Karih Narako bergetar dan berdengung semakin hebat, pria tua bercaping mati-matian mengerahkan tenaga dalamnya untuk bisa menahan keris pusaka tersebut.Di ujung sana, Puti Bungo Satangkai mencoba mengerahkan sisa-sisa tenaga yang masih ia miliki, disalurkan ke tangan kanannya yang teracung dalam mengendalikan Karih Narako.Tapi keadaannya yang sudah sangat kesakitan dan kelelahan, membuatnya tidak mampu lagi untuk mengerahkan kesaktiannya dengan sepenuhnya.Sang gadis kembali tersedak dan muntah darah untuk yang ketiga kalinya. Dan tentu saja, hal ini mempengaruhi Karih Narako di ujung sana.Memanfaatkan celah yang hanya sesaat, pria tua bercaping berteriak kencang sembari melipatgandakan kekutan tenaga dalamnya, lalu membuat gerakan seperti melempar ke arah kanan.Swiing!Karih Narako bergetar dan seolah kehilangan penuntunnya hingga terlempar jauh ke arah kanan, berputar-putar tak menentu, lalu menancap pada satu pohon. Seketika itu juga pohon tersebut meranggas dengan mengeluarkan
Puti Bungo Satangkai merasakan hawa yang sejuk tapi tidak menyiksa, masih ada kehangatan cinta dan kasih sayang di sana sehingga dia tidak menggigil. Tapi juga sekaligus membuat keningnya mengernyit dan khawatir.“Di mana aku?”Yang ia tahu, ketika membuka matanya, dia menemukan bahwa dia sedang mengambang di satu permukaan air yang mahaluas dan begitu tenang.“Ini aneh sekali… Bahkan langit terlihat biru, megah, dan sangat cerah. Tidak, itu terlalu cerah!” Dia mencoba menggerakkan tangan dan kakinya, lagi-lagi dia menemukan keanehan. Perairan yang tenang dan sangat luas itu ternyata cukup dangkal.“Atau aku yang menginjak sesuatu?”Benar, pikirnya. Dia merasakan bahwa dia tengah terbaring pada sesuatu yang padat sehingga dia mencoba untuk bangkit berdiri.Seiring sang gadis berdiri, perairan yang luas itu menghilang dan berganti dengan cepat dengan peralihan yang begitu lembut menjadi pemandangan yang berbeda.Bungo terperangah sekaligus terkesima, tidak ada lagi air yang tak terbat
Di dalam sebuah ruangan yang cukup luas, seperti sebuah goa yang sengaja disamarkan dengan batang-batang bambu, papan, dan hal lainnya buatan tangan manusia.Di dalamnya, terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan depan yang tampak seperti ruang tamu seperti rumah biasa pada umumnya, lengkap dengan meja dan kursi yang terbuat dari bambu di tengah-tengah ruangan. Juga ada dua ranjang bambu yang berukuran cukup besar. Masing-masing berada di sebelah kanan ruangan dan lainnya di sebelah kiri.Lalu ruangan kedua yang ada di belakang, sekaligus merupakan goa itu sendiri. Di ruangan itu, terbagi lagi menjadi dua bagian. Bagian kanan dan bagian kiri, dipisah oleh sebuah dinding tipis yang lebih pantas disebut sebagai lapik sebab terbuat dari bilah-bilah bambu yang disusun rapat, memanjang dari bawah hingga ke atas.Dinding dari bilah-bilah bambu itu juga sekaligus membagi dua sebuah kolam alami yang berdindingkan batu-batu pualam besar.Pada kolam yang di kiri, Antaguna duduk bersila di tengah-ten
Tidak ada hal yang tampak berbeda di sekitar penginapan di Kawasan Terlarang tersebut, seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun di sana sebelumnya.Semua tampak sama seperti sebelum keributan itu sendiri terjadi. Bangku-bangku dan meja-meja yang rusak telah diperbaiki dan diletakkan di tempat semula. Atau lubang-lubang besar di permukaan tanah yang telah diuruk dan terlihat tidak berbekas sama sekali.Tidak pula mayat Suan, Nilam, Ludaya, dan enam pesilat pendamping Ludaya yang sebelum terkapar di sana-sini.Ketenangan telah kembali mengambil alih keadaan kawasan itu. Dan kini, tampak sedikit lebih sunyi daripada sebelumnya. Tentu saja, para pesilat yang singgah biasanya tidak akan berlama-lama. Hanya semalam saja, lalu mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka masing-masing.Tapi setidaknya, masih ada setengah lusin pesilat yang berada di sana, sedang asyik menikmati secangkir kopi panas menemani sore yang indah di kawasan tersebut.Puti Bungo Satangkai dan Antaguna baru saja mend
Antaguna secara tidak sadar memperlihatkan sisi baiknya sebagai seorang pria, dia menggeserkan kursi bambu itu untuk Puti Bungo Satangkai.“Duduklah, Bungo,” pintanya.Sebab berada di hadapan dua sesepuh, sang gadis menahan kegembiraannya terhadap perlakuan lembut Antaguna. Kecuali, dengan senyuman dan anggukan kepala.Bungo duduk berhadapan dengan sesepuh pria, dan Antaguna pula berhadapan dengan sesepuh wanita. Di antara mereka hanya dipisah sebuah meja bundar yang hanya selebar seuluran tangan saja. Di atas meja, terdapat empat cawan dan sebuah kendi tembikar yang berisi air minum.Sebab merasa bahwa dua sesepuh itu—setidaknya, akan memberikan satu dua wejangan, Antaguna mendahului keduanya.“Sebelumnya,” dia sedikit membungkuk, “maafkan kelancangan kami berdua, Tetua. Dan, gadis di sebelah saya ini—ermm, dia bisu.”Dua sesepuh tersenyum tipis dan mengangguk-angguk.“Kami sudah menyadari hal ini beberapa hari yang lalu,” kata sesepuh pria.Wajah muda-mudi itu memperlihatkan keterke
Sesepuh pria tertawa-tawa pelan, sementara sesepuh wanita tersenyum-senyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan tentu saja, hal ini semakin membuat Puti Bungo Satangkai dan Antaguna menjadi gugup sekaligus kebingungan.“Apa yang kalian harapkan?” kata sesepuh wanita kemudian. “Saat gadis kecil itu sadar, kalian berdua masih dalam perawatan kami. Kami tentu tidak akan membiarkan si gadis kecil bertemu dengan kalian yang sama-sama dalam keadaan telanjang tanpa pakaian.”Lagi-lagi Antaguna tersedak dan terbatuk-batuk mendengar itu, terbungkuk-bungkuk, bahkan wajah yang semakin memerah. Sedangkan Bungo, dia kembali membuang pandangannya ke arah yang berbeda.Yah, tentu saja, pikirnya. Apa jadinya nanti bila anak sekecil itu melihat aku atau Antaguna yang dalam keadaan telanjang? Tapi… Astaga! Tidak bisakah dua Tetua itu mengatakan sesuatu yang lebih baik untuk menyarukan hal ini?Oh, Dewata Yang Agung…Melihat dua muda-mudi yang sama-sama jengah dan malu-malu kucing itu, membuat du
“Melihat dari pergerakanmu,” kata si pria sepuh. “Kurasa, kaulah pendekar wanita yang disebut oleh orang-orang sebagai Sibunian Tongga, bukan?”Antaguna lagi-lagi harus menerjemahkan bahasa isyarat dari Puti Bungo Satangkai.“Bungo merasa orang-orang itu sedikit berlebihan.”“Kurasa tidak,” sahut wanita sepuh. “Kau menguasai Kabut Kahyangan dan Menapak Langit Menggenggam Awan sekaligus. Tentu saja, ini sangat-sangat luar biasa. Kami rasa, hanya sedikit pendekar yang mampu mengimbangi ilmu meringankan tubuhmu.”“Kau sudah tahu, bukan?” timpal pria sepuh pula. “Tempat ini menjadi pertemuan tak resmi para pesilat, gadis manis. Dan kabar datang silih berganti ke tempat ini dengan cepat, suka ataupun tidak. Dan kami rasa, kau pantas mendapat gelar itu.”Bungo tidak bisa berkata-kata lagi tentang hal yang satu itu, dia hanya tersenyum dan mengangguk saja sebagai ucapan terima kasihnya.“Lalu, tentang Karih Narako,” ujar pria tua.“Bungo bilang dia mewarisi itu dari si Simpai Gilo,” kata Ant
Yah, hal ini tidak terlalu dikhawatirkan oleh Puti Bungo Satangkai, itulah sebabnya dia memberi isyarat kepada Antaguna tadi untuk memberitahukan siapa dia sebenarnya. Dan tentang keterkaitannya dengan Istana Minanga, Bungo hanya tidak ingin orang-orang itu tahu bahwa dia sedang mengumpulkan kelopak Teratai Abadi yang terpisah-pisah.Semakin sedikit orang yang mengetahui tugas yang ia terima dari Rajo Bungsu, maka akan semakin baik pula baginya.Setidaknya, Bungo sudah mendengar dari Rajo Bungsu, si Kumbang Janti, bahkan dari Gadih Cimpago juga, tentang banyaknya kematian yang pernah terjadi hanya diakibatkan oleh kabar burung tentang Teratai Abadi.Jadi, sang gadis hanya mencoba memutus mata rantai itu. Meskipun, apa yang telah dia lakukan demi mendapatkan dua kelopak Teratai Abadi yang kini ada bersamanya masih jauh dari keinginannya.Tentu saja, kematian Datuak Sani adalah salah satu contohnya. Juga, dengan nyawa-nyawa lainnya.Tapi paling tidak, Bungo mencoba untuk mengurangi hal