Aku mematung. Tidak berniat mendekat. Namun, justru Arjuna yang berjalan ke arahku. Pria ini memang nekat. Baru datang, tetapi langsung bicara ke inti.Aku beringsut mundur. Sungguh, aku takut terjadi salah paham lagi. Aku takut Mas Aqsal memergoki kami.“Silakan duduk dulu.” Saat dia kian mendekat, aku berjalan melewatinya. Lalu duduk di kursi.Arjuna ikut duduk. Dia memindai wajahku.“Pak Arjuna, saya sudah tidak minat pisah dengan Mas Aqsal. Jadi, saya tidak ingin menandatangani berkas perceraian apa pun.”Arjuna terkekeh. “Niha, berhentilah pura-pura baik-baik saja, berhentilah seolah-olah pernikahanmu dengan Aqsal itu bahagia. Saya tahu kamu tersiksa. Saya datang–““Pak, berhentilah juga mengurusi urusan saya. Ini hidup saya, pernikahan saya. Anda tidak punya hak untuk mencampurinya. Dan perceraian ini keinginan Nizam, bukan? Bukan keinginan saya. Lalu saya juga sudah memintanya membatalkan bantuannya ke Pak Arjuna. Apa dia belum bicara?”“Sudah, dia sudah bilang ke saya. Tapi sa
Asti lagi? Katanya dia tidak ada hubungan dengan Asti. Tidak bisakah Mas Aqsal tegas dengan wanita itu? Atau mereka berdua memang bersekongkol mempermainkanku? Hatiku sudah panas. Kalau saja tidak banyak orang, aku akan menangis. Hanya saja, masih kutahan. “Ya sudah, terima kasih.” Aku pun melangkah gontai keluar gedung. Begitu tiba di parkiran, aku melihat sekelebat bayangan Mas Aqsal masuk ke mobil. Aku mencoba mengejarnya, tetapi dia keburu melesat. “Mas Aqsal!” Aku sempat berteriak, berharap dia mendengarnya. Namun nihil, mobil itu makin menjauh dan hilang dari pandangan. Apa seberat ini berusaha mencari Mas Aqsal? Apa seberat ini saat aku ingin menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi? Mungkin, seperti ini pula yang dirasakan Mas Aqsal saat sedang mencariku dulu. “Aqsal seperti orang gila saat kamu menghilang. Ditambah kematian Tante Elena. Dia sangat mencintaimu, tapi dulu cara menunjukkannya yang salah. Dia terlalu cemburu, terlalu takut kehilanganmu sekaligus bingung car
“Apa ucapanmu bisa dipercaya?” tanya Niha setelah tangisnya agak mereda.“Demi Allah aku jujur,” jawab Aqsal.“Kalau aku nggak mau pisah, kamu mau apa?”Aqsal terkekeh. Sesekali air matanya masih menitik. Pelukannya kian mengerat. “Kenapa, bukankah dulu kamu yang merengek minta pisah? Kenapa sekarang nggak mau? Apa kamu sudah jadi bucin akut?”Dalam dada sang suami, Niha mengangguk.“Aku merasa terhina, tidak pantas untukmu. Tapi di sisi lain aku tidak bisa kehilangan kamu. Aku benar-benar payah.” Aqsal mengurai pelukan. Dihapusnya air mata yang masih berderai di pipi Niha.“Lalu kenapa tadi malah mengajukan pisah?” Niha merengek. Ia juga membingkai pipi Aqsal.“Aku berpikir mungkin kamu berhak untuk pria lebih baik, bukan pria penuh noda sepertiku ini. Aku kotor, Niha. Berkali-kali aku melakukan dosa. Niha, jangan pikir hanya wanita yang bisa dilecehkan. Pelecehan juga bisa dialami laki-laki. Tapi kadang, semua itu malah dipandang sebelah mata atau malah diabaikan di masyarakat."“Ok
“Apa itu?” tanya Aqsal.“Ah, nggak jadi. Kapan-kapan aja. Sekarang sudah malam. Ayo kita tidur,” jawab Niha.Niha ingin jujur tentang kontrasepsi yang diminumnya, tetapi urung. Sudah banyak yang terjadi dengan suaminya dan ia tidak mau menambahi beban. Takut Aqsal malah marah.“Baiklah. Terserah kamu. Kamu yang minta kita saling terbuka, tapi kalau kamu masih ingin menyembunyikan sesuatu, risiko jadi tanggunganmu.”Niha terkekeh.Aqsal memeluk sang istri erat. Ia takut tidak ada kesempatan seperti ini lagi ke depannya. Ia benar-benar takut pisah dengan istrinya.Jika dengan kekayaannya bisa membeli waktu, pria itu ingin membeli waktu seperti saat ini. Selamanya. Di mana semua kebahagiaannya dan wanita yang ada dalam dekapannya ini terus berkelanjutan.Aqsal ingin menghentikan waktu sekarang juga. Ia ingin meninggal sekarang, berdua dengan Niha. Di mana, keduanya akan kekal di surga.Pria itu mengecup mata sembab istrinya yang telah tertidur pulas. Embusan napas Niha terdengar teratur.
“Tuan! Hentikan!” teriak Sa saat melihat majikannya dalam kondisi menakutkan.Antara takut dan bingung, wanita itu justru kembali menuruni undakan.“Soni! Pak Huri! Cepat kemari!” Suara Sa begitu melengking. Ia lalu kembali menghampiri Niha dan Aqsal di kamar yang sudah terbuka pintunya.“Tuan, lepaskan Nyonya!” Sa berusaha menarik tubuh Aqsal. Namun, dalam sekali sentak, Sa justru oleng.“Diam kau, Sa! Ini urusan saya dengan Niha! Pergi kamu!”“Nyonya bisa meninggal, Tuan. Tolong jangan seperti ini.” Sa mengiba dengan air mata yang sudah berderai di pipi.Tidak lama berselang, Soni datang. Disusul Huri.“Astagfirullah. Tuan!” Dua pria itu bergerak cepat membantu Niha yang sudah tidak berdaya agar lepas dari cengkeraman Aqsal.“Pergi kalian! Jangan ikut campur!” teriak Aqsal ketika Soni dan Huri berusaha mengendurkan telapak tangannya dari leher Niha.Dua pria lawan satu. Akhirnya Aqsal kalah. Niha berhasil dilepaskan dari Aqsal. Tubuh Aqsal dicekal Soni dan Huri.Sa langsung menuju s
Sa masuk ke kamar untuk mengambil gamis dan hijab untuk Niha ketika Aqsal yang sudah tidak sadarkan diri digotong ke ranjang. “Bagaimana kondisi Niha?” tanya Dico sambil mengobati luka sayatan di lengan Aqsal. “Sudah lebih baik dan lebih tenang, Dok.” “Syukurlah.” Dico membersihkan, mengoleskan obat, lalu membalut luka Aqsal. Selesai mengobati, Dico menulis resep, lalu diberikan pada Soni. “Tebus obat ini.” Soni menerima sambil mengangguk. “Akan saya cari sekarang, Dok.” “Apa nanti kalau sadar, Tuan akan mengamuk lagi, Dok?” Sa yang masih ada di situ, bertanya. “Saya tidak bisa memastikan karena mengamuk tidaknya, itu tergantung situasi hatinya nanti. Semoga saja tidak. Pesan saya, jauhkan sementara dia dengan Niha. Kalau terindikasi dia menyakiti orang lain lagi, takutnya Niha kena lagi. Tolong tetap ada yang memantau. Bapak bisa gantian dengan yang lain memantaunya.” Dico menatap Huri di akhir kalimatnya. “Di mana Niha?” lanjut dokter tersebut. “Ada di kamar bawah, Dok. Tap
“Alhamdulillah kamu nggak jadi meninggal, Sayang. Maaf, maaf, maaf,” bisik Aqsal.“Ka-kamu su-sudah nggak kalap lagi?” tanya Niha terbata-bata.Aqsal melepas pelukan, lalu menggeleng.“Kamu pasti takut padaku. Iya?”Niha bergeming.“Semalam, aku sudah dicuci habis-habisan sama Dico. Dan aku harus melawan rasa trauma ini. Demi kamu, biar aku tidak menyakiti kamu lagi. Maaf.”Niha akhirnya mendesah lega.Ucapan Dico memang sangat manis ketika berbicara atau memberi sugesti pada seseorang. Dokter itu lihai membuat orang yang awalnya kalut menjadi tenang dengan psikoterapinya. Terbukti, Aqsal yang semalam begitu menakutkan, menjadi kembali manis saat ini. Monster menakutkan sudah berubah menjadi hamster yang menggemaskan.Bukan hanya sugesti Dico, tetapi penderita kepribadian ambang memang situasi hatinya cepat sekali berubah. Bahkan dalam hitungan menit sekalipun.“Kamu udah sarapan, Mas?”Aqsal menggeleng.“Tapi sudah Subuh, ‘kan?”“Ini sudah siang, tapi kamu tanya Subuh? Subuhku sudah
Niha mengubah strategi. Ia ke konfeksi dulu, baru ke bank. Agar jika benar pesepada motor di belakangnya itu benar-benar mengikuti, tidak curiga dan berpikir ke bank karena urusan pekerjaan.“Son, saya minta jangan jauh-jauh, ya? Saya takut,” ujar Niha.“Siap, Nyonya.”“Kita ke konfeksi dulu aja, ke bank-nya entaran aja.”“Siap.”Niha terpejam sambil menyenderkan kepala pada kursi. Ia merasa tidak seperti Niha yang dulu begitu bebas ke mana saja tidak ada yang peduli. Sekarang, ia seperti mangsa yang diburu lawan.Niha langsung memanggil Fatim begitu tiba di konfeksi. Keduanya berbicara empat mata di ruangan Niha.“Mbak, untuk saat ini sampai waktu yang belum bisa ditentukan, saya titip konfeksi ke Mbak Fatim. Tolong kelola bisnis peninggalan almarhumah ini dengan sebaik-baiknya. Soalnya saya ada kesibukan baru,” ujar Niha.“Tapi, Mbak.”“Mbak Fatim sudah sangat lihai mengelola pesanan dan tempat ini. Saya percaya sepenuhnya. Gaji Mbak juga bakal saya naikkan. Tenang saja.”“Bukan mas