Kawasan pasar itu dibatasi sebuah pagar tinggi yang hanya terbuat dari susunan kayu dan bambu. Di sisi kiri, tanah di sekitarnya sedikit landai.“Itu!” si Kapuyuak menunjuk sebuah rumah bambu yang cukup besar dengan pekarangannya yang cukup luas, bersih, dan tertata apik. “Rumah di baruah itulah rumah si tabib, Uda.”Antaguna dan Puti Bungo Satangkai sama memandang ke arah baruah—bawah, tidak ada rumah lainnya di sana kecuali yang satu itu saja.Satu dua orang yang kebetulan berpapasan dengan mereka mengerutkan dahi. Entah apa pun yang orang-orang itu pikirkan, tapi Antaguna dan Bungo tak ambil pusing.Keadaan rumah di belakang pasar itu memang cukup asri. Beberapa jenis tanaman tumbuh terawat di sekitar pekarangannya.Untuk kesekian kalinya Antaguna dan Bungo saling pandang. Tanaman-tanaman itu sepertinya bukanlah sebagai penghias pekarangan saja, tapi lebih daripada itu. Sebagian besar adalah tanaman obat.Saat mereka menjejakkan kaki di pekarang depan, sang tabib sendiri yang merup
Antaguna dan Puti Bungo Satangkai memandang pada si Kapuyuak yang hanya bisa tertunduk dalam ketakutan, dan sedikit penyesalan di sana.Akan tetapi, baik Antaguna maupun Bungo dapat memahami mengapa sang remaja melakukan itu.Pasti, dia pasti melakukan itu untuk mengobati adiknya.Pertanyaanya adalah, apakah tanaman obat yang dicuri itu adalah obat yang tepat untuk Ima?Ini bukanlah hal yang dapat dibuat main-main. Salah sedikit, maka nyawa yang jadi taruhannya.Bungo membelalak, menatap pada Antaguna seolah berkata: Hei, jangan-jangan keadaan gadis kecil itu semakin parah karena kakaknya salah memberi obat?Pria tinggi besar mengangguk memahami arti tatapan sang gadis. Dia mengalihkan pandangannya dari si Kapuyuak kepada si tabib.“Baiklah,” ujarnya dengan menghela napas dalam-dalam. “Kuakui, itu perbuatan yang tidak baik. Akan tetapi, tidak akan ada asap bila tidak ada api, bukan?”Sang tabib menyeringai, kembali menggerak-gerakkan kipasnya di depan dada. “Kau menyindirku, hah?”“Ak
Tapi ketika sang gadis mengeluarkan koin-koin perak di antara koin-koin tembaga dari dalam kantong itu, sang tabib hanya bisa menggerutu di dalam hati.Sepertinya, dia harus mengubur mimpinya untuk dapat mencumbui si gadis jelita sebab ternyata pria tinggi besar memiliki lebih daripada yang bisa ia bayangkan.Puti Bungo Satangkai menyerahkan seratus lima puluh keping uang perak kepada si tabib. Bahkan masih tersisa dua kali lipat uang yang ada di dalam kantong.Bungo paham itu. Uang-uang ini tentulah didapat oleh Antaguna selama dia menjadi kepala penjahat, Kawanan Berbaju Hitam.Tapi … mungkin ini bukanlah sebuah dosa, pikir sang gadis. Bagaimanapun, uang ini akan digunakan untuk kebaikan.Yah, semoga saja begitu.“Kau sudah mendapatkan bayaranmu,” kata Antaguna pada sang tabib. “Sekarang, mulailah pengobatanmu terhadap adik kecil ini!”“Aku tahu, aku tahu!” sang tabib mengomel panjang-pendek. “Jangan mengguruiku, bajingan!”Antaguna tersenyum sebab dia dapat memperkirakan hal yang m
Menunggu mungkin adalah satu hal yang sangat membosankan. Dan itu pula yang terjadi kepada si Kapuyuak. Berkali-kali dia melirik ke arah pintu depan rumah sang tabib yang tertutup. Atau terkadang dia berdiri, lalu duduk lagi, begitu terus berulang-ulang.Kegelisahannya tidak dapat ia sembunyikan. Puti Bungo Satangkai dan Antaguna dapat memaklumi itu.Menunggu tanpa kepastian, tentu akan lebih tidak menyenangkan.“Duduk gelisah tidak akan dapat membantu adikmu,” ujar Antaguna.“Uda, aku—”“Tenanglah.” Antaguna menjulurkan tangannya, mengusap punggung kurus sang remaja. “Bukankah lebih baik kau berdoa demi kesembuhan adikmu?”Si Kapuyuak menekur, sementara Bungo tersenyum tipis memandangi Antaguna. Tipis, tapi sangat manis.Siapa yang bisa menduga? Pikirnya. Doanya ketika hendak meninggalkan kawasan Pantai Sungai Suci ternyata terwujud.Ya, ketika itu, sang gadis berharap bahwa Antaguna akan berubah, meninggalkan semua jalan keburukan yang ia pilih.Dan di sinilah pria itu kini, selalu
