“Itulah mengapa aku mengusulkan kepadamu untuk menyerahkan wanita iblis itu kepada pihak kerajaan,” ujar Antaguna. “Biar pihak kerajaan yang memutuskan akan seperti apa hukuman baginya.”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam, dan kembali berdiri, lalu tatapannya tertuju kepada Pandan Arum.‘Yah, itu memang lebih baik,’ pikirnya.Toh, dia pribadi tidak memiliki urusan apa pun dengan Pandan Arum. Apa yang dia inginkan dalam tugasnya telah dia dapatkan, hanya tersisa dua kepingan lagi saja. Dan setelah itu, dia membiarkan takdir yang akan menuntun langkah ke depannya.Sementara itu, Pandan Arum mencoba memutar otak untuk bisa lepas dari semua masalah yang sekarang menghimpitnya.Akan tetapi, sekeras apa pun dia berpikir, tidak satu jalan keluar pun yang dapat ia temukan. Terlebih lagi, bila nanti kedua orang itu benar-benar akan menyerahkannya kepada pihak istana. Dia pasti tidak akan lolos dari hukuman kematian, atau minimal penjara bawah tanah yang menyengsarakan itu, sebagai
Di sebuah mata air yang sebening kaca, di kawasan barat kaki Gunung Tandikat, sebelah tenggara Danau Maninjau.Sikumbang sedang merumput di dekat sumber air yang lebih terlihat seperti sebuah sungai kecil selebar satu tombak—kurang lebih satu setengah meter—yang mengalir dari puncak gunung itu sendiri.Di dalam air yang sangat dangkal itu, Antaguna mengernyit dengan tubuh memerah dan berkeringat, begitu juga dengan Puti Bungo Satangkai. Semakin lama napasnya semakin menderu dan sulit untuk ia kendalikan.Perlahan-lahan, pria berbadan besar, tinggi, dan berotot itu melepaskan telapak tangannya dari punggung sang gadis. Dan seiring itu pula rona kemerah-merahan di wajahnya berangsur-angsur menghilang.Sang gadis tersedak, lalu memuntahkan darah kehitam-hitaman.“Kupikir kau sekarang sudah terbebas,” ujar sang pria dan kemudian berdiri. “Aku akan meninggalkanmu sendiri.”Tentu saja, untuk sekarang, Antaguna masih dapat menahan berahinya sebab meskipun mereka sama telanjang, duduk bersimp
‘Bukan seperti itu,’ ujar Puti Bungo Satangkai dengan bahasa isyaratnya. ‘Jurus itu sangat ganas.’“Yeah,” sahut Antaguna, “aku sudah melihat itu dalam pertarunganmu sebelumnya. Gila! Bahkan orang seperti Datuak Sani kau buat hancur tulang-tulang tangannya. Kau gadis yang mengerikan!”Bungo menghela napas dalam-dalam. ‘Itulah yang tidak aku inginkan terjadi kepadamu.’ Dan dia meraih kembali ayam bakarnya, menyantap daging ayam yang masih mengepulkan uap panas tersebut.Sementara Antaguna terdiam demi mengetahui alasan sang gadis tidak menggunakan jurus mengerikan itu ketika mereka terlibat perkelahian di saat pertemuan pertama mereka.Benarkah seperti itu? pikirnya, dan lantas mereguk ludah. Atau… karena ada alasan lainnya?“Katakan padaku,” ujar Antaguna, “kenapa kau tidak mau membunuhku padahal kau tidak segan-segan membunuh anak buahku?”Lagi-lagi sang gadis mengendikkan bahunya. Kembali dia meletakkan ranting penusuk daging ayam bakar tersebut, lalu meraih kantong kulit dan meregu
Antaguna mereguk ludah dan wajahnya bersemu, lalu terdengar Sikumbang yang meringkik halus seolah-olah menertawai tuannya yang sedang mati kutu tersebut di hadapan gadis yang dicintainya.“Kuda berengsek!” dengus Antaguna dengan bergumam pelan. “Awas kau nanti!”Tapi lagi-lagi Sikumbang meringkik halus dengan menggerak-gerakkan bulu ekornya yang panjang ke kiri dan ke kanan.Puti Bungo Satangkai tersenyum lebar. Bagaimanapun, semua sudah terlihat jelas di depan matanya. Sikap pria tersebut telah memberitahukan lebih dari satu kata kepadanya.‘Kau tahu,’ ujar Bungo kemudian dengan gerakan isyaratnya, ‘saat aku meninggalkanmu di goa di Pantai Sungai Suci itu, aku berjanji bahwa aku akan kembali untuk menemuimu setelah semua urusanku selesai.’Antaguna membelalak mengetahui itu. “B-Benarkah?” tanyanya dan kemudian mereguk ludah. “K-Kenapa?”Sang gadis mengangguk dalam senyuman. ‘Sebab aku ingin melihat apakah kau benar-benar memenuhi permintaanku untuk tidak kembali menjadi seorang penja
