“Ya sudah, aku temani," ujarku mengalah."Ada obat yang harus kuminum sebelum tidur. Ada di laci kiri.” Mas Aqsal menunjuk laci yang dimaksud.Aku pun mencari obat pada laci yang dimaksud Mas Aqsal dan ketemu. Kuambil satu set obat itu.“Ini obat apa?” tanyaku sambil membolak-balik tiga jenis obat.“Obat kuat.”Aku tertawa. Ternyata suamiku ini garang di luar, lumayan garing juga di dalam.“Kenapa tertawa?”“Pria kekar dan berotot kayak kamu masih butuh obat kuat ternyata.”“Oh, secara tidak langsung berarti kamu sedang memujiku.”“Dih, pede amat.”“Kamu pikir itu obat kuat sungguhan? Itu obat hasil tangan adikmu di kepalaku! Paham!”Aku mengangguk-angguk dan menelisik obatnya. Benar, ada antibiotik dan obat lain entahlah apa. Padahal kupikir itu obat untuk sakit mentalnya.“Baiklah, atas nama Nizam, aku minta maaf.”Kubuka dan kuberikan tiga obat ke telapak Mas Aqsal, tetapi dia menepisnya hingga obat itu terjatuh di kasur.“Minumkan!” titahnya.“Jangan manja!”“Tanganku sakit, Niha.
“Tuan masih belum kuat masuk kemari. Tuan itu orangnya sensitif kalau menyangkut Nyonya Elena dan kamarnya,” jawab Mbak Sa.Satu rasa penasaranku terjawab tanpa harus bertanya. Ternyata kelemahan Mas Aqsal ialah masuk kamar ini. Baiklah, tempat bersembunyi darinya paling aman adalah di sini.Mbak Sa terus memanggil dan mencoba membangunkanku. Namun, aku masih setia berpura-pura terpejam.“Ayo kita gotong Nyonya sesuai perintah Tuan,” ajak Mbak Sa.Sementara di luar kamar, Mas Aqsal terus berteriak dan marah-marah heboh.“Panggil Soni sama yang lain sajalah, Mbak. Mana kuat kita hanya berdua,” tolak sebuah suara yang kuyakini itu Mbak Bin.“Kamu mau dipecat Tuan? Mana boleh istrinya disentuh apalagi digotong pria lain?”Apa benar yang dipikirkan Mbak Sa? Kenapa aku tidak boleh disentuh pria lain? Mas Aqsal cemburu? Ah, tidak mungkin.Kasihan dua orang ini kalau harus menggotongku. Perlahan, aku pun membuka mata.“Alhamdulillah, Mbak Niha sadar,” ucap Mbak Bin.“Tuan, Nyonya sadar!” ter
Wajah Mas Aqsal pias. Tangan yang awalnya masih mengambang di udara karena tengah menyuapiku, perlahan diturunkan.“Sudah kuduga.” Aku tersenyum tawar.“Mintalah yang lain, Niha. Mobil, uang, ponsel, rumah, pulau pribadi, jet pribadi, bisa aku kasih. Tapi untuk dua itu ....”“Aku enggak butuh harta! Aku hanya ingin ke makam Mama. Aku kangen sama Mama, Mas. Sama aku ingin kita menemui Asti untuk membuktikan ucapanmu kalau kamu memang tidak ada apa-apa sama dia. Juga untuk membuktikan kalau kamu beneran cinta sama aku.” Aku pun kembali berbaring.Tidak butuh waktu lama, sentuhan lembut terasa di lengan.“Baiklah, kita ziarah. Tapi untuk ke rumah Asti, aku minta jangan dulu. Aku janji akan melakukan itu tapi tidak sekarang. Ada yang sedang aku rencanakan. Kumohon mengertilah.""Rencana apa? Katakan!”“Ada dan kamu belum perlu tahu. Ya udah, sekarang kita ziarah. Tapi makanlah dulu. Apa perlu panggil dokter buat meriksa kamu?”Aku menggeleng. “Nggak perlu.”“Ayo duduk lagi, selesaikan mak
Mataku membola, menatapnya. Kelakuan pria ini sungguh di luar nalar.“Waktu itu, aku melakukannya tidak sengaja karena cemburu pada Arjuna. Aku pikir seperti biasanya, tidak bereaksi dan aku hanya ingin menakut-nakutimu saja. Tapi ternyata aku salah. Kamu mampu membuat’nya’ bangkit dan akhirnya kebablasan.”“Sejauh apa kebebasanmu di masa lalu, Mas? Yakin kamu tidak terkena penyakit kelamin menular?”“Meski yakin aku tidak pernah melakukan hubungan terlarang, aku tetap rutin mengecek kesehatan. Aku dinyatakan sehat, tidak sakit.”“Yakin?”“Ya, atau mau aku tunjukkan hasilnya?” Mas Aqsal mengoperasikan ponsel, lalu menunjukkan foto hasil tesnya yang terakhir. Ada tulisan hasil test entah apa yang kesimpulannya dia sehat.Satu per satu rahasia Mas Aqsal terkuak dengan sendirinya. Jujur, semua itu membuatku tercengang. Entah apa lagi yang disembunyikannya. Jika terungkap nanti, apa bisa aku tetap bertahan?“Niha, percayalah. Aku sangat menyesal dengan semua tindakan burukku. Aku ingin me
Mas Aqsal menyabar pinggangku, menatapku dalam.“Aku takut kalau suatu saat uang nafkah itu kamu ungkit-ungkit karena dulu aku berniat pisah sama kamu. Aku nggak mau uang itu memberatkanku.”“Sejahat-jahatnya aku, tidak mungkin melakukan itu karena aku paham harus memberikan nafkah pada pasangan. Saat kamu tidak ada kemarin, aku mencoba mengeceknya dan ternyata isinya masih benar-benar utuh padahal setiap bulan aku transfer. Di mutasi, tidak ada uang keluar. Mulai sekarang, dipakai, ya.”“Aku takut sama kamu, Mas.”Aku menunduk, tetapi Mas Aqsal meraih daguku dan menyuruhku menghadapnya.“Kalau aku dalam mode kejam, tolong anggap aku ODGJ atau sedang kesurupan. Jangan diambil hati. Karena kadang pun, semua itu di luar kemauanku.”Aku mencoba tersenyum, lalu mengangguk. Aku paham dengan sakitnya meski dia belum jujur. Mas Aqsal mendekatkan wajah, lalu bibir kami bertemu. Kali ini, kecupannya sangat lembut. Aku pun mengurai terlebih dulu karena ini tempat umum.“Permisi, ini pesanannya.
“Ayo kita langsung mandi dan salat Zuhur,” ajakku setelah beristirahat beberapa saat. Bukannya menurut, Mas Aqsal kian mengencangkan pelukan.“Lima menit lagi.”“Nggak ada alasan untuk menunda salat. Aku sudah memenuhi permintaanmu dan sekarang aku menagih kesanggupanmu yang katanya akan rajin salat itu.”Aku berusaha duduk sambil membenahi letak selimut untuk menutupi tubuh. Mas Aqsal malah menurunkannya kembali.“Mas!”Pria itu terkekeh, lalu ikut duduk. “Selimutnya cuma satu, kalau kamu bawa, aku akan percaya diri mengejarmu. Tapi kalau aku bawa, aku akan memangsamu lagi. Pilih mana?”Kucubit kuat perutnya.“Awh! Niha, jangan membangunkannya lagi.”“Cukup, ya, Mas!”“Garangnya istriku.”“Kamu tengkurap, aku mau turun, aku mau bawa selimutnya ke kamar mandi.”“Ogah.”“Mas!”“Kita mandi berdua saja. Ayo.”Pria itu turun dari ranjang, lalu merentangkan tangan. Aku spontan menutup mata dengan telapak tangan.“Nggak usah malu. Ayo sini.”“Kamu dulu aja yang mandi, aku di sini dulu.”“Ng
“Apa kabar?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangan.Kutaksir dia seumuran Mas Aqsal. Kulitnya sawo matang, tetapi perawakannya manis.Bukannya menerima uluran tangan pria itu, Mas Aqsal justru sedikit menyeretku pergi.Sesekali aku menoleh ke belakang, memperhatikan pria itu. Dia melakukan hal yang sama, menatapku dan Mas Aqsal.“Siapa pria tadi, Mas?” tanyaku saat kami berjalan beriringan.“Bukan siapa-siapa.” Raut wajah Mas Aqsal berubah drastis. Dia dalam mode seperti dulu. Kaku.Oke, daripada dia mengamuk, aku memilih diam dan tidak akan bertanya macam-macam lagi. Satu hal yang kutahu dari priaku ini. Dia akan bercerita secara sendirinya ketika dia ingin. Namun, jika tidak ingin, dipaksa sampai darah tinggi pun, tidak akan mau bicara. Pria ini tidak suka dipaksa, tetapi hobi memaksa. Seunik itu.“Masih ada barang yang tertinggal di kamar hotel nggak?” tanyanya.Aku membuka tas dan mengamati isinya. “Udah aku bawa semua, sih. Soalnya aku cuma bawa alat mekap dan kartu identitas
Perlahan, kuayun kaki mendekat ke arah Asti. Wanita yang sepertinya tahu kehadiranku itu mendongak, menatapku.“Assalamu’alaikum. Selamat sore. Siapa, ya?” tanyaku. Suara ini kubuat-buat agar dia tidak sadar kalau ini aku, orang yang dulu pernah menjadi temannya.Kacamata hitam, gamis warna lilac yang baru dibelikan Mas Aqsal, pasmina warna nude, dan masker hitam yang kukenakan sangat membantu proses penyamaran. Kata orang-orang, tubuhku tambah kurus. Jadi, semoga saja Asti tidak mengenaliku.“Waalaikumsalam. Ibu ini siapa?” Asti bertanya balik.Ibu dia bilang? Apa dandananku mirip ibu-ibu? Parah!“Oh, saya kerabat Aqsal. Kalau kamu sendiri?”“Saya teman dekatnya Aqsal, Bu. Tadi saya sudah menghubunginya, tapi tidak diangkat. Ya sudah, saya permisi.”“Mungkin ada yang bisa saya bantu?”“Ah, tidak usah. Tapi mohon maaf, saya baru lihat Ibu di sini. Kerabat Aqsal dari pihak siapa, ya?”Astaga, Asti sepertinya sangat kepo.“Saya kerabat jauh, tapi baru tadi pagi bisa datang takziah. Apa