“Kau!” Sang tabib menunjuk-nunjuk Antaguna dengan kipasnya. “Kau pasti hanya menggertakku!”Antaguna terkekeh. “Percaya atau tidak, itu terserah padamu.”“Tidak mungkin!” Sang tabib melirik pada sang gadis. “Aku tidak pernah mendengar mereka menerima murid, tidak seorang pun.”“Kau tanyakan saja sendiri pada dua sesepuh di Lembah Anai.”“Kau hanya menggertakku!” teriak sang tabib. “Bertahun-tahun aku memohon pada mereka untuk diajarkan ilmu pengobatan. Tidak, tidak … aku saja tidak berhasil, apalagi gadis yang satu ini. Tidak mungkin!”Antaguna tersenyum mendapati kegelisahan pada sang tabib, dia melirik pada Bungo, dan kembali mengedipkan sebelah matanya.‘Dasar!’Puti Bungo Satangkai akhirnya memahami tujuan dari Antaguna berkata demikian. Sejatinya, dia hanya ingin memberikan sedikit pelajaran pada si tabib hebat tapi angkuh itu.Memang benar, Bungo telah mendapat dua tiga pembelajaran dari dua sesepuh di Lembah Anai, atau yang lebih dikenal sebagai Raja dan Ratu Obat tersebut. Aka
Si Kapuyuak membawa Puti Bungo Satangkai dan Antaguna ke kawasan pasar itu sendiri untuk menemukan tempat penginapan.Pasar itu mungkin tidak terlalu besar dan tidak seramai di daerah lain, tapi di sana juga ada penginapan.Antaguna tersenyum, lalu melirik Bungo. Yah, meskipun disebut tempat menginap, tapi kamar yang disediakan hanya ada dua saja.Tapi itu sudah cukup. Toh, mereka hanya butuh satu kamar saja.“Silakan, Orang Muda,” ucap sang pemilik penginapan setelah menerima sekeping uang perak dari Antaguna. “Maaf, kamar ini tidak sebaik di bandar-bandar besar.”“Tidak mengapa.” Antaguna tersenyum. “Oh, apakah Anda menyediakan makan dan minum juga di sini?”“Humm…” Sang pemilik, pria 40 tahun itu menggaruk kepala. “Sebenarnya tidak. Tapi bila kalian tidak keberatan, akan aku sediakan.”“Aah, terima kasih.” Antaguna menambahkan satu keping perak lagi pada si pemilik.“Terima kasih,” ucap si pemilik dengan wajah semringah. “Tunggulah barang sekejap. Akan aku persiapkan untuk kalian b
“A-Aku …” si Kapuyuak atau Armen hanya bisa tertunduk di dipan bambu satu-satunya.Antaguna dan Puti Bungo Satangkai saling lirik, mereka menempati kursi rotan yang sama seperti sebelumnya.“Uda!” ujarnya tiba-tiba sembari menatap dengan penuh harap pada Antaguna. Lalu beralih pada Bungo. “Be-Benarkah Uni dan Uda akan pergi ke tempat Datuak Ambisar itu?”Antaguna mengernyit. Tunggu dulu, pikirnya. Sepertinya ada yang dirahasiakan remaja yang satu ini dari mereka berdua.Dia melirik pada sang gadis, dan sang gadis juga merasakan hal yang sama.“Armen,” ujar Antaguna. “Apa yang sesungguhnya hendak kau katakan pada kami? Kau menyembunyikan sesuatu dari kami?”“Tu-Tujuan Uda,” Armen menjadi gugup sekaligus gelisah. “A-Apakah betul, Uda dan Uni hendak bergabung dengan aliran sesat itu?”Antaguna terkekeh sembari menggeleng-geleng ringan. “Kau tahu,” ujarnya, “untuk takaran anak sesusiamu, kau lebih berani daripada orang-orang yang aku temui pagi tadi.”Sepertinya untuk menyebut aliran yang
Benar dugaanku, pikir Puti Bungo Satangkai.“Kau—” Antaguna tidak dapat meneruskan kata-katanya.Banyak hal yang kini bermunculan di dalam kepalanya demi mendengar penuturan si Kapuyuak.Sementara, satu per satu air mata menitik jatuh ke lantai. Si Kapuyuak tidak dapat lagi menahan-nahan kesedihan yang selama ini ia tanggung di dalam tubuhnya yang kurus kerempeng itu.“M-Maafkan aku …”Bungo bangkit dari duduknya, lalu mendekati si Kapuyuak, duduk di dipan yang sama, di samping kanannya, merangkulnya dengan kasih sayang yang ia miliki.“Hei,” panggil Antaguna. “Apa yang terjadi?”Sang remaja menggeleng lemah. “A-Aku hanya tahu bahwa ibu kami mengikuti kekasihnya. A-Ayah kami sudah lama tiada.”“Jangan bilang pria itu mengajak ibumu untuk memasuki aliran sesat itu?”Dengan menahan kesedihan yang begitu besar, si Kapuyuak mengangguk.Bungo mengelus punggung sang remaja dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan baginya.“Ta-Tapi,” ujarnya dengan terisak, lalu menghela napas lebih bany
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau