Wajah Mas Aqsal pias. Tangan yang awalnya masih mengambang di udara karena tengah menyuapiku, perlahan diturunkan.“Sudah kuduga.” Aku tersenyum tawar.“Mintalah yang lain, Niha. Mobil, uang, ponsel, rumah, pulau pribadi, jet pribadi, bisa aku kasih. Tapi untuk dua itu ....”“Aku enggak butuh harta! Aku hanya ingin ke makam Mama. Aku kangen sama Mama, Mas. Sama aku ingin kita menemui Asti untuk membuktikan ucapanmu kalau kamu memang tidak ada apa-apa sama dia. Juga untuk membuktikan kalau kamu beneran cinta sama aku.” Aku pun kembali berbaring.Tidak butuh waktu lama, sentuhan lembut terasa di lengan.“Baiklah, kita ziarah. Tapi untuk ke rumah Asti, aku minta jangan dulu. Aku janji akan melakukan itu tapi tidak sekarang. Ada yang sedang aku rencanakan. Kumohon mengertilah.""Rencana apa? Katakan!”“Ada dan kamu belum perlu tahu. Ya udah, sekarang kita ziarah. Tapi makanlah dulu. Apa perlu panggil dokter buat meriksa kamu?”Aku menggeleng. “Nggak perlu.”“Ayo duduk lagi, selesaikan mak
Mataku membola, menatapnya. Kelakuan pria ini sungguh di luar nalar.“Waktu itu, aku melakukannya tidak sengaja karena cemburu pada Arjuna. Aku pikir seperti biasanya, tidak bereaksi dan aku hanya ingin menakut-nakutimu saja. Tapi ternyata aku salah. Kamu mampu membuat’nya’ bangkit dan akhirnya kebablasan.”“Sejauh apa kebebasanmu di masa lalu, Mas? Yakin kamu tidak terkena penyakit kelamin menular?”“Meski yakin aku tidak pernah melakukan hubungan terlarang, aku tetap rutin mengecek kesehatan. Aku dinyatakan sehat, tidak sakit.”“Yakin?”“Ya, atau mau aku tunjukkan hasilnya?” Mas Aqsal mengoperasikan ponsel, lalu menunjukkan foto hasil tesnya yang terakhir. Ada tulisan hasil test entah apa yang kesimpulannya dia sehat.Satu per satu rahasia Mas Aqsal terkuak dengan sendirinya. Jujur, semua itu membuatku tercengang. Entah apa lagi yang disembunyikannya. Jika terungkap nanti, apa bisa aku tetap bertahan?“Niha, percayalah. Aku sangat menyesal dengan semua tindakan burukku. Aku ingin me
Mas Aqsal menyabar pinggangku, menatapku dalam.“Aku takut kalau suatu saat uang nafkah itu kamu ungkit-ungkit karena dulu aku berniat pisah sama kamu. Aku nggak mau uang itu memberatkanku.”“Sejahat-jahatnya aku, tidak mungkin melakukan itu karena aku paham harus memberikan nafkah pada pasangan. Saat kamu tidak ada kemarin, aku mencoba mengeceknya dan ternyata isinya masih benar-benar utuh padahal setiap bulan aku transfer. Di mutasi, tidak ada uang keluar. Mulai sekarang, dipakai, ya.”“Aku takut sama kamu, Mas.”Aku menunduk, tetapi Mas Aqsal meraih daguku dan menyuruhku menghadapnya.“Kalau aku dalam mode kejam, tolong anggap aku ODGJ atau sedang kesurupan. Jangan diambil hati. Karena kadang pun, semua itu di luar kemauanku.”Aku mencoba tersenyum, lalu mengangguk. Aku paham dengan sakitnya meski dia belum jujur. Mas Aqsal mendekatkan wajah, lalu bibir kami bertemu. Kali ini, kecupannya sangat lembut. Aku pun mengurai terlebih dulu karena ini tempat umum.“Permisi, ini pesanannya.
“Ayo kita langsung mandi dan salat Zuhur,” ajakku setelah beristirahat beberapa saat. Bukannya menurut, Mas Aqsal kian mengencangkan pelukan.“Lima menit lagi.”“Nggak ada alasan untuk menunda salat. Aku sudah memenuhi permintaanmu dan sekarang aku menagih kesanggupanmu yang katanya akan rajin salat itu.”Aku berusaha duduk sambil membenahi letak selimut untuk menutupi tubuh. Mas Aqsal malah menurunkannya kembali.“Mas!”Pria itu terkekeh, lalu ikut duduk. “Selimutnya cuma satu, kalau kamu bawa, aku akan percaya diri mengejarmu. Tapi kalau aku bawa, aku akan memangsamu lagi. Pilih mana?”Kucubit kuat perutnya.“Awh! Niha, jangan membangunkannya lagi.”“Cukup, ya, Mas!”“Garangnya istriku.”“Kamu tengkurap, aku mau turun, aku mau bawa selimutnya ke kamar mandi.”“Ogah.”“Mas!”“Kita mandi berdua saja. Ayo.”Pria itu turun dari ranjang, lalu merentangkan tangan. Aku spontan menutup mata dengan telapak tangan.“Nggak usah malu. Ayo sini.”“Kamu dulu aja yang mandi, aku di sini dulu.”“Ng
“Apa kabar?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangan.Kutaksir dia seumuran Mas Aqsal. Kulitnya sawo matang, tetapi perawakannya manis.Bukannya menerima uluran tangan pria itu, Mas Aqsal justru sedikit menyeretku pergi.Sesekali aku menoleh ke belakang, memperhatikan pria itu. Dia melakukan hal yang sama, menatapku dan Mas Aqsal.“Siapa pria tadi, Mas?” tanyaku saat kami berjalan beriringan.“Bukan siapa-siapa.” Raut wajah Mas Aqsal berubah drastis. Dia dalam mode seperti dulu. Kaku.Oke, daripada dia mengamuk, aku memilih diam dan tidak akan bertanya macam-macam lagi. Satu hal yang kutahu dari priaku ini. Dia akan bercerita secara sendirinya ketika dia ingin. Namun, jika tidak ingin, dipaksa sampai darah tinggi pun, tidak akan mau bicara. Pria ini tidak suka dipaksa, tetapi hobi memaksa. Seunik itu.“Masih ada barang yang tertinggal di kamar hotel nggak?” tanyanya.Aku membuka tas dan mengamati isinya. “Udah aku bawa semua, sih. Soalnya aku cuma bawa alat mekap dan kartu identitas
Perlahan, kuayun kaki mendekat ke arah Asti. Wanita yang sepertinya tahu kehadiranku itu mendongak, menatapku.“Assalamu’alaikum. Selamat sore. Siapa, ya?” tanyaku. Suara ini kubuat-buat agar dia tidak sadar kalau ini aku, orang yang dulu pernah menjadi temannya.Kacamata hitam, gamis warna lilac yang baru dibelikan Mas Aqsal, pasmina warna nude, dan masker hitam yang kukenakan sangat membantu proses penyamaran. Kata orang-orang, tubuhku tambah kurus. Jadi, semoga saja Asti tidak mengenaliku.“Waalaikumsalam. Ibu ini siapa?” Asti bertanya balik.Ibu dia bilang? Apa dandananku mirip ibu-ibu? Parah!“Oh, saya kerabat Aqsal. Kalau kamu sendiri?”“Saya teman dekatnya Aqsal, Bu. Tadi saya sudah menghubunginya, tapi tidak diangkat. Ya sudah, saya permisi.”“Mungkin ada yang bisa saya bantu?”“Ah, tidak usah. Tapi mohon maaf, saya baru lihat Ibu di sini. Kerabat Aqsal dari pihak siapa, ya?”Astaga, Asti sepertinya sangat kepo.“Saya kerabat jauh, tapi baru tadi pagi bisa datang takziah. Apa
“Haram bagi jomlo lihat adegan panas kayak gini,” tutur Mas Aqsal. Dia tersenyum saat mengatakan itu.Panas dia bilang? Panas apaan? Kucubit kuat lengannya hingga dia meringis.Mas Aqsal kembali menenggelamkanku di kolam, membuatku sedikit terkejut. Aku kira dia benar-benar akan memb*nuhku. Namun, ternyata kepalaku masih berada di permukaan. Karena takut tenggelam, kupeluk lehernya.“Co, ponsel gue di meja. Fotoin!”“Mas!” Aku yang malu, mencoba mengingatkannya sambil menggeleng.“Berani bayar berapa? Gue maunya pakai dolar,” jawab pria yang dipanggil Co tadi. Namun, dia tetap melaksanakan titah Mas Aqsal. Dia mengoperasikan ponsel itu lalu mengarahkannya kepada kami. Entah sudah berapa jepretan didapatkan ketika Mas Aqsal bertindak hal random tanpa rasa malu.“Sal, gi*la lo! Lama-lama gue beralih profesi jadi fotografer majalah dewasa!” pekik pria itu lagi.Per sekian detik, Mas Aqsal menyambar bibirku, membuat tubuh ini membeku.“Parah lo! Tadi nyuruh gue jadi tukang foto, sekarang
“Sayang, temani aku!” Seperti bisa, Mas Aqsal berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar Mama malam harinya. Mungkin Dokter Dico sudah pulang.Setelah tahu titik lemah Mas Aqsal, aku sengaja menempati kamar Mama jika malam hari. Meskipun tadi pagi, katakanlah kami sudah berdamai, aku masih ingin mengujinya lagi. Kali ini kamarnya aku kunci. Biarkan dia teriak sampai lelah sendiri.“Niha, aku punya sesuatu untuk kamu. Buka, Sayang!"Bodoh amat.“Mau ponsel nggak?”Ponsel? Cepat-cepat aku turun dari ranjang dan berlari membuka pintu.Kusuguhkan senyum termanis untuknya sambil menengadahkan tangan. “Mana ponselnya?”“Ada, di konter ponsel.”Senyumku langsung memudar.“Mana!”“Nggak ada.”Aku bersiap meninggalkannya, tetapi ditahan.“Dasar, istri nakal. Pasti nggak mau keluar kalau nggak diiming-iming ponsel.” Mas Aqsal sedikit menyeretku untuk menaiki tangga.Tiba di ruang bersantai di lantai dua, Mas Aqsal berhenti. Dia menyalakan televisi, tetapi cekalan di tanganku belum beralih.Di
“Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny
Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar
“Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup
“Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany
Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti
“B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang
“Niha, hati-hati kalau lari!” Suara familier itu terdengar saat tubuh Niha menubruk dada seseorang. Kalau saja pria itu tidak memeluknya, Niha pasti akan jatuh.Sambil tersenyum tidak enak, Niha pun melepaskan diri.“Dokter Dico. Ma-maaf.”“Ya, nggak apa-apa. Untung aku yang kamu tubruk. Kalau orang lain gimana? Dan kenapa lari kayak ketakutan gini?”“A-ada pria menyeramkan, Dok. Dia tetangga baru di kontrakanku. Mungkin dia sengaja mengikutiku. Aku takut.”“Menyeramkan?”“Ho'oh. Oh, ya, kenapa bisa kebetulan Dokter ada di sini?”Dico terkekeh. “Aku tadi baca status W* kamu, katanya OTW ke sini. Ya udah, aku susul ke sini sengaja nggak ngasih tahu. Buat tantangan juga bisa menemukanmu apa enggak di pantai seluas ini. Eh, ternyata bisa.”“Kok cepet? Dari Jakarta?”“Enggak. Aku tiba di kota ini semalam. Jum’at sore kemarin setelah dinas, aku berangkat biar bisa di sini agak lama. Nginep di hotel, lalu pagi ini di sini, kita bertemu ini. Bukankah aku sudah bilang akan menyusul?”Niha ter
“Dok.” Niha memanggil saat Dico mengabaikan pertanyaannya. Justru ada suara seperti gumaman di seberang sana.“Eh, iya. Sebentar ya, lagi ngomong sama seseorang.” Dico menimpali. Suara yang didengar Niha sebuah suara tidak jelas.“Halo, Niha,” ujar Dico setelah selesai.“Ada kabar apa?”“Nggak jadi. Kemarin kamu bilang nggak tertarik sama si mantan musuh. Jadi, nggak usah aja.” Dico terkekeh. “Oh, ya, kamu lagi ada di mana ini?”Mantan musuh? Niha berpikir mungkin itu kabar tentang Asti. Ia tidak peduli.“Kasih tahu nggak ya?” Niha tertawa.Di seberang, Dico ikut tertawa. “Kali aja aku minat ingin ke sana juga. Pengen nyusul.”“Dokter, kok, hobi menguntit. Aku lagi di Malang, Dok. Dan langsung jatuh cinta sama tempat ini. Di sini sejuk, cenderung dingin. Hal yang nggak didapat di Jakarta.”“Ya sudah. Jangan lupa oleh-olehnya kalau balik.”“Siap, Bos.”“Niha.”“Ya.”“Ah, nggak jadi.”“Dasar. Ya udah, aku tutup teleponnya. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam. Enjoy your holiday, Niha.”
Akibat perbuatannya, Robin dijerat pasal berlapis mulai dari kepemilikan senjata api ilegal, rencana pembunuhan pada Niha dan Aqsal, juga terkuaknya kasus terdahulu yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Ia dipenjara sepuluh tahun dan denda yang tidaklah sedikit.Sementara Asti, Niha tidak terlalu paham karena benar-benar memutus sambungan dengan wanita itu. Terakhir yang diketahui, Asti dijodohkan oleh orang tuanya.Setahun belakangan ini, Niha tinggal di sebuah apartemen elite yang dibeli dari uang peninggalan sang suami. Rumah pribadinya dibiarkan kosong. Hanya saja, tetap ada orang yang ditugaskan membersihkan. Ia masih ada di Jakarta, menunggu jika sewaktu-waktu Aqsal datang. Aqsal sendiri seperti ditelan bumi. Pihak kepolisian, detektif, mencari lewat media sosial, bahkan dukun dikerahkan untuk mencari. Namun, hasilnya nihil.“Aku nggak jadi ke Mesir aja, Mbak. Nemeni Mbak di sini,” ujar Nizam dulu sesaat setelah lulus.“Jangan karena masalah Mbak, jadi penghalang cita-citamu. Mb