“Sama sepertimu,” Simpai Gilo melirik ke belakang, ia tersenyum.Puti Bungo Satangkai cukup tahu diri, dia tidak lantas merasa senang dipuji oleh si pria sepuh.‘Tidak, tetua terlalu memujiku,’ ujarnya dengan bahasa isyaratnya dan disambut dengan gelak tawa oleh pria sepuh. ‘Abangku mungkin seorang sakti dan cerdas, tapi aku hanyalah aku, seorang yang masih mentah dan merah dalam rimba persilatan ini.’“Oh, gadis manis,” Simpai Gilo terkekeh sembari mengangguk-angguk. “Kau sangat menarik. Kurasa, inilah alasan mengapa kakak seperguruanku dan suaminya menurunkan kesaktian mereka kepadamu.”Dia tidak terlihat melangkah, namun tahu-tahu pria sepuh sudah berada di dekat meja, lalu duduk dengan tenang di kursi di seberang Bungo.‘Tidak, Tetua,’ Bungo tidak dapat menyembunyikan senyumannya. ‘Kurasa Tetua salah.’“Aku? Salah?” Simpai Gilo menggeleng-geleng kecil.‘Inyiak Mudo hanya kebetulan menemukan ibuku yang tengah sekarat di lembah Ngarai Sianok, dan pada saat itu, aku masih berada di d
“Akan tetapi, dengan selalu merasa bersyukur, ini jauh lebih utama, anakku,” lanjut si Simpai Gilo. “Kau harus ingat satu hal, tidak ada yang sempurna di dunia ini. Sempurna di matamu belum tentu sempurna di mata orang lain, konon pula di mata Sang Maha Pencipta.”Puti Bungo Satangkai tersenyum dan mengangguk.“Baiklah,” kata si Simpai Gilo. “Kau pasti telah banyak mendengar nasihat-nasihat serupa dari kakak seperguruanku itu, atau pula dari suaminya, bukan?”‘Benar,’ kata sang gadis dengan bahasa isryaratnya, ‘tapi nasihat dari Tetua juga sama pentingnya bagiku yang masih mentah ini.’Simpai Gilo terkekeh. “Baiklah, baiklah. Aku akan menjawab pertanyaanmu,” ia menghela napas dalam-dalam. “Di hutan di seberang sungai itu, ada seseorang yang bahkan mungkin telah mengalami penderitaan melebihi apa yang telah aku rasakan.”Bungo membelalak. Benar dugaanku, ada sesuatu di sana. Tapi, seseorang? Memangnya ada orang yang berteriak tapi justru terdengar seperti suara pekik seekor burung pema
Semakin Puti Bungo Satangkai mencoba untuk melawan, maka semakin dahsyat cengkeraman jari-jari gaib itu terhadap tubuhnya. Dan itu juga berarti bahwa si Simpai Gilo tidak lagi dapat dibantah keinginannya.Sehingga, daripada dia harus mengalami cidera dengan perlawanannya yang tak berarti itu, maka Bungo merelakan saja apa yang hendak dilakukan pria sepuh tersebut kepada dirinya.Dan yang lebih utama, dia harus menenangkan diri, menerima aliran tenaga dalam yang besar itu di dalam tubuhnya, agar semua itu tidak menciderainya, apalagi sampai menghapus semua kesaktian yang telah ia pelajari selama puluhan tahun.Simpai Gilo berdiri dengan dengan dua tangan terjulur ke depan, telapak tangannya menempel dengan telapak tangan sang gadis, sementara sang gadis sendiri seperti menelugkup di udara, mengambang lurus tanpa dapat bergerak sama sekali, kecuali wajah yang mengernyit hebat.Tenaga dalam Simpai Gilo mengalir dan mengisi setiap bagian di dalam tubuh sang gadis, bahkan saking kuatnya te
‘Semoga engkau bisa bertemu dengan Inyiak Gadih dan Inyiak Mudo di alam sana, Tetua,’ begitu doa sang gadis sembari berlutut dan menahan tangisnya. ‘Bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah dekat denganmu, di alam keabadian.’Puti Bungo Satangkai memang tidak tersedu-sedan meskipun bahunya berguncang hebat, namun air matanya telah membasahi pipinya. Untuk beberapa lama dia masih berlutut dengan kepala tertunduk seperti itu.Setelah pikiran dan perasaannya jauh lebih tenang, dia berdiri, menatap sekali lagi gubuk yang hanya akan dimakan waktu nantinya itu sebelum akhirnya memutar badan, melangkah mendekati tepian sungai.Dia memandang ke hutan di seberang, mencoba menelisik dengan pandangannya. Seseorang yang entah seperti apa di seberang sana adalah permintaan terakhir dari si Simpai Gilo.Namun sang gadis sedikit menjadi ragu. Masalahnya, Simpai Gilo belum sempat mengatakan apa pun tentang apa yang harus ia lakukan pada seseorang tersebut nantinya.Hanya saja, lantaran dia suda
Setelah mempertimbangkan baik-buruknya, Puti Bungo Satangkai memutuskan untuk turun dari pohon itu, keluar dari persembunyiannya. Tentu saja, dengan tetap waspada. Lagi pula, jika benar pria dengan kulit sangat putih itu sangat sakti, itu artinya dia sudah mengetahui kehadiran Bungo di sana.Dengan menjaga jaraknya, sang gadis akhirnya berdiri dua langkah di samping kanan pria tersebut.Pria itu mungkin memang menyadari kehadiran seseorang di dekatnya, namun dia tidak menghiraukan itu, dia tetap berlutut di sana dengan kepala tertunduk, dan wajah yang tertutup rambut panjangnya.Bungo sungguh merasa kasihan kepada si pria. Keadaannya benar-benar menyedihkan, bahkan tulang rusuknya seperti menonjol sebab dia kehilangan banyak daging di tubuhnya.‘Oh, Dewa Yang Agung… Lagi-lagi tentang cinta, kehilangan seorang yang sangat berharga, sangat menyakitkan!’Meskipun Bungo belum mengetahui apakah cinta yang ia maksudkan itu tentang perasaan terhadap lawan jenis, kepada orang tua, anak, atau
Tapi, ada satu hal yang membuat Puti Bungo Satangkai menjadi sedikit bingung. Biasanya, seseorang yang teramat mencintai kekasihnya, akan melakukan bunuh diri untuk dapat menyusul sang kekasih di alam sana.Meskipun dengan Simpai Gilo dan pria itu sendiri yang menjadi pembanding bagi apa yang dia pikirkan, tetap saja, Bungo merasa ini sesuatu yang janggal.Menyiksa diri seperti ini, bukankah itu sesuatu yang cukup aneh?Apa memang karena cinta itu buta, membuat hati dan pikiran seolah lepas kendali?Simpai Gilo, dia… lalu Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih… semua permasalahan ini hanya disebabkan satu hal, dan hal itu adalah cinta.Seorang menjadi gila karena patah hati. Yang seorang menyiksa diri dengan tidak makan, tidak minum, dan bahkan tetap berlutut di tempat yang sama. Dan yang satu lagi rela berpisah dengan pasangannya, baru akan bertemu sekali dalam sepuluh tahun, itu pun pertemuan yang selalu membahayakan nyawa keduanya.Oh, Dewa Yang Agung… bila memang cinta mampu memutarbalikkan
“Terima kasih, Nona,” ujar si pria dengan tangan menyatu di depan dadanya, dan setengah membungkuk kepada sang gadis. “Anda telah menyadarkanku arti dari mencintai. Terima kasih.” Puti Bungo Satangkai menjadi canggung. Baik lantaran orang yang mengira dia memahami tentang sebuah percintaan maupun dengan kesopanan pria tersebut yang seperti menjura hormat kepadanya. Dan yang bisa dia lakukan hanyalah membalas dengan hal yang serupa pula. “Boleh aku mengetahui nama Anda?” Sang gadis tersenyum, lalu dia menunjuk ke arah bunga-bunga yang ia geletakkan di dekat papan kuburan tersebut. “Bunga?” ulang si pria. Yah, itu sama saja, pikirnya. Dan dia mengangguk dengan senyuman. Si pria membungkuk lagi. “Aku Fèng,” di melirik ke arah makam sang kekasih, “gadis itu bernama Huáng.” Bungo tersenyum mengangguk. ‘Fèng dan Huáng, kenapa nama mereka terdengar sangat serasi?’ “Aku tidak akan melupakan kebaikan Anda,” Fèng kembali membungkuk. “Terima kasih telah membawa kesadaranku kembali.” ‘Ti
Parak senja, dan Antaguna telah bersiap-siap untuk menjalankan rencananya. Rencana yang tentu saja akan membahayakan dirinya sendiri. Tapi dia terpaksa melakukan itu sebab terlalu gelisah berlama-lama di dalam kamar penginapan tersebut tanpa tahu harus berbuat apa lagi demi bertemu kembali dengan Puti Bungo Satangkai.Orang-orang di dermaga utama itu telah jauh berkurang, begitu juga dengan kegiatan mereka. Semakin gelap langit, semakin suasana di sekitar bandar yang sibuk di siang hari itu menjadi sangat sepi di malam hari.Ini adalah waktunya untuk bergerak, dan Antaguna telah bersiap dengan pakaian hitamnya yang nyaris menutupi seluruh bagian tubuhnya, hanya menyisakan sepasang mata, dan setengah hidung ke atas saja.Ia melilitkan senjata utamanya di pinggang, dan menempatkan sebuah pedang lebar di punggungnya.Meskipun dia berbadan besar, tinggi, dan berotot, namun gerakannya sangatlah ringan. Sekejap saja, dia sudah berada di atap bangunan tinggi penginapan tersebut. Merangkak de