“Lalu siapa?” tanya Datuk Paduko Rajo kemudian. “Katakan saja.”“Maaf,” Akhirali membungkuk lagi. “Hamba tidak berani mengatakan apa-apa sebab ini amanat dari guru hamba sendiri.”“Begitu, ya?” sang raja menghela napas dalam-dalam.“Kecuali,” Akhirali tersenyum. “Bahwa hamba tinggal di Pulau Sinaka.”“Pulau Sinaka?”“Apakah itu pulau jauh yang ada di laut barat Bandar Bangkahulu?” tanya Sabai Nan Manih.Akhirali tersenyum dan mengangguk.“Aah, begitu rupanya,” sang raja mengangguk-angguk. “Yah, kau benar, sepertinya aku tidak akan mengenal gurumu. Baiklah!”“Hei, orang muda,” ujar salah seorang pengawal sang raja. “Katakan pada Paduko, apa yang engkau maksudkan dengan ucapanmu tadi?”“Tentang, Datuk Parmato yang tidak bisa dipersalahkan?” ulang Akhirali.Semua kepala mengangguk, pria pendek berwajah manis itu tersenyum.“Bukankah itu adalah hal yang sudah jelas?” ujarnya dengan balik bertanya pada semua orang. “Hamba rasa, Sabai pasti merasakan hal yang demikian pula.”“Maksudmu?” Sab
Sabai Nan Manih muncul di saat Akhirali melontarkan tubuhnya dengan sangat indah ke belakang ketika diserang oleh si Baluik Ameh Sungai Rokan dengan tebasan aura Keris Tumbal Nyawa.Setelah menyerang si pria pendek itu, si Baluik Ameh bermaksud hendak melancarkan serangan susulan, namun ia mendengar deru angin yang cukup panas dari samping, sehingga dia mengurungkan niatnya, dan justru menebaskan keris sakti itu ke arah samping.Swing!Blarrr!Aura itu meledak seolah mengenai seseorang yang mencoba menyerang si Baluik Ameh yang tidak lain adalah Sabai Nan Manih sendiri. Tapi tidak, dengan jurus Telapak Penghancur Raga yang ia lepas, Sabai mampu menahan aura tebasan tersebut.“Keparat…!” maki si Baluik Ameh sebab gerakan kerisnya tertahan sedemikian rupa, sementara Sabai mengambang di udara dengan telapak tangan kanannya terjulur ke depan.Sabai Nan Manih tak hendak memandang enteng kekuatan lawannya. Dengan kemampuan si Baluik Ameh yang dapat mengeluarkan kesaktian Keris Tumbal Nyawa,
Akhirali masih memapah dan menahan Sabai Nan Manih dari belakang, tatapan mereka saling bertemu. Meski tanpa kata yang terucap namun keduanya saling mengagumi satu sama lain, ada satu hal yang tidak dimengerti oleh orang lain yang tercetus di dalam hati mereka masing-masing pada saat sekarang ini.“Ermm, kau sudah bisa melepaskanku.”“Oh, maaf,” Akhirali tersipu dan melepaskan rangkulannya dari bahu Sabai.Simpai Gilo, Datuk Paduko Rajo dan keempat pengawalnya mendekati kedua orang tersebut.Seorang pengawal sang raja langsung memeriksa kondisi jasad si Baluik Ameh Sungai Rokan, sementara Simpai Gilo meraih Keris Tumbal Nyawa yang tergeletak tidak jauh dari posisi si Baluik Ameh terkapar.Si pengawal tidak menemukan adanya luka berarti di jasad si Baluik Ameh, hanya luka memar di kebiru-biruan di pertengahan dadanya saja.“Bagaimana?” tanya sang raja.“Dia sudah tewas,” ujar sang pengawal sembari kembali berdiri.“Jurus yang mengerikan,” gumam sang raja.Lalu tatapan semua orang tertu
Semua mata tertuju pada Akhirali, dan dia masih saja tersenyum manis, semanis wajahnya.Seorang pengawal sang raja maju ke depan, dan berkata, “Jangan menjatuhkan marwah Datuk Paduko Rajo!”Sang raja mengangkat satu tangannya, membuat sang pengawal menundukkan kepalanya.Bagi sang raja sendiri, jika si pria pendek itu menolak, berarti ia akan ada kesempatan berduaan saja dengan Sabai Nan Manih. Sedangkan kehadiran Simpai Gilo alias si Kaciak Lidi bukanlah satu masalah, pikirnya. Sebab, dia tidak tahu apa yang sesungguhnya pernah terjadi di antara si Simpai Gilo dan kakak seperguruannya itu.Bisa dibilang, dengan Akhirali menolak, itu berarti sang raja memiliki peluang besar mendapatkan Sabai Nan Manih.Tentu saja, ini hanya ada dalam pikirannya saja.“Katakan padaku,” ujar sang raja. “Bukankah dengan engkau mengikuti sayembara itu demi mendapatkan jabatan yang telah aku uar-uarkan sebelumnya? Lalu, mengapa menolak niat baikku? Padahal, orang-orang ini menentangku disebabkan engkau yan
Semenjak saat itu, si Kaciak Lidi tidak pernah lagi sama. Dia merantau ke mana tempat dan negeri mana pun yang ia suka.Lalu suatu hari, dia menemukan Sabai Nan Manih bersama dengan Akhirali di sekitar Ngarai Sianok, bahkan keduanya terlihat begitu mesra.Ketika harapan di dalam dadanya kembali muncul, Kaciak Lidi harus menerima kenyataan bahwa kakak seperguruannya itu ternyata telah menikah dengan si pria pendek tersebut. Bahkan pada saat itu, Sabai Nan Manih sedang mengandung empat bulan.Hal ini membuat hatinya semakin retak, lalu pecah berderai terhempas ke batu pualam dalam kekecewaan yang begitu dalam.Dalam kekecewaannya itu, si Kaciak Lidi mengalami banyak luka dalam sebab dia sering berlatih dengan pikiran yang tidak tenang, membuat aliran tenaga dalam di dalam tubuhnya menjadi kacau balau.Tekanan batin yang begitu kuat sebab harapan yang hancur berkeping-keping, ditambah luka dalam yang selalu terjadi setiap kali ia berlatih, membuat si Kaciak Lidi berubah sepenuhnya, bersi
Dan sebagaimana dengan si Simpai Gilo sendiri, Datuk Paduko Rajo juga mengalami kekecewaan yang hampir sama. Dia yang sengaja belum menikah sangat berharap dapat mempersunting Sabai Nan Manih, bahkan dia tidak peduli sama sekali dengan perbedaan usia mereka yang sangat jauh itu.Tidak ada yang bisa dilakukan oleh sang raja ketika dia melihat gadis kecil bernama Puti Bungo Satangkai di antara Sabai Nan Manih dan Akhirali.Setelah berada di istana, si Simpai Gilo ditangani oleh tabib-tabib ternama, dan mereka berhasil membangunkannya.Akan tetapi, hal ini juga berdampak lain bagi si Simpai Gilo sendiri, sikapnya menjadi berubah semenjak ia terbangun itu. Seolah-olah, dia bukan lagi pria gila yang suka membunuh dengan kejam. Tidak. Dia terlihat jauh lebih tenang.Sabai Nan Manih dan Akhirali sama berpikir bahwa mungkin Tinju Penghancur Sukma yang membuat Simpai Gilo menjadi pingsan sangat berperan dalam perubahan sikapnya.Meskipun pada awalnya Simpai Gilo masih merasa dendam pada Akhira
Rembang petang, dan si Simpai Gilo masih saja berdiri di tepi sungai itu sembari memandangi hutan lebat di seberang. Dan untuk sekian lama—bahkan semenjak mereka selesai makan siang tadi, Puti Bungo Satangkai hanya duduk di bangku yang sama, mengawasi si pria sepuh.Ini cukup aneh sekali, pikir sang gadis. Di hutan seberang sungai itu sepertinya ada sesorang atau sesuatu. Hanya saja, bila tidak ada hal apa pun di sisi di mana mereka berdua berada—katakanlah, seperti sebuah teriakan, maka kondisi di seberang itu terlihat sebagaimana hutan pada umumnya.Tapi bila ada satu suara teriakan saja, seseorang atau sesuatu di hutan di seberang itu akan berteriak pula. Bungo bahkan ragu bahwa yang berteriak itu adalah manusia sebab teriakan yang sebelum-sebelumnya ia dengar sangat aneh.Sebenarnya sang gadis hendak meninggalkan si Simpai Gilo di gubuk itu, dan melanjutkan perjalanannya untuk mengunjungi di mana kuburan ayahnya, Sialang Babega. Tentang di mana kuburan ibunya, Zuraya, Bungo tidak
“Sama sepertimu,” Simpai Gilo melirik ke belakang, ia tersenyum.Puti Bungo Satangkai cukup tahu diri, dia tidak lantas merasa senang dipuji oleh si pria sepuh.‘Tidak, tetua terlalu memujiku,’ ujarnya dengan bahasa isyaratnya dan disambut dengan gelak tawa oleh pria sepuh. ‘Abangku mungkin seorang sakti dan cerdas, tapi aku hanyalah aku, seorang yang masih mentah dan merah dalam rimba persilatan ini.’“Oh, gadis manis,” Simpai Gilo terkekeh sembari mengangguk-angguk. “Kau sangat menarik. Kurasa, inilah alasan mengapa kakak seperguruanku dan suaminya menurunkan kesaktian mereka kepadamu.”Dia tidak terlihat melangkah, namun tahu-tahu pria sepuh sudah berada di dekat meja, lalu duduk dengan tenang di kursi di seberang Bungo.‘Tidak, Tetua,’ Bungo tidak dapat menyembunyikan senyumannya. ‘Kurasa Tetua salah.’“Aku? Salah?” Simpai Gilo menggeleng-geleng kecil.‘Inyiak Mudo hanya kebetulan menemukan ibuku yang tengah sekarat di lembah Ngarai Sianok, dan pada saat itu, aku masih berada di d