Tapi, ada satu hal yang membuat Puti Bungo Satangkai menjadi sedikit bingung. Biasanya, seseorang yang teramat mencintai kekasihnya, akan melakukan bunuh diri untuk dapat menyusul sang kekasih di alam sana.Meskipun dengan Simpai Gilo dan pria itu sendiri yang menjadi pembanding bagi apa yang dia pikirkan, tetap saja, Bungo merasa ini sesuatu yang janggal.Menyiksa diri seperti ini, bukankah itu sesuatu yang cukup aneh?Apa memang karena cinta itu buta, membuat hati dan pikiran seolah lepas kendali?Simpai Gilo, dia… lalu Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih… semua permasalahan ini hanya disebabkan satu hal, dan hal itu adalah cinta.Seorang menjadi gila karena patah hati. Yang seorang menyiksa diri dengan tidak makan, tidak minum, dan bahkan tetap berlutut di tempat yang sama. Dan yang satu lagi rela berpisah dengan pasangannya, baru akan bertemu sekali dalam sepuluh tahun, itu pun pertemuan yang selalu membahayakan nyawa keduanya.Oh, Dewa Yang Agung… bila memang cinta mampu memutarbalikkan
“Terima kasih, Nona,” ujar si pria dengan tangan menyatu di depan dadanya, dan setengah membungkuk kepada sang gadis. “Anda telah menyadarkanku arti dari mencintai. Terima kasih.” Puti Bungo Satangkai menjadi canggung. Baik lantaran orang yang mengira dia memahami tentang sebuah percintaan maupun dengan kesopanan pria tersebut yang seperti menjura hormat kepadanya. Dan yang bisa dia lakukan hanyalah membalas dengan hal yang serupa pula. “Boleh aku mengetahui nama Anda?” Sang gadis tersenyum, lalu dia menunjuk ke arah bunga-bunga yang ia geletakkan di dekat papan kuburan tersebut. “Bunga?” ulang si pria. Yah, itu sama saja, pikirnya. Dan dia mengangguk dengan senyuman. Si pria membungkuk lagi. “Aku Fèng,” di melirik ke arah makam sang kekasih, “gadis itu bernama Huáng.” Bungo tersenyum mengangguk. ‘Fèng dan Huáng, kenapa nama mereka terdengar sangat serasi?’ “Aku tidak akan melupakan kebaikan Anda,” Fèng kembali membungkuk. “Terima kasih telah membawa kesadaranku kembali.” ‘Ti
Parak senja, dan Antaguna telah bersiap-siap untuk menjalankan rencananya. Rencana yang tentu saja akan membahayakan dirinya sendiri. Tapi dia terpaksa melakukan itu sebab terlalu gelisah berlama-lama di dalam kamar penginapan tersebut tanpa tahu harus berbuat apa lagi demi bertemu kembali dengan Puti Bungo Satangkai.Orang-orang di dermaga utama itu telah jauh berkurang, begitu juga dengan kegiatan mereka. Semakin gelap langit, semakin suasana di sekitar bandar yang sibuk di siang hari itu menjadi sangat sepi di malam hari.Ini adalah waktunya untuk bergerak, dan Antaguna telah bersiap dengan pakaian hitamnya yang nyaris menutupi seluruh bagian tubuhnya, hanya menyisakan sepasang mata, dan setengah hidung ke atas saja.Ia melilitkan senjata utamanya di pinggang, dan menempatkan sebuah pedang lebar di punggungnya.Meskipun dia berbadan besar, tinggi, dan berotot, namun gerakannya sangatlah ringan. Sekejap saja, dia sudah berada di atap bangunan tinggi penginapan tersebut. Merangkak de
Antaguna mencapai bagian belakang bangunan istana, dan sejauh itu, dia belum mendengar sesuatu mengenai Puti Bungo Satangkai, atau setidaknya, dia berharap akan mendengar suara ha-hu ha-hu gadis bisu tersebut.Membayangkan hal ini, membuat pria besar menjadi tersenyum lebar. Dasar gadis bodoh! makinya di dalam hati.Tapi dia mendengar suara-suara yang sedikit ramai dari balik dinding. Antaguna merunduk lebih jauh, mendekati sebuah jendela yang dalam kondisi terbuka di samping kanannya. Dan mencoba untuk mendengar dengan lebih baik.Ruangan itu adalah kamar bagi sang putra mahkota yang sekejap lagi akan berusia tujuh tahun.Sepertinya kali ini sang putra mahkota sedang merajuk dan tidak mau makan. Dua dayang istana yang melayaninya sama ditolak, begitu juga dengan Gadih Cimpago yang menjadi pelindungnya. Bahkan, tidak pula dengan kehadiran sang ratu dan sang raja di kamarnya yang besar itu.“Pangeran kaciak tidak mengalami panas,” ujar Gadih Cimpago setelah meraba kening dan leher sang
Para prajurit yang berada di sisi kiri langsung menyerang Antaguna, dan dia terpaksa menggunakan pedang lebarnya.Trang! Tring! Trang!Senjata para prajurit berhasil dibabat putus oleh Antaguna tapi dia tidak mengarahkan serangannya kepada para prajurit itu secara langsung.Para prajurit terkesiap. Tombak dan pedang mereka terputus oleh tebasan pedang di tangan pria besar. Mereka segera menghindari terjangan pedang lebar itu yang mengarah ke kaki mereka.Whuush!Patahan-patahan tombak dan pedang terlempar, melesat dan menghantam masing-masing parjurit hingga mereka terjengkang ke belakang. Masih beruntung, tidak seorang pun di antara mereka yang mengalami cidera berat.Tapi tentu saja hal ini berbeda dalam pendangan para prajurit lainnya, juga Gadih Cimpago sendiri, dan sang raja yang melayang dengan anggun lalu menjejak tanah.Gadih Cimpago telah melesat lagi dengan cepat, dua tangannya menyilang di dada, lalu dihentakkan ke samping, sebelum akhirnya dihantamkan ke arah depan.Antagu
Di saat para prajurit langsung bergerak hendak mengepungnya, Antaguna melepas sabuk merah yang merupakan senjata andalannya.“Majulah!” ujarnya dengan menyeringai. “Mati pun aku tidak akan menyesal!”“Hentikan…!”Semua mata tertuju kepada sang raja yang mengangkat satu tangannya, dan itu membuat para prajurit mengurungkan langkah mereka.“Paduko!” Kabau Sirah sepertinya tidak senang bahwa sang raja justru seperti memberi hati pada penyusup tersebut. “Kita harus meringkus penjahat itu terlebih dahulu!”“Jangan ada yang berani bergerak sebelum aku yang memerintahkan!”Semua orang terdiam demi mendengar titah sang raja.“Lagi pula,” tanpa merasa takut sedikit pun, Rajo Bungsu mendekati Antaguna yang sudah menggenggam senjata saktinya. “Aku rasa dia tidak bermaksud buruk.”“Tapi, Paduko—”Rajo Bungsu kembali mengangkat satu tangannya menghentikan ucapan si Balam Putiah, ia berhenti sekitar tiga langkah di hadapan Antaguna yang sewaktu-waktu bisa saja menyerangnya dengan Jaring Jerat Naga-
“Cih!” Antaguna mendengus. “Kukira Anda adalah seorang yang bijaksana, ternyata aku terlalu menganggap tinggi Anda.”“Jaga ucapanmu!” teriak si Balam Putiah. “Dasar penjahat, diberi hati malah minta jantung!”Rajo Bungsu hanya melirik kepada si Balam Putiah, dan itu sudah lebih daripada cukup untuk membuat si Datuk Hulubalang tersebut kembali diam.Meskipun dia sendiri juga merasa diejek oleh Antaguna, namun pria itu benar, pikir sang raja.“Kau sangat bersemangat sekali, Lorana,” Antaguna menyeringai pada si Balam Putiah. “Atau, haruskan aku memanggilmu dengan nama Bardan, hemm?”Si Balam Putiah membelalak lebar. Benar, gumamnya, orang yang dia maksudkan pasti adalah aku. Berengsek! Dari siapa dia mengetahui semua ini?“Bardan?” Rajo Bungsu mengernyit. Begitu juga dengan yang lainnya.“Paduko,” si Balam Putiah membungkuk pada sang raja. “Penjahat ini sepertinya memiliki ‘kasam yang tidak lepas’ terhadap patik. Mungkin dalam melaksanakan tugas dari Paduko selama ini, ada hal yang pati
Dua Datuk Hulubalang lainnya di sana tidak tahu harus berbuat apa, sebab mereka begitu teguh memegang ucapan sang raja. Dan sang raja, masih saja hening, tenggelam dalam pikirannya yang berandai-andai.Seperti seekor kerbau yang sedang mengamuk, Sukat yang juga bertubuh besar walau tidak setinggi Antaguna menyerang ganas, disusul pula oleh serangan dari si Balam Putiah.“Kau sudah keterlaluan, penjahat busuk!” si Kabau Sirah menghantamkan dua tinjunya sekaligus.Sementara dari atas si Balam Putiah melesat dengan gerakan indah, melancarkan serangan terhadap Antaguna.Antaguna melintangkan jaringnya dengan dua tangan, dua tinju dahsyat si Kabau Sirah dapat dengan mudah ia tahan, namun kekuatan serangan itu memaksanya bergeser jauh ke belakang.Dia menghentakkan kakinya, membuat tubuhnya melambung lebih jauh ke belakang, dan gerakan itu menghindarinya dari serangan susulan yang dilancarkan oleh si Balam Putiah.Sementara itu, Gadih Cimpago dan dua Datuk Hulubalang lainnya mendekati sang
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau