Antaguna yang baru saja bangkit dan merasa pusing melihat gerakan Pandan Arum yang mendekati Puti Bungo Satangkai. Dia menyadari bahwa dia telah berbuat ceroboh, ternyata semenjak tadi Datuak Sani sengaja memancingnya untuk menjauh dari Bungo.Hal ini juga sekaligus membuktikan kepada Antaguna bahwa Datuak Sani yang telah kaya akan asam garam dunia persilatan jauh lebih cerdik daripada dirinya.Menyesal, mungkin tidak berguna lagi, sudah terlambat sementara dia masih limbung, bahkan berdiri saja belum mampu.Tapi Antaguna tidak berputus asa. Dia memaksakan tubuhnya sendiri, berdiri dengan cepat, lalu kembali mengayunkan pedang lebarnya dengan disertai teriakan menggelegar.“Aku mengadu nyawa denganmu, Datuak Sani…!”Swing!Whoosh!Dan ternyata Antaguna justru melemparkan pedang besarnya itu ke arah Datuak Sani, sekuat yang ia mampu. Pedang besar berdesing dan berputar kencang.Sebab jarak mereka yang cukup dekat, serangan Datuak Sani dengan Rantai Narako-nya menghantam keras pedang be
Semakin lama, Antaguna semakin tidak kuat lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Terlebih lagi, dia dapat mendengar sendiri bunyi tulang-tulangnya yang berderak oleh lilitan rantai sakti tersebut.Dan pada akhirnya, Antaguna berteriak sejadi-jadinya sementara Datuak Sani tertawa-tawa menyaksikan penderitaan pria tinggi dan berbadan besar tersebut.Pandan Arum pun tertawa-tawa meski sulit baginya untuk melihat apa yang terjadi kepada Antaguna. Tapi setidaknya, dengan suara tawa sang ayah dan jeritan panjang dari mulut Antaguna itu memberi tahu kepadanya bahwa sekejap lagi, Antaguna akan tewas mengenaskan.“Mampus kau, Antaguna! Siapa suruh kau mencari masalah dengan ayahku!”“Kau punya kata-kata terakhir?” Datuak Sani tersenyum seolah mengejek Antaguna. “Mungkin saja setelah aku puas menyetubuhi gadismu itu aku akan berbaik hati untuk menguburmu, lalu menulis pesan-pesanmu di batu nisanmu.”Meskipun dia sangat marah mendengar kata-kata Datuak Sani, namun dia tidak bisa berbuat ba
Puti Bungo Satangkai meompat dari satu titik ke titik lainnya, sengaja membawa pertarungannya dengan Datuak Sani menjauh dari keberadaan Antaguna yang terluka. Dan setiap dia menjejak tanah, maka sang gadis menarik cakarnya sedemikian rupa hingga Karih Narako juga tertarik. Lalu ketika dia melompat, sang gadis mengentakkan cakarnya ke arah Datuak Sani hingga membuat Karih Narako menyerang sang datuak.Tapi tentu saja, tidak mudah untuk menjatuhkan pria sepuh yang pernah menggetarkan Tanah Andalas tersebut begitu saja. Terlebih lagi, dengan senjata saktinya berupa rantai unik yang selalu memerah seolah terbakar.Setiap kali Datuak Sani memutar Rantai Narako maka gelombang angin panas selalu tercipta, dan begitu dia menyabetkan rantainya itu, maka angin panas dan mematikan menerjang ke arah lawannya.Tring! Trang! Tring!Untuk ke sekian kalinya dua senjata sakti beradu dengan memercikkan bunga api di beberapa titik.Semakin lama, gerakan Rantai Narako seperti membentuk sangkar api raksa
Puti Bungo Satangkai menjejak tanah beberapa langkah di samping kiri Datuak Sani, lalu melesat dengan sangat cepat, dua tangan menekuk ke belakang, tatapannya berkilat seiring tenaga dalam yang dikerahkan sepenuhnya.Datuak Sani menggeram, menyentak Rantai Narako sedemikian rupa hingga rantai sakti itu bergerak cepat melilit tangan kanannya. Lalu dua tangannya dihantamkan ke depan dalam jurus tinju yang dahsyat yang dikobari api.Pria sepuh melakukan itu sebab dia dapat melihat bahwa sang gadis akan menyerangnya secara langsung. Lagi pula, sudah terlambat untuk memutar Rantai Narako dan menyerangnya.Dan sebelum Rantai Narako seutuhnya melilit tangan sang datuak, kedua pesilat itu sama-sama beradu tinju.Teph! Teph!Empat tinju beradu dengan dua kekuatan tenaga dalam berbeda. Datuak Sani menggunakan inti panas sedangkan sang gadis menggunakan inti dingin dalam Tinju Penghancur Sukma.Untuk sesat keduanya tertahan dalam kondisi saling beradu tinju. Tidak satu pun dari mereka yang mau m
“Kau menggali kuburanmu sendiri, gadis sialan…!”‘Oh, benarkah?’ sang gadis menyeringai.Setidaknya, Datuak Sani berpikir bahwa Puti Bungo Satangkai mungkin sdikit putus asa untuk dapat menyentuhnya sehingga dengan nekat berada dalam jarak yang bergitu dekat dengannya.Dia menggerakkan Rantai Narako sedemikian rupa yang tidak saja akan melibas sang gadis, tapi juga akan melilitnya seandainya dia mencoba untuk mengelak. Kemenangan sudah di depan mata, pikir sang datuak.Tapi sang gadis melakukan itu bukan tanpa perhitungan. Dia sadar bahwa keadaannya akan semakin buruk bila bertarung jarak jauh—mengingat jangkauan Rantai Narako yang lebih panjang—dan juga akan semakin membuatnya kelelahan, ditambah dengan dia sendiri yang sudah terluka, maka Bungo berpikir untuk mengakhiri pertarungan itu dalam sekali gerakan saja, apa pun risikonya.Datuak Sani menukik kencang dengan putaran Rantai Narako yang semakin ganas, sesaat lagi akan mengenai sang gadis.Sebelum itu terjadi, sang gadis menguba
‘Tapi Tetua Simpai Gilo memberi nama jurusku dengan nama Tarian Sang Naga.’“Be-Begitu, ya?” Datuak Sani terbatuk lagi dan lelehan darah kembali memuntahkan darah. “Ta-Tarian Sang Naga… Yah, se-sepertinya—uhuk, uhuk… itu nama yang pan-pantas.”Puti Bungo Satangkai tahu bahwa jurusnya terlalu ganas sehingga Datuak Sani mungkin tidak akan selamat setelah ini. Dia menghela napas dalam-dalam.Seandainya bisa memilih, Bungo tak hendak mengeluarkan jurus mengerikannya itu sebab tidak saja akan membunuh lawannya, tapi juga akan berakibat tidak baik kepada dirinya sendiri. untuk sekarang, dia menahan semua itu agar tidak ada lagi orang yang akan memanfaatkannya.“A-Aku senang,” Datuak Sani tersenyum lebar dengan tatapan tertuju ke langit tinggi. “Bisa mati di tangan ga-gadis hebat sepertimu. Aku tidak—uhuk, menyesal. Kerajaan Minanga pasti akan bisa bertahan untuk waktu yang lama.”Meskipun dia tidak begitu memahami apa yang dimaksudkan oleh Datuak Sani sepenuhnya, namun sang gadis tetap menu
“Kalian keparat!” teriak Pandan Arum dan tidak peduli lagi dengan keadaannya sehingga dia meronta-ronta. “Aku pasti akan membunuh kalian dengan lebih kejam!”“Dasar bodoh!” tukas Antaguna. “Kau tahu bahwa dengan meronta, maka jaringku itu akan melilitmu semakin kuat. Berhentilah meronta-ronta!”“Kau bajingan, Antaguna…!” teriak Pandan Arum yang semakin merasakan sesak akibat lilitan Jaring Jerat Naga.Antaguna membuka matanya, melirik pada Puti Bungo Satangkai yang berdiri di kiri depannya sembari memandangi mayat-mayat di tanah, di hadapan mereka.“Apa yang akan kau lakukan kepada mayat-mayat ini?”Bungo mengalihkan pandangannya kepada Antaguna, lalu menggerakkan tangannya, ‘Kupikir lebih baik mereka dikubur saja.’“Yah,” Antaguna mendesah panjang. “Kupikir juga begitu. Tapi maaf, aku masih tidak bertenaga untuk sekarang. Jadi, kau saja yang menggali kuburan untuk mereka.”Sang gadis tersenyum tipis dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.“Hei,” sahut Antaguna. “Kasihanlah sedikit kep
“Itulah mengapa aku mengusulkan kepadamu untuk menyerahkan wanita iblis itu kepada pihak kerajaan,” ujar Antaguna. “Biar pihak kerajaan yang memutuskan akan seperti apa hukuman baginya.”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam, dan kembali berdiri, lalu tatapannya tertuju kepada Pandan Arum.‘Yah, itu memang lebih baik,’ pikirnya.Toh, dia pribadi tidak memiliki urusan apa pun dengan Pandan Arum. Apa yang dia inginkan dalam tugasnya telah dia dapatkan, hanya tersisa dua kepingan lagi saja. Dan setelah itu, dia membiarkan takdir yang akan menuntun langkah ke depannya.Sementara itu, Pandan Arum mencoba memutar otak untuk bisa lepas dari semua masalah yang sekarang menghimpitnya.Akan tetapi, sekeras apa pun dia berpikir, tidak satu jalan keluar pun yang dapat ia temukan. Terlebih lagi, bila nanti kedua orang itu benar-benar akan menyerahkannya kepada pihak istana. Dia pasti tidak akan lolos dari hukuman kematian, atau minimal penjara bawah tanah yang menyengsarakan itu, sebagai