“Aku tidak tahu kau siapa, gadis manis,” ucap Dharma Aji, “tapi kau telah memfitnahku di hadapan orang banyak dan Paduko Rajo sendiri.”“Baiklah,” Sabai menggeram, ia kembali memandang pada sang raja. “Paduko,” ujarnya, “silakan perintahkan orang-orang Anda untuk menggeledah pakaiannya!”Sang raja mengernyit, memiringkan sedikit kepalanya demi memandang pada Dharma Aji. Bila gadis itu seyakin ini, tidak mungkin tidak, pasti ada sesuatu yang dirahasiakan Dharma Aji, pikirnya.“Jika kau tidak keberatan—”“Paduko,” Dharma Aji dengan cepat membungkuk. “Jangan percaya ucapan gadis gila itu. Dia memang sangat cantik, tapi sayangnya, dia sepertinya sedang mengadu domba saya dengan semua orang.”“Kurasa tidak ada alasan bagimu menolak untuk digeledah, bukan?” ujar sang raja. “Lagi pula, jika memang tidak terbukti, berarti namamu akan dibersihkan di hadapan semua orang. Dan gadis itu akan menanggung atas fitnah yang ia sebarkan.”“Hamba siap dihukum, Paduko,” ucap Sabai. “Jiak terbukti hamba m
Selama ini, Keris Tumbal Nyawa tidak pernah dikeluarkan oleh Datuk Parmato Nan Tongga sebab keris itu boleh dibilang memiliki hawa yang jahat. Kelak, keris itu jatuh ke tangan Simpai Gilo dan berubah nama menjadi Keris Narako.“Lalu, siapa itu si Kaciak yang kau sebutkan tadi?”“Aah, maafkan hamba, Paduko,” kembali Sabai membungkuk dan sesungguhnya ia sedikit gelisah, keinginannya begitu kuat untuk mengejar si pembunuh gurunya itu, namun berhubung sepertinya sang raja masih ingin bertanya lebih banyak kepadanya, itu sebabnya Sabai menahan diri. “Dia adalah adik seperguruan hamba, si Kaciak Lidi, dan hamba sendiri, Sabai.”“Aah, begitu, ya?” sang raja sepertinya sangat terpesona oleh kecantikan wanita di hadapannya itu. “Kupikir, namamu akan lebih indah bila ditambahkan menjadi Sabai Nan Manih.”Sabai terdiam, tertunduk, dan tersenyum. “T-Terima kasih, Paduko.”“Kau sudah menikah?”Sabai mengangkat wajahnya, menatap sang raja setengah tak percaya, juga dengan wajah yang tiba-tiba meron
“Apa pedulimu, hah?!” si Baluik Ameh mendelik, ia menyeringai sembari memandangi bilah Keris Tumbal Nyawa yang mulai membersitkan cahaya kemerah-merahan dari setiap retakan yang terdapat pada bilahnya. “Lagi pula, apa kau tidak mendengar ucapan si cantik murid Datuk Parmato itu tadi? Aku telah membunuh gurunya! Itu artinya, keris ini adalah milikku!”Lalu dengan gerakan yang cukup cepat, Baluik Ameh melakukan gerakan menebas dari kiri rata ke kanan, bersamaan itu, ia langsung melesat laksana gerakan belut ke arah kanan, namun tentunya dengan gerakan yang sangat cepat pula yang bahkan seolah tak terhalang oleh kerapatan pepohonan.Si pemuda pendek sudah menduga akan hal tersebut. Jadi, begitu si Baluik Ameh menebaskan keris sakti tersebut ke arahnya, ia telah lebih dahulu menghilang dari posisinya berdiri, meninggalkan kepulan asap tipis, seperti embun yang berguguran ke bumi.Swiing!Blaarr!Pada saat yang bersamaan pula, Simpai Gilo tiba di titik yang sama.“Hei!” teriaknya pada si B
Si Baluik Ameh terkekeh. “Menjejak Langit Menggenggam Awan, hah? Gurumu saja tidak mampu menyentuhku, dasar bodoh!”Tepat pada saat itu, Sabai Nan Manih beserta Datuk Paduko Rajo dan empat pengawal pribadinya telah hadir di sana, beberapa langkah di belakang si pemuda pendek.Di saat itu pula si Baluik Ameh menebaskan keris sakti di tangannya ke arah kanan meski tidak terlihat satu bayangan pun di sisi itu.Blarrr!Aura kemerah-merahan itu kembali merobohkan sebatang pohon di sisi kanan si Baluik Ameh, dan bersamaan itu, Simpai Gilo terlihat berputar-putar ke belakang, lalu menjejak tanah, beberapa langkah di samping kiri si pemuda pendek.“Kaciak!” Sabai segera mendekati adik seperguruannya. “Kau tidak apa-apa?”Dengan kemunculan kakak seperguruannya, terlebih lagi, Sabai membantu menopang punggungnya, Simpai Gilo sungguh merasa sangat senang. Tapi ia tidak punya waktu untuk memperlihatkan hal itu sekarang ini.“Aku baik-baik saja,” ujarnya dan kembali menatap pada si Baluik Ameh.Me
“Lalu siapa?” tanya Datuk Paduko Rajo kemudian. “Katakan saja.”“Maaf,” Akhirali membungkuk lagi. “Hamba tidak berani mengatakan apa-apa sebab ini amanat dari guru hamba sendiri.”“Begitu, ya?” sang raja menghela napas dalam-dalam.“Kecuali,” Akhirali tersenyum. “Bahwa hamba tinggal di Pulau Sinaka.”“Pulau Sinaka?”“Apakah itu pulau jauh yang ada di laut barat Bandar Bangkahulu?” tanya Sabai Nan Manih.Akhirali tersenyum dan mengangguk.“Aah, begitu rupanya,” sang raja mengangguk-angguk. “Yah, kau benar, sepertinya aku tidak akan mengenal gurumu. Baiklah!”“Hei, orang muda,” ujar salah seorang pengawal sang raja. “Katakan pada Paduko, apa yang engkau maksudkan dengan ucapanmu tadi?”“Tentang, Datuk Parmato yang tidak bisa dipersalahkan?” ulang Akhirali.Semua kepala mengangguk, pria pendek berwajah manis itu tersenyum.“Bukankah itu adalah hal yang sudah jelas?” ujarnya dengan balik bertanya pada semua orang. “Hamba rasa, Sabai pasti merasakan hal yang demikian pula.”“Maksudmu?” Sab
Sabai Nan Manih muncul di saat Akhirali melontarkan tubuhnya dengan sangat indah ke belakang ketika diserang oleh si Baluik Ameh Sungai Rokan dengan tebasan aura Keris Tumbal Nyawa.Setelah menyerang si pria pendek itu, si Baluik Ameh bermaksud hendak melancarkan serangan susulan, namun ia mendengar deru angin yang cukup panas dari samping, sehingga dia mengurungkan niatnya, dan justru menebaskan keris sakti itu ke arah samping.Swing!Blarrr!Aura itu meledak seolah mengenai seseorang yang mencoba menyerang si Baluik Ameh yang tidak lain adalah Sabai Nan Manih sendiri. Tapi tidak, dengan jurus Telapak Penghancur Raga yang ia lepas, Sabai mampu menahan aura tebasan tersebut.“Keparat…!” maki si Baluik Ameh sebab gerakan kerisnya tertahan sedemikian rupa, sementara Sabai mengambang di udara dengan telapak tangan kanannya terjulur ke depan.Sabai Nan Manih tak hendak memandang enteng kekuatan lawannya. Dengan kemampuan si Baluik Ameh yang dapat mengeluarkan kesaktian Keris Tumbal Nyawa,
Akhirali masih memapah dan menahan Sabai Nan Manih dari belakang, tatapan mereka saling bertemu. Meski tanpa kata yang terucap namun keduanya saling mengagumi satu sama lain, ada satu hal yang tidak dimengerti oleh orang lain yang tercetus di dalam hati mereka masing-masing pada saat sekarang ini.“Ermm, kau sudah bisa melepaskanku.”“Oh, maaf,” Akhirali tersipu dan melepaskan rangkulannya dari bahu Sabai.Simpai Gilo, Datuk Paduko Rajo dan keempat pengawalnya mendekati kedua orang tersebut.Seorang pengawal sang raja langsung memeriksa kondisi jasad si Baluik Ameh Sungai Rokan, sementara Simpai Gilo meraih Keris Tumbal Nyawa yang tergeletak tidak jauh dari posisi si Baluik Ameh terkapar.Si pengawal tidak menemukan adanya luka berarti di jasad si Baluik Ameh, hanya luka memar di kebiru-biruan di pertengahan dadanya saja.“Bagaimana?” tanya sang raja.“Dia sudah tewas,” ujar sang pengawal sembari kembali berdiri.“Jurus yang mengerikan,” gumam sang raja.Lalu tatapan semua orang tertu
Semua mata tertuju pada Akhirali, dan dia masih saja tersenyum manis, semanis wajahnya.Seorang pengawal sang raja maju ke depan, dan berkata, “Jangan menjatuhkan marwah Datuk Paduko Rajo!”Sang raja mengangkat satu tangannya, membuat sang pengawal menundukkan kepalanya.Bagi sang raja sendiri, jika si pria pendek itu menolak, berarti ia akan ada kesempatan berduaan saja dengan Sabai Nan Manih. Sedangkan kehadiran Simpai Gilo alias si Kaciak Lidi bukanlah satu masalah, pikirnya. Sebab, dia tidak tahu apa yang sesungguhnya pernah terjadi di antara si Simpai Gilo dan kakak seperguruannya itu.Bisa dibilang, dengan Akhirali menolak, itu berarti sang raja memiliki peluang besar mendapatkan Sabai Nan Manih.Tentu saja, ini hanya ada dalam pikirannya saja.“Katakan padaku,” ujar sang raja. “Bukankah dengan engkau mengikuti sayembara itu demi mendapatkan jabatan yang telah aku uar-uarkan sebelumnya? Lalu, mengapa menolak niat baikku? Padahal, orang-orang ini menentangku disebabkan engkau yan