Share

Kecanggungan di Awal Pagi

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pagi-pagi sekali, sebelum sang raja siang memperlihatkan diri, suara kokok ayam hutan yang nyaring bersahut-sahutan dari satu sudut hutan ke sudut lainnya. Puti Bungo Satangkai telah terbangun terlebih dahulu.

Dia bangkit, lalu tatapannya tertuju pada Antaguna yang masih terlelap di atas ranjang bambu, dan tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Setelah itu, dia melangkah menuju ke kamar mandi.

Beberapa saat kemudian, sang gadis kembali dengan tubuh yang lebih segar, tapi si Antaguna masih saja pulas, bahkan dengan dengkuran halus dari mulutnya.

Seolah ada sesuatu yang menghasutnya, Bungo mendekati ranjang bambu, memerhatikan sesaat wajah yang terlihat cukup tampan itu lebih lama.

Yah, mungkin Antaguna harus mencukur rapi kumis, cambang, dan jenggotnya yang kasar dan tumbuh tak terawat itu terlebih dahulu agar terlihat lebih jantan.

Semakin lama sang gadis memerhatikan sang pria yang terlelap, semakin ia menyadari bahwa ada sesuatu yang menarik pada pria tersebut.

Lalu seolah
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Lembah yang Damai

    Karena tidak ingin berlama-lama dalam suasana yang canggung itu, Puti Bungo Satangkai mengangguk cepat, lalu dia bangkit, dan mendahului Antaguna untuk keluar dari gubuk penginapan.Antaguna menghela napas dalam-dalam, tersenyum tipis tapi sedikit kecut. Dia mendesah sembari memaki panjang-pendek di dalam hatinya.“Awas kau!” ancamnya dengan suara pelan kepada—yaa… sesuatu di selangkangannya itu.Dan setelah itu, Antaguna menyusul Bungo keluar dari gubuk. Bagaimanapun, Bungo tidak memahami kawasan di Lembah Anai tersebut, dan dia juga tidak ingin berjauhan dengan sang gadis.Meskipun di awal pagi dan sang mentari belum terlihat sama sekali—yah, kecuali rona jingga keemasan di ufuk timur itu saja—akan tetapi, keadaan di luar telah ramai. Para pesilat itu, sebagian besar dari mereka mungkin tidak tidur sama sekali.“Hei,” Antaguna mengiringi langkah Bungo. “Ke sini!”Bungo mengangguk kecil, dan mengikuti langkah Antaguna. Mereka menyeberangi sungai kecil, dangkal, dan berbatu-batu.Tuju

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Terasa Lebih Dekat

    Puti Bungo Satangkai tersenyum tipis tapi juga sangat manis. Bagaimanapun, pendengarannya yang tajam—meski hanya dengan telinga kanan saja, membuatnya dapat mendengar percakapan sepintas tersebut.“Jangan diambil hati,” ujar Antaguna dengan suara pelan.‘Tidak, tidak!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya. ‘Tiada ketersinggungan sama sekali bagiku.’“Bagus, itu sangat bagus.”‘Kupikir,’ sang gadis menunjuk pelipisnya, ‘dia justru terlihat manis.’“Oh…” Antaguna membuang wajahnya ke samping, mengunyah makanan di mulutnya dengan sedikit berlainan.Sang gadis mengernyit. ‘Ada apa dengan dia?’ pikirnya. “Cemburu, kah? Aah, manis sekali!’“Hei,” kata Antaguna kemudian. “Apakah setelah sarapan ini kau berencana akan langsung berangkat?”Sang gadis mengangguk.“Yah,” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Kupikir juga begitu. Semakin cepat akan semakin baik.”‘Boleh aku bertanya sesuatu padamu?’Sang pria mengendikkan sedikit bahunya. “Silakan saja. Kenapa kau malah terkesan ragu begitu?”Bungo

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berputih Tulang

    “Dengar, Bungo,” kata Antaguna, masih dengan suara rendah. “Mereka adalah orang-orangnya Ambisar, si Gagak Api.” Puti Bungo Satangkai terperangah. Jadi, penjahat-penjahat itu ternyata berada di bawah bayang-bayang pria yang memiliki kepingan kelima Teratai Abadi? Bagus sekali! “Yang di tengah-tengah tadi itu,” kata Antaguna lagi, “dia anak tertua si Gagak Api. Usianya sama denganku, tapi aku tidak terlalu mengenal dia. Hanya saja, orang-orang mengatakan bahwa dia justru lebih kejam daripada si Gagak Api sendiri.” Sang gadis cukup terkesiap mendengar itu. Tidak disangka, pikirnya. Padahal, pria yang dimaksudkan oleh Antaguna itu berwajah cukup elok, bersih, dan tegap. Siapa yang bisa menduga, di balik keindahan ternyata menyembunyikan iblis mengerikan. “Dia, Ludaya,” kata Antaguna. “Orang-orang menjulukinya si Gading Tunggal.” Bungo bahkan tidak tertarik untuk mengetahui tentang anak tertua si Gagak Api itu lebih jauh. Dia tidak peduli dengan nama dan gelarnya sama sekali. “Jangan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Tempat yang Sama

    “Kau yakin kita harus menempuh jalan yang lebih jauh ini?” Suan bersungut-sungut. Masalahnya, dia masih terluka dan butuh perawatan lebih cepat.Nilam terkikik. “Percaya padaku,” ujarnya. “si Datuk Hulubalang itu pasti akan mengira kita pergi ke Jorong Sikadundung. Dia pasti akan semakin marah ketika tidak menemukan kita di sana nanti.”“Kau sadar bahwa aku terluka, bukan?”“Ayolah, Suan,” Nilam tersenyum lebar. “Kau terdengar sangat manja. Mengeluh dan mengeluh saja yang kau bisa!”Sementara itu, si gadis kecil masih dalam kondisi tidak sadarkan diri, dan diikatkan ke punggung Suan yang terluka.Sebenarnya, di awal pagi tadi, si gadis kecil sempat terbangun, dan berusaha untuk berteriak-teriak meminta pertolongan.Tapi tentu saja, tidak akan ada orang yang akan mendengar dan menolongnya di kawasan sepi sebelumnya itu. Satu-satunya orang yang mungkin bisa diharapkan untuk menolongnya hanyalah si Kumbang Janti. Akan tetapi, kondisi pria tersebut justru lebih menyedihkan daripada si gad

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Munculnya Ketegangan

    Puti Bungo Satangkai menyadari itu, dan dia hanya bisa bersabar sembari menekan kemarahan yang tiba-tiba menggelegak di dalam dadanya.‘Kenapa dunia harus diisi oleh orang-orang berhati iblis seperti itu?’ gumamnya di dalam hati.Pendek kata, Bungo hanya bisa melakukan apa yang dilakukan oleh semua orang di kawasan terpencil tersebut. Berpura-pura tidak tahu, dan mengacuhkan semua hal agar tidak terjadi percikan keributan.Nilam dan Suan terus melangkah seraya menggiring kuda masing-masing, mendekati saung di antara lirikan penuh kecurigaan dari beberapa pesilat golongan putih. Tentu saja, semua itu tidak terlepas dari si gadis kecil di punggung Suan yang dalam keadaan tak sadarkan diri.‘Itu memang sangat mencurigakan!’Bungo menghela napas lebih dalam agar debaran jantungnya bisa berkurang dan kembali tenang.Sementara di pojok sana, Ludaya tampak begitu senang dan puas bersama empat pesilat pendampingnya, entah apa pun itu yang sedang mereka bicarakan.“Nilam,” bisik Suan yang mend

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Mulut yang Tak Bisa Diam

    ‘Ada silang sengketa apa di antara mereka?’“Siapa yang bisa tahu?” balas Antaguna, masih dengan berbisik. “Ini di antara dua orang yang sama-sama penjahat, kau pasti bisa menduga-duga itu.”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam. Yah, jika alasannya adalah latar belakang mereka yang kurang lebih sama, maka percikan-percikan perselisihan pasti telah ada sejak lama.Akan tetapi, Bungo hanya mengkhawatirkan gadis kecil yang tampak masih hening saja di punggung Suan.Apa pun yang akan terjadi, dia harus menyelamatkan si gadis kecil, begitu bisik hatinya.“Nilam, tolong,” ucap Suan dengan suara pelan dan menggigil. “Kau sendiri yang mengatakan padaku tadi, jadi tolong, jangan memancing keributan dengan mereka!”Nilam menyeringai. Keberadaan mereka semua di kawasan itu seolah membuat Nilam mengabaikan hal-hal buruk, sebab dia yakin, tidak akan ada seorang pun yang berani memulai perkelahian di sana.“Apa yang kau takutkan itu, Suan?” Nilam bahkan terkikik dengan gerak tubuh yang s

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Akhir yang Menyedihkan

    Nilam membelalak, lalu mengibaskan tangannya, serbuk-serbuk kebiru-biruan mengepul, keluar dari lengan bajunya.Ludaya mengentakkan satu kaki ke tanah, dan itu mengubah arah serangannya, dia juga memutar pedangnya sedemikian rupa sehingga ia terhindar dari serbuk-serbuk tersebut yang ia tahu sangat beracun.“Kau tidak akan bisa lari, betina iblis!”Sementara itu, karena menganggap Puti Bungo Satangkai ikut campur dengan urusan Ludaya dan Nilam, enam pesilat pendamping Ludaya melepaskan serangan masing-masing kepada sang gadis.Tentu saja, sang gadis hendak berteriak kepada enam orang tersebut untuk menghentikan serangan mereka. Akan tetapi, disebabkan dia yang bisu, sehingga suara yang keluar hanyalah berupa kata ha-hu ha-hu saja.Enam pedang berkelabat, dalam gerakan yang cukup baru di mata Bungo, tidak seperti gerakan pedang secara umumnya.Tidak ingin mendapatkan hal yang buruk, sang gadis menghantamkan telapak tangan kanannya dalam jurus Telapak Penghancur Raga.Gelombang hawa pan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kemunculan sang Sesepuh

    Antaguna masih terlihat ragu-ragu untuk membalas serangan demi serangan yang dilancarkan kepadanya, dia tidak menggunakan Jaring Jerat Naga-nya dengan sepenuhnya, yang dia lakukan hanyalah menghindar dan menghindar.Meski demikian, paling tidak, apa yang dilakukan oleh Antaguna bisa mengurangi jumlah mereka yang menyerang Puti Bungo Satangkai.Sementara itu, dengan keharusan menggendong si gadis kecil, dan selalu memerhatikan keselamatannya, membuat Bungo semakin lama semakin terdesak oleh serangan demi serangan ketiga pesilat pendamping Ludaya.Dia sama halnya dengan Antaguna. Sebab tujuan sebenarnya hanyalah untuk menyelamatkan si gadis kecil yang tidak berdosa itu, dan bukan untuk menyerang apalagi membunuh para pesilat tersebut.Tapi sepertinya, tidak ada kata ampun dari orang-orangnya Ludaya kepada siapa pun yang mencoba mengusik tuan mereka. Dari sana, Bungo semakin mengerti seperti apa watak semua orang yang berada di bawah kekuasaan Ambisar, si Gagak Api.Sepertinya untuk mend

Bab terbaru

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Epilog

    Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Yang Hilang Telah Kembali

    Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Kamu

    ‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berpisah Bukan Bercerai

    Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Luka yang Terkuak

    Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kebahagiaan

    Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertemuan Tak Terduga

    Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bukan Orang Lain

    Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertarungan yang Aneh

    Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau

DMCA.com Protection Status