Beranda / Pendekar / Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi / Kawasan Terasing di Tengah Hutan

Share

Kawasan Terasing di Tengah Hutan

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Wow, itu terdengar seperti dua sejoli yang memiliki hati yang sangat mulia! Puti Bungo Satangkai terkagum-kagum di dalam hatinya.

“Lambat laun, seiring kabar yang berembus, semakin banyak pendekar yang singgah di rumah keduanya. Lalu mereka akhirnya membangun gubuk-gubuk lainnya. Dan semenjak saat itu pula, kawasan itu menjadi terlarang bagi setiap perkelahian. Para pendekar yang datang mungkin hanya sekadar menumpang beristirahat setelah dalam perjalanan yang melelahkan tidak segan-segan meninggalkan uang untuk mereka sebagai tanda terima kasih.”

Yah, pikir sang gadis. Itu sudah seharusnya. Membalas budi dengan cara apa pun.

“Meskipun kedua sesepuh tidak meminta atau menetapkan harga tertentu, namun orang-orang yang semakin lama semakin sering menggunakan rumah mereka sebagai tempat beristirahat tetap memberikan uang, berapa pun itu. Dan mereka akhirnya sepakat—atau semacam keputusan tak tertulis, bahwa tidak dibenarkan seorang pun membawa ambisi masing-masing di kawasan itu.”

‘Aku p
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Satu Kamar Dua Hati

    Antaguna melihat bangunan gubuk yang dimaksud sang gadis, dia mengangguk, lalu mengeluarkan kantong uangnya, dan mengeluarkan dua keping uang perak.“Semoga inyiak berdua selalu dalam keadaan sehat,” ujar Antaguna seraya menyerahkan dua keping uang perak itu kepada sang gadis.“Terima kasih, Uda,” sang gadis menerima dengan sangat sopan. “Harapan yang sama untuk Uda dan Uni.”Puti Bungo Satangkai hanya diam menyaksikan itu semua. Dua keping uang perak untuk satu kamar penginapan dan hanya akan digunakan semalam saja? Itu sudah jauh lebih mahal daripada menyewa penginapan di Kotaraja, pikirnya.Akan tetapi, dengan keadaan lingkungan penginapan itu sendiri, Bungo menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh Antaguna dengan memberikan uang lebih kepada si gadis tersebut adalah bentuk mengharagai dengan apa yang telah diperjuangkan sesepuh pemilik kawasan ini.Yah, harga segitu adalah harga yang kecil untuk sebuah kenyamanan dan kedamaian.“Hei,” Antaguna tersenyum menatap Bungo, lalu menggera

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bimbang

    Selama Antaguna di dalam kamar mandi, Puti Bungo Satangkai duduk di kursi yang satunya lagi, di seberang kursi yang tadi diduduki Antaguna.Yah, di sini terasa cukup nyaman, pikirnya. Meskipun di luar banyak orang yang begadang di dekat api-api unggun, tapi suasana di sekitar terasa lebih tenang, hanya nyanyian serangga malam saja yang terdengar sebagai irama pengantar tidur, atau gemerisik air mengalir di luar sana yang menenangkan.Lalu, Bungo tersenyum-senyum. Pikirannya kini tertuju pada Antaguna. Pria kasar bertubuh besar, kekar dan tinggi itu semakin lama semakin terlihat sisi lembutnya.Pikirannya kembali ketika dia pertama kali bertemu dengan Antaguna, lalu terjadi perkelahian, dan dia akhirnya tertangkap oleh Jaring Jerat Naga.Lalu pada peristiwa di mana Antaguna hampir memperkosanya. Wajah sang gadis merona tiba-tiba, tapi dia tidak marah dengan kejadian tersebut. Setidaknya, upayanya membuahkan hasil, dan Antaguna melepaskannya. Dia meninggalkan laki-laki itu dan memintany

