“Lepas! Siapa kalian!” Aku mencoba berontak saat dua pria menyeretku menuju mobil.“Tolong!” Aku berteriak.Sialnya, kondisi di sekitar sedang sepi. Namun, aku tetap berontak agar tidak sampai masuk mobil.“Kenapa kalian membawa saya!” Aku berteriak.Keduanya tidak menjawab, justru mencengkeram lengan makin kuat. Dengan sengaja, aku menggigit lengan salah satunya.“B4j*ngan! Kur*ng ajar kamu!”Plak!Pria yang aku gigit menampar pipiku. Panas!“Go*lok! Jangan sakiti dia! Bisa habis kita dimarahi bos!” Salah satunya membentak pria yang telah menamparku.“As*, lo pikir nggak sakit?” Pria yang kugigit mengumpat.“Dasar b*nc1. Beraninya cuma sama wanita. Siapa yang nyuruh kalian, hah!” Entah keberanian dari mana sampai aku bisa seberani ini menghadapi mereka. Semua anggota tubuhku kugerakkan, berharap bisa terlepas dari mereka.Keduanya tetap tidak menjawab. Sekuat tenaga aku menggerakkan tangan dan tetap mempertahankan tubuh agar tidak dimasukkan ke dalam mobil.“Masuk!” bentak wanita yan
Mataku melebar saat Nizam berbicara ngawur seperti itu. Sepertinya, adikku itu sangat marah. Aku menggandeng lengannya, mencari tempat agak jauh agar percakapan kami tidak didengar oleh Ustaz Sauqi.“Zam, dengerin Mbak. Mbak mau ke rumah Mas Aqsal diam-diam untuk mengambil surat nikah buat daftar gugatan cerai, bukan mau piknik sampai kamu harus ikut. Habis itu Mbak balik, lalu baru Mbak urus di pengadilan agama. Karena kalau Mbak minta secara baik-baik, mungkin tidak akan dikasih. Dan kalau mengurus di kepolisian, takut ribet. Langkah ini dulu aja Mbak ambil. Kalau sudah mentok, baru nanti ngurus di kepolisian."“Tapi itu sangat berisiko, Mbak. Emang Mbak tahu di mana Mas Aqsal menyembunyikannya?”Aku menggeleng. “Tapi Mbak akan berusaha.”“Sekarang ikut aku dulu. Karena kalau Mbak nekat kayak gini dan diculik lagi, aku nggak tenang sekolah.”Aku bersedekap. “Apa Ustaz Sauqi yang bilang ke kamu kalau Mbak mau pergi dan tadi hampir diculik?”“Siapa lagi selain dia? Aku sekolah dulu sa
Aku tidak cemburu melihat kemesraan mereka, hanya saja tidak menyangka sahabatku bisa melakukan semua ini kepadaku.Dua orang dimabuk asmara itu sepertinya belum tahu kalau aku datang.Ini baru sekali kupergoki. Bukan tidak mungkin setiap hari mereka bermesraan seperti ini. Atau bahkan sudah melakukan hubungan suami istri? Astagfirullah. Pikiranku kotor sekali.“Tuan sedang sakit, Mbak. Itu temannya menjenguk. Teman Mbak Niha juga, kan?” ujar Mbak Sa, membuyarkan lamunanku.Kutelisik wajah Mbak Sa yang biasa saja. Sepertinya, dia tidak tahu skandal tuannya dengan mantan temanku itu. Aku hanya tersenyum.“Ya, dan mungkin sebentar lagi wanita itu akan menggantikan posisiku di rumah ini, Mbak.”“Apa maksud Mbak Niha? Kenapa bilang gitu? Dari tadi Mbak pilang cerai-cerai terus perasaan.”Aku menunduk, enggan melihat Mas Aqsal dan Asti yang masih di lantai atas.“Aku akan menyerah dengan pernikahan ini, Mbak Sa. Aku nggak kuat.”Kurasakan sebuah elusan di lenganku. Nizam dari tadi tidak be
Berontak dan melawan tidak ada gunanya. Justru keberingasan pria ini kian menjadi-jadi. Aku terus berontak, tetapi Mas Aqsal tetap berhasil menggagahiku.Suara gedoran di pintu menjadi lagu pengantar penyatuan kami. Teriakan Nizam dari luar, menjadi saksi betapa aku telah gagal menjaga diriku sendiri. Meski dilakukan suami sendiri, tetap saja ini pelecehan.Dalam kungkungan Mas Aqsal, aku terus terisak. Sengaja tidak kukeraskan suara sebab hal ini tabu. Meminta tolong pun percuma karena Mas Aqsal seperti kesetanan. Dia sangat liar dan buas.Dua kali, dia memberiku rasa sakitnya berhubungan. Air mataku berderai. Aku datang ke kandang singa dan singa itu lagi-lagi memangsaku, mengoyakku sampai tidak bersisa. Kedatangan seekor domba meski secara baik-baik untuk berdamai, tetap saja menjadi mangsa empuk sang singa.“Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Kalau kamu meminta talak lagi, justru ini yang akan kamu dapatkan. Ingat itu,” bisiknya saat masih ada di atasku. Tanganku dicekal di atas
“Pesantren ini telah mengajarkan ajaran radikal! Salah satu santrinya memukul kepala saya dengan gelas!” Mas Aqsal berbicara dengan menggebu-gebu saat aku masuk. Aku masih memperhatikan, belum mengucap salam.Kugenggam erat tangan Nizam. Aku yakin pasti dia ketakutan.Di ruang tamu ndalem, ada Abah dan Umi, dua orang berjaket hitam, dan beberapa orang lagi mungkin warga sini. Lalu ... ada Mas Aqsal yang di sampingnya dua orang berkemeja resmi.Pria ini datang pasti akan membuat huru-hara.“Assalamualaikum.” Akhirnya aku menguatkan diri mengucap salam.“Waalaikumussalam. Niha, kemari, Neng.” Umi memanggil. Matanya berkaca-kaca. Entah apa yang sedang dipikirkan wanita bersahaja itu, tetapi aku tahu beliau pasti kecewa denganku. Kakiku sendiri entah mengapa sangat sulit digerakkan mendekat ke arahnya. Bibir ini seperti dijahit yang sulit sekali dibuka. Semua ini terlalu mengejutkan.Keterkejutan, rasa bersalah, dan kebencian bergumul menjadi satu.Semua puing rasa sakit yang berhasil ku
“Kamu itu licik, Mas. Kamu itu baji*ngan!” desisku.“Kamu tinggal pilih. Mau mengorbankan pesantren beserta isi dan santrinya, juga adikmu yang mendekam di penjara demi keras kepalamu itu, atau kamu balik pulang ikut aku dan semuanya akan aman terkendali lagi.”“Aku minta pisah. Satu hal itu saja. Aku mempersilakanmu bahagia bersama Asti. Apa itu sulit? Kurasa enggak? Tapi masalahnya malah melebar ke mana-mana.”“Dan aku sudah bilang puluhan atau bahkan ratusan kali kalau aku tidak akan menceraikanmu. Apa kamu kurang paham atas satu hal itu?”Aku sungguh tidak habis pikir dengan pria ini. “Mas, jangan egois. Aku berhak bahagia, dan kamu juga bebas bahagia bersama Asti. Dan bahagiaku adalah pisah darimu.”“Niha, pilihan hanya dua. Kembali sama aku, atau pesantren dan semua penghuninya ini akan jadi tumbalnya. Pilih sekarang juga.” Mas Aqsal bersedekap. Ia lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya. Entah apa yang dilakukan dengan ponselnya itu.Aku melangkah, tetapi ditahan olehnya.“Kita h
“Mas!” Aku memekik geram.“Semua tergantung dengan amal ibadahmu. Kalau kamu bersikap manis padaku, nurut padaku, bisalah kita buat kesepakatan. Tapi kalau kamu tetap galak, terus minta pisah, aku tidak berani menjamin adikmu aman.”“Kamu ini benar-benar iblis, Mas!” desisku sambil mengepalkan tangan.Pria itu hanya mengedikkan bahu. Ia menyeretku untuk ikut dengannya menemui Abah. Aku sudah menolak, tetapi terus dipaksa.“Apa ada sapi yang jadi korban?” tanya Mas Aqsal.“Tidak ada, Kang. Alhamdulillah semua aman,” jawab Abah.Mas Aqsal mengedip kepadaku.“Aku bisa mengatakan ke Abah kalau kamulah yang penyebab semuanya, Mas,” bisikku.“Silakan. Abah masih punya sawah, ‘kan? Aku bisa pindah target.”Aku diam. Pria ini sangat membahayakan.“Niha, aku berani datang ke sini, itu berarti sudah kupikirkan rencana matang-matang dan sudah kukumpulkan semua informasi. Kalau kamu menolak ikut atau membocorkan rahasia kejahatanku, aku bisa dengan mudah mengubah target lainnya. Kamu mau itu terj
Aku hanya terpejam sejenak sambil mengembuskan napas panjang. Malas meladeni orang sepertinya.Terserah dia. Aku tidak lagi peduli. Aku tidak ubahnya boneka yang seenaknya dimainkan olehnya. Aku hanyalah tawanan dan mirisnya hanya budak pemuas naf*u. Serendah itu aku baginya.“Aku belum Magrib. Nanti kalau ada masjid tolong berhenti,” pintaku.“Jangan bilang kalau kamu mau kabur!” bentak Mas Aqsal.“Pikiranmu itu sesekali harus digosok pake gosokan panci biar sedikit bersih! Suudzon terus! Aku hanya ingin salat!”Mas Aqsal justru tertawa, lalu berbisik, “Kamu tambah cantik kalau marah.”“Hah, pria kejam sepertimu nggak pantas bicara manis.”Bibirnya tersungging sebelah. “Nggak sabar mengulang kejadian tadi pagi,” bisiknya.“Mau luka di kepalamu itu aku jadikan lebih parah? Biar gegar otak?”Bahkan rasa perihnya saja masih terasa sampai sekarang. Entah seperti apa tubuhku nanti kalau setiap hari harus melayaninya.Mas Aqsal tertawa.“Aku kamu siksa tiap hari, aku terima. Kamu menikah l