Antaguna masih terlihat ragu-ragu untuk membalas serangan demi serangan yang dilancarkan kepadanya, dia tidak menggunakan Jaring Jerat Naga-nya dengan sepenuhnya, yang dia lakukan hanyalah menghindar dan menghindar.Meski demikian, paling tidak, apa yang dilakukan oleh Antaguna bisa mengurangi jumlah mereka yang menyerang Puti Bungo Satangkai.Sementara itu, dengan keharusan menggendong si gadis kecil, dan selalu memerhatikan keselamatannya, membuat Bungo semakin lama semakin terdesak oleh serangan demi serangan ketiga pesilat pendamping Ludaya.Dia sama halnya dengan Antaguna. Sebab tujuan sebenarnya hanyalah untuk menyelamatkan si gadis kecil yang tidak berdosa itu, dan bukan untuk menyerang apalagi membunuh para pesilat tersebut.Tapi sepertinya, tidak ada kata ampun dari orang-orangnya Ludaya kepada siapa pun yang mencoba mengusik tuan mereka. Dari sana, Bungo semakin mengerti seperti apa watak semua orang yang berada di bawah kekuasaan Ambisar, si Gagak Api.Sepertinya untuk mend
“Apa yang dia pikirkan?” ujar seorang pesilat pada rekan di sampingnya.Tapi bukan hanya dia seorang, orang-orang di sekitar sana juga berpikiran yang sama terhadap kata-kata kasar Ludaya.“Mungkin dia menjadi besar kepala dengan nama besar si Gagak Api,” jawab yang lainnya pula.Dan itu pun sama dengan pemikiran para pesilat lainnya di sana.Akan tetapi, si wanita tua bercaping sepertinya tidak terpengaruh, tetap berdiri hening di sana, tidak menanggapi apa pun ucapan kasar Ludaya kepadanya. Dan itu semakin membuat Ludaya naik pitam.“Aku tidak peduli dengan siapa pun pemilik tempat ini!” teriak Ludaya dengan pedang yang masih teracung pada wanita tua bercaping. “Jika aku mau, aku bisa meratakan tempat ini! Jadi, menjauhlah kau, perempuan tua busuk, sebelum aku kehabisan kesabaranku terhadapmu!”Orang-orang semakin tidak habis pikir dengan kecongkakan Ludaya. Kata-kata kasar itu sepertinya sangat tidak pantas untuk ia ucapkan kepada seseorang yang lebih tua dari dirinya sendiri.Tapi
Tapi sepertinya kedua sesepuh tidak menerima alasan apa pun. Antaguna menyadari hal ini, bahkan dia juga menyadari bahwa dia sendiri tidak akan selamat dari tangan keduanya.“Ku-Kumohon,” Antaguna mengernyit hebat, paru-paru yang terasa dingin membeku sepertinya akan meledak, lalu lelehan darah semakin banyak mengucur di sudut bibirnya. “T-Tetua… am-ambil saja aku. Ambil nyawaku atau hilangkan kesaktianku.”Orang-orang tidak ada yang berani berkata apa pun menyaksikan itu semua. Bahkan mereka tidak bergerak sejengkal pun.Sebagian mereka berpikir bahwa laki-laki tinggi, bertubuh besar, dan berotot itu tidak akan mungkin bisa tawar menawar dengan kedua sesepuh.Sementara, Puti Bungo Satangkai yang berdiri tiga langkah di belakang Antaguna tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya tidak menyangka bahwa keinginannya untuk menyelamatkan gadis kecil yang tak berdosa dalam pelukannya kini itu, ternyata berbuah hal yang lebih mengerikan, dan tidak ia duga sama sekali.Dan kini, Antaguna bertin
Bungo semakin mengernyit. Bila dia terus menerus dalam keadaan itu, maka dia ragu bahwa dia akan mampu bertahan. Setidaknya, dia akan kehilangan kedua tangannya.Untuk itulah, sang gadis bertaruh dengan melipat gandakan tenaga dalamnya.Lalu…Dhummm!“Bungo…!” Antaguna berteriak dan tertegun dengan mata membelalak lebar. Lalu dengan cepat membungkuk demi melindungi tubuh si gadis kecil dalam pangkuannya.Kawasan itu bergetar hebat seolah sedang dilanda gempa. Bersamaan itu, pecahnya tenaga dalam masing-masing menciptakan gelombang udara yang sangat dahsyat hingga mementalkan beberapa orang di sekitar sana, utamanya bagi mereka yang baru memiliki kesaktian tingkat dasar.Dua sesepuh seperti ditarik tangan raksasa, bergeser hingga lima langkah ke belakang, empat garis panjang terbentuk dari gesekan kaki mereka di tanah.Sementara itu, Bungo sendiri terpental, lalu terhempas keras ke tanah, terguling-guling hingga beberapa kali, dan baru terhenti setelah menubruk satu pohon besar.Sang g
Dua sesepuh membelalak di balik caping masing-masing, mereka dengan cepat menghindari pergerakan tubuh makhluk gaib bersisik dan bersirip tajam. Atau lebih tepatnya, hawa mengerikan yang dilepas oleh Puti Bungo Satangkai.Splass! Splass!Sesepuh pria terlempar ke kanan, berjumpalitan sedemikian rupa, dan mencecah bebatuan di tengah-tengah sungai kecil. Semua orang dapat melihat betapa kedua tangannya bergetar hebat, dan dia masih cukup beruntung dengan lapisan es tipis di kedua tangannya itu yang melindunginya. Bahkan tubuhnya menguarkan uap dingin.Sesepuh yang wanita begitu juga. Dia melenting jauh ke kiri, berputar kencang laksana gasing dengan hawa panas laksana kobaran api yang melindungi tubuhnya. Bahkan ketika dia menginjakkan kakinya ke tanah, pusaran angin kecil terbentuk dan berpusat pada pijakannya. Sekejap saja, lalu membias ke segala arah.Orang-orang yang berada berdekatan dengan wanita tua bercaping itu merasakan angin panas yang menerpa mereka.Sang sesepuh wanita juga
Karih Narako bergetar dan berdengung semakin hebat, pria tua bercaping mati-matian mengerahkan tenaga dalamnya untuk bisa menahan keris pusaka tersebut.Di ujung sana, Puti Bungo Satangkai mencoba mengerahkan sisa-sisa tenaga yang masih ia miliki, disalurkan ke tangan kanannya yang teracung dalam mengendalikan Karih Narako.Tapi keadaannya yang sudah sangat kesakitan dan kelelahan, membuatnya tidak mampu lagi untuk mengerahkan kesaktiannya dengan sepenuhnya.Sang gadis kembali tersedak dan muntah darah untuk yang ketiga kalinya. Dan tentu saja, hal ini mempengaruhi Karih Narako di ujung sana.Memanfaatkan celah yang hanya sesaat, pria tua bercaping berteriak kencang sembari melipatgandakan kekutan tenaga dalamnya, lalu membuat gerakan seperti melempar ke arah kanan.Swiing!Karih Narako bergetar dan seolah kehilangan penuntunnya hingga terlempar jauh ke arah kanan, berputar-putar tak menentu, lalu menancap pada satu pohon. Seketika itu juga pohon tersebut meranggas dengan mengeluarkan
Puti Bungo Satangkai merasakan hawa yang sejuk tapi tidak menyiksa, masih ada kehangatan cinta dan kasih sayang di sana sehingga dia tidak menggigil. Tapi juga sekaligus membuat keningnya mengernyit dan khawatir.“Di mana aku?”Yang ia tahu, ketika membuka matanya, dia menemukan bahwa dia sedang mengambang di satu permukaan air yang mahaluas dan begitu tenang.“Ini aneh sekali… Bahkan langit terlihat biru, megah, dan sangat cerah. Tidak, itu terlalu cerah!” Dia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, lagi-lagi dia menemukan keanehan. Perairan yang tenang dan sangat luas itu ternyata cukup dangkal.“Atau aku yang menginjak sesuatu?”Benar, pikirnya. Dia merasakan bahwa dia tengah terbaring pada sesuatu yang padat sehingga dia mencoba untuk bangkit berdiri.Seiring sang gadis berdiri, perairan yang luas itu menghilang dan berganti dengan cepat dengan peralihan yang begitu lembut menjadi pemandangan yang berbeda.Bungo terperangah sekaligus terkesima, tidak ada lagi air yang tak terbat
Di dalam sebuah ruangan yang cukup luas, seperti sebuah goa yang sengaja disamarkan dengan batang-batang bambu, papan, dan hal lainnya buatan tangan manusia.Di dalamnya, terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan depan yang tampak seperti ruang tamu seperti rumah biasa pada umumnya, lengkap dengan meja dan kursi yang terbuat dari bambu di tengah-tengah ruangan. Juga ada dua ranjang bambu yang berukuran cukup besar. Masing-masing berada di sebelah kanan ruangan dan lainnya di sebelah kiri.Lalu ruangan kedua yang ada di belakang, sekaligus merupakan goa itu sendiri. Di ruangan itu, terbagi lagi menjadi dua bagian. Bagian kanan dan bagian kiri, dipisah oleh sebuah dinding tipis yang lebih pantas disebut sebagai lapik sebab terbuat dari bilah-bilah bambu yang disusun rapat, memanjang dari bawah hingga ke atas.Dinding dari bilah-bilah bambu itu juga sekaligus membagi dua sebuah kolam alami yang berdindingkan batu-batu pualam besar.Pada kolam yang di kiri, Antaguna duduk bersila di tengah-ten