Si Kumbang Janti mendekati mereka, lalu memeriksa anak perempuan yang hening di dalam pangkuan ibunya.“Tolong, Tuan,” tangis si wanita. “Selamatkan putri kami.”Sang datuk yang sedang menyamar itu tersenyum, menghela napas panjang, “Tidak mengapa,” ujarnya. “Kurasa putri kalian hanya pingsan saja.”Dia juga menemukan luka lebam di pipi si gadis kecil, besar kemungkinan dia dipukul atau ditampar oleh salah seorang dari penjahat itu sebelum akhirnya pingsan.Lalu si Kumbang Janti tercekat. Entah sengaja atau tidak, tapi yang pasti sebelah dari buah dada si wanita terpampang begitu saja di depan matanya, bahkan nyaris tersentuh oleh tangannya sebab dia masih memeriksa kondisi si gadis kecil.Dia dengan cepat menjauhkan tangannya, berdeham sembari membuang pandangannya pada si pria.Tidak, dia tidak sengaja, pikirnya. Bagaimanapun, pakaiannya tadi telah dirobek-robek oleh para penjahat.“Yah,” ujarnya dengan menganggukkan kepala. “Putri kalian baik-baik saja.”“Terima kasih,” kata si pri
Si Kumbang Janti memasuki gubuk dengan menggendong si gadis kecil. “Hei,” ujarnya, “di mana harus kuletakkan putri kalian ini?” “Di kamar ini saja!” si wanita bergegas membuka pintu kamar pertama di sebelah kanan. “Tolong berhati-hati, Tuan, dia masih terluka, kasihan dia.” Si Kumbang Janti tersenyum, tentu saja, pikirnya. Lagi pula, orang waras mana yang mau memperlakukan seorang gadis kecil yang sedang pingsan dengan kasar? Tapi sepertiya itu adalah kekhawatiran si wanita terhadap putrinya karena ketakutan akan kejadian yang tadi itu, pikirnya. Dengan lembut dan penuh perhatian, dia membaringkan si gadis kecil pada sebuah ranjang bambu di dalam kamar yang tidak begitu luas. “Apakah darahnya masih mengalir?” tanya si Kumbang Janti pada si pria yang duduk berselonjor di satu kursi bambu di ruang depan. Si pria mencoba tersenyum. “Kuarasa tidak. Sepertinya totokan Anda sangat ampuh menghentikan pendarahan pada luka-lukaku ini.” “Aah, senang mendengar itu.” “Urmm, aku akan menye
Semakin malam beranjak naik, maka semakin gerah yang dirasakan oleh si Kumbang Janti, dia juga merasa sedikit kelelahan, dan mengantuk. Tapi sepertinya pasangan suami-istri itu masih betah untuk berbual-bual bersamanya. Di samping itu, dia juga merasakan bahwa berahinya sedikit demi sedikit seolah menguasai tubuhnya.Tapi dia masih berbaik sangka. Kelelahan yang ia rasakan ia anggap sebagai sesuatu yang wajar sebab sepanjang pagi hingga malam, sampai saat bertemu kedua orang itu, si Kumbang Janti belum sempat untuk mendapatkan istirahat yang baik. Tentu saja, hal ini juga menyebabkan dia menjadi merasa sedikit lemas dan mengantukDan tentang berahinya, dia berpikir bahwa mungkin lantaran Nilam yang tidak sengaja memperlihatkan bagian-bagian menarik di tubuhnya. Bagaimanapun, dia adalah pria sejati yang memiliki hal yang sama dengan pria pada umumnya.Dan bukankah dalam keadaan lelah justru berahi seorang pria menjadi lebih cepat naik? gumamnya di dalam hati.Pada akhirnya, ketika sang
Di sisi selatan Gunung Tandikat, sebuah kawasan hutan rimbun dengan pemandangan air terjunnya yang kemudian hari tersohor, Lembah Anai. Pada satu bagian yang merupakan aliran dari air terjun itu sendiri, Antaguna menghentikan lari Sikumbang.“Ini sudah tengah malam, Bungo,” ujarnya kepada gadis yang duduk di depannya. “Sepertinya akan lebih bijak bagi kita beristirahat saja malam ini di sini.”Puti Bungo Satangkai tersenyum, dia setuju dengan hal itu, lalu Antaguna turun dari punggung kuda hitam terlebih dahulu. Sang pria dengan penuh perhatian membantu sang gadis turun dari punggung kuda.“Hati-hati.”‘Hei,’ Bungo menepuk bahu Antaguna yang akan menuntun Sikumbang ke satu titik. ‘Apakah kau mengenal kawasan ini?’Sang pria berbadan besar, berotot, dan tinggi itu tersenyum. “Tidak bisa dibilang terlalu mengenal,” jawabnya. “Paling tidak, aku sudah dua atau tiga kali melintasi hutan belantara di lembah ini.”Tentu saja, Antaguna memahami apa yang sesungguhnya hendak ditanyakan oleh san
Wow, itu terdengar seperti dua sejoli yang memiliki hati yang sangat mulia! Puti Bungo Satangkai terkagum-kagum di dalam hatinya.“Lambat laun, seiring kabar yang berembus, semakin banyak pendekar yang singgah di rumah keduanya. Lalu mereka akhirnya membangun gubuk-gubuk lainnya. Dan semenjak saat itu pula, kawasan itu menjadi terlarang bagi setiap perkelahian. Para pendekar yang datang mungkin hanya sekadar menumpang beristirahat setelah dalam perjalanan yang melelahkan tidak segan-segan meninggalkan uang untuk mereka sebagai tanda terima kasih.”Yah, pikir sang gadis. Itu sudah seharusnya. Membalas budi dengan cara apa pun.“Meskipun kedua sesepuh tidak meminta atau menetapkan harga tertentu, namun orang-orang yang semakin lama semakin sering menggunakan rumah mereka sebagai tempat beristirahat tetap memberikan uang, berapa pun itu. Dan mereka akhirnya sepakat—atau semacam keputusan tak tertulis, bahwa tidak dibenarkan seorang pun membawa ambisi masing-masing di kawasan itu.”‘Aku p
Antaguna melihat bangunan gubuk yang dimaksud sang gadis, dia mengangguk, lalu mengeluarkan kantong uangnya, dan mengeluarkan dua keping uang perak.“Semoga inyiak berdua selalu dalam keadaan sehat,” ujar Antaguna seraya menyerahkan dua keping uang perak itu kepada sang gadis.“Terima kasih, Uda,” sang gadis menerima dengan sangat sopan. “Harapan yang sama untuk Uda dan Uni.”Puti Bungo Satangkai hanya diam menyaksikan itu semua. Dua keping uang perak untuk satu kamar penginapan dan hanya akan digunakan semalam saja? Itu sudah jauh lebih mahal daripada menyewa penginapan di Kotaraja, pikirnya.Akan tetapi, dengan keadaan lingkungan penginapan itu sendiri, Bungo menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh Antaguna dengan memberikan uang lebih kepada si gadis tersebut adalah bentuk mengharagai dengan apa yang telah diperjuangkan sesepuh pemilik kawasan ini.Yah, harga segitu adalah harga yang kecil untuk sebuah kenyamanan dan kedamaian.“Hei,” Antaguna tersenyum menatap Bungo, lalu menggera
Selama Antaguna di dalam kamar mandi, Puti Bungo Satangkai duduk di kursi yang satunya lagi, di seberang kursi yang tadi diduduki Antaguna.Yah, di sini terasa cukup nyaman, pikirnya. Meskipun di luar banyak orang yang begadang di dekat api-api unggun, tapi suasana di sekitar terasa lebih tenang, hanya nyanyian serangga malam saja yang terdengar sebagai irama pengantar tidur, atau gemerisik air mengalir di luar sana yang menenangkan.Lalu, Bungo tersenyum-senyum. Pikirannya kini tertuju pada Antaguna. Pria kasar bertubuh besar, kekar dan tinggi itu semakin lama semakin terlihat sisi lembutnya.Pikirannya kembali ketika dia pertama kali bertemu dengan Antaguna, lalu terjadi perkelahian, dan dia akhirnya tertangkap oleh Jaring Jerat Naga.Lalu pada peristiwa di mana Antaguna hampir memperkosanya. Wajah sang gadis merona tiba-tiba, tapi dia tidak marah dengan kejadian tersebut. Setidaknya, upayanya membuahkan hasil, dan Antaguna melepaskannya. Dia meninggalkan laki-laki itu dan memintany
Si Kumbang Janti mengerang halus. Di alam bawah sadarnya, dia merasakan hal yang teramat menyenangkan, tapi juga sekaligus membuat dia sesak sebab dia merasa dihimpit oleh sesuatu yang bergerak-gerak.Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi seperti ada ribuan semut yang merangkak cepat di sekujur badannya, dan itu membuatnya merasa geli dan lemas dalam satu dan lain cara.Sempat dia berpikir tentang apa yang sedang terjadi kepadanya, akan tetapi, pikiran itu seolah meninggalkan raganya begitu saja, dan kembali berganti dengan rasa gelitik yang memabukkan.Rasa yang teramat menyenangkan itu juga melambungkan pikirannya, melayang-layang tanpa dapat mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi kepada dirinya. Tidak mampu berpikir dengan jernih.Dan ketika si Kumbang Janti memaksa untuk membuka matanya di antara goyangan-goyangan yang semakin menyesakkan dadanya, tiba-tiba dia tertegun. Darahnya tersirap, jantungnya berhenti sesaat, dan kemudian berdetak bahkan lebih cepat“B-Bungo?!” ma