Sementara Puti Bungo Satangkai memeriksa kondisi Ima yang terbaring tak berdaya, Antaguna pula mencoba mengumpulkan jiwanya.Keadaan kakak beradik itu sungguh memukul perasaannya. Kekesalannya pada si Kapuyuak tadi hilang sudah bak ditelan bumi.Terlalu menyakitkan keadaan mereka, pikirnya. Bahkan, meskipun belum bertanya lebih jauh, tapi Antaguna telah dapat menduga bahwa si Kapuyuak dan adiknya itu, Ima adalah anak yatim piatu.Ditambah dengan mereka yang tinggal hanya di goa kecil yang tak lebih dari sebuah cekungan di dinding tebing rendah, telah mengantarkan Antaguna pada bayang penderitaannya sendiri bersama adiknya, Sri Kedasih belasan tahun yang silam.Setelah dia dapat mengumpulkan semangatnya, menekan perasaan yang remuk, Antaguna bangkit dengan masih kehilangan sedikit dari jiwanya.Dia menghampiri Bungo, memandang sekilas kepada si Kapuyuak yang bahkan belum memakan makanan di tangannya.Lagi-lagi ini membuat Antaguna menjadi terenyuh. Si Kapuyuak pasti menunggu adiknya se
Kawasan pasar itu dibatasi sebuah pagar tinggi yang hanya terbuat dari susunan kayu dan bambu. Di sisi kiri, tanah di sekitarnya sedikit landai.“Itu!” si Kapuyuak menunjuk sebuah rumah bambu yang cukup besar dengan pekarangannya yang cukup luas, bersih, dan tertata apik. “Rumah di baruah itulah rumah si tabib, Uda.”Antaguna dan Puti Bungo Satangkai sama memandang ke arah baruah—bawah, tidak ada rumah lainnya di sana kecuali yang satu itu saja.Satu dua orang yang kebetulan berpapasan dengan mereka mengerutkan dahi. Entah apa pun yang orang-orang itu pikirkan, tapi Antaguna dan Bungo tak ambil pusing.Keadaan rumah di belakang pasar itu memang cukup asri. Beberapa jenis tanaman tumbuh terawat di sekitar pekarangannya.Untuk kesekian kalinya Antaguna dan Bungo saling pandang. Tanaman-tanaman itu sepertinya bukanlah sebagai penghias pekarangan saja, tapi lebih daripada itu. Sebagian besar adalah tanaman obat.Saat mereka menjejakkan kaki di pekarang depan, sang tabib sendiri yang merup
Antaguna dan Puti Bungo Satangkai memandang pada si Kapuyuak yang hanya bisa tertunduk dalam ketakutan, dan sedikit penyesalan di sana.Akan tetapi, baik Antaguna maupun Bungo dapat memahami mengapa sang remaja melakukan itu.Pasti, dia pasti melakukan itu untuk mengobati adiknya.Pertanyaanya adalah, apakah tanaman obat yang dicuri itu adalah obat yang tepat untuk Ima?Ini bukanlah hal yang dapat dibuat main-main. Salah sedikit, maka nyawa yang jadi taruhannya.Bungo membelalak, menatap pada Antaguna seolah berkata: Hei, jangan-jangan keadaan gadis kecil itu semakin parah karena kakaknya salah memberi obat?Pria tinggi besar mengangguk memahami arti tatapan sang gadis. Dia mengalihkan pandangannya dari si Kapuyuak kepada si tabib.“Baiklah,” ujarnya dengan menghela napas dalam-dalam. “Kuakui, itu perbuatan yang tidak baik. Akan tetapi, tidak akan ada asap bila tidak ada api, bukan?”Sang tabib menyeringai, kembali menggerak-gerakkan kipasnya di depan dada. “Kau menyindirku, hah?”“Ak
Tapi ketika sang gadis mengeluarkan koin-koin perak di antara koin-koin tembaga dari dalam kantong itu, sang tabib hanya bisa menggerutu di dalam hati.Sepertinya, dia harus mengubur mimpinya untuk dapat mencumbui si gadis jelita sebab ternyata pria tinggi besar memiliki lebih daripada yang bisa ia bayangkan.Puti Bungo Satangkai menyerahkan seratus lima puluh keping uang perak kepada si tabib. Bahkan masih tersisa dua kali lipat uang yang ada di dalam kantong.Bungo paham itu. Uang-uang ini tentulah didapat oleh Antaguna selama dia menjadi kepala penjahat, Kawanan Berbaju Hitam.Tapi … mungkin ini bukanlah sebuah dosa, pikir sang gadis. Bagaimanapun, uang ini akan digunakan untuk kebaikan.Yah, semoga saja begitu.“Kau sudah mendapatkan bayaranmu,” kata Antaguna pada sang tabib. “Sekarang, mulailah pengobatanmu terhadap adik kecil ini!”“Aku tahu, aku tahu!” sang tabib mengomel panjang-pendek. “Jangan mengguruiku, bajingan!”Antaguna tersenyum sebab dia dapat memperkirakan hal yang m
Menunggu mungkin adalah satu hal yang sangat membosankan. Dan itu pula yang terjadi kepada si Kapuyuak. Berkali-kali dia melirik ke arah pintu depan rumah sang tabib yang tertutup. Atau terkadang dia berdiri, lalu duduk lagi, begitu terus berulang-ulang.Kegelisahannya tidak dapat ia sembunyikan. Puti Bungo Satangkai dan Antaguna dapat memaklumi itu.Menunggu tanpa kepastian, tentu akan lebih tidak menyenangkan.“Duduk gelisah tidak akan dapat membantu adikmu,” ujar Antaguna.“Uda, aku—”“Tenanglah.” Antaguna menjulurkan tangannya, mengusap punggung kurus sang remaja. “Bukankah lebih baik kau berdoa demi kesembuhan adikmu?”Si Kapuyuak menekur, sementara Bungo tersenyum tipis memandangi Antaguna. Tipis, tapi sangat manis.Siapa yang bisa menduga? Pikirnya. Doanya ketika hendak meninggalkan kawasan Pantai Sungai Suci ternyata terwujud.Ya, ketika itu, sang gadis berharap bahwa Antaguna akan berubah, meninggalkan semua jalan keburukan yang ia pilih.Dan di sinilah pria itu kini, selalu
“Kau!” Sang tabib menunjuk-nunjuk Antaguna dengan kipasnya. “Kau pasti hanya menggertakku!”Antaguna terkekeh. “Percaya atau tidak, itu terserah padamu.”“Tidak mungkin!” Sang tabib melirik pada sang gadis. “Aku tidak pernah mendengar mereka menerima murid, tidak seorang pun.”“Kau tanyakan saja sendiri pada dua sesepuh di Lembah Anai.”“Kau hanya menggertakku!” teriak sang tabib. “Bertahun-tahun aku memohon pada mereka untuk diajarkan ilmu pengobatan. Tidak, tidak … aku saja tidak berhasil, apalagi gadis yang satu ini. Tidak mungkin!”Antaguna tersenyum mendapati kegelisahan pada sang tabib, dia melirik pada Bungo, dan kembali mengedipkan sebelah matanya.‘Dasar!’Puti Bungo Satangkai akhirnya memahami tujuan dari Antaguna berkata demikian. Sejatinya, dia hanya ingin memberikan sedikit pelajaran pada si tabib hebat tapi angkuh itu.Memang benar, Bungo telah mendapat dua tiga pembelajaran dari dua sesepuh di Lembah Anai, atau yang lebih dikenal sebagai Raja dan Ratu Obat tersebut. Aka
Si Kapuyuak membawa Puti Bungo Satangkai dan Antaguna ke kawasan pasar itu sendiri untuk menemukan tempat penginapan.Pasar itu mungkin tidak terlalu besar dan tidak seramai di daerah lain, tapi di sana juga ada penginapan.Antaguna tersenyum, lalu melirik Bungo. Yah, meskipun disebut tempat menginap, tapi kamar yang disediakan hanya ada dua saja.Tapi itu sudah cukup. Toh, mereka hanya butuh satu kamar saja.“Silakan, Orang Muda,” ucap sang pemilik penginapan setelah menerima sekeping uang perak dari Antaguna. “Maaf, kamar ini tidak sebaik di bandar-bandar besar.”“Tidak mengapa.” Antaguna tersenyum. “Oh, apakah Anda menyediakan makan dan minum juga di sini?”“Humm…” Sang pemilik, pria 40 tahun itu menggaruk kepala. “Sebenarnya tidak. Tapi bila kalian tidak keberatan, akan aku sediakan.”“Aah, terima kasih.” Antaguna menambahkan satu keping perak lagi pada si pemilik.“Terima kasih,” ucap si pemilik dengan wajah semringah. “Tunggulah barang sekejap. Akan aku persiapkan untuk kalian b
“A-Aku …” si Kapuyuak atau Armen hanya bisa tertunduk di dipan bambu satu-satunya.Antaguna dan Puti Bungo Satangkai saling lirik, mereka menempati kursi rotan yang sama seperti sebelumnya.“Uda!” ujarnya tiba-tiba sembari menatap dengan penuh harap pada Antaguna. Lalu beralih pada Bungo. “Be-Benarkah Uni dan Uda akan pergi ke tempat Datuak Ambisar itu?”Antaguna mengernyit. Tunggu dulu, pikirnya. Sepertinya ada yang dirahasiakan remaja yang satu ini dari mereka berdua.Dia melirik pada sang gadis, dan sang gadis juga merasakan hal yang sama.“Armen,” ujar Antaguna. “Apa yang sesungguhnya hendak kau katakan pada kami? Kau menyembunyikan sesuatu dari kami?”“Tu-Tujuan Uda,” Armen menjadi gugup sekaligus gelisah. “A-Apakah betul, Uda dan Uni hendak bergabung dengan aliran sesat itu?”Antaguna terkekeh sembari menggeleng-geleng ringan. “Kau tahu,” ujarnya, “untuk takaran anak sesusiamu, kau lebih berani daripada orang-orang yang aku temui pagi tadi.”Sepertinya untuk menyebut aliran yang