Pagi-pagi sekali, sebelum sang raja siang memperlihatkan diri, suara kokok ayam hutan yang nyaring bersahut-sahutan dari satu sudut hutan ke sudut lainnya. Puti Bungo Satangkai telah terbangun terlebih dahulu.Dia bangkit, lalu tatapannya tertuju pada Antaguna yang masih terlelap di atas ranjang bambu, dan tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah itu, dia melangkah menuju ke kamar mandi.Beberapa saat kemudian, sang gadis kembali dengan tubuh yang lebih segar, tapi si Antaguna masih saja pulas, bahkan dengan dengkuran halus dari mulutnya.Seolah ada sesuatu yang menghasutnya, Bungo mendekati ranjang bambu, memerhatikan sesaat wajah yang terlihat cukup tampan itu lebih lama.Yah, mungkin Antaguna harus mencukur rapi kumis, cambang, dan jenggotnya yang kasar dan tumbuh tak terawat itu terlebih dahulu agar terlihat lebih jantan.Semakin lama sang gadis memerhatikan sang pria yang terlelap, semakin ia menyadari bahwa ada sesuatu yang menarik pada pria tersebut.Lalu seolah
Karena tidak ingin berlama-lama dalam suasana yang canggung itu, Puti Bungo Satangkai mengangguk cepat, lalu dia bangkit, dan mendahului Antaguna untuk keluar dari gubuk penginapan.Antaguna menghela napas dalam-dalam, tersenyum tipis tapi sedikit kecut. Dia mendesah sembari memaki panjang-pendek di dalam hatinya.“Awas kau!” ancamnya dengan suara pelan kepada—yaa… sesuatu di selangkangannya itu.Dan setelah itu, Antaguna menyusul Bungo keluar dari gubuk. Bagaimanapun, Bungo tidak memahami kawasan di Lembah Anai tersebut, dan dia juga tidak ingin berjauhan dengan sang gadis.Meskipun di awal pagi dan sang mentari belum terlihat sama sekali—yah, kecuali rona jingga keemasan di ufuk timur itu saja—akan tetapi, keadaan di luar telah ramai. Para pesilat itu, sebagian besar dari mereka mungkin tidak tidur sama sekali.“Hei,” Antaguna mengiringi langkah Bungo. “Ke sini!”Bungo mengangguk kecil, dan mengikuti langkah Antaguna. Mereka menyeberangi sungai kecil, dangkal, dan berbatu-batu.Tuju
Puti Bungo Satangkai tersenyum tipis tapi juga sangat manis. Bagaimanapun, pendengarannya yang tajam—meski hanya dengan telinga kanan saja, membuatnya dapat mendengar percakapan sepintas tersebut.“Jangan diambil hati,” ujar Antaguna dengan suara pelan.‘Tidak, tidak!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya. ‘Tiada ketersinggungan sama sekali bagiku.’“Bagus, itu sangat bagus.”‘Kupikir,’ sang gadis menunjuk pelipisnya, ‘dia justru terlihat manis.’“Oh…” Antaguna membuang wajahnya ke samping, mengunyah makanan di mulutnya dengan sedikit berlainan.Sang gadis mengernyit. ‘Ada apa dengan dia?’ pikirnya. “Cemburu, kah? Aah, manis sekali!’“Hei,” kata Antaguna kemudian. “Apakah setelah sarapan ini kau berencana akan langsung berangkat?”Sang gadis mengangguk.“Yah,” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Kupikir juga begitu. Semakin cepat akan semakin baik.”‘Boleh aku bertanya sesuatu padamu?’Sang pria mengendikkan sedikit bahunya. “Silakan saja. Kenapa kau malah terkesan ragu begitu?”Bungo
“Dengar, Bungo,” kata Antaguna, masih dengan suara rendah. “Mereka adalah orang-orangnya Ambisar, si Gagak Api.” Puti Bungo Satangkai terperangah. Jadi, penjahat-penjahat itu ternyata berada di bawah bayang-bayang pria yang memiliki kepingan kelima Teratai Abadi? Bagus sekali! “Yang di tengah-tengah tadi itu,” kata Antaguna lagi, “dia anak tertua si Gagak Api. Usianya sama denganku, tapi aku tidak terlalu mengenal dia. Hanya saja, orang-orang mengatakan bahwa dia justru lebih kejam daripada si Gagak Api sendiri.” Sang gadis cukup terkesiap mendengar itu. Tidak disangka, pikirnya. Padahal, pria yang dimaksudkan oleh Antaguna itu berwajah cukup elok, bersih, dan tegap. Siapa yang bisa menduga, di balik keindahan ternyata menyembunyikan iblis mengerikan. “Dia, Ludaya,” kata Antaguna. “Orang-orang menjulukinya si Gading Tunggal.” Bungo bahkan tidak tertarik untuk mengetahui tentang anak tertua si Gagak Api itu lebih jauh. Dia tidak peduli dengan nama dan gelarnya sama sekali. “Jangan
“Kau yakin kita harus menempuh jalan yang lebih jauh ini?” Suan bersungut-sungut. Masalahnya, dia masih terluka dan butuh perawatan lebih cepat.Nilam terkikik. “Percaya padaku,” ujarnya. “si Datuk Hulubalang itu pasti akan mengira kita pergi ke Jorong Sikadundung. Dia pasti akan semakin marah ketika tidak menemukan kita di sana nanti.”“Kau sadar bahwa aku terluka, bukan?”“Ayolah, Suan,” Nilam tersenyum lebar. “Kau terdengar sangat manja. Mengeluh dan mengeluh saja yang kau bisa!”Sementara itu, si gadis kecil masih dalam kondisi tidak sadarkan diri, dan diikatkan ke punggung Suan yang terluka.Sebenarnya, di awal pagi tadi, si gadis kecil sempat terbangun, dan berusaha untuk berteriak-teriak meminta pertolongan.Tapi tentu saja, tidak akan ada orang yang akan mendengar dan menolongnya di kawasan sepi sebelumnya itu. Satu-satunya orang yang mungkin bisa diharapkan untuk menolongnya hanyalah si Kumbang Janti. Akan tetapi, kondisi pria tersebut justru lebih menyedihkan daripada si gad
Puti Bungo Satangkai menyadari itu, dan dia hanya bisa bersabar sembari menekan kemarahan yang tiba-tiba menggelegak di dalam dadanya.‘Kenapa dunia harus diisi oleh orang-orang berhati iblis seperti itu?’ gumamnya di dalam hati.Pendek kata, Bungo hanya bisa melakukan apa yang dilakukan oleh semua orang di kawasan terpencil tersebut. Berpura-pura tidak tahu, dan mengacuhkan semua hal agar tidak terjadi percikan keributan.Nilam dan Suan terus melangkah seraya menggiring kuda masing-masing, mendekati saung di antara lirikan penuh kecurigaan dari beberapa pesilat golongan putih. Tentu saja, semua itu tidak terlepas dari si gadis kecil di punggung Suan yang dalam keadaan tak sadarkan diri.‘Itu memang sangat mencurigakan!’Bungo menghela napas lebih dalam agar debaran jantungnya bisa berkurang dan kembali tenang.Sementara di pojok sana, Ludaya tampak begitu senang dan puas bersama empat pesilat pendampingnya, entah apa pun itu yang sedang mereka bicarakan.“Nilam,” bisik Suan yang mend
‘Ada silang sengketa apa di antara mereka?’“Siapa yang bisa tahu?” balas Antaguna, masih dengan berbisik. “Ini di antara dua orang yang sama-sama penjahat, kau pasti bisa menduga-duga itu.”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam. Yah, jika alasannya adalah latar belakang mereka yang kurang lebih sama, maka percikan-percikan perselisihan pasti telah ada sejak lama.Akan tetapi, Bungo hanya mengkhawatirkan gadis kecil yang tampak masih hening saja di punggung Suan.Apa pun yang akan terjadi, dia harus menyelamatkan si gadis kecil, begitu bisik hatinya.“Nilam, tolong,” ucap Suan dengan suara pelan dan menggigil. “Kau sendiri yang mengatakan padaku tadi, jadi tolong, jangan memancing keributan dengan mereka!”Nilam menyeringai. Keberadaan mereka semua di kawasan itu seolah membuat Nilam mengabaikan hal-hal buruk, sebab dia yakin, tidak akan ada seorang pun yang berani memulai perkelahian di sana.“Apa yang kau takutkan itu, Suan?” Nilam bahkan terkikik dengan gerak tubuh yang s
Nilam membelalak, lalu mengibaskan tangannya, serbuk-serbuk kebiru-biruan mengepul, keluar dari lengan bajunya.Ludaya mengentakkan satu kaki ke tanah, dan itu mengubah arah serangannya, dia juga memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga ia terhindar dari serbuk-serbuk tersebut yang ia tahu sangat beracun.“Kau tidak akan bisa lari, betina iblis!”Sementara itu, karena menganggap Puti Bungo Satangkai ikut campur dengan urusan Ludaya dan Nilam, enam pesilat pendamping Ludaya melepaskan serangan masing-masing kepada sang gadis.Tentu saja, sang gadis hendak berteriak kepada enam orang tersebut untuk menghentikan serangan mereka. Akan tetapi, disebabkan dia yang bisu, sehingga suara yang keluar hanyalah berupa kata ha-hu ha-hu saja.Enam pedang berkelabat, dalam gerakan yang cukup baru di mata Bungo, tidak seperti gerakan pedang secara umumnya.Tidak ingin mendapatkan hal yang buruk, sang gadis menghantamkan telapak tangan kanannya dalam jurus Telapak Penghancur Raga.Gelombang hawa pan