Tapi sepertinya kedua sesepuh tidak menerima alasan apa pun. Antaguna menyadari hal ini, bahkan dia juga menyadari bahwa dia sendiri tidak akan selamat dari tangan keduanya.“Ku-Kumohon,” Antaguna mengernyit hebat, paru-paru yang terasa dingin membeku sepertinya akan meledak, lalu lelehan darah semakin banyak mengucur di sudut bibirnya. “T-Tetua… am-ambil saja aku. Ambil nyawaku atau hilangkan kesaktianku.”Orang-orang tidak ada yang berani berkata apa pun menyaksikan itu semua. Bahkan mereka tidak bergerak sejengkal pun.Sebagian mereka berpikir bahwa laki-laki tinggi, bertubuh besar, dan berotot itu tidak akan mungkin bisa tawar menawar dengan kedua sesepuh.Sementara, Puti Bungo Satangkai yang berdiri tiga langkah di belakang Antaguna tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya tidak menyangka bahwa keinginannya untuk menyelamatkan gadis kecil yang tak berdosa dalam pelukannya kini itu, ternyata berbuah hal yang lebih mengerikan, dan tidak ia duga sama sekali.Dan kini, Antaguna bertin
Bungo semakin mengernyit. Bila dia terus menerus dalam keadaan itu, maka dia ragu bahwa dia akan mampu bertahan. Setidaknya, dia akan kehilangan kedua tangannya.Untuk itulah, sang gadis bertaruh dengan melipat gandakan tenaga dalamnya.Lalu…Dhummm!“Bungo…!” Antaguna berteriak dan tertegun dengan mata membelalak lebar. Lalu dengan cepat membungkuk demi melindungi tubuh si gadis kecil dalam pangkuannya.Kawasan itu bergetar hebat seolah sedang dilanda gempa. Bersamaan itu, pecahnya tenaga dalam masing-masing menciptakan gelombang udara yang sangat dahsyat hingga mementalkan beberapa orang di sekitar sana, utamanya bagi mereka yang baru memiliki kesaktian tingkat dasar.Dua sesepuh seperti ditarik tangan raksasa, bergeser hingga lima langkah ke belakang, empat garis panjang terbentuk dari gesekan kaki mereka di tanah.Sementara itu, Bungo sendiri terpental, lalu terhempas keras ke tanah, terguling-guling hingga beberapa kali, dan baru terhenti setelah menubruk satu pohon besar.Sang g
Dua sesepuh membelalak di balik caping masing-masing, mereka dengan cepat menghindari pergerakan tubuh makhluk gaib bersisik dan bersirip tajam. Atau lebih tepatnya, hawa mengerikan yang dilepas oleh Puti Bungo Satangkai.Splass! Splass!Sesepuh pria terlempar ke kanan, berjumpalitan sedemikian rupa, dan mencecah bebatuan di tengah-tengah sungai kecil. Semua orang dapat melihat betapa kedua tangannya bergetar hebat, dan dia masih cukup beruntung dengan lapisan es tipis di kedua tangannya itu yang melindunginya. Bahkan tubuhnya menguarkan uap dingin.Sesepuh yang wanita begitu juga. Dia melenting jauh ke kiri, berputar kencang laksana gasing dengan hawa panas laksana kobaran api yang melindungi tubuhnya. Bahkan ketika dia menginjakkan kakinya ke tanah, pusaran angin kecil terbentuk dan berpusat pada pijakannya. Sekejap saja, lalu membias ke segala arah.Orang-orang yang berada berdekatan dengan wanita tua bercaping itu merasakan angin panas yang menerpa mereka.Sang sesepuh wanita juga
Karih Narako bergetar dan berdengung semakin hebat, pria tua bercaping mati-matian mengerahkan tenaga dalamnya untuk bisa menahan keris pusaka tersebut.Di ujung sana, Puti Bungo Satangkai mencoba mengerahkan sisa-sisa tenaga yang masih ia miliki, disalurkan ke tangan kanannya yang teracung dalam mengendalikan Karih Narako.Tapi keadaannya yang sudah sangat kesakitan dan kelelahan, membuatnya tidak mampu lagi untuk mengerahkan kesaktiannya dengan sepenuhnya.Sang gadis kembali tersedak dan muntah darah untuk yang ketiga kalinya. Dan tentu saja, hal ini mempengaruhi Karih Narako di ujung sana.Memanfaatkan celah yang hanya sesaat, pria tua bercaping berteriak kencang sembari melipatgandakan kekutan tenaga dalamnya, lalu membuat gerakan seperti melempar ke arah kanan.Swiing!Karih Narako bergetar dan seolah kehilangan penuntunnya hingga terlempar jauh ke arah kanan, berputar-putar tak menentu, lalu menancap pada satu pohon. Seketika itu juga pohon tersebut meranggas dengan mengeluarkan
Puti Bungo Satangkai merasakan hawa yang sejuk tapi tidak menyiksa, masih ada kehangatan cinta dan kasih sayang di sana sehingga dia tidak menggigil. Tapi juga sekaligus membuat keningnya mengernyit dan khawatir.“Di mana aku?”Yang ia tahu, ketika membuka matanya, dia menemukan bahwa dia sedang mengambang di satu permukaan air yang mahaluas dan begitu tenang.“Ini aneh sekali… Bahkan langit terlihat biru, megah, dan sangat cerah. Tidak, itu terlalu cerah!” Dia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, lagi-lagi dia menemukan keanehan. Perairan yang tenang dan sangat luas itu ternyata cukup dangkal.“Atau aku yang menginjak sesuatu?”Benar, pikirnya. Dia merasakan bahwa dia tengah terbaring pada sesuatu yang padat sehingga dia mencoba untuk bangkit berdiri.Seiring sang gadis berdiri, perairan yang luas itu menghilang dan berganti dengan cepat dengan peralihan yang begitu lembut menjadi pemandangan yang berbeda.Bungo terperangah sekaligus terkesima, tidak ada lagi air yang tak terbat
Di dalam sebuah ruangan yang cukup luas, seperti sebuah goa yang sengaja disamarkan dengan batang-batang bambu, papan, dan hal lainnya buatan tangan manusia.Di dalamnya, terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan depan yang tampak seperti ruang tamu seperti rumah biasa pada umumnya, lengkap dengan meja dan kursi yang terbuat dari bambu di tengah-tengah ruangan. Juga ada dua ranjang bambu yang berukuran cukup besar. Masing-masing berada di sebelah kanan ruangan dan lainnya di sebelah kiri.Lalu ruangan kedua yang ada di belakang, sekaligus merupakan goa itu sendiri. Di ruangan itu, terbagi lagi menjadi dua bagian. Bagian kanan dan bagian kiri, dipisah oleh sebuah dinding tipis yang lebih pantas disebut sebagai lapik sebab terbuat dari bilah-bilah bambu yang disusun rapat, memanjang dari bawah hingga ke atas.Dinding dari bilah-bilah bambu itu juga sekaligus membagi dua sebuah kolam alami yang berdindingkan batu-batu pualam besar.Pada kolam yang di kiri, Antaguna duduk bersila di tengah-ten
Tidak ada hal yang tampak berbeda di sekitar penginapan di Kawasan Terlarang tersebut, seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun di sana sebelumnya.Semua tampak sama seperti sebelum keributan itu sendiri terjadi. Bangku-bangku dan meja-meja yang rusak telah diperbaiki dan diletakkan di tempat semula. Atau lubang-lubang besar di permukaan tanah yang telah diuruk dan terlihat tidak berbekas sama sekali.Tidak pula mayat Suan, Nilam, Ludaya, dan enam pesilat pendamping Ludaya yang sebelum terkapar di sana-sini.Ketenangan telah kembali mengambil alih keadaan kawasan itu. Dan kini, tampak sedikit lebih sunyi daripada sebelumnya. Tentu saja, para pesilat yang singgah biasanya tidak akan berlama-lama. Hanya semalam saja, lalu mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka masing-masing.Tapi setidaknya, masih ada setengah lusin pesilat yang berada di sana, sedang asyik menikmati secangkir kopi panas menemani sore yang indah di kawasan tersebut.Puti Bungo Satangkai dan Antaguna baru saja mend
Antaguna secara tidak sadar memperlihatkan sisi baiknya sebagai seorang pria, dia menggeserkan kursi bambu itu untuk Puti Bungo Satangkai.“Duduklah, Bungo,” pintanya.Sebab berada di hadapan dua sesepuh, sang gadis menahan kegembiraannya terhadap perlakuan lembut Antaguna. Kecuali, dengan senyuman dan anggukan kepala.Bungo duduk berhadapan dengan sesepuh pria, dan Antaguna pula berhadapan dengan sesepuh wanita. Di antara mereka hanya dipisah sebuah meja bundar yang hanya selebar seuluran tangan saja. Di atas meja, terdapat empat cawan dan sebuah kendi tembikar yang berisi air minum.Sebab merasa bahwa dua sesepuh itu—setidaknya, akan memberikan satu dua wejangan, Antaguna mendahului keduanya.“Sebelumnya,” dia sedikit membungkuk, “maafkan kelancangan kami berdua, Tetua. Dan, gadis di sebelah saya ini—ermm, dia bisu.”Dua sesepuh tersenyum tipis dan mengangguk-angguk.“Kami sudah menyadari hal ini beberapa hari yang lalu,” kata sesepuh pria.Wajah muda-mudi itu memperlihatkan keterke
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau