“Mbak Fat, tolong biarkan saya berdua saja dengan tamu itu,” ujarku sambil melirik Fatim.“Baik, Mbak.”Fatim keluar, Asti masuk dan duduk di hadapanku. Aku pura-pura kembali sibuk.“Ada apa lagi kamu menemuiku?” tanyaku sambil tersenyum. Senyum yang kupaksakan.Ingin rasanya mencakar wajahnya yang bermekap tebal dan berbalut topeng itu. Topeng sok baik padahal sejatinya hobi mengusik.“Tadi aku ke rumahmu, ternyata kamu nggak ada. Kata ART, kamu sudah mulai kerja lagi. Jadi, aku langsung ke sini.”Aku terkekeh. “Ya, begitulah. Saking sayangnya Mas Aqsal, sampai-sampai aku tidak boleh keluar rumah dan baru diizinkan sekarang.”“Ada hal yang harus aku sampaikan ke kamu,” lanjutnya.“Apa lagi yang harus dibicarakan? Bukankah semua sudah jelas? Lalu, bagian mana yang membuatmu belum mengerti?” timpalku.Kututup laptop, lalu menatapnya.“Aku mencintai suamimu. Aku menginginkannya.”Aku sama sekali tidak terkejut akan hal itu. Sejak memergokinya pertama kali saat itu, aku memang sudah curi
Asti masih membeku.“Asti, Mas Aqsal sudah cerita semua. Jadi, aku tidak terkejut sama sekali dengan hasutanmu,” ujarku santai. Aku sengaja berbohong agar terlihat aku ini tahu semua. Padahal kabar yang sempat dikhawatirkan Mama ini baru kuketahui. Hatiku berdentam terkejut tak karuan.Kucondongkan tubuh hingga jarakku dengan Asti hanya sekitar dua sentimeter. “Apa? Kamu mau bicara apa lagi untuk memisahkan kami?”Asti tersenyum. “Berarti benar. Kamu hanya dijadikan Aqsal sebagai babu yang merawatnya. Dulu babu merawat mamanya, sekarang merawat dia. Miris sekali hidupmu. Jauhi dia, Niha. Atau kuseber video ini dan itu apa artinya? Karir dan bisnis suamimu akan hancur.”Pemikiranku tepat. Video ini yang dimaksud Mas Aqsal.Kurebut paksa ponsel Asti, tetapi tidak berhasil.Wanita itu kembali tertawa. “Aku menyimpan video ini di banyak tempat. Jadi, percuma kalau kamu ambil dan hapus yang ini.”“Setelah aku menjauhi dia, apa untungnya untukmu? Kamu mau merawat dia yang sakit?” tanyaku.A
“Niha, kau!” Mas Aqsal menunjukku. “Untuk apa kamu menemui Dico?” Dia lantas berjalan cepat menghampiriku. Pandangan matanya menyorot tajam. Brak! Mas Aqsal menggebrak meja di mana aku dan Dokter Dico duduk hingga aku berjingkat. Suamiku itu ikut duduk di sampingku. “Ada urusan apa kamu temuin dia? Hah!” bentak Mas Aqsal tepat di depan wajahku. Bisa dibayangkan bagaimana malunya aku diperlakukan demikian di depan beberapa orang. “Sal, sabar, Sal.” Dokter Dico berdiri sambil berusaha menenangkan Mas Aqsal. “Sabar-sabar mata lo sobek! Lo juga, kenapa istri gue bisa nemuin lo di sini? Ada hubungan apa kalian!” Mas Aqsal ikut berdiri. Ia mencengkeram kerah kemeja Dokter Dico. Namun, Dokter Dico sama sekali tidak berusaha melawan atau melepaskan cengkeraman Mas Aqsal. “Aqsal, oke. Gue bisa jelasin.” Tangan Dokter Dico terangkat, mencoba menenangkan. Sementara aku bingung sendiri harus apa sebab aku merasa memang salah, pergi diam-diam dan menemui pria lain tanpa izin dulu dengan sua
“Son, antar saya ke tempat kerja Mas Aqsal,” ujarku sambil terpejam di kursi belakang. Mobil sudah melaju membelah jalanan.“Tapi kata Tuan saya disuruh mengantar pulang langsung. Nyonya, seperti yang saya bilang tadi kalau di mobil ini ada GPS-nya. Saya tidak berani lagi menentang Tuan. Saya takut dipecat. Ada bapak dan ibu di kampung yang masih butuh kiriman saya.”Memang tidak seharusnya aku menyusahkan Soni lagi. Gara-gara ulahku, bisa-bisa dia kena imbas pemecatan.“Cari kerja lain saja kalau dipecat.” Aku memancing.“Jujur, gaji yang saya terima dari Tuan itu banyak, Nya. Lebih banyak dari gaji sesama sopir pribadi lain. Makanya sayang kalau sampai saya dipecat.”“Cari kerjaan lain yang gajinya lebih gede, dong.”“Enggak. Meskipun Tuan sering marah, tapi kami para pekerjanya terjamin. Beliau kaya raya, tapi tidak pelit. Nyonya, mohon maaf. Saya kapok, nggak akan menentang Tuan lagi meskipun Nyonya yang meminta.”Iya juga, bukan aku yang menggaji mereka, tetapi Mas Aqsal.“Baikla
Aku mematung. Tidak berniat mendekat. Namun, justru Arjuna yang berjalan ke arahku. Pria ini memang nekat. Baru datang, tetapi langsung bicara ke inti.Aku beringsut mundur. Sungguh, aku takut terjadi salah paham lagi. Aku takut Mas Aqsal memergoki kami.“Silakan duduk dulu.” Saat dia kian mendekat, aku berjalan melewatinya. Lalu duduk di kursi.Arjuna ikut duduk. Dia memindai wajahku.“Pak Arjuna, saya sudah tidak minat pisah dengan Mas Aqsal. Jadi, saya tidak ingin menandatangani berkas perceraian apa pun.”Arjuna terkekeh. “Niha, berhentilah pura-pura baik-baik saja, berhentilah seolah-olah pernikahanmu dengan Aqsal itu bahagia. Saya tahu kamu tersiksa. Saya datang–““Pak, berhentilah juga mengurusi urusan saya. Ini hidup saya, pernikahan saya. Anda tidak punya hak untuk mencampurinya. Dan perceraian ini keinginan Nizam, bukan? Bukan keinginan saya. Lalu saya juga sudah memintanya membatalkan bantuannya ke Pak Arjuna. Apa dia belum bicara?”“Sudah, dia sudah bilang ke saya. Tapi sa
Asti lagi? Katanya dia tidak ada hubungan dengan Asti. Tidak bisakah Mas Aqsal tegas dengan wanita itu? Atau mereka berdua memang bersekongkol mempermainkanku? Hatiku sudah panas. Kalau saja tidak banyak orang, aku akan menangis. Hanya saja, masih kutahan. “Ya sudah, terima kasih.” Aku pun melangkah gontai keluar gedung. Begitu tiba di parkiran, aku melihat sekelebat bayangan Mas Aqsal masuk ke mobil. Aku mencoba mengejarnya, tetapi dia keburu melesat. “Mas Aqsal!” Aku sempat berteriak, berharap dia mendengarnya. Namun nihil, mobil itu makin menjauh dan hilang dari pandangan. Apa seberat ini berusaha mencari Mas Aqsal? Apa seberat ini saat aku ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi? Mungkin, seperti ini pula yang dirasakan Mas Aqsal saat sedang mencariku dulu. “Aqsal seperti orang gila saat kamu menghilang. Ditambah kematian Tante Elena. Dia sangat mencintaimu, tapi dulu cara menunjukkannya yang salah. Dia terlalu cemburu, terlalu takut kehilanganmu sekaligus bingung car
“Apa ucapanmu bisa dipercaya?” tanya Niha setelah tangisnya agak mereda.“Demi Allah aku jujur,” jawab Aqsal.“Kalau aku nggak mau pisah, kamu mau apa?”Aqsal terkekeh. Sesekali air matanya masih menitik. Pelukannya kian mengerat. “Kenapa, bukankah dulu kamu yang merengek minta pisah? Kenapa sekarang nggak mau? Apa kamu sudah jadi bucin akut?”Dalam dada sang suami, Niha mengangguk.“Aku merasa terhina, tidak pantas untukmu. Tapi di sisi lain aku tidak bisa kehilangan kamu. Aku benar-benar payah.” Aqsal mengurai pelukan. Dihapusnya air mata yang masih berderai di pipi Niha.“Lalu kenapa tadi malah mengajukan pisah?” Niha merengek. Ia juga membingkai pipi Aqsal.“Aku berpikir mungkin kamu berhak untuk pria lebih baik, bukan pria penuh noda sepertiku ini. Aku kotor, Niha. Berkali-kali aku melakukan dosa. Niha, jangan pikir hanya wanita yang bisa dilecehkan. Pelecehan juga bisa dialami laki-laki. Tapi kadang, semua itu malah dipandang sebelah mata atau malah diabaikan di masyarakat."“Ok
“Apa itu?” tanya Aqsal.“Ah, nggak jadi. Kapan-kapan aja. Sekarang sudah malam. Ayo kita tidur,” jawab Niha.Niha ingin jujur tentang kontrasepsi yang diminumnya, tetapi urung. Sudah banyak yang terjadi dengan suaminya dan ia tidak mau menambahi beban. Takut Aqsal malah marah.“Baiklah. Terserah kamu. Kamu yang minta kita saling terbuka, tapi kalau kamu masih ingin menyembunyikan sesuatu, risiko jadi tanggunganmu.”Niha terkekeh.Aqsal memeluk sang istri erat. Ia takut tidak ada kesempatan seperti ini lagi ke depannya. Ia benar-benar takut pisah dengan istrinya.Jika dengan kekayaannya bisa membeli waktu, pria itu ingin membeli waktu seperti saat ini. Selamanya. Di mana semua kebahagiaannya dan wanita yang ada dalam dekapannya ini terus berkelanjutan.Aqsal ingin menghentikan waktu sekarang juga. Ia ingin meninggal sekarang, berdua dengan Niha. Di mana, keduanya akan kekal di surga.Pria itu mengecup mata sembab istrinya yang telah tertidur pulas. Embusan napas Niha terdengar teratur.