Akhirali masih memapah dan menahan Sabai Nan Manih dari belakang, tatapan mereka saling bertemu. Meski tanpa kata yang terucap namun keduanya saling mengagumi satu sama lain, ada satu hal yang tidak dimengerti oleh orang lain yang tercetus di dalam hati mereka masing-masing pada saat sekarang ini.“Ermm, kau sudah bisa melepaskanku.”“Oh, maaf,” Akhirali tersipu dan melepaskan rangkulannya dari bahu Sabai.Simpai Gilo, Datuk Paduko Rajo dan keempat pengawalnya mendekati kedua orang tersebut.Seorang pengawal sang raja langsung memeriksa kondisi jasad si Baluik Ameh Sungai Rokan, sementara Simpai Gilo meraih Keris Tumbal Nyawa yang tergeletak tidak jauh dari posisi si Baluik Ameh terkapar.Si pengawal tidak menemukan adanya luka berarti di jasad si Baluik Ameh, hanya luka memar di kebiru-biruan di pertengahan dadanya saja.“Bagaimana?” tanya sang raja.“Dia sudah tewas,” ujar sang pengawal sembari kembali berdiri.“Jurus yang mengerikan,” gumam sang raja.Lalu tatapan semua orang tertu
Semua mata tertuju pada Akhirali, dan dia masih saja tersenyum manis, semanis wajahnya.Seorang pengawal sang raja maju ke depan, dan berkata, “Jangan menjatuhkan marwah Datuk Paduko Rajo!”Sang raja mengangkat satu tangannya, membuat sang pengawal menundukkan kepalanya.Bagi sang raja sendiri, jika si pria pendek itu menolak, berarti ia akan ada kesempatan berduaan saja dengan Sabai Nan Manih. Sedangkan kehadiran Simpai Gilo alias si Kaciak Lidi bukanlah satu masalah, pikirnya. Sebab, dia tidak tahu apa yang sesungguhnya pernah terjadi di antara si Simpai Gilo dan kakak seperguruannya itu.Bisa dibilang, dengan Akhirali menolak, itu berarti sang raja memiliki peluang besar mendapatkan Sabai Nan Manih.Tentu saja, ini hanya ada dalam pikirannya saja.“Katakan padaku,” ujar sang raja. “Bukankah dengan engkau mengikuti sayembara itu demi mendapatkan jabatan yang telah aku uar-uarkan sebelumnya? Lalu, mengapa menolak niat baikku? Padahal, orang-orang ini menentangku disebabkan engkau yan
Semenjak saat itu, si Kaciak Lidi tidak pernah lagi sama. Dia merantau ke mana tempat dan negeri mana pun yang ia suka.Lalu suatu hari, dia menemukan Sabai Nan Manih bersama dengan Akhirali di sekitar Ngarai Sianok, bahkan keduanya terlihat begitu mesra.Ketika harapan di dalam dadanya kembali muncul, Kaciak Lidi harus menerima kenyataan bahwa kakak seperguruannya itu ternyata telah menikah dengan si pria pendek tersebut. Bahkan pada saat itu, Sabai Nan Manih sedang mengandung empat bulan.Hal ini membuat hatinya semakin retak, lalu pecah berderai terhempas ke batu pualam dalam kekecewaan yang begitu dalam.Dalam kekecewaannya itu, si Kaciak Lidi mengalami banyak luka dalam sebab dia sering berlatih dengan pikiran yang tidak tenang, membuat aliran tenaga dalam di dalam tubuhnya menjadi kacau balau.Tekanan batin yang begitu kuat sebab harapan yang hancur berkeping-keping, ditambah luka dalam yang selalu terjadi setiap kali ia berlatih, membuat si Kaciak Lidi berubah sepenuhnya, bersi
Dan sebagaimana dengan si Simpai Gilo sendiri, Datuk Paduko Rajo juga mengalami kekecewaan yang hampir sama. Dia yang sengaja belum menikah sangat berharap dapat mempersunting Sabai Nan Manih, bahkan dia tidak peduli sama sekali dengan perbedaan usia mereka yang sangat jauh itu.Tidak ada yang bisa dilakukan oleh sang raja ketika dia melihat gadis kecil bernama Puti Bungo Satangkai di antara Sabai Nan Manih dan Akhirali.Setelah berada di istana, si Simpai Gilo ditangani oleh tabib-tabib ternama, dan mereka berhasil membangunkannya.Akan tetapi, hal ini juga berdampak lain bagi si Simpai Gilo sendiri, sikapnya menjadi berubah semenjak ia terbangun itu. Seolah-olah, dia bukan lagi pria gila yang suka membunuh dengan kejam. Tidak. Dia terlihat jauh lebih tenang.Sabai Nan Manih dan Akhirali sama berpikir bahwa mungkin Tinju Penghancur Sukma yang membuat Simpai Gilo menjadi pingsan sangat berperan dalam perubahan sikapnya.Meskipun pada awalnya Simpai Gilo masih merasa dendam pada Akhira
Rembang petang, dan si Simpai Gilo masih saja berdiri di tepi sungai itu sembari memandangi hutan lebat di seberang. Dan untuk sekian lama—bahkan semenjak mereka selesai makan siang tadi, Puti Bungo Satangkai hanya duduk di bangku yang sama, mengawasi si pria sepuh.Ini cukup aneh sekali, pikir sang gadis. Di hutan seberang sungai itu sepertinya ada sesorang atau sesuatu. Hanya saja, bila tidak ada hal apa pun di sisi di mana mereka berdua berada—katakanlah, seperti sebuah teriakan, maka kondisi di seberang itu terlihat sebagaimana hutan pada umumnya.Tapi bila ada satu suara teriakan saja, seseorang atau sesuatu di hutan di seberang itu akan berteriak pula. Bungo bahkan ragu bahwa yang berteriak itu adalah manusia sebab teriakan yang sebelum-sebelumnya ia dengar sangat aneh.Sebenarnya sang gadis hendak meninggalkan si Simpai Gilo di gubuk itu, dan melanjutkan perjalanannya untuk mengunjungi di mana kuburan ayahnya, Sialang Babega. Tentang di mana kuburan ibunya, Zuraya, Bungo tidak
“Sama sepertimu,” Simpai Gilo melirik ke belakang, ia tersenyum.Puti Bungo Satangkai cukup tahu diri, dia tidak lantas merasa senang dipuji oleh si pria sepuh.‘Tidak, tetua terlalu memujiku,’ ujarnya dengan bahasa isyaratnya dan disambut dengan gelak tawa oleh pria sepuh. ‘Abangku mungkin seorang sakti dan cerdas, tapi aku hanyalah aku, seorang yang masih mentah dan merah dalam rimba persilatan ini.’“Oh, gadis manis,” Simpai Gilo terkekeh sembari mengangguk-angguk. “Kau sangat menarik. Kurasa, inilah alasan mengapa kakak seperguruanku dan suaminya menurunkan kesaktian mereka kepadamu.”Dia tidak terlihat melangkah, namun tahu-tahu pria sepuh sudah berada di dekat meja, lalu duduk dengan tenang di kursi di seberang Bungo.‘Tidak, Tetua,’ Bungo tidak dapat menyembunyikan senyumannya. ‘Kurasa Tetua salah.’“Aku? Salah?” Simpai Gilo menggeleng-geleng kecil.‘Inyiak Mudo hanya kebetulan menemukan ibuku yang tengah sekarat di lembah Ngarai Sianok, dan pada saat itu, aku masih berada di d
“Akan tetapi, dengan selalu merasa bersyukur, ini jauh lebih utama, anakku,” lanjut si Simpai Gilo. “Kau harus ingat satu hal, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sempurna di matamu belum tentu sempurna di mata orang lain, konon pula di mata Sang Maha Pencipta.”Puti Bungo Satangkai tersenyum dan mengangguk.“Baiklah,” kata si Simpai Gilo. “Kau pasti telah banyak mendengar nasihat-nasihat serupa dari kakak seperguruanku itu, atau pula dari suaminya, bukan?”‘Benar,’ kata sang gadis dengan bahasa isryaratnya, ‘tapi nasihat dari Tetua juga sama pentingnya bagiku yang masih mentah ini.’Simpai Gilo terkekeh. “Baiklah, baiklah. Aku akan menjawab pertanyaanmu,” ia menghela napas dalam-dalam. “Di hutan di seberang sungai itu, ada seseorang yang bahkan mungkin telah mengalami penderitaan melebihi apa yang telah aku rasakan.”Bungo membelalak. Benar dugaanku, ada sesuatu di sana. Tapi, seseorang? Memangnya ada orang yang berteriak tapi justru terdengar seperti suara pekik seekor burung pema
Semakin Puti Bungo Satangkai mencoba untuk melawan, maka semakin dahsyat cengkeraman jari-jari gaib itu terhadap tubuhnya. Dan itu juga berarti bahwa si Simpai Gilo tidak lagi dapat dibantah keinginannya.Sehingga, daripada dia harus mengalami cidera dengan perlawanannya yang tak berarti itu, maka Bungo merelakan saja apa yang hendak dilakukan pria sepuh tersebut kepada dirinya.Dan yang lebih utama, dia harus menenangkan diri, menerima aliran tenaga dalam yang besar itu di dalam tubuhnya, agar semua itu tidak menciderainya, apalagi sampai menghapus semua kesaktian yang telah ia pelajari selama puluhan tahun.Simpai Gilo berdiri dengan dengan dua tangan terjulur ke depan, telapak tangannya menempel dengan telapak tangan sang gadis, sementara sang gadis sendiri seperti menelugkup di udara, mengambang lurus tanpa dapat bergerak sama sekali, kecuali wajah yang mengernyit hebat.Tenaga dalam Simpai Gilo mengalir dan mengisi setiap bagian di dalam tubuh sang gadis, bahkan saking kuatnya te
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau