“Kau lihat aku, gadis bodoh!” ujar Antaguna bersungut-sungut.Puti Bungo Satangkai menelisik Antaguna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Meskipun dia tahu apa yang dimaksud oleh Antaguna, namun dia sengaja melakukan itu hanya untuk membuat sang pria menjadi kesal.Lalu dia mengendikkan bahunya dengan tangan sedikit mengembang tangan sedemikian rupa, seolah-olah dia berkata, ‘Tidak ada yang salah dengan tubuhmu!’“Berengsek!” Antaguna mendengus dan menggaruk-garuk kencang kepalanya. “Badanku lebih besar daripada kau, gadis sialan!” ucapnya. “Apa ini tidak berarti sesuatu padamu, hemm?”‘Kau tidur saja di kursi itu, atau gunakