Di sisi selatan Gunung Tandikat, sebuah kawasan hutan rimbun dengan pemandangan air terjunnya yang kemudian hari tersohor, Lembah Anai. Pada satu bagian yang merupakan aliran dari air terjun itu sendiri, Antaguna menghentikan lari Sikumbang.“Ini sudah tengah malam, Bungo,” ujarnya kepada gadis yang duduk di depannya. “Sepertinya akan lebih bijak bagi kita beristirahat saja malam ini di sini.”Puti Bungo Satangkai tersenyum, dia setuju dengan hal itu, lalu Antaguna turun dari punggung kuda hitam terlebih dahulu. Sang pria dengan penuh perhatian membantu sang gadis turun dari punggung kuda.“Hati-hati.”‘Hei,’ Bungo menepuk bahu Antaguna yang akan menuntun Sikumbang ke satu titik. ‘Apakah kau mengenal kawasan ini?’Sang pria berbadan besar, berotot, dan tinggi itu tersenyum. “Tidak bisa dibilang terlalu mengenal,” jawabnya. “Paling tidak, aku sudah dua atau tiga kali melintasi hutan belantara di lembah ini.”Tentu saja, Antaguna memahami apa yang sesungguhnya hendak ditanyakan oleh san
Wow, itu terdengar seperti dua sejoli yang memiliki hati yang sangat mulia! Puti Bungo Satangkai terkagum-kagum di dalam hatinya.“Lambat laun, seiring kabar yang berembus, semakin banyak pendekar yang singgah di rumah keduanya. Lalu mereka akhirnya membangun gubuk-gubuk lainnya. Dan semenjak saat itu pula, kawasan itu menjadi terlarang bagi setiap perkelahian. Para pendekar yang datang mungkin hanya sekadar menumpang beristirahat setelah dalam perjalanan yang melelahkan tidak segan-segan meninggalkan uang untuk mereka sebagai tanda terima kasih.”Yah, pikir sang gadis. Itu sudah seharusnya. Membalas budi dengan cara apa pun.“Meskipun kedua sesepuh tidak meminta atau menetapkan harga tertentu, namun orang-orang yang semakin lama semakin sering menggunakan rumah mereka sebagai tempat beristirahat tetap memberikan uang, berapa pun itu. Dan mereka akhirnya sepakat—atau semacam keputusan tak tertulis, bahwa tidak dibenarkan seorang pun membawa ambisi masing-masing di kawasan itu.”‘Aku p
Antaguna melihat bangunan gubuk yang dimaksud sang gadis, dia mengangguk, lalu mengeluarkan kantong uangnya, dan mengeluarkan dua keping uang perak.“Semoga inyiak berdua selalu dalam keadaan sehat,” ujar Antaguna seraya menyerahkan dua keping uang perak itu kepada sang gadis.“Terima kasih, Uda,” sang gadis menerima dengan sangat sopan. “Harapan yang sama untuk Uda dan Uni.”Puti Bungo Satangkai hanya diam menyaksikan itu semua. Dua keping uang perak untuk satu kamar penginapan dan hanya akan digunakan semalam saja? Itu sudah jauh lebih mahal daripada menyewa penginapan di Kotaraja, pikirnya.Akan tetapi, dengan keadaan lingkungan penginapan itu sendiri, Bungo menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh Antaguna dengan memberikan uang lebih kepada si gadis tersebut adalah bentuk mengharagai dengan apa yang telah diperjuangkan sesepuh pemilik kawasan ini.Yah, harga segitu adalah harga yang kecil untuk sebuah kenyamanan dan kedamaian.“Hei,” Antaguna tersenyum menatap Bungo, lalu menggera
Selama Antaguna di dalam kamar mandi, Puti Bungo Satangkai duduk di kursi yang satunya lagi, di seberang kursi yang tadi diduduki Antaguna.Yah, di sini terasa cukup nyaman, pikirnya. Meskipun di luar banyak orang yang begadang di dekat api-api unggun, tapi suasana di sekitar terasa lebih tenang, hanya nyanyian serangga malam saja yang terdengar sebagai irama pengantar tidur, atau gemerisik air mengalir di luar sana yang menenangkan.Lalu, Bungo tersenyum-senyum. Pikirannya kini tertuju pada Antaguna. Pria kasar bertubuh besar, kekar dan tinggi itu semakin lama semakin terlihat sisi lembutnya.Pikirannya kembali ketika dia pertama kali bertemu dengan Antaguna, lalu terjadi perkelahian, dan dia akhirnya tertangkap oleh Jaring Jerat Naga.Lalu pada peristiwa di mana Antaguna hampir memperkosanya. Wajah sang gadis merona tiba-tiba, tapi dia tidak marah dengan kejadian tersebut. Setidaknya, upayanya membuahkan hasil, dan Antaguna melepaskannya. Dia meninggalkan laki-laki itu dan memintany
