Setelah mempertimbangkan baik-buruknya, Puti Bungo Satangkai memutuskan untuk turun dari pohon itu, keluar dari persembunyiannya. Tentu saja, dengan tetap waspada. Lagi pula, jika benar pria dengan kulit sangat putih itu sangat sakti, itu artinya dia sudah mengetahui kehadiran Bungo di sana.Dengan menjaga jaraknya, sang gadis akhirnya berdiri dua langkah di samping kanan pria tersebut.Pria itu mungkin memang menyadari kehadiran seseorang di dekatnya, namun dia tidak menghiraukan itu, dia tetap berlutut di sana dengan kepala tertunduk, dan wajah yang tertutup rambut panjangnya.Bungo sungguh merasa kasihan kepada si pria. Keadaannya benar-benar menyedihkan, bahkan tulang rusuknya seperti menonjol sebab dia kehilangan banyak daging di tubuhnya.‘Oh, Dewa Yang Agung… Lagi-lagi tentang cinta, kehilangan seorang yang sangat berharga, sangat menyakitkan!’Meskipun Bungo belum mengetahui apakah cinta yang ia maksudkan itu tentang perasaan terhadap lawan jenis, kepada orang tua, anak, atau
Tapi, ada satu hal yang membuat Puti Bungo Satangkai menjadi sedikit bingung. Biasanya, seseorang yang teramat mencintai kekasihnya, akan melakukan bunuh diri untuk dapat menyusul sang kekasih di alam sana.Meskipun dengan Simpai Gilo dan pria itu sendiri yang menjadi pembanding bagi apa yang dia pikirkan, tetap saja, Bungo merasa ini sesuatu yang janggal.Menyiksa diri seperti ini, bukankah itu sesuatu yang cukup aneh?Apa memang karena cinta itu buta, membuat hati dan pikiran seolah lepas kendali?Simpai Gilo, dia… lalu Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih… semua permasalahan ini hanya disebabkan satu hal, dan hal itu adalah cinta.Seorang menjadi gila karena patah hati. Yang seorang menyiksa diri dengan tidak makan, tidak minum, dan bahkan tetap berlutut di tempat yang sama. Dan yang satu lagi rela berpisah dengan pasangannya, baru akan bertemu sekali dalam sepuluh tahun, itu pun pertemuan yang selalu membahayakan nyawa keduanya.Oh, Dewa Yang Agung… bila memang cinta mampu memutarbalikkan
“Terima kasih, Nona,” ujar si pria dengan tangan menyatu di depan dadanya, dan setengah membungkuk kepada sang gadis. “Anda telah menyadarkanku arti dari mencintai. Terima kasih.” Puti Bungo Satangkai menjadi canggung. Baik lantaran orang yang mengira dia memahami tentang sebuah percintaan maupun dengan kesopanan pria tersebut yang seperti menjura hormat kepadanya. Dan yang bisa dia lakukan hanyalah membalas dengan hal yang serupa pula. “Boleh aku mengetahui nama Anda?” Sang gadis tersenyum, lalu dia menunjuk ke arah bunga-bunga yang ia geletakkan di dekat papan kuburan tersebut. “Bunga?” ulang si pria. Yah, itu sama saja, pikirnya. Dan dia mengangguk dengan senyuman. Si pria membungkuk lagi. “Aku Fèng,” di melirik ke arah makam sang kekasih, “gadis itu bernama Huáng.” Bungo tersenyum mengangguk. ‘Fèng dan Huáng, kenapa nama mereka terdengar sangat serasi?’ “Aku tidak akan melupakan kebaikan Anda,” Fèng kembali membungkuk. “Terima kasih telah membawa kesadaranku kembali.” ‘Ti
Parak senja, dan Antaguna telah bersiap-siap untuk menjalankan rencananya. Rencana yang tentu saja akan membahayakan dirinya sendiri. Tapi dia terpaksa melakukan itu sebab terlalu gelisah berlama-lama di dalam kamar penginapan tersebut tanpa tahu harus berbuat apa lagi demi bertemu kembali dengan Puti Bungo Satangkai.Orang-orang di dermaga utama itu telah jauh berkurang, begitu juga dengan kegiatan mereka. Semakin gelap langit, semakin suasana di sekitar bandar yang sibuk di siang hari itu menjadi sangat sepi di malam hari.Ini adalah waktunya untuk bergerak, dan Antaguna telah bersiap dengan pakaian hitamnya yang nyaris menutupi seluruh bagian tubuhnya, hanya menyisakan sepasang mata, dan setengah hidung ke atas saja.Ia melilitkan senjata utamanya di pinggang, dan menempatkan sebuah pedang lebar di punggungnya.Meskipun dia berbadan besar, tinggi, dan berotot, namun gerakannya sangatlah ringan. Sekejap saja, dia sudah berada di atap bangunan tinggi penginapan tersebut. Merangkak de
Antaguna mencapai bagian belakang bangunan istana, dan sejauh itu, dia belum mendengar sesuatu mengenai Puti Bungo Satangkai, atau setidaknya, dia berharap akan mendengar suara ha-hu ha-hu gadis bisu tersebut.Membayangkan hal ini, membuat pria besar menjadi tersenyum lebar. Dasar gadis bodoh! makinya di dalam hati.Tapi dia mendengar suara-suara yang sedikit ramai dari balik dinding. Antaguna merunduk lebih jauh, mendekati sebuah jendela yang dalam kondisi terbuka di samping kanannya. Dan mencoba untuk mendengar dengan lebih baik.Ruangan itu adalah kamar bagi sang putra mahkota yang sekejap lagi akan berusia tujuh tahun.Sepertinya kali ini sang putra mahkota sedang merajuk dan tidak mau makan. Dua dayang istana yang melayaninya sama ditolak, begitu juga dengan Gadih Cimpago yang menjadi pelindungnya. Bahkan, tidak pula dengan kehadiran sang ratu dan sang raja di kamarnya yang besar itu.“Pangeran kaciak tidak mengalami panas,” ujar Gadih Cimpago setelah meraba kening dan leher sang
Para prajurit yang berada di sisi kiri langsung menyerang Antaguna, dan dia terpaksa menggunakan pedang lebarnya.Trang! Tring! Trang!Senjata para prajurit berhasil dibabat putus oleh Antaguna tapi dia tidak mengarahkan serangannya kepada para prajurit itu secara langsung.Para prajurit terkesiap. Tombak dan pedang mereka terputus oleh tebasan pedang di tangan pria besar. Mereka segera menghindari terjangan pedang lebar itu yang mengarah ke kaki mereka.Whuush!Patahan-patahan tombak dan pedang terlempar, melesat dan menghantam masing-masing parjurit hingga mereka terjengkang ke belakang. Masih beruntung, tidak seorang pun di antara mereka yang mengalami cidera berat.Tapi tentu saja hal ini berbeda dalam pendangan para prajurit lainnya, juga Gadih Cimpago sendiri, dan sang raja yang melayang dengan anggun lalu menjejak tanah.Gadih Cimpago telah melesat lagi dengan cepat, dua tangannya menyilang di dada, lalu dihentakkan ke samping, sebelum akhirnya dihantamkan ke arah depan.Antagu
Di saat para prajurit langsung bergerak hendak mengepungnya, Antaguna melepas sabuk merah yang merupakan senjata andalannya.“Majulah!” ujarnya dengan menyeringai. “Mati pun aku tidak akan menyesal!”“Hentikan…!”Semua mata tertuju kepada sang raja yang mengangkat satu tangannya, dan itu membuat para prajurit mengurungkan langkah mereka.“Paduko!” Kabau Sirah sepertinya tidak senang bahwa sang raja justru seperti memberi hati pada penyusup tersebut. “Kita harus meringkus penjahat itu terlebih dahulu!”“Jangan ada yang berani bergerak sebelum aku yang memerintahkan!”Semua orang terdiam demi mendengar titah sang raja.“Lagi pula,” tanpa merasa takut sedikit pun, Rajo Bungsu mendekati Antaguna yang sudah menggenggam senjata saktinya. “Aku rasa dia tidak bermaksud buruk.”“Tapi, Paduko—”Rajo Bungsu kembali mengangkat satu tangannya menghentikan ucapan si Balam Putiah, ia berhenti sekitar tiga langkah di hadapan Antaguna yang sewaktu-waktu bisa saja menyerangnya dengan Jaring Jerat Naga-
“Cih!” Antaguna mendengus. “Kukira Anda adalah seorang yang bijaksana, ternyata aku terlalu menganggap tinggi Anda.”“Jaga ucapanmu!” teriak si Balam Putiah. “Dasar penjahat, diberi hati malah minta jantung!”Rajo Bungsu hanya melirik kepada si Balam Putiah, dan itu sudah lebih daripada cukup untuk membuat si Datuk Hulubalang tersebut kembali diam.Meskipun dia sendiri juga merasa diejek oleh Antaguna, namun pria itu benar, pikir sang raja.“Kau sangat bersemangat sekali, Lorana,” Antaguna menyeringai pada si Balam Putiah. “Atau, haruskan aku memanggilmu dengan nama Bardan, hemm?”Si Balam Putiah membelalak lebar. Benar, gumamnya, orang yang dia maksudkan pasti adalah aku. Berengsek! Dari siapa dia mengetahui semua ini?“Bardan?” Rajo Bungsu mengernyit. Begitu juga dengan yang lainnya.“Paduko,” si Balam Putiah membungkuk pada sang raja. “Penjahat ini sepertinya memiliki ‘kasam yang tidak lepas’ terhadap patik. Mungkin dalam melaksanakan tugas dari Paduko selama ini, ada hal yang pati