Setelah dipermalukan oleh sang gadis, kini kata-kata Datuak Sani itu membuat wajah si pria besar semakin tebal dan merah padam.Dia lantas berteriak lantang, melompat tinggi, dan menggerakkan kakinya sedemikian rupa.Di lain kesempatan, Puti Bungo Satangkai mungkin akan kagum pada pria berbadan besar itu yang mampu bergerak lincah dan ringan dalam gerakan menyerangnya. Tapi tidak, sekarang adalah waktu dan tempat yang berbeda.Serangan tendangan beruntun itu dengan mudah dielakkan oleh sang gadis hanya dengan melontarkan tubuhnya beberapa langkah ke belakang.Si pria besar semakin menggeram sebab tidak satu tendangannya pun yang mengenai sasaran. Tapi lebih daripada itu, dia merasa si gadis jelita seakan sengaja mempermalukannya dengan tidak mencoba menangkis satu tendangan pun.Amarahnya seakan meledak-ledak hingga membuatnya kalap, terlebih lagi dia mendengar tawa halus Datuak Sani, sehingga membuatnya kembali menyerang sang gadis dengan membabi buta.Bungo tersenyum halus. Persis s
Sang gadis terkesiap, meskipun Kadik Aruma telah berusia setengah abad lebih, namun kecepatan dan kekuatannya masih di atas rata-rata sehingga dia terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya lebih besar.Bungo menghentakkan tangan kirinya demi menyongsong serangan cakar tangan kanan Kadik Aruma.Teph!Dua cakar beradu kencang, menahan tubuh Kadik Aruma untuk sesaat di udara, sebelum akhirnya tenaga dalam mereka pecah dan membias ke segala arah.Dhumm!Cras! Cras!Tangan kiri Bungo tercabik-cabik di beberapa sisi, tapi untungnya itu tidak terlalu membahayakannya, dia terseret lagi ke belakang sampai tiga langkah.Sedangkan Kadik Aruma terdorong lebih jauh sebab sebelumnya masih berada di awang-awang. Dia berjumpalitan beberapa kali ke belakang.Dan sebelum Kadik Aruma bisa menjejak tanah, Bungo yang tangan kirinya terluka dan berdarah, menggeram kencang seraya menghentakkan tangan kanannya ke depan, dalam bentuk cakaran dan pengerahan tenaga dalam yang lebih kuat.Kadik Aruma terkesiap, ketik
Tentu saja! pikir Kadik Aruma. Ini adalah kesempatan baik untuk menangkap gadis jelita tersebut. Jadi, tidak menunggu lama, dia langsung menghambur, dan berhasil menangkap bahu sang gadis.Puti Bungo Satangkai yang tidak lagi mungkin menggunakan matanya—kecuali bila dia sudah dapat menghilangkan pengaruh Serbuk Pelangi itu dari tubuhnya—hanya bisa mengandalkan pada pendengarannya saja, juga nalurinya.Begitu Kadik Aruma mencengkeram bahunya dan sebelum pria tersebut hendak melayangkan satu totokan ke pangkal lehernya, Bungo menggerakkan bahu yang dicengkeram sedemikian rupa sehingga terlepas dari cengkeraman Kadik Aruma, dan langsung melentingkan tubuhnya ke belakang.“Ternyata kau keras kepala juga, hah?!” Kadik Aruma menyeringai menyembunyikan keterkejutannya bahwa sang gadis dapat lepas dari cengkeramannya dengan mudah meski kedua matanya tertutup.‘Cih! Aku tidak akan menyerah begitu saja darimu, laki-laki busuk!’ gumam Bungo di dalam hatinya.Dan sampai sejauh itu, Datuak Sani ha
Ketika Kadik Aruma dan Pandan Arum kembali melancarkan serangan mereka, Puti Bungo Satangkai telah bersiap-siap dengan ajian Kabut Kahyangan-nya.Begitu keduanya semakin mendekat, sang gadis tiba-tiba menghilang dari pandangan keduanya.Tapi tidak bagi Datuak Sani, dia masih dapat melihat pergerakan cepat si gadis bisu yang berpindah ke belakang Pandan Arum.Bugh!Pandan Arum melenguh pendek, langkahnya menjadi kacau hingga huyung, dan menubruk Kadik Aruma.Tentu saja, Kadik Aruma dengan cepat menangkap dan menolong putri tirinya terlebih dahulu dibandingkan dengan keharusan meneruskan serangannya yang bisa-bisa justru melukai putrinya itu sendiri.Datuak Sani menyeringai, merasa cukup kagum dengan kepintaran si gadis bisu untuk dapat keluar dari serangan Kadik Aruma dan Pandan Arum.Ya, gadis bisu itu tidak berhenti sama sekali. Setelah dia berhasil mendorong Pandan Arum hingga kehilangan keseimbangannya, lalu dia melesat lagi, dan berpindah ke belakang Kadik Aruma.Teph!Kadik Aruma
Melihat benda besar dan berdesing kencang ke arahnya itu, Datuak Sani melecutkan Rantai Narako hingga beradu kuat dengan benda tersebut, menimbulkan suara berdenting kencang, dan dia memanfaatkan tenaga dorongan benda tersebut untuk melontarkan tubuhnya ke belakang.Crash!Benda itu ternyata sebuah pedang lebar dan tertancap ke tanah, dua langkah di hadapan Puti Bungo Satangkai.“Siapa?” teriak Datuak Sani ketika kakinya menjejak tanah. “Keluarlah, jangan menjadi pengecut dengan menyerang secara sembunyi-sembunyi!”“Aku tidak berniat sama sekali sembunyi darimu!”Seseorang melesat, berjumpalitan, dan mendarat di samping kanan Bungo. Datuak Sani menyipitkan matanya untuk dapat mengenali pria tinggi besar yang baru saja muncul itu.“Hei,” bisik pria yang baru muncul itu kepada Bungo. “Kau baik-baik saja?”Sang gadis terkejut sebab dia merasa mengenali suara itu.“Antaguna…!” teriak Pandan Arum. “Jangan bilang padaku bahwa kau bersekongkol dengan gadis sialan itu!”“Antaguna?” Datuak San
Tapi Antaguna hanya tersenyum saja menanggapi pertanyaan berbalut kemarahan dari Pandan Arum tersebut. Baginya, terlalu banyak alasan mengapa dia harus membela Puti Bungo Satangkai, dan salah satunya adalah dengan alasan perasaannya yang tidak bisa lepas dari gadis tersebut.“Hei!” seru Datuak Sani. “Apakah kau murid seorang tua di Ujung Kulon?”Antaguna tersenyum dan sedikit menjura kepada Datuak Sani sembari tetap menggenggam pedang besarnya.“Mata Anda sangat tajam, Datuak Sani,” ujarnya. “Guruku, Sami Agung Laut Selatan.”Datuak Sani menyeringai. “Tidak kusangka,” gumamnya seolah kepada dirinya sendiri. “Sekian puluh tahun menghilang, ternyata dia mengangkat seorang murid sepertimu.”“Apakah itu satu kesalahan?” Antaguna menanggapi dengan santai saja sebab tujuan utamanya adalah memberikan waktu lebih bagi Bungo untuk menghilangkan pengaruh racun di dalam tubuhnya.Datuak Sani tertawa-tawa. “Kurasa, seandainya si Sami Agung itu mengetahui bahwa muridnya ternyata adalah seorang kep
Antaguna yang baru saja bangkit dan merasa pusing melihat gerakan Pandan Arum yang mendekati Puti Bungo Satangkai. Dia menyadari bahwa dia telah berbuat ceroboh, ternyata semenjak tadi Datuak Sani sengaja memancingnya untuk menjauh dari Bungo.Hal ini juga sekaligus membuktikan kepada Antaguna bahwa Datuak Sani yang telah kaya akan asam garam dunia persilatan jauh lebih cerdik daripada dirinya.Menyesal, mungkin tidak berguna lagi, sudah terlambat sementara dia masih limbung, bahkan berdiri saja belum mampu.Tapi Antaguna tidak berputus asa. Dia memaksakan tubuhnya sendiri, berdiri dengan cepat, lalu kembali mengayunkan pedang lebarnya dengan disertai teriakan menggelegar.“Aku mengadu nyawa denganmu, Datuak Sani…!”Swing!Whoosh!Dan ternyata Antaguna justru melemparkan pedang besarnya itu ke arah Datuak Sani, sekuat yang ia mampu. Pedang besar berdesing dan berputar kencang.Sebab jarak mereka yang cukup dekat, serangan Datuak Sani dengan Rantai Narako-nya menghantam keras pedang be
Semakin lama, Antaguna semakin tidak kuat lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Terlebih lagi, dia dapat mendengar sendiri bunyi tulang-tulangnya yang berderak oleh lilitan rantai sakti tersebut.Dan pada akhirnya, Antaguna berteriak sejadi-jadinya sementara Datuak Sani tertawa-tawa menyaksikan penderitaan pria tinggi dan berbadan besar tersebut.Pandan Arum pun tertawa-tawa meski sulit baginya untuk melihat apa yang terjadi kepada Antaguna. Tapi setidaknya, dengan suara tawa sang ayah dan jeritan panjang dari mulut Antaguna itu memberi tahu kepadanya bahwa sekejap lagi, Antaguna akan tewas mengenaskan.“Mampus kau, Antaguna! Siapa suruh kau mencari masalah dengan ayahku!”“Kau punya kata-kata terakhir?” Datuak Sani tersenyum seolah mengejek Antaguna. “Mungkin saja setelah aku puas menyetubuhi gadismu itu aku akan berbaik hati untuk menguburmu, lalu menulis pesan-pesanmu di batu nisanmu.”Meskipun dia sangat marah mendengar kata-kata Datuak Sani, namun dia tidak bisa berbuat ba
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau