Asti masih membeku.“Asti, Mas Aqsal sudah cerita semua. Jadi, aku tidak terkejut sama sekali dengan hasutanmu,” ujarku santai. Aku sengaja berbohong agar terlihat aku ini tahu semua. Padahal kabar yang sempat dikhawatirkan Mama ini baru kuketahui. Hatiku berdentam terkejut tak karuan.Kucondongkan tubuh hingga jarakku dengan Asti hanya sekitar dua sentimeter. “Apa? Kamu mau bicara apa lagi untuk memisahkan kami?”Asti tersenyum. “Berarti benar. Kamu hanya dijadikan Aqsal sebagai babu yang merawatnya. Dulu babu merawat mamanya, sekarang merawat dia. Miris sekali hidupmu. Jauhi dia, Niha. Atau kuseber video ini dan itu apa artinya? Karir dan bisnis suamimu akan hancur.”Pemikiranku tepat. Video ini yang dimaksud Mas Aqsal.Kurebut paksa ponsel Asti, tetapi tidak berhasil.Wanita itu kembali tertawa. “Aku menyimpan video ini di banyak tempat. Jadi, percuma kalau kamu ambil dan hapus yang ini.”“Setelah aku menjauhi dia, apa untungnya untukmu? Kamu mau merawat dia yang sakit?” tanyaku.A
“Niha, kau!” Mas Aqsal menunjukku. “Untuk apa kamu menemui Dico?” Dia lantas berjalan cepat menghampiriku. Pandangan matanya menyorot tajam. Brak! Mas Aqsal menggebrak meja di mana aku dan Dokter Dico duduk hingga aku berjingkat. Suamiku itu ikut duduk di sampingku. “Ada urusan apa kamu temuin dia? Hah!” bentak Mas Aqsal tepat di depan wajahku. Bisa dibayangkan bagaimana malunya aku diperlakukan demikian di depan beberapa orang. “Sal, sabar, Sal.” Dokter Dico berdiri sambil berusaha menenangkan Mas Aqsal. “Sabar-sabar mata lo sobek! Lo juga, kenapa istri gue bisa nemuin lo di sini? Ada hubungan apa kalian!” Mas Aqsal ikut berdiri. Ia mencengkeram kerah kemeja Dokter Dico. Namun, Dokter Dico sama sekali tidak berusaha melawan atau melepaskan cengkeraman Mas Aqsal. “Aqsal, oke. Gue bisa jelasin.” Tangan Dokter Dico terangkat, mencoba menenangkan. Sementara aku bingung sendiri harus apa sebab aku merasa memang salah, pergi diam-diam dan menemui pria lain tanpa izin dulu dengan sua
“Son, antar saya ke tempat kerja Mas Aqsal,” ujarku sambil terpejam di kursi belakang. Mobil sudah melaju membelah jalanan.“Tapi kata Tuan saya disuruh mengantar pulang langsung. Nyonya, seperti yang saya bilang tadi kalau di mobil ini ada GPS-nya. Saya tidak berani lagi menentang Tuan. Saya takut dipecat. Ada bapak dan ibu di kampung yang masih butuh kiriman saya.”Memang tidak seharusnya aku menyusahkan Soni lagi. Gara-gara ulahku, bisa-bisa dia kena imbas pemecatan.“Cari kerja lain saja kalau dipecat.” Aku memancing.“Jujur, gaji yang saya terima dari Tuan itu banyak, Nya. Lebih banyak dari gaji sesama sopir pribadi lain. Makanya sayang kalau sampai saya dipecat.”“Cari kerjaan lain yang gajinya lebih gede, dong.”“Enggak. Meskipun Tuan sering marah, tapi kami para pekerjanya terjamin. Beliau kaya raya, tapi tidak pelit. Nyonya, mohon maaf. Saya kapok, nggak akan menentang Tuan lagi meskipun Nyonya yang meminta.”Iya juga, bukan aku yang menggaji mereka, tetapi Mas Aqsal.“Baikla
Aku mematung. Tidak berniat mendekat. Namun, justru Arjuna yang berjalan ke arahku. Pria ini memang nekat. Baru datang, tetapi langsung bicara ke inti.Aku beringsut mundur. Sungguh, aku takut terjadi salah paham lagi. Aku takut Mas Aqsal memergoki kami.“Silakan duduk dulu.” Saat dia kian mendekat, aku berjalan melewatinya. Lalu duduk di kursi.Arjuna ikut duduk. Dia memindai wajahku.“Pak Arjuna, saya sudah tidak minat pisah dengan Mas Aqsal. Jadi, saya tidak ingin menandatangani berkas perceraian apa pun.”Arjuna terkekeh. “Niha, berhentilah pura-pura baik-baik saja, berhentilah seolah-olah pernikahanmu dengan Aqsal itu bahagia. Saya tahu kamu tersiksa. Saya datang–““Pak, berhentilah juga mengurusi urusan saya. Ini hidup saya, pernikahan saya. Anda tidak punya hak untuk mencampurinya. Dan perceraian ini keinginan Nizam, bukan? Bukan keinginan saya. Lalu saya juga sudah memintanya membatalkan bantuannya ke Pak Arjuna. Apa dia belum bicara?”“Sudah, dia sudah bilang ke saya. Tapi sa
Asti lagi? Katanya dia tidak ada hubungan dengan Asti. Tidak bisakah Mas Aqsal tegas dengan wanita itu? Atau mereka berdua memang bersekongkol mempermainkanku? Hatiku sudah panas. Kalau saja tidak banyak orang, aku akan menangis. Hanya saja, masih kutahan. “Ya sudah, terima kasih.” Aku pun melangkah gontai keluar gedung. Begitu tiba di parkiran, aku melihat sekelebat bayangan Mas Aqsal masuk ke mobil. Aku mencoba mengejarnya, tetapi dia keburu melesat. “Mas Aqsal!” Aku sempat berteriak, berharap dia mendengarnya. Namun nihil, mobil itu makin menjauh dan hilang dari pandangan. Apa seberat ini berusaha mencari Mas Aqsal? Apa seberat ini saat aku ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi? Mungkin, seperti ini pula yang dirasakan Mas Aqsal saat sedang mencariku dulu. “Aqsal seperti orang gila saat kamu menghilang. Ditambah kematian Tante Elena. Dia sangat mencintaimu, tapi dulu cara menunjukkannya yang salah. Dia terlalu cemburu, terlalu takut kehilanganmu sekaligus bingung car
“Apa ucapanmu bisa dipercaya?” tanya Niha setelah tangisnya agak mereda.“Demi Allah aku jujur,” jawab Aqsal.“Kalau aku nggak mau pisah, kamu mau apa?”Aqsal terkekeh. Sesekali air matanya masih menitik. Pelukannya kian mengerat. “Kenapa, bukankah dulu kamu yang merengek minta pisah? Kenapa sekarang nggak mau? Apa kamu sudah jadi bucin akut?”Dalam dada sang suami, Niha mengangguk.“Aku merasa terhina, tidak pantas untukmu. Tapi di sisi lain aku tidak bisa kehilangan kamu. Aku benar-benar payah.” Aqsal mengurai pelukan. Dihapusnya air mata yang masih berderai di pipi Niha.“Lalu kenapa tadi malah mengajukan pisah?” Niha merengek. Ia juga membingkai pipi Aqsal.“Aku berpikir mungkin kamu berhak untuk pria lebih baik, bukan pria penuh noda sepertiku ini. Aku kotor, Niha. Berkali-kali aku melakukan dosa. Niha, jangan pikir hanya wanita yang bisa dilecehkan. Pelecehan juga bisa dialami laki-laki. Tapi kadang, semua itu malah dipandang sebelah mata atau malah diabaikan di masyarakat."“Ok
“Apa itu?” tanya Aqsal.“Ah, nggak jadi. Kapan-kapan aja. Sekarang sudah malam. Ayo kita tidur,” jawab Niha.Niha ingin jujur tentang kontrasepsi yang diminumnya, tetapi urung. Sudah banyak yang terjadi dengan suaminya dan ia tidak mau menambahi beban. Takut Aqsal malah marah.“Baiklah. Terserah kamu. Kamu yang minta kita saling terbuka, tapi kalau kamu masih ingin menyembunyikan sesuatu, risiko jadi tanggunganmu.”Niha terkekeh.Aqsal memeluk sang istri erat. Ia takut tidak ada kesempatan seperti ini lagi ke depannya. Ia benar-benar takut pisah dengan istrinya.Jika dengan kekayaannya bisa membeli waktu, pria itu ingin membeli waktu seperti saat ini. Selamanya. Di mana semua kebahagiaannya dan wanita yang ada dalam dekapannya ini terus berkelanjutan.Aqsal ingin menghentikan waktu sekarang juga. Ia ingin meninggal sekarang, berdua dengan Niha. Di mana, keduanya akan kekal di surga.Pria itu mengecup mata sembab istrinya yang telah tertidur pulas. Embusan napas Niha terdengar teratur.