Si Kumbang Janti semakin mengernyit ketika pandangannya membentur enam kuburan yang berjejer di dekat perapian yang padam. Dia memang belum pernah sekalipun mengunjungi Datuak Sani sebelum ini, sehingga, dia mengabaikan saja enam kuburan tersebut.Karena curiga dengan tidak melihat adanya tanda-tanda seseorang di dalam rumah, tidak pula di sekitar, si Kumbang Janti memutuskan untuk memeriksa rumah tersebut.Dan ya, dia tidak menemukan siapa pun di dalam rumah. Dia mencoba mencari-cari ke sekeliling rumah, dan hasilnya tetap sama.Dalam kebingungannya, langkah kakinya membawanya kembali ke bagian depan, dan kembali tatapannya tertuju pada enam gundukan tanah di depan perapian.Lalu tiba-tiba dia membelalak. “Benar juga,” gumamnya seraya mendekati enam kuburan itu. “I-Ini, semuanya adalah kuburan baru!”Dan hal ini semakin diyakinkan dengan si Kumbang Janti yang menemukan setiap papan nisan yang ada pada kuburan tersebut tertulis keterangan.“Siapa yang melakukan ini semua?” gumamnya. “
“Bersabarlah!” kekeh si pria yang sudah telanjang sebagian ke bawah tubuhnya. “Kalian akan mendapatkan giliran. Tenang, tidak akan ada orang di sekitar jalan yang gelap ini.”“L-Lepaskan…!” teriak si wanita.Si penjahat lantas menindih tubuh si wanita sedemikian rupa, si wanita meronta-ronta semakin kuat. Dan sepertinya, si penjahat cukup kesulitan menggagahi si wanita yang selalu bergerak dan meronta-ronta.Lalu…Plakk!Lagi-lagi si wanita terpekik kencang sebab si penjahat menamparnya dengan sangat keras hingga membuatnya merasa pusing berat dan berkunang-kunang.“Bagus!” kekeh si penjahat. “Kau lebih tenang, maka akan lebih mudah dan senang bagiku untuk menikmatimu!”“T-Tidak…!” teriak sang wanita dengan pipi yang memerah dan bengkak akibat tamparan keras itu. “Kumohon, lepaskan aku…!”Sesaat sebelum si penjahat berhasil menusukkan pusakanya ke liang sanggama sang wanita, sesuatu melesat dengan sangat cepat, lalu menancap tepat di pangkal lehernya.Si penjahat tersentak, tersedak,
Si Kumbang Janti mendekati mereka, lalu memeriksa anak perempuan yang hening di dalam pangkuan ibunya.“Tolong, Tuan,” tangis si wanita. “Selamatkan putri kami.”Sang datuk yang sedang menyamar itu tersenyum, menghela napas panjang, “Tidak mengapa,” ujarnya. “Kurasa putri kalian hanya pingsan saja.”Dia juga menemukan luka lebam di pipi si gadis kecil, besar kemungkinan dia dipukul atau ditampar oleh salah seorang dari penjahat itu sebelum akhirnya pingsan.Lalu si Kumbang Janti tercekat. Entah sengaja atau tidak, tapi yang pasti sebelah dari buah dada si wanita terpampang begitu saja di depan matanya, bahkan nyaris tersentuh oleh tangannya sebab dia masih memeriksa kondisi si gadis kecil.Dia dengan cepat menjauhkan tangannya, berdeham sembari membuang pandangannya pada si pria.Tidak, dia tidak sengaja, pikirnya. Bagaimanapun, pakaiannya tadi telah dirobek-robek oleh para penjahat.“Yah,” ujarnya dengan menganggukkan kepala. “Putri kalian baik-baik saja.”“Terima kasih,” kata si pri
Si Kumbang Janti memasuki gubuk dengan menggendong si gadis kecil. “Hei,” ujarnya, “di mana harus kuletakkan putri kalian ini?” “Di kamar ini saja!” si wanita bergegas membuka pintu kamar pertama di sebelah kanan. “Tolong berhati-hati, Tuan, dia masih terluka, kasihan dia.” Si Kumbang Janti tersenyum, tentu saja, pikirnya. Lagi pula, orang waras mana yang mau memperlakukan seorang gadis kecil yang sedang pingsan dengan kasar? Tapi sepertiya itu adalah kekhawatiran si wanita terhadap putrinya karena ketakutan akan kejadian yang tadi itu, pikirnya. Dengan lembut dan penuh perhatian, dia membaringkan si gadis kecil pada sebuah ranjang bambu di dalam kamar yang tidak begitu luas. “Apakah darahnya masih mengalir?” tanya si Kumbang Janti pada si pria yang duduk berselonjor di satu kursi bambu di ruang depan. Si pria mencoba tersenyum. “Kuarasa tidak. Sepertinya totokan Anda sangat ampuh menghentikan pendarahan pada luka-lukaku ini.” “Aah, senang mendengar itu.” “Urmm, aku akan menye