Tadi pagi, aku masih merasakan kebahagiaan yang meletup-letup. Namun, sekarang semua itu berubah menjadi letupan bara api yang menggosongkan hati.Tadi pagi, aku masih melayani semua kebutuhannya, dia pun bersikap lembut dengan memberiku hadiah perhiasan. Baru kutahu kalau di belakangku dia ternyata begitu menjijikkan.Mas Aqsal itu pria penuh jebakan. Seluruh persendianku rasanya lemas saat melihat Mas Aqsal seperti sedang memeluk seorang wanita. Posisi pria itu membelakangiku. Sementara wanita yang tertutup tubuh Mas Aqsal, memeluk pinggang pria yang selalu menunjukkan kasih sayang begitu besar padaku. Keduanya mungkin belum menyadari kedatanganku.Siapa wanita itu?“Nggak bisa lepas, Mas?” ucap wanita itu dengan suara manja.“Sebentar, masih diusahakan.”“Kamu, sih.” Wanita itu tergelak.Tunggu, aku sangat mengenali suara wanita ini. Suara Asti?Aku sedikit menengok agar bisa melihat wajah wanita itu dan benar. Itu Asti.Dua kali aku memergoki suamiku berduaan dengan Asti bermesra
“K*parat kamu, Mas!” Aku meraung sambil mendorong tubuh Mas Aqsal yang masih menindihku. Tidak juga berhasil. Baru setelah mungkin mendapatkan pelepasan, dia menjauh.Dia berdiri dengan napas memburu sambil menatapku lekat. Sementara pandanganku tak kalah tajam menyorotnya.Aku duduk. Mas Aqsal melakukan hal serupa di sampingku. Dia mencekal kedua pipiku, mengunciku dalam tatapan.“Aku hanya budak naf*umu, Mas! Bahkan di situasi seperti ini kamu bisa melakukannya! Dan itu sangat menyakitkan! Ini pelecehan!” Air mataku berderai membasahi telapak tangannya yang ada di pipi.“Aku melakukan ini agar kamu percaya kalau tuduhanmu tadi tidaklah benar. Aku tidak pernah berbuat hal di luar batas bersama Asti!”“Bohong!”“Pabrik ini bangkrut. Aku membeli sebagian besar sahamnya. Perantaranya Asti. Itulah kenapa akhir-akhir ini aku sering berhubungan dan bertemu dengannya. Tadi, kami tidak sengaja keluar bersamaan dan rambutnya nyangkut. Aku berusaha melepasnya.”“Tapi dia memelukmu! Dia itu suk
“Nyonya, salat Zuhur dulu,” ujar orang itu.“Ya Allah, Mbak Sa. Ngagetin aja.” Aku mengatur napas dan ritme jantung dengan memegangi dada.“Maaf, tapi Nyonya biasanya dipanggil bangun, ini tadi enggak. Saya khawatir. Makanya saya sentuh.”“Jam berapa sekarang?”“Jam setengah dua. Tadi pagi adek Nyonya kirim pesan. Ini,” ucap Mbak Sa sambil menyodorkan ponselnya.Mendengar kata adik, semangatku seolah-olah langsung terisi penuh. Kuterima ponsel itu sambil tersenyum senang. Kami memang sering berkomunikasi dengan ponsel pengurus akhir-akhir ini.[Aku mau ke tempat Mbak Niha. Mumpung hari ini libur. Tunggu, ya!]Mataku membelalak saat melihat pesan itu.[Oke, Mbak tunggu. Jam berapa kira-kira datangnya?]“Mbak Sa, apa dia sudah datang?” cecarku langsung.Mbak Sa mengerutkan kening. “Siapa? Tuan? Beliau di rumah sejak tadi.”“Bukan, Nizam. Di pesannya, katanya mau datang Nanti kalo dia datang, tolong biarkan masuk, ya. Saya salat dulu.”Cepat-cepat aku berlari ke kamar mandi untuk member
“Astagfirullah. Kamu bertindak tanpa izin sama Mbak dulu! Ini menyangkut Mbak, loh. Hidup Mbak, pernikahan Mbak. Tapi kamu seenaknya aja.” Aku meraup wajah.“Aku minta maaf, Mbak. Karena saat itu aku belum tahu kebenarannya. Dan tadi baru kurasakan dan kuakui kalau Mas Aqsal sebenarnya baik.”“Ya Allah, Nizam. Lalu bagaimana caramu meminta tolong sama Arjuna?”“Aku mengirim pesan sama dia. Nomornya dari kartu nama yang pernah dikasihkan dulu. Mbak, waktu itu aku bingung bagaimana cara agar Mbak bisa segera pisah dari Mas Aqsal. Minta tolong ke pihak pesantren atau Ustaz Sauqi jelas nggak mungkin. Mereka pun belum tentu mau karena ini urusan keluarga. Lagi pula itu bisa mencoreng nama pesantren.”“Lalu malah meminta tolong kepada orang asing dan mencoreng nama Mbak? Begitu?”“Enggak gitu maksudnya. Aku ingat pernah ketemu dia beberapa kali dulu. Kak Arjuna bilang kalau Mbak harusnya pisah dari Mas Aqsal karena Mas Aqsal itu membahayakan. Dari situ aku memberanikan diri menghubungi lewa
“Asal apa?” tanyaku.“Asal tetap dalam pantauan para pekerja,” jawab Mas Aqsal.“Siap, Bos.”Lalu, terjadilah yang harus terjadi antara kami.**Pagi ini, aku sengaja menggoda Mas Aqsal lagi agar izin untuk keluar rumah tetap diberikan. Aku tidak mau dia berubah pikiran. Ada banyak hal yang akan kukerjakan jika sudah bebas di luar nanti.Aku melihatnya sudah rapi dengan pakaian kerja. Dia menyisir rambut. Kudekati, lalu kupeluk tubuhnya.“Mas, aku nanti keluar buat shoping, habisin uang kamu. Boleh?” Kuhidu aroma parfum di punggungnya yang membuatku betah berlama-lama mendekapnya. “Boleh. Tapi pergilah sama Sa. Biar nanti dikawal Soni.”“Ya ampun, bener-bener istri tahanan aku ini, ya!”Mas Aqsal memutar tubuh. Dia menyejajarkan tinggi tubuhnya dengan tubuhku, lalu menyentil keningku pelan. “Karena kamu itu nakal. Pagi ini aku mau ngantar Nizam dulu, baru ke kantor. Mau ikut?”Aku menggeleng. “Enggak, ah. Di kantor pasti ada Asti.”“Ck, jangan sebut nama dia lagi kalau bikin mood kam
Aku hanya memindah-mindah saluran Youtu*e di televisi. Bagaimanapun juga, perkataan Asti banyak memengaruhi pikiranku.“Kalau kamu tahu apa yang kusembunyikan tentang suamimu itu, kamu pasti akan mundur,” ujarnya tadi sebelum pergi.“Aargh!” Aku melempar bantal ke sembarang tempat.Mungkin itu yang dimaksud Mas Aqsal kartu as yang dipegang Asti. Suasana hatiku benar-benar hancur. Aku pun mencari Mbak Sa.“Mbak Sa,” panggilku di depan kamarnya sebab tidak mendapati dia ada di dapur.Tidak lama kemudian, wanita itu keluar.“Ada yang bisa dibantu, Nyonya?”“Itu, saya mau minta tolong. Tolong W* Dokter Dico kalau saya ingin bertemu. Apa harus membuat janji dulu, ya?”Mbak Sa diam. “Tapi saya sudah diberitahu Tuan, tidak boleh meminjamkan ponsel ke Nyonya.”“Ayolah, Mbak. Dia nggak tahu. Saya ingin konsultasi sejauh apa sakit dan perkembangan kesehatannya. Itu aja.”“Tapi–““Saya mohon, Mbak. Ini demi Mas Aqsal. Bukankah saya juga berhak banyak tahu? Dan kuncinya ada di dokter itu.”Mbak S
“Mbak Fat, tolong biarkan saya berdua saja dengan tamu itu,” ujarku sambil melirik Fatim.“Baik, Mbak.”Fatim keluar, Asti masuk dan duduk di hadapanku. Aku pura-pura kembali sibuk.“Ada apa lagi kamu menemuiku?” tanyaku sambil tersenyum. Senyum yang kupaksakan.Ingin rasanya mencakar wajahnya yang bermekap tebal dan berbalut topeng itu. Topeng sok baik padahal sejatinya hobi mengusik.“Tadi aku ke rumahmu, ternyata kamu nggak ada. Kata ART, kamu sudah mulai kerja lagi. Jadi, aku langsung ke sini.”Aku terkekeh. “Ya, begitulah. Saking sayangnya Mas Aqsal, sampai-sampai aku tidak boleh keluar rumah dan baru diizinkan sekarang.”“Ada hal yang harus aku sampaikan ke kamu,” lanjutnya.“Apa lagi yang harus dibicarakan? Bukankah semua sudah jelas? Lalu, bagian mana yang membuatmu belum mengerti?” timpalku.Kututup laptop, lalu menatapnya.“Aku mencintai suamimu. Aku menginginkannya.”Aku sama sekali tidak terkejut akan hal itu. Sejak memergokinya pertama kali saat itu, aku memang sudah curi
Asti masih membeku.“Asti, Mas Aqsal sudah cerita semua. Jadi, aku tidak terkejut sama sekali dengan hasutanmu,” ujarku santai. Aku sengaja berbohong agar terlihat aku ini tahu semua. Padahal kabar yang sempat dikhawatirkan Mama ini baru kuketahui. Hatiku berdentam terkejut tak karuan.Kucondongkan tubuh hingga jarakku dengan Asti hanya sekitar dua sentimeter. “Apa? Kamu mau bicara apa lagi untuk memisahkan kami?”Asti tersenyum. “Berarti benar. Kamu hanya dijadikan Aqsal sebagai babu yang merawatnya. Dulu babu merawat mamanya, sekarang merawat dia. Miris sekali hidupmu. Jauhi dia, Niha. Atau kuseber video ini dan itu apa artinya? Karir dan bisnis suamimu akan hancur.”Pemikiranku tepat. Video ini yang dimaksud Mas Aqsal.Kurebut paksa ponsel Asti, tetapi tidak berhasil.Wanita itu kembali tertawa. “Aku menyimpan video ini di banyak tempat. Jadi, percuma kalau kamu ambil dan hapus yang ini.”“Setelah aku menjauhi dia, apa untungnya untukmu? Kamu mau merawat dia yang sakit?” tanyaku.A