“Tuan! Hentikan!” teriak Sa saat melihat majikannya dalam kondisi menakutkan.Antara takut dan bingung, wanita itu justru kembali menuruni undakan.“Soni! Pak Huri! Cepat kemari!” Suara Sa begitu melengking. Ia lalu kembali menghampiri Niha dan Aqsal di kamar yang sudah terbuka pintunya.“Tuan, lepaskan Nyonya!” Sa berusaha menarik tubuh Aqsal. Namun, dalam sekali sentak, Sa justru oleng.“Diam kau, Sa! Ini urusan saya dengan Niha! Pergi kamu!”“Nyonya bisa meninggal, Tuan. Tolong jangan seperti ini.” Sa mengiba dengan air mata yang sudah berderai di pipi.Tidak lama berselang, Soni datang. Disusul Huri.“Astagfirullah. Tuan!” Dua pria itu bergerak cepat membantu Niha yang sudah tidak berdaya agar lepas dari cengkeraman Aqsal.“Pergi kalian! Jangan ikut campur!” teriak Aqsal ketika Soni dan Huri berusaha mengendurkan telapak tangannya dari leher Niha.Dua pria lawan satu. Akhirnya Aqsal kalah. Niha berhasil dilepaskan dari Aqsal. Tubuh Aqsal dicekal Soni dan Huri.Sa langsung menuju s
“Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny
Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar
“Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup
“Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany
Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti
“B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang
“Niha, hati-hati kalau lari!” Suara familier itu terdengar saat tubuh Niha menubruk dada seseorang. Kalau saja pria itu tidak memeluknya, Niha pasti akan jatuh.Sambil tersenyum tidak enak, Niha pun melepaskan diri.“Dokter Dico. Ma-maaf.”“Ya, nggak apa-apa. Untung aku yang kamu tubruk. Kalau orang lain gimana? Dan kenapa lari kayak ketakutan gini?”“A-ada pria menyeramkan, Dok. Dia tetangga baru di kontrakanku. Mungkin dia sengaja mengikutiku. Aku takut.”“Menyeramkan?”“Ho'oh. Oh, ya, kenapa bisa kebetulan Dokter ada di sini?”Dico terkekeh. “Aku tadi baca status W* kamu, katanya OTW ke sini. Ya udah, aku susul ke sini sengaja nggak ngasih tahu. Buat tantangan juga bisa menemukanmu apa enggak di pantai seluas ini. Eh, ternyata bisa.”“Kok cepet? Dari Jakarta?”“Enggak. Aku tiba di kota ini semalam. Jum’at sore kemarin setelah dinas, aku berangkat biar bisa di sini agak lama. Nginep di hotel, lalu pagi ini di sini, kita bertemu ini. Bukankah aku sudah bilang akan menyusul?”Niha ter
“Dok.” Niha memanggil saat Dico mengabaikan pertanyaannya. Justru ada suara seperti gumaman di seberang sana.“Eh, iya. Sebentar ya, lagi ngomong sama seseorang.” Dico menimpali. Suara yang didengar Niha sebuah suara tidak jelas.“Halo, Niha,” ujar Dico setelah selesai.“Ada kabar apa?”“Nggak jadi. Kemarin kamu bilang nggak tertarik sama si mantan musuh. Jadi, nggak usah aja.” Dico terkekeh. “Oh, ya, kamu lagi ada di mana ini?”Mantan musuh? Niha berpikir mungkin itu kabar tentang Asti. Ia tidak peduli.“Kasih tahu nggak ya?” Niha tertawa.Di seberang, Dico ikut tertawa. “Kali aja aku minat ingin ke sana juga. Pengen nyusul.”“Dokter, kok, hobi menguntit. Aku lagi di Malang, Dok. Dan langsung jatuh cinta sama tempat ini. Di sini sejuk, cenderung dingin. Hal yang nggak didapat di Jakarta.”“Ya sudah. Jangan lupa oleh-olehnya kalau balik.”“Siap, Bos.”“Niha.”“Ya.”“Ah, nggak jadi.”“Dasar. Ya udah, aku tutup teleponnya. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam. Enjoy your holiday, Niha.”
Akibat perbuatannya, Robin dijerat pasal berlapis mulai dari kepemilikan senjata api ilegal, rencana pembunuhan pada Niha dan Aqsal, juga terkuaknya kasus terdahulu yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Ia dipenjara sepuluh tahun dan denda yang tidaklah sedikit.Sementara Asti, Niha tidak terlalu paham karena benar-benar memutus sambungan dengan wanita itu. Terakhir yang diketahui, Asti dijodohkan oleh orang tuanya.Setahun belakangan ini, Niha tinggal di sebuah apartemen elite yang dibeli dari uang peninggalan sang suami. Rumah pribadinya dibiarkan kosong. Hanya saja, tetap ada orang yang ditugaskan membersihkan. Ia masih ada di Jakarta, menunggu jika sewaktu-waktu Aqsal datang. Aqsal sendiri seperti ditelan bumi. Pihak kepolisian, detektif, mencari lewat media sosial, bahkan dukun dikerahkan untuk mencari. Namun, hasilnya nihil.“Aku nggak jadi ke Mesir aja, Mbak. Nemeni Mbak di sini,” ujar Nizam dulu sesaat setelah lulus.“Jangan karena masalah Mbak, jadi penghalang cita-citamu. Mb