Berontak dan melawan tidak ada gunanya. Justru keberingasan pria ini kian menjadi-jadi. Aku terus berontak, tetapi Mas Aqsal tetap berhasil menggagahiku.Suara gedoran di pintu menjadi lagu pengantar penyatuan kami. Teriakan Nizam dari luar, menjadi saksi betapa aku telah gagal menjaga diriku sendiri. Meski dilakukan suami sendiri, tetap saja ini pelecehan.Dalam kungkungan Mas Aqsal, aku terus terisak. Sengaja tidak kukeraskan suara sebab hal ini tabu. Meminta tolong pun percuma karena Mas Aqsal seperti kesetanan. Dia sangat liar dan buas.Dua kali, dia memberiku rasa sakitnya berhubungan. Air mataku berderai. Aku datang ke kandang singa dan singa itu lagi-lagi memangsaku, mengoyakku sampai tidak bersisa. Kedatangan seekor domba meski secara baik-baik untuk berdamai, tetap saja menjadi mangsa empuk sang singa.“Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kalau kamu meminta talak lagi, justru ini yang akan kamu dapatkan. Ingat itu,” bisiknya saat masih ada di atasku. Tanganku dicekal di atas
“Pesantren ini telah mengajarkan ajaran radikal! Salah satu santrinya memukul kepala saya dengan gelas!” Mas Aqsal berbicara dengan menggebu-gebu saat aku masuk. Aku masih memperhatikan, belum mengucap salam.Kugenggam erat tangan Nizam. Aku yakin pasti dia ketakutan.Di ruang tamu ndalem, ada Abah dan Umi, dua orang berjaket hitam, dan beberapa orang lagi mungkin warga sini. Lalu ... ada Mas Aqsal yang di sampingnya dua orang berkemeja resmi.Pria ini datang pasti akan membuat huru-hara.“Assalamualaikum.” Akhirnya aku menguatkan diri mengucap salam.“Waalaikumussalam. Niha, kemari, Neng.” Umi memanggil. Matanya berkaca-kaca. Entah apa yang sedang dipikirkan wanita bersahaja itu, tetapi aku tahu beliau pasti kecewa denganku. Kakiku sendiri entah mengapa sangat sulit digerakkan mendekat ke arahnya. Bibir ini seperti dijahit yang sulit sekali dibuka. Semua ini terlalu mengejutkan.Keterkejutan, rasa bersalah, dan kebencian bergumul menjadi satu.Semua puing rasa sakit yang berhasil ku
“Kamu itu licik, Mas. Kamu itu baji*ngan!” desisku.“Kamu tinggal pilih. Mau mengorbankan pesantren beserta isi dan santrinya, juga adikmu yang mendekam di penjara demi keras kepalamu itu, atau kamu balik pulang ikut aku dan semuanya akan aman terkendali lagi.”“Aku minta pisah. Satu hal itu saja. Aku mempersilakanmu bahagia bersama Asti. Apa itu sulit? Kurasa enggak? Tapi masalahnya malah melebar ke mana-mana.”“Dan aku sudah bilang puluhan atau bahkan ratusan kali kalau aku tidak akan menceraikanmu. Apa kamu kurang paham atas satu hal itu?”Aku sungguh tidak habis pikir dengan pria ini. “Mas, jangan egois. Aku berhak bahagia, dan kamu juga bebas bahagia bersama Asti. Dan bahagiaku adalah pisah darimu.”“Niha, pilihan hanya dua. Kembali sama aku, atau pesantren dan semua penghuninya ini akan jadi tumbalnya. Pilih sekarang juga.” Mas Aqsal bersedekap. Ia lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya. Entah apa yang dilakukan dengan ponselnya itu.Aku melangkah, tetapi ditahan olehnya.“Kita h
“Mas!” Aku memekik geram.“Semua tergantung dengan amal ibadahmu. Kalau kamu bersikap manis padaku, nurut padaku, bisalah kita buat kesepakatan. Tapi kalau kamu tetap galak, terus minta pisah, aku tidak berani menjamin adikmu aman.”“Kamu ini benar-benar iblis, Mas!” desisku sambil mengepalkan tangan.Pria itu hanya mengedikkan bahu. Ia menyeretku untuk ikut dengannya menemui Abah. Aku sudah menolak, tetapi terus dipaksa.“Apa ada sapi yang jadi korban?” tanya Mas Aqsal.“Tidak ada, Kang. Alhamdulillah semua aman,” jawab Abah.Mas Aqsal mengedip kepadaku.“Aku bisa mengatakan ke Abah kalau kamulah yang penyebab semuanya, Mas,” bisikku.“Silakan. Abah masih punya sawah, ‘kan? Aku bisa pindah target.”Aku diam. Pria ini sangat membahayakan.“Niha, aku berani datang ke sini, itu berarti sudah kupikirkan rencana matang-matang dan sudah kukumpulkan semua informasi. Kalau kamu menolak ikut atau membocorkan rahasia kejahatanku, aku bisa dengan mudah mengubah target lainnya. Kamu mau itu terj
Aku hanya terpejam sejenak sambil mengembuskan napas panjang. Malas meladeni orang sepertinya.Terserah dia. Aku tidak lagi peduli. Aku tidak ubahnya boneka yang seenaknya dimainkan olehnya. Aku hanyalah tawanan dan mirisnya hanya budak pemuas naf*u. Serendah itu aku baginya.“Aku belum Magrib. Nanti kalau ada masjid tolong berhenti,” pintaku.“Jangan bilang kalau kamu mau kabur!” bentak Mas Aqsal.“Pikiranmu itu sesekali harus digosok pake gosokan panci biar sedikit bersih! Suudzon terus! Aku hanya ingin salat!”Mas Aqsal justru tertawa, lalu berbisik, “Kamu tambah cantik kalau marah.”“Hah, pria kejam sepertimu nggak pantas bicara manis.”Bibirnya tersungging sebelah. “Nggak sabar mengulang kejadian tadi pagi,” bisiknya.“Mau luka di kepalamu itu aku jadikan lebih parah? Biar gegar otak?”Bahkan rasa perihnya saja masih terasa sampai sekarang. Entah seperti apa tubuhku nanti kalau setiap hari harus melayaninya.Mas Aqsal tertawa.“Aku kamu siksa tiap hari, aku terima. Kamu menikah l
‘Mental Tuan tidak stabil.’ Kalimat Mbak Sa membuat bahuku terkulai. Tulang-tulang di tubuhku seolah-olah melemas.Sekelebat bayangan kekejaman Mas Aqsal kembali berputar. Pantas saja perilakunya sangat aneh atau bahkan menakutkan dan di luar nalar. Pria itu seperti menarik-ulur diriku semaunya. Dia kadang baik, tetapi lebih banyak kejamnya.Aku sendiri tidak tahu pasti sebahaya apa penyakit mental itu bagi orang di sekeliling penderitanya. Mbak Sa memegang sekilas lembut telapak tanganku. “Tuan memang sehat secara fisik, tapi tidak dengan jiwanya.”“Dia gila? Sakit jiwa? Ah, saya sudah tahu sejak dulu.” Aku mencoba tertawa, mengabaikan kabar mengejutkan ini.“Makanlah dulu. Nanti saya akan cerita.” Mbak Sa menata makananku, tetapi aku pegang tangannya.“Biar saya sendiri. Tapi nanti saja makannya.”“Sekarang, Mbak. Saya lihat Mbak Niha makin kurus.”“Baiklah.”Aku mengalah. Kulepas mukena, lalu mulai melahap masakan Mbak Sa. Sangat nikmat.Setelah makananku habis, Mbak Sa kemudian b
“Pertanyaan yang sulit saya jawab. Iya, saya juga kasihan sama Mas Aqsal setelah mendengar penjelasan Mbak Sa. Tapi untuk saat ini saya belum bisa memutuskan bertahan atau berpisah.”“Beberapa hari yang lalu, teman sekaligus dokter yang menanganinya datang ke sini. Dokter itu mengatakan kalau kami para pekerjanya disuruh hati-hati dan selalu waspada,” ujar Mbak Sa.Aku kembali mengembuskan napas panjang. Semua kenyataan ini terlalu mengejutkan.“Apa sakitnya sudah lama?”“Lama enggaknya, saya kurang paham, Mbak. Tapi sejak saya kerja di sini, Tuan memang aneh. Pendiam, sering menyendiri, suka marah-marah, emosinya tidak terkontrol.”Selama ini, Mama tidak pernah mengatakan kalau Mas Aqsal menderita gangguan mental. Beliau malah mencurigai putranya seorang penyuka sesama jenis. Apa Mama sebenarnya tahu dan sengaja tidak diberitahu kepadaku? Atau Mama juga tidak tahu?Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa kutanyakan kepada Mas Aqsal sebab Mama sudah tiada. Namun, sepertinya pria itu tida
“Mbak Sa, tolong buka pintunya. Jangan sampai pintunya roboh gara-gara amukan Mas Aqsal.” Aku terkekeh.Mbak Sa mengangguk, ikut tersenyum. “Jaga diri Mbak Niha baik-baik selama bersama Tuan. Selama tindakannya tidak membahayakan, Mbak cukup jadi istri yang lembut dan manis. Kalau agaknya sudah tidak terkontrol, teriak saja minta tolong. Jika dulu kami diam dan pura-pura tidak mendengar, mulai saat ini saya dan para pekerja lain akan datang membantu. Saya permisi.” Mbak Sa berjalan membuka pintu dan keluar sambil membawa bekas makanku.Ah, iya. Aku sekarang ingat. Para pekerja di rumah ini bahkan diam dan membiarkanku menjadi santapan empuk Mas Aqsal. Mungkin karena dulu mereka menganggap hal itu privasi dan tidak berani mengganggu keintiman kami.“Tadi saya memaksa Mbak Niha makan, Tuan. Dan alhamdulillah habis. Maaf kalau pintunya saya kunci karena seperti yang Tuan bilang, Mbak Niha katanya tidak boleh kabur.” Ucapan Mbak Sa masih bisa kudengar.“Hm.”Astaga, jawabannya seperti ada