Antaguna melihat bangunan gubuk yang dimaksud sang gadis, dia mengangguk, lalu mengeluarkan kantong uangnya, dan mengeluarkan dua keping uang perak.“Semoga inyiak berdua selalu dalam keadaan sehat,” ujar Antaguna seraya menyerahkan dua keping uang perak itu kepada sang gadis.“Terima kasih, Uda,” sang gadis menerima dengan sangat sopan. “Harapan yang sama untuk Uda dan Uni.”Puti Bungo Satangkai hanya diam menyaksikan itu semua. Dua keping uang perak untuk satu kamar penginapan dan hanya akan digunakan semalam saja? Itu sudah jauh lebih mahal daripada menyewa penginapan di Kotaraja, pikirnya.Akan tetapi, dengan keadaan lingkungan penginapan itu sendiri, Bungo menyadari bahwa apa yang dilakukan oleh Antaguna dengan memberikan uang lebih kepada si gadis tersebut adalah bentuk mengharagai dengan apa yang telah diperjuangkan sesepuh pemilik kawasan ini.Yah, harga segitu adalah harga yang kecil untuk sebuah kenyamanan dan kedamaian.“Hei,” Antaguna tersenyum menatap Bungo, lalu menggera
Selama Antaguna di dalam kamar mandi, Puti Bungo Satangkai duduk di kursi yang satunya lagi, di seberang kursi yang tadi diduduki Antaguna.Yah, di sini terasa cukup nyaman, pikirnya. Meskipun di luar banyak orang yang begadang di dekat api-api unggun, tapi suasana di sekitar terasa lebih tenang, hanya nyanyian serangga malam saja yang terdengar sebagai irama pengantar tidur, atau gemerisik air mengalir di luar sana yang menenangkan.Lalu, Bungo tersenyum-senyum. Pikirannya kini tertuju pada Antaguna. Pria kasar bertubuh besar, kekar dan tinggi itu semakin lama semakin terlihat sisi lembutnya.Pikirannya kembali ketika dia pertama kali bertemu dengan Antaguna, lalu terjadi perkelahian, dan dia akhirnya tertangkap oleh Jaring Jerat Naga.Lalu pada peristiwa di mana Antaguna hampir memperkosanya. Wajah sang gadis merona tiba-tiba, tapi dia tidak marah dengan kejadian tersebut. Setidaknya, upayanya membuahkan hasil, dan Antaguna melepaskannya. Dia meninggalkan laki-laki itu dan memintany
Si Kumbang Janti mengerang halus. Di alam bawah sadarnya, dia merasakan hal yang teramat menyenangkan, tapi juga sekaligus membuat dia sesak sebab dia merasa dihimpit oleh sesuatu yang bergerak-gerak.Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tapi seperti ada ribuan semut yang merangkak cepat di sekujur badannya, dan itu membuatnya merasa geli dan lemas dalam satu dan lain cara.Sempat dia berpikir tentang apa yang sedang terjadi kepadanya, akan tetapi, pikiran itu seolah meninggalkan raganya begitu saja, dan kembali berganti dengan rasa gelitik yang memabukkan.Rasa yang teramat menyenangkan itu juga melambungkan pikirannya, melayang-layang tanpa dapat mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi kepada dirinya. Tidak mampu berpikir dengan jernih.Dan ketika si Kumbang Janti memaksa untuk membuka matanya di antara goyangan-goyangan yang semakin menyesakkan dadanya, tiba-tiba dia tertegun. Darahnya tersirap, jantungnya berhenti sesaat, dan kemudian berdetak bahkan lebih cepat“B-Bungo?!” ma
Nilam meninggalkan si Kumbang Janti yang masih terengah-engah dan tidak berdaya di ranjang di dalam kamar. Dari sana, dia langsung menuju dapur, dan di sisi lain dapur ada kamar mandi, dia memasuki kamar mandi tersebut.Sementara itu, Suan sepertinya sudah terlelap di kursi bambu di ruang tengah, meskipun terlihat seperti kurang nyaman.Akan halnya bagi si Kumbang Janti, seketika itu juga dia merasakan dunianya runtuh, lalu menimpanya dengan sangat keras. Sayangnya, hal ini tidak membuatnya mati sebab itu hanyalah bentuk perasaannya yang sedang kerkecamuk, dan itu semakin membuatnya terengah-engah dengan lebih buruk.Dia ingin menangis sejadi-jadinya, tapi penyesalannya lebih besar daripada kesedihannya, dan penyesalan berujung pada kemarahannya yang menggelegak hingga ke ubun-ubun. Akan tetapi, tidak ada yang bisa dia lakukan untuk melampiaskan itu semua.Dan dengan dia yang tidak mampu bergerak kecuali senjata pusakanya itu saja, si Kumbang Janti semakin yakin bahwa sesungguhnya dia
“Itu tidak akan terjadi.”“Hei!” Suan mendelik. “Sekali-kali, kau harus mendengarkanku, perempuan berengsek! Kau tahu bahwa aku sangat peduli padamu, hah?!”Nilam terkikik dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau tahu,” ujarnya seraya mengigit-gigit ujung kukunya. “Kalau bukan lantaran pria itu, aku tidak sudi bekerja sama denganmu. Tapi tidak, aku masih bisa menahan itu.”“Ooh,” Suan menyeringai, dan kembali bersandar setelah dia memakai bajunya. “Jadi kau ingin membuangku? Baiklah. Kau yang meminta, jangan salahkan aku nanti!”“Lihat?” Nilam menghela napas dalam-dalam. “Begitu mudahnya kau tersinggung. Apa kau tahu? Jika kita membunuh dia,” ujarnya, “maka pihak istana pasti akan mencari tahu, lalu kita tidak akan pernah selamat. Tidak dari tangan Rajo Bungsu, tidak pula dari pria itu!”Suan terdiam. Itu benar, pikirnya. Kalau hanya pendekar biasa, atau seseorang yang tidak ada kaitannya dengan Istana Minanga, membunuh setelah puas bercinta adalah kebiasaan yang dilakukan oleh Nilam.
