“Pertanyaan yang sulit saya jawab. Iya, saya juga kasihan sama Mas Aqsal setelah mendengar penjelasan Mbak Sa. Tapi untuk saat ini saya belum bisa memutuskan bertahan atau berpisah.”“Beberapa hari yang lalu, teman sekaligus dokter yang menanganinya datang ke sini. Dokter itu mengatakan kalau kami para pekerjanya disuruh hati-hati dan selalu waspada,” ujar Mbak Sa.Aku kembali mengembuskan napas panjang. Semua kenyataan ini terlalu mengejutkan.“Apa sakitnya sudah lama?”“Lama enggaknya, saya kurang paham, Mbak. Tapi sejak saya kerja di sini, Tuan memang aneh. Pendiam, sering menyendiri, suka marah-marah, emosinya tidak terkontrol.”Selama ini, Mama tidak pernah mengatakan kalau Mas Aqsal menderita gangguan mental. Beliau malah mencurigai putranya seorang penyuka sesama jenis. Apa Mama sebenarnya tahu dan sengaja tidak diberitahu kepadaku? Atau Mama juga tidak tahu?Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa kutanyakan kepada Mas Aqsal sebab Mama sudah tiada. Namun, sepertinya pria itu tida
“Mbak Sa, tolong buka pintunya. Jangan sampai pintunya roboh gara-gara amukan Mas Aqsal.” Aku terkekeh.Mbak Sa mengangguk, ikut tersenyum. “Jaga diri Mbak Niha baik-baik selama bersama Tuan. Selama tindakannya tidak membahayakan, Mbak cukup jadi istri yang lembut dan manis. Kalau agaknya sudah tidak terkontrol, teriak saja minta tolong. Jika dulu kami diam dan pura-pura tidak mendengar, mulai saat ini saya dan para pekerja lain akan datang membantu. Saya permisi.” Mbak Sa berjalan membuka pintu dan keluar sambil membawa bekas makanku.Ah, iya. Aku sekarang ingat. Para pekerja di rumah ini bahkan diam dan membiarkanku menjadi santapan empuk Mas Aqsal. Mungkin karena dulu mereka menganggap hal itu privasi dan tidak berani mengganggu keintiman kami.“Tadi saya memaksa Mbak Niha makan, Tuan. Dan alhamdulillah habis. Maaf kalau pintunya saya kunci karena seperti yang Tuan bilang, Mbak Niha katanya tidak boleh kabur.” Ucapan Mbak Sa masih bisa kudengar.“Hm.”Astaga, jawabannya seperti ada
“Bulshit!” Aku mendorong kuat dadanya. Bukannya kian menjauh, tubuh pria ini makin merapat. “Mau bukti?” “Nggak perlu karena semua bukti mengarah kalau kamu justru sebaliknya, sangat membenciku. Kamu sering KDRT, selingkuh! Apa itu yang dinamakan suka? Ya, mungkin kamu suka dalam arti suka menyakitiku!” Dada Mas Aqsal terlihat naik turun dalam tempo yang cepat. Dia mengepalkan tangan. Aku terpejam, siap-siap mendapatkan serangan. Namun, justru suara tembok di sampingku yang terdengar. Aku pun membuka mata. Tangan Mas Aqsal sudah mendarat di dinding samping kiriku. Pria itu menatapku tajam, kemudian berlalu dari hadapanku menuju kamarnya tanpa berkata-kata. Aku mengembuskan napas panjang. Kuraup wajah dengan kedua tangan, lantas menuruni anak tangga, dan masuk kamar Mama. Aku menyenderkan tubuh pada pintu. Bagaimanapun juga, perkataan suka Mas Aqsal tadi sangat mengusik. Apa benar kalau dia suka? Suka dalam artian cinta maksudnya? Atau suka apa? Bahkan Mbak Sa pun bilang seperti
“Ya sudah, aku temani," ujarku mengalah."Ada obat yang harus kuminum sebelum tidur. Ada di laci kiri.” Mas Aqsal menunjuk laci yang dimaksud.Aku pun mencari obat pada laci yang dimaksud Mas Aqsal dan ketemu. Kuambil satu set obat itu.“Ini obat apa?” tanyaku sambil membolak-balik tiga jenis obat.“Obat kuat.”Aku tertawa. Ternyata suamiku ini garang di luar, lumayan garing juga di dalam.“Kenapa tertawa?”“Pria kekar dan berotot kayak kamu masih butuh obat kuat ternyata.”“Oh, secara tidak langsung berarti kamu sedang memujiku.”“Dih, pede amat.”“Kamu pikir itu obat kuat sungguhan? Itu obat hasil tangan adikmu di kepalaku! Paham!”Aku mengangguk-angguk dan menelisik obatnya. Benar, ada antibiotik dan obat lain entahlah apa. Padahal kupikir itu obat untuk sakit mentalnya.“Baiklah, atas nama Nizam, aku minta maaf.”Kubuka dan kuberikan tiga obat ke telapak Mas Aqsal, tetapi dia menepisnya hingga obat itu terjatuh di kasur.“Minumkan!” titahnya.“Jangan manja!”“Tanganku sakit, Niha.
“Tuan masih belum kuat masuk kemari. Tuan itu orangnya sensitif kalau menyangkut Nyonya Elena dan kamarnya,” jawab Mbak Sa.Satu rasa penasaranku terjawab tanpa harus bertanya. Ternyata kelemahan Mas Aqsal ialah masuk kamar ini. Baiklah, tempat bersembunyi darinya paling aman adalah di sini.Mbak Sa terus memanggil dan mencoba membangunkanku. Namun, aku masih setia berpura-pura terpejam.“Ayo kita gotong Nyonya sesuai perintah Tuan,” ajak Mbak Sa.Sementara di luar kamar, Mas Aqsal terus berteriak dan marah-marah heboh.“Panggil Soni sama yang lain sajalah, Mbak. Mana kuat kita hanya berdua,” tolak sebuah suara yang kuyakini itu Mbak Bin.“Kamu mau dipecat Tuan? Mana boleh istrinya disentuh apalagi digotong pria lain?”Apa benar yang dipikirkan Mbak Sa? Kenapa aku tidak boleh disentuh pria lain? Mas Aqsal cemburu? Ah, tidak mungkin.Kasihan dua orang ini kalau harus menggotongku. Perlahan, aku pun membuka mata.“Alhamdulillah, Mbak Niha sadar,” ucap Mbak Bin.“Tuan, Nyonya sadar!” ter
Wajah Mas Aqsal pias. Tangan yang awalnya masih mengambang di udara karena tengah menyuapiku, perlahan diturunkan.“Sudah kuduga.” Aku tersenyum tawar.“Mintalah yang lain, Niha. Mobil, uang, ponsel, rumah, pulau pribadi, jet pribadi, bisa aku kasih. Tapi untuk dua itu ....”“Aku enggak butuh harta! Aku hanya ingin ke makam Mama. Aku kangen sama Mama, Mas. Sama aku ingin kita menemui Asti untuk membuktikan ucapanmu kalau kamu memang tidak ada apa-apa sama dia. Juga untuk membuktikan kalau kamu beneran cinta sama aku.” Aku pun kembali berbaring.Tidak butuh waktu lama, sentuhan lembut terasa di lengan.“Baiklah, kita ziarah. Tapi untuk ke rumah Asti, aku minta jangan dulu. Aku janji akan melakukan itu tapi tidak sekarang. Ada yang sedang aku rencanakan. Kumohon mengertilah.""Rencana apa? Katakan!”“Ada dan kamu belum perlu tahu. Ya udah, sekarang kita ziarah. Tapi makanlah dulu. Apa perlu panggil dokter buat meriksa kamu?”Aku menggeleng. “Nggak perlu.”“Ayo duduk lagi, selesaikan mak
Mataku membola, menatapnya. Kelakuan pria ini sungguh di luar nalar.“Waktu itu, aku melakukannya tidak sengaja karena cemburu pada Arjuna. Aku pikir seperti biasanya, tidak bereaksi dan aku hanya ingin menakut-nakutimu saja. Tapi ternyata aku salah. Kamu mampu membuat’nya’ bangkit dan akhirnya kebablasan.”“Sejauh apa kebebasanmu di masa lalu, Mas? Yakin kamu tidak terkena penyakit kelamin menular?”“Meski yakin aku tidak pernah melakukan hubungan terlarang, aku tetap rutin mengecek kesehatan. Aku dinyatakan sehat, tidak sakit.”“Yakin?”“Ya, atau mau aku tunjukkan hasilnya?” Mas Aqsal mengoperasikan ponsel, lalu menunjukkan foto hasil tesnya yang terakhir. Ada tulisan hasil test entah apa yang kesimpulannya dia sehat.Satu per satu rahasia Mas Aqsal terkuak dengan sendirinya. Jujur, semua itu membuatku tercengang. Entah apa lagi yang disembunyikannya. Jika terungkap nanti, apa bisa aku tetap bertahan?“Niha, percayalah. Aku sangat menyesal dengan semua tindakan burukku. Aku ingin me
Mas Aqsal menyabar pinggangku, menatapku dalam.“Aku takut kalau suatu saat uang nafkah itu kamu ungkit-ungkit karena dulu aku berniat pisah sama kamu. Aku nggak mau uang itu memberatkanku.”“Sejahat-jahatnya aku, tidak mungkin melakukan itu karena aku paham harus memberikan nafkah pada pasangan. Saat kamu tidak ada kemarin, aku mencoba mengeceknya dan ternyata isinya masih benar-benar utuh padahal setiap bulan aku transfer. Di mutasi, tidak ada uang keluar. Mulai sekarang, dipakai, ya.”“Aku takut sama kamu, Mas.”Aku menunduk, tetapi Mas Aqsal meraih daguku dan menyuruhku menghadapnya.“Kalau aku dalam mode kejam, tolong anggap aku ODGJ atau sedang kesurupan. Jangan diambil hati. Karena kadang pun, semua itu di luar kemauanku.”Aku mencoba tersenyum, lalu mengangguk. Aku paham dengan sakitnya meski dia belum jujur. Mas Aqsal mendekatkan wajah, lalu bibir kami bertemu. Kali ini, kecupannya sangat lembut. Aku pun mengurai terlebih dulu karena ini tempat umum.“Permisi, ini pesanannya.