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Terlambat

    Si Kumbang Janti mengerang halus. Di alam bawah sadarnya, dia merasakan hal yang teramat menyenangkan, tapi juga sekaligus membuat dia sesak sebab dia merasa dihimpit oleh sesuatu yang bergerak-gerak.Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi seperti ada ribuan semut yang merangkak cepat di sekujur badannya, dan itu membuatnya merasa geli dan lemas dalam satu dan lain cara.Sempat dia berpikir tentang apa yang sedang terjadi kepadanya, akan tetapi, pikiran itu seolah meninggalkan raganya begitu saja, dan kembali berganti dengan rasa gelitik yang memabukkan.Rasa yang teramat menyenangkan itu juga melambungkan pikirannya, melayang-layang tanpa dapat mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi kepada dirinya. Tidak mampu berpikir dengan jernih.Dan ketika si Kumbang Janti memaksa untuk membuka matanya di antara goyangan-goyangan yang semakin menyesakkan dadanya, tiba-tiba dia tertegun. Darahnya tersirap, jantungnya berhenti sesaat, dan kemudian berdetak bahkan lebih cepat“B-Bungo?!” ma

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Penyesalan Menjadi Kebencian

    Nilam meninggalkan si Kumbang Janti yang masih terengah-engah dan tidak berdaya di ranjang di dalam kamar. Dari sana, dia langsung menuju dapur, dan di sisi lain dapur ada kamar mandi, dia memasuki kamar mandi tersebut.Sementara itu, Suan sepertinya sudah terlelap di kursi bambu di ruang tengah, meskipun terlihat seperti kurang nyaman.Akan halnya bagi si Kumbang Janti, seketika itu juga dia merasakan dunianya runtuh, lalu menimpanya dengan sangat keras. Sayangnya, hal ini tidak membuatnya mati sebab itu hanyalah bentuk perasaannya yang sedang kerkecamuk, dan itu semakin membuatnya terengah-engah dengan lebih buruk.Dia ingin menangis sejadi-jadinya, tapi penyesalannya lebih besar daripada kesedihannya, dan penyesalan berujung pada kemarahannya yang menggelegak hingga ke ubun-ubun. Akan tetapi, tidak ada yang bisa dia lakukan untuk melampiaskan itu semua.Dan dengan dia yang tidak mampu bergerak kecuali senjata pusakanya itu saja, si Kumbang Janti semakin yakin bahwa sesungguhnya dia

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Suara yang Pecah

    “Itu tidak akan terjadi.”“Hei!” Suan mendelik. “Sekali-kali, kau harus mendengarkanku, perempuan berengsek! Kau tahu bahwa aku sangat peduli padamu, hah?!”Nilam terkikik dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau tahu,” ujarnya seraya mengigit-gigit ujung kukunya. “Kalau bukan lantaran pria itu, aku tidak sudi bekerja sama denganmu. Tapi tidak, aku masih bisa menahan itu.”“Ooh,” Suan menyeringai, dan kembali bersandar setelah dia memakai bajunya. “Jadi kau ingin membuangku? Baiklah. Kau yang meminta, jangan salahkan aku nanti!”“Lihat?” Nilam menghela napas dalam-dalam. “Begitu mudahnya kau tersinggung. Apa kau tahu? Jika kita membunuh dia,” ujarnya, “maka pihak istana pasti akan mencari tahu, lalu kita tidak akan pernah selamat. Tidak dari tangan Rajo Bungsu, tidak pula dari pria itu!”Suan terdiam. Itu benar, pikirnya. Kalau hanya pendekar biasa, atau seseorang yang tidak ada kaitannya dengan Istana Minanga, membunuh setelah puas bercinta adalah kebiasaan yang dilakukan oleh Nilam.

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kecanggungan di Awal Pagi

    Pagi-pagi sekali, sebelum sang raja siang memperlihatkan diri, suara kokok ayam hutan yang nyaring bersahut-sahutan dari satu sudut hutan ke sudut lainnya. Puti Bungo Satangkai telah terbangun terlebih dahulu.Dia bangkit, lalu tatapannya tertuju pada Antaguna yang masih terlelap di atas ranjang bambu, dan tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah itu, dia melangkah menuju ke kamar mandi.Beberapa saat kemudian, sang gadis kembali dengan tubuh yang lebih segar, tapi si Antaguna masih saja pulas, bahkan dengan dengkuran halus dari mulutnya.Seolah ada sesuatu yang menghasutnya, Bungo mendekati ranjang bambu, memerhatikan sesaat wajah yang terlihat cukup tampan itu lebih lama.Yah, mungkin Antaguna harus mencukur rapi kumis, cambang, dan jenggotnya yang kasar dan tumbuh tak terawat itu terlebih dahulu agar terlihat lebih jantan.Semakin lama sang gadis memerhatikan sang pria yang terlelap, semakin ia menyadari bahwa ada sesuatu yang menarik pada pria tersebut.Lalu seolah

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Lembah yang Damai

    Karena tidak ingin berlama-lama dalam suasana yang canggung itu, Puti Bungo Satangkai mengangguk cepat, lalu dia bangkit, dan mendahului Antaguna untuk keluar dari gubuk penginapan.Antaguna menghela napas dalam-dalam, tersenyum tipis tapi sedikit kecut. Dia mendesah sembari memaki panjang-pendek di dalam hatinya.“Awas kau!” ancamnya dengan suara pelan kepada—yaa… sesuatu di selangkangannya itu.Dan setelah itu, Antaguna menyusul Bungo keluar dari gubuk. Bagaimanapun, Bungo tidak memahami kawasan di Lembah Anai tersebut, dan dia juga tidak ingin berjauhan dengan sang gadis.Meskipun di awal pagi dan sang mentari belum terlihat sama sekali—yah, kecuali rona jingga keemasan di ufuk timur itu saja—akan tetapi, keadaan di luar telah ramai. Para pesilat itu, sebagian besar dari mereka mungkin tidak tidur sama sekali.“Hei,” Antaguna mengiringi langkah Bungo. “Ke sini!”Bungo mengangguk kecil, dan mengikuti langkah Antaguna. Mereka menyeberangi sungai kecil, dangkal, dan berbatu-batu.Tuju

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Terasa Lebih Dekat

    Puti Bungo Satangkai tersenyum tipis tapi juga sangat manis. Bagaimanapun, pendengarannya yang tajam—meski hanya dengan telinga kanan saja, membuatnya dapat mendengar percakapan sepintas tersebut.“Jangan diambil hati,” ujar Antaguna dengan suara pelan.‘Tidak, tidak!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya. ‘Tiada ketersinggungan sama sekali bagiku.’“Bagus, itu sangat bagus.”‘Kupikir,’ sang gadis menunjuk pelipisnya, ‘dia justru terlihat manis.’“Oh…” Antaguna membuang wajahnya ke samping, mengunyah makanan di mulutnya dengan sedikit berlainan.Sang gadis mengernyit. ‘Ada apa dengan dia?’ pikirnya. “Cemburu, kah? Aah, manis sekali!’“Hei,” kata Antaguna kemudian. “Apakah setelah sarapan ini kau berencana akan langsung berangkat?”Sang gadis mengangguk.“Yah,” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Kupikir juga begitu. Semakin cepat akan semakin baik.”‘Boleh aku bertanya sesuatu padamu?’Sang pria mengendikkan sedikit bahunya. “Silakan saja. Kenapa kau malah terkesan ragu begitu?”Bungo

Bab terbaru

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Epilog

    Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Yang Hilang Telah Kembali

    Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Kamu

    ‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berpisah Bukan Bercerai

    Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Luka yang Terkuak

    Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kebahagiaan

    Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertemuan Tak Terduga

    Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bukan Orang Lain

    Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertarungan yang Aneh

    Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau

DMCA.com Protection Status