Pagi-pagi sekali, sebelum sang raja siang memperlihatkan diri, suara kokok ayam hutan yang nyaring bersahut-sahutan dari satu sudut hutan ke sudut lainnya. Puti Bungo Satangkai telah terbangun terlebih dahulu.Dia bangkit, lalu tatapannya tertuju pada Antaguna yang masih terlelap di atas ranjang bambu, dan tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah itu, dia melangkah menuju ke kamar mandi.Beberapa saat kemudian, sang gadis kembali dengan tubuh yang lebih segar, tapi si Antaguna masih saja pulas, bahkan dengan dengkuran halus dari mulutnya.Seolah ada sesuatu yang menghasutnya, Bungo mendekati ranjang bambu, memerhatikan sesaat wajah yang terlihat cukup tampan itu lebih lama.Yah, mungkin Antaguna harus mencukur rapi kumis, cambang, dan jenggotnya yang kasar dan tumbuh tak terawat itu terlebih dahulu agar terlihat lebih jantan.Semakin lama sang gadis memerhatikan sang pria yang terlelap, semakin ia menyadari bahwa ada sesuatu yang menarik pada pria tersebut.Lalu seolah
Karena tidak ingin berlama-lama dalam suasana yang canggung itu, Puti Bungo Satangkai mengangguk cepat, lalu dia bangkit, dan mendahului Antaguna untuk keluar dari gubuk penginapan.Antaguna menghela napas dalam-dalam, tersenyum tipis tapi sedikit kecut. Dia mendesah sembari memaki panjang-pendek di dalam hatinya.“Awas kau!” ancamnya dengan suara pelan kepada—yaa… sesuatu di selangkangannya itu.Dan setelah itu, Antaguna menyusul Bungo keluar dari gubuk. Bagaimanapun, Bungo tidak memahami kawasan di Lembah Anai tersebut, dan dia juga tidak ingin berjauhan dengan sang gadis.Meskipun di awal pagi dan sang mentari belum terlihat sama sekali—yah, kecuali rona jingga keemasan di ufuk timur itu saja—akan tetapi, keadaan di luar telah ramai. Para pesilat itu, sebagian besar dari mereka mungkin tidak tidur sama sekali.“Hei,” Antaguna mengiringi langkah Bungo. “Ke sini!”Bungo mengangguk kecil, dan mengikuti langkah Antaguna. Mereka menyeberangi sungai kecil, dangkal, dan berbatu-batu.Tuju
Puti Bungo Satangkai tersenyum tipis tapi juga sangat manis. Bagaimanapun, pendengarannya yang tajam—meski hanya dengan telinga kanan saja, membuatnya dapat mendengar percakapan sepintas tersebut.“Jangan diambil hati,” ujar Antaguna dengan suara pelan.‘Tidak, tidak!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya. ‘Tiada ketersinggungan sama sekali bagiku.’“Bagus, itu sangat bagus.”‘Kupikir,’ sang gadis menunjuk pelipisnya, ‘dia justru terlihat manis.’“Oh…” Antaguna membuang wajahnya ke samping, mengunyah makanan di mulutnya dengan sedikit berlainan.Sang gadis mengernyit. ‘Ada apa dengan dia?’ pikirnya. “Cemburu, kah? Aah, manis sekali!’“Hei,” kata Antaguna kemudian. “Apakah setelah sarapan ini kau berencana akan langsung berangkat?”Sang gadis mengangguk.“Yah,” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Kupikir juga begitu. Semakin cepat akan semakin baik.”‘Boleh aku bertanya sesuatu padamu?’Sang pria mengendikkan sedikit bahunya. “Silakan saja. Kenapa kau malah terkesan ragu begitu?”Bungo