Si Kumbang Janti mengerang halus. Di alam bawah sadarnya, dia merasakan hal yang teramat menyenangkan, tapi juga sekaligus membuat dia sesak sebab dia merasa dihimpit oleh sesuatu yang bergerak-gerak.Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi seperti ada ribuan semut yang merangkak cepat di sekujur badannya, dan itu membuatnya merasa geli dan lemas dalam satu dan lain cara.Sempat dia berpikir tentang apa yang sedang terjadi kepadanya, akan tetapi, pikiran itu seolah meninggalkan raganya begitu saja, dan kembali berganti dengan rasa gelitik yang memabukkan.Rasa yang teramat menyenangkan itu juga melambungkan pikirannya, melayang-layang tanpa dapat mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi kepada dirinya. Tidak mampu berpikir dengan jernih.Dan ketika si Kumbang Janti memaksa untuk membuka matanya di antara goyangan-goyangan yang semakin menyesakkan dadanya, tiba-tiba dia tertegun. Darahnya tersirap, jantungnya berhenti sesaat, dan kemudian berdetak bahkan lebih cepat“B-Bungo?!” ma
Nilam meninggalkan si Kumbang Janti yang masih terengah-engah dan tidak berdaya di ranjang di dalam kamar. Dari sana, dia langsung menuju dapur, dan di sisi lain dapur ada kamar mandi, dia memasuki kamar mandi tersebut.Sementara itu, Suan sepertinya sudah terlelap di kursi bambu di ruang tengah, meskipun terlihat seperti kurang nyaman.Akan halnya bagi si Kumbang Janti, seketika itu juga dia merasakan dunianya runtuh, lalu menimpanya dengan sangat keras. Sayangnya, hal ini tidak membuatnya mati sebab itu hanyalah bentuk perasaannya yang sedang kerkecamuk, dan itu semakin membuatnya terengah-engah dengan lebih buruk.Dia ingin menangis sejadi-jadinya, tapi penyesalannya lebih besar daripada kesedihannya, dan penyesalan berujung pada kemarahannya yang menggelegak hingga ke ubun-ubun. Akan tetapi, tidak ada yang bisa dia lakukan untuk melampiaskan itu semua.Dan dengan dia yang tidak mampu bergerak kecuali senjata pusakanya itu saja, si Kumbang Janti semakin yakin bahwa sesungguhnya dia
“Itu tidak akan terjadi.”“Hei!” Suan mendelik. “Sekali-kali, kau harus mendengarkanku, perempuan berengsek! Kau tahu bahwa aku sangat peduli padamu, hah?!”Nilam terkikik dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau tahu,” ujarnya seraya mengigit-gigit ujung kukunya. “Kalau bukan lantaran pria itu, aku tidak sudi bekerja sama denganmu. Tapi tidak, aku masih bisa menahan itu.”“Ooh,” Suan menyeringai, dan kembali bersandar setelah dia memakai bajunya. “Jadi kau ingin membuangku? Baiklah. Kau yang meminta, jangan salahkan aku nanti!”“Lihat?” Nilam menghela napas dalam-dalam. “Begitu mudahnya kau tersinggung. Apa kau tahu? Jika kita membunuh dia,” ujarnya, “maka pihak istana pasti akan mencari tahu, lalu kita tidak akan pernah selamat. Tidak dari tangan Rajo Bungsu, tidak pula dari pria itu!”Suan terdiam. Itu benar, pikirnya. Kalau hanya pendekar biasa, atau seseorang yang tidak ada kaitannya dengan Istana Minanga, membunuh setelah puas bercinta adalah kebiasaan yang dilakukan oleh Nilam.
Pagi-pagi sekali, sebelum sang raja siang memperlihatkan diri, suara kokok ayam hutan yang nyaring bersahut-sahutan dari satu sudut hutan ke sudut lainnya. Puti Bungo Satangkai telah terbangun terlebih dahulu.Dia bangkit, lalu tatapannya tertuju pada Antaguna yang masih terlelap di atas ranjang bambu, dan tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah itu, dia melangkah menuju ke kamar mandi.Beberapa saat kemudian, sang gadis kembali dengan tubuh yang lebih segar, tapi si Antaguna masih saja pulas, bahkan dengan dengkuran halus dari mulutnya.Seolah ada sesuatu yang menghasutnya, Bungo mendekati ranjang bambu, memerhatikan sesaat wajah yang terlihat cukup tampan itu lebih lama.Yah, mungkin Antaguna harus mencukur rapi kumis, cambang, dan jenggotnya yang kasar dan tumbuh tak terawat itu terlebih dahulu agar terlihat lebih jantan.Semakin lama sang gadis memerhatikan sang pria yang terlelap, semakin ia menyadari bahwa ada sesuatu yang menarik pada pria tersebut.Lalu seolah