Antaguna mencapai bagian belakang bangunan istana, dan sejauh itu, dia belum mendengar sesuatu mengenai Puti Bungo Satangkai, atau setidaknya, dia berharap akan mendengar suara ha-hu ha-hu gadis bisu tersebut.Membayangkan hal ini, membuat pria besar menjadi tersenyum lebar. Dasar gadis bodoh! makinya di dalam hati.Tapi dia mendengar suara-suara yang sedikit ramai dari balik dinding. Antaguna merunduk lebih jauh, mendekati sebuah jendela yang dalam kondisi terbuka di samping kanannya. Dan mencoba untuk mendengar dengan lebih baik.Ruangan itu adalah kamar bagi sang putra mahkota yang sekejap lagi akan berusia tujuh tahun.Sepertinya kali ini sang putra mahkota sedang merajuk dan tidak mau makan. Dua dayang istana yang melayaninya sama ditolak, begitu juga dengan Gadih Cimpago yang menjadi pelindungnya. Bahkan, tidak pula dengan kehadiran sang ratu dan sang raja di kamarnya yang besar itu.“Pangeran kaciak tidak mengalami panas,” ujar Gadih Cimpago setelah meraba kening dan leher sang
Para prajurit yang berada di sisi kiri langsung menyerang Antaguna, dan dia terpaksa menggunakan pedang lebarnya.Trang! Tring! Trang!Senjata para prajurit berhasil dibabat putus oleh Antaguna tapi dia tidak mengarahkan serangannya kepada para prajurit itu secara langsung.Para prajurit terkesiap. Tombak dan pedang mereka terputus oleh tebasan pedang di tangan pria besar. Mereka segera menghindari terjangan pedang lebar itu yang mengarah ke kaki mereka.Whuush!Patahan-patahan tombak dan pedang terlempar, melesat dan menghantam masing-masing parjurit hingga mereka terjengkang ke belakang. Masih beruntung, tidak seorang pun di antara mereka yang mengalami cidera berat.Tapi tentu saja hal ini berbeda dalam pendangan para prajurit lainnya, juga Gadih Cimpago sendiri, dan sang raja yang melayang dengan anggun lalu menjejak tanah.Gadih Cimpago telah melesat lagi dengan cepat, dua tangannya menyilang di dada, lalu dihentakkan ke samping, sebelum akhirnya dihantamkan ke arah depan.Antagu
Di saat para prajurit langsung bergerak hendak mengepungnya, Antaguna melepas sabuk merah yang merupakan senjata andalannya.“Majulah!” ujarnya dengan menyeringai. “Mati pun aku tidak akan menyesal!”“Hentikan…!”Semua mata tertuju kepada sang raja yang mengangkat satu tangannya, dan itu membuat para prajurit mengurungkan langkah mereka.“Paduko!” Kabau Sirah sepertinya tidak senang bahwa sang raja justru seperti memberi hati pada penyusup tersebut. “Kita harus meringkus penjahat itu terlebih dahulu!”“Jangan ada yang berani bergerak sebelum aku yang memerintahkan!”Semua orang terdiam demi mendengar titah sang raja.“Lagi pula,” tanpa merasa takut sedikit pun, Rajo Bungsu mendekati Antaguna yang sudah menggenggam senjata saktinya. “Aku rasa dia tidak bermaksud buruk.”“Tapi, Paduko—”Rajo Bungsu kembali mengangkat satu tangannya menghentikan ucapan si Balam Putiah, ia berhenti sekitar tiga langkah di hadapan Antaguna yang sewaktu-waktu bisa saja menyerangnya dengan Jaring Jerat Naga-
“Cih!” Antaguna mendengus. “Kukira Anda adalah seorang yang bijaksana, ternyata aku terlalu menganggap tinggi Anda.”“Jaga ucapanmu!” teriak si Balam Putiah. “Dasar penjahat, diberi hati malah minta jantung!”Rajo Bungsu hanya melirik kepada si Balam Putiah, dan itu sudah lebih daripada cukup untuk membuat si Datuk Hulubalang tersebut kembali diam.Meskipun dia sendiri juga merasa diejek oleh Antaguna, namun pria itu benar, pikir sang raja.“Kau sangat bersemangat sekali, Lorana,” Antaguna menyeringai pada si Balam Putiah. “Atau, haruskan aku memanggilmu dengan nama Bardan, hemm?”Si Balam Putiah membelalak lebar. Benar, gumamnya, orang yang dia maksudkan pasti adalah aku. Berengsek! Dari siapa dia mengetahui semua ini?“Bardan?” Rajo Bungsu mengernyit. Begitu juga dengan yang lainnya.“Paduko,” si Balam Putiah membungkuk pada sang raja. “Penjahat ini sepertinya memiliki ‘kasam yang tidak lepas’ terhadap patik. Mungkin dalam melaksanakan tugas dari Paduko selama ini, ada hal yang pati
Dua Datuk Hulubalang lainnya di sana tidak tahu harus berbuat apa, sebab mereka begitu teguh memegang ucapan sang raja. Dan sang raja, masih saja hening, tenggelam dalam pikirannya yang berandai-andai.Seperti seekor kerbau yang sedang mengamuk, Sukat yang juga bertubuh besar walau tidak setinggi Antaguna menyerang ganas, disusul pula oleh serangan dari si Balam Putiah.“Kau sudah keterlaluan, penjahat busuk!” si Kabau Sirah menghantamkan dua tinjunya sekaligus.Sementara dari atas si Balam Putiah melesat dengan gerakan indah, melancarkan serangan terhadap Antaguna.Antaguna melintangkan jaringnya dengan dua tangan, dua tinju dahsyat si Kabau Sirah dapat dengan mudah ia tahan, namun kekuatan serangan itu memaksanya bergeser jauh ke belakang.Dia menghentakkan kakinya, membuat tubuhnya melambung lebih jauh ke belakang, dan gerakan itu menghindarinya dari serangan susulan yang dilancarkan oleh si Balam Putiah.Sementara itu, Gadih Cimpago dan dua Datuk Hulubalang lainnya mendekati sang
Rajo Bungsu seolah teringat satu hal yang ia lupakan. Benar, pikirnya. Dari apa yang ia ketahui tentang peristiwa itu, Antaguna memang memiliki seorang adik perempuan.‘Lalu, di mana adik perempuannya itu sekarang?’“Bawa dia ke penjara!” ujar si Kabau Sirah memerintahkan para prajurit tersebut.Rajo Bungsu sepertinya masih memiliki sesuatu untuk ia tanyakan kepada Antaguna. Akan tetapi, sikap Antaguna yang keras itu seolah tidak memberikan pilihan kepadanya, dan itu membuatnya kembali berada dalam kebimbangan.Saat akan dibawa oleh para prajurit tersebut, Antaguna menurut saja, namun ketika ia menemukan bahwa si Balam Putiah menyeringai seolah mengejek kepadanya, hal ini membuat Antaguna kembali berpikir ulang.‘Tidak baik, bila si gadis bodoh itu tahu nanti, dia pasti akan marah kepadaku!’“Sudahkah Anda memeriksa penjara bawah tanah?”Semua orang terkejut mendengar ucapan Antaguna yang sepertinya mengandung satu rahasia di dalamnya. Termasuk sang raja sendiri. Bahkan si Balam Putia
“Lorana?!” ucap Rajo Bungsu dengan tatapan penuh selidik.“P-Paduko,” si Balam Putiah semakin pucat dan ketakutan. “P-Patik…” bahkan untuk mereguk ludah saja ia menjadi kesulitan.“Hei!” bentak si Kabau Sirah pada kedua prajurit yang masih berlutut itu. “Jawab dengan jujur, apa yang telah terjadi, hah?!”“Am-Ampun Datuk,” keduanya semakin ketakutan. Terlebih lagi, tatapan sang raja yang begitu sulit untuk mereka tantang.“Da-Dalam masa sepekan ini,” ujar prajurit yang satu lagi. “Da-Datuk Balam Putiah mengatakan bahwa,” dan dia mereguk ludah dengan tubuh yang menggigil, “bahwa beliaulah yang akan memberikan makan pada tahanan.”“Benar, Paduko,” ujar yang satu lagi. “K-Kami tidak diizinkan memasuki penjara bawah tanah.”“Lorana!” bentak si Kabau Sirah. “Katakan pada kami semua, apa yang kau rencanakan, hah? Jangan bilang bahwa kau adalah duri dalam daging itu?” dia menjambak kerah baju si Balam Putiah dengan kencang. “Katakan!”“Sukat!” sahut Rajo Bungsu. “Bisakah kau lebih tenang, hah
Para prajurit lantas menjauhkan tangan mereka dari Antaguna, bahkan mengembalikan sabuk merah dan pedang lebarnya.Antaguna melilitkan kembali Jaring Jerat Naga-nya ke pinggangnya, menempatkan kembali pedang lebar itu ke sarungnya di punggungnya.Lalu dengan langkah yang gontai sebab ia menderita luka dalam yang tidak kecil, dia meninggalkan halaman belakang istana, bermaksud hendak pergi dari kawasan itu selama-lamanya.Para prajurit menjadi ragu, sebagian mereka membiarkan saja pria tinggi besar itu berlalu, namun sebagian lainnya hendak mencoba mencegahnya. Namun gerakan tangan sang raja, membuat para prajurit menghentikan apa pun yang hendak mereka lakukan kepada Antaguna.“Antaguna!”Antaguna pun menghentikan langkahnya demi mendengar panggilan sang raja, dia melirik ke belakang dari ujung bahunya.“Apakah Anda kurang puas?” ujarnya masih dengan nada yang tidak bersahabat. “Atau Anda berubah pikiran? Ingin memancung leherku?”Para prajurit saling pandang, mereka dapat merasakan k