdengar suara detak jam dinding yang menambah kesan sunyi. Lika menghampiri Naka yang terduduk lesu di sofa, matanya sayu menatap ke luar jendela. Lika duduk di sampingnya, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.“Mas,” panggilnya dengan suara yang mendayu, Naka ha
Naka terdiam, mencerna maksud dari Adela. Jujur dia ingin tahu maksud dari Adela, namun penawaran cabut gugatan juga membuatnya harus berpikir keras.“Mas,” lirih Lika..Lika sendiri berusaha menyadarkan suaminya untuk tidak terkecoh akan penawaran Adela“Apa maksudmu dengan mencari ibuku, Adela Daarwish?” tanya Naka sarat akan penekanan.Adela tersenyum merasa jika Naka sudah masuk perangkapnya, mulai tertarik dengan pancingannya.“Ya ibumu,” sahutnya masih dengan teka-teki.“Sudahlah, terlalu banyak omong kosong,” ucap Naka, sudah mau beranjak. Namun ucapan selanjutnya dari Adela berhasil menghentikannya.“Karena kamu bukan anak Nyra!”Deg!Naka langsung menoleh dan bertemu pandang dengan Adelan, terlihat jika wanita itu serius dengan ucapannya.“Maksudmu?”"Kamu bukan anak kandungnya!" ungkap Adela, dengan senyum sinis di bibirnya.Mata Naka terbelalak, dia tentu saja tidak percaya, tetapi orang semacam Adela tak akan mengungkapkan sesuatu yang salah.“Jangan mempermainkanku, Adela
Bukannya menurut, Naka malah tersenyum seolah mengejek larangan Lika. Tentu saja dia sudah memikirkannya dengan matang-matang. Naka tidak akan pergi saat itu juga, melainkan dia akan mengulur waktu."Aku harus ikut ke sana!" ucap Lika sambil melipat kedua tangannya di dada.Ucapan Lika membuat Naka memicingkan matanya dan dengan cepat menggeleng secara tegas. "Tidak! Mana ada orang hamil kunjungan ke penjara. Nggak bisa, aku nggak mau anakku terkontaminasi dengan hal-hal buruk," tolak Naka secara tegas.Jangan bercanda, istrinya sedang hamil besar. Mengandung bayi kembar juga membuat perut Lika membesar dua kali lipat."Kalau gitu kamu nggak boleh pergi juga. Gimana, adil 'kan?" Keduanya malah terlibat negosiasi alot, yang akhirnya Naka menyerah dan mengizinkan Lika untuk ikut bersamanya.Dengan catatan dan kesepakatan kalau Lika tidak akan berbicara sepatah kata pun, dia hanya bertugas menemani Naka saja. Dengan cepat Lika setuju, dia memang hanya harus menemani Naka tak lebih dari i