Share

Sedikit Ketenangan

Penulis: Minang KW
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tidak ada hal yang tampak berbeda di sekitar penginapan di Kawasan Terlarang tersebut, seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun di sana sebelumnya.

Semua tampak sama seperti sebelum keributan itu sendiri terjadi. Bangku-bangku dan meja-meja yang rusak telah diperbaiki dan diletakkan di tempat semula. Atau lubang-lubang besar di permukaan tanah yang telah diuruk dan terlihat tidak berbekas sama sekali.

Tidak pula mayat Suan, Nilam, Ludaya, dan enam pesilat pendamping Ludaya yang sebelum terkapar di sana-sini.

Ketenangan telah kembali mengambil alih keadaan kawasan itu. Dan kini, tampak sedikit lebih sunyi daripada sebelumnya. Tentu saja, para pesilat yang singgah biasanya tidak akan berlama-lama. Hanya semalam saja, lalu mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka masing-masing.

Tapi setidaknya, masih ada setengah lusin pesilat yang berada di sana, sedang asyik menikmati secangkir kopi panas menemani sore yang indah di kawasan tersebut.

Puti Bungo Satangkai dan Antaguna baru saja mend
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (4)
goodnovel comment avatar
WahyunoUntung
ayp thorrrr, update lagi tiap sore
goodnovel comment avatar
Mohd Yusof
Terima kasih thor..mantap. Lanjutkan lagi
goodnovel comment avatar
Dadang Purnama
mantap author ......... seru sekali episode ini, ternyata masih ada yang bisa mengalahkan bungo .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bukan Sehari

    Antaguna secara tidak sadar memperlihatkan sisi baiknya sebagai seorang pria, dia menggeserkan kursi bambu itu untuk Puti Bungo Satangkai.“Duduklah, Bungo,” pintanya.Sebab berada di hadapan dua sesepuh, sang gadis menahan kegembiraannya terhadap perlakuan lembut Antaguna. Kecuali, dengan senyuman dan anggukan kepala.Bungo duduk berhadapan dengan sesepuh pria, dan Antaguna pula berhadapan dengan sesepuh wanita. Di antara mereka hanya dipisah sebuah meja bundar yang hanya selebar seuluran tangan saja. Di atas meja, terdapat empat cawan dan sebuah kendi tembikar yang berisi air minum.Sebab merasa bahwa dua sesepuh itu—setidaknya, akan memberikan satu dua wejangan, Antaguna mendahului keduanya.“Sebelumnya,” dia sedikit membungkuk, “maafkan kelancangan kami berdua, Tetua. Dan, gadis di sebelah saya ini—ermm, dia bisu.”Dua sesepuh tersenyum tipis dan mengangguk-angguk.“Kami sudah menyadari hal ini beberapa hari yang lalu,” kata sesepuh pria.Wajah muda-mudi itu memperlihatkan keterke

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Tentang Perasaan

    Sesepuh pria tertawa-tawa pelan, sementara sesepuh wanita tersenyum-senyum sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Dan tentu saja, hal ini semakin membuat Puti Bungo Satangkai dan Antaguna menjadi gugup sekaligus kebingungan.“Apa yang kalian harapkan?” kata sesepuh wanita kemudian. “Saat gadis kecil itu sadar, kalian berdua masih dalam perawatan kami. Kami tentu tidak akan membiarkan si gadis kecil bertemu dengan kalian yang sama-sama dalam keadaan telanjang tanpa pakaian.”Lagi-lagi Antaguna tersedak dan terbatuk-batuk mendengar itu, terbungkuk-bungkuk, bahkan wajah yang semakin memerah. Sedangkan Bungo, dia kembali membuang pandangannya ke arah yang berbeda.Yah, tentu saja, pikirnya. Apa jadinya nanti bila anak sekecil itu melihat aku atau Antaguna yang dalam keadaan telanjang? Tapi… Astaga! Tidak bisakah dua Tetua itu mengatakan sesuatu yang lebih baik untuk menyarukan hal ini?Oh, Dewata Yang Agung…Melihat dua muda-mudi yang sama-sama jengah dan malu-malu kucing itu, membuat du

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Sedikit Hal Menarik

    “Melihat dari pergerakanmu,” kata si pria sepuh. “Kurasa, kaulah pendekar wanita yang disebut oleh orang-orang sebagai Sibunian Tongga, bukan?”Antaguna lagi-lagi harus menerjemahkan bahasa isyarat dari Puti Bungo Satangkai.“Bungo merasa orang-orang itu sedikit berlebihan.”“Kurasa tidak,” sahut wanita sepuh. “Kau menguasai Kabut Kahyangan dan Menapak Langit Menggenggam Awan sekaligus. Tentu saja, ini sangat-sangat luar biasa. Kami rasa, hanya sedikit pendekar yang mampu mengimbangi ilmu meringankan tubuhmu.”“Kau sudah tahu, bukan?” timpal pria sepuh pula. “Tempat ini menjadi pertemuan tak resmi para pesilat, gadis manis. Dan kabar datang silih berganti ke tempat ini dengan cepat, suka ataupun tidak. Dan kami rasa, kau pantas mendapat gelar itu.”Bungo tidak bisa berkata-kata lagi tentang hal yang satu itu, dia hanya tersenyum dan mengangguk saja sebagai ucapan terima kasihnya.“Lalu, tentang Karih Narako,” ujar pria tua.“Bungo bilang dia mewarisi itu dari si Simpai Gilo,” kata Ant

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Semalam Lagi

    Yah, hal ini tidak terlalu dikhawatirkan oleh Puti Bungo Satangkai, itulah sebabnya dia memberi isyarat kepada Antaguna tadi untuk memberitahukan siapa dia sebenarnya. Dan tentang keterkaitannya dengan Istana Minanga, Bungo hanya tidak ingin orang-orang itu tahu bahwa dia sedang mengumpulkan kelopak Teratai Abadi yang terpisah-pisah.Semakin sedikit orang yang mengetahui tugas yang ia terima dari Rajo Bungsu, maka akan semakin baik pula baginya.Setidaknya, Bungo sudah mendengar dari Rajo Bungsu, si Kumbang Janti, bahkan dari Gadih Cimpago juga, tentang banyaknya kematian yang pernah terjadi hanya diakibatkan oleh kabar burung tentang Teratai Abadi.Jadi, sang gadis hanya mencoba memutus mata rantai itu. Meskipun, apa yang telah dia lakukan demi mendapatkan dua kelopak Teratai Abadi yang kini ada bersamanya masih jauh dari keinginannya.Tentu saja, kematian Datuak Sani adalah salah satu contohnya. Juga, dengan nyawa-nyawa lainnya.Tapi paling tidak, Bungo mencoba untuk mengurangi hal

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kehangatan Perasaan yang Sama

    “Kau lihat aku, gadis bodoh!” ujar Antaguna bersungut-sungut.Puti Bungo Satangkai menelisik Antaguna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Meskipun dia tahu apa yang dimaksud oleh Antaguna, namun dia sengaja melakukan itu hanya untuk membuat sang pria menjadi kesal.Lalu dia mengendikkan bahunya dengan tangan sedikit mengembang tangan sedemikian rupa, seolah-olah dia berkata, ‘Tidak ada yang salah dengan tubuhmu!’“Berengsek!” Antaguna mendengus dan menggaruk-garuk kencang kepalanya. “Badanku lebih besar daripada kau, gadis sialan!” ucapnya. “Apa ini tidak berarti sesuatu padamu, hemm?”‘Kau tidur saja di kursi itu, atau gunakan selimut di atas meja dan tidur di lantai, habis perkara!’“Enak saja kau bicara!”Lagi-lagi sang gadis mengendikkan bahunya dan dengan santai, seolah berkata, ‘Terserah padamu!’ Dia membaringkan punggung di dipan bambu begitu saja.“Argh…!” Antaguna bertambah kesal. “Aku pasti tidak akan nyenyak!”Meski menggerutu, namun Antaguna melangkah mendekati meja renda

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Sekeping Hati yang Rapuh

    Semenjak tiba di Istana Minanga, si Kumbang Janti selalu gelisah. Bahkan hingga ke malam ini, dia tidak dapat tidur sama sekali.Dari berbaring di ranjang yang tak mampu membuatnya merasa nyaman, lalu dia duduk di pinggir ranjang tersebut, bangkit dan melangkah ke sana kemari sembari meremas-remas rambutnya, lalu duduk lagi di satu kursi di dalam kamar itu.Begitu terus berulang-ulang.Tidak ada yang dipikirkan olehnya selain tentang kejadian yang tidak ia inginkan beberapa malam yang lalu itu. Tentang Nilam yang akhirnya berhasil membuatnya kehilangan keperjakaannya.Dan bagi si Kumbang Janti sendiri, ini bukanlah satu perkara kecil, bukan hal yang sepele sebab sejatinya, dia hanya ingin memberikan semua itu kepada gadis yang nanti akan menjadi istrinya.Keteguhan yang semenjak lama ia pertahankan, runtuh dalam satu malam, hanya gara-gara ia terlalu mempercayai orang lain.Kegelisahan itu semakin membesar di dalam dirinya bilamana dia berpikir kejadian malam itu tersebar di tengah-te

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Hal yang Tak Bisa Diabaikan

    Gadih Cimpago tertunduk, mendesah halus, dan akhirnya meninggalkan bagian depan kamar si Kumbang Janti. Dia ingin membicarakan hal ini kepada Rajo Bungsu. Setidaknya, demi menghindari kekusutan yang ia temukan di dalam diri si Kumbang Janti tidak melebar, apalagi jika sampai mempengaruhi satu dan lain perkara di dalam lingkungan istana.Tentu saja, itu bukan hal yang baik, pikirnya. Jadi, dia hendak langsung menuju ke kamar utama sang raja.Pada saat itu, Rajo Bungsu baru saja selesai berkasih-kasih dengan sang ratu. Meskipun tubuh keduanya tertutup selimut tipis sedemikian rupa, namun dari wajah dan beberapa sudut tubuh keduanya yang basah oleh keringat telah memberitahukan hal ini.“Aku merasa haus,” ujar sang raja kepada istrinya.Dia memerhatikan wajah sang istri yang bersemu, membelai kening dan pipinya dengan lembut, lalu mengecup keningnya dengan penuh kehangatan.Setelah itu, sang raja turun dari ranjangnya sembari membenahi pakaiannya, sang ratu menarik selimut hingga menutup

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Sesuatu yang Berasal Dari Rasa

    “Maafkan kelancangan hamba,” Gadih Cimpago sedikit membungkukkan badan. Bagaimanapun, dia tahu bahwa dia telah mengganggu sang raja dan sang ratu yang mungkin tengah berkasih-kasih. “Akan tetapi, ini cukup mengganggu pikiran hamba.”“Aku paham,” sahut Rajo Bungsu, mendesah halus dan panjang. “Engkau mengkhawatirkan sikap si Talago akan mempengaruhi orang-orang di istana ini, bukan?”“Dengan satu dan lain cara,” jawab Gadih Cimpago. “Iya. Itulah yang hamba takutkan, Paduko.”“Kasihan dia,” timpal Ratu Nan Sabatang, tertunduk, dan wajah yang memperlihatkan kesedihan terhadap si Kumbang Janti. “Pasti ada sesuatu yang telah menyebabkan itu kepadanya.”“Itu pasti!” sahut sang raja. “Tidak akan ada asap bila tidak ada api.”“Dan tidak ada gading yang tak retak,” timpal Gadih Cimpago.Mereka semua sangat menyadari hal ini. Sesempurna apa pun seseorang, selalu akan ada celah untuk sesuatu mempengaruhinya, sekecil apa pun itu.“Di satu sisi,” Rajo Bungsu menghela napas dengan sangat panjang hi

Bab terbaru

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Epilog

    Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Yang Hilang Telah Kembali

    Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Kamu

    ‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berpisah Bukan Bercerai

    Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Luka yang Terkuak

    Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kebahagiaan

    Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertemuan Tak Terduga

    Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Bukan Orang Lain

    Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Pertarungan yang Aneh

    Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau

DMCA.com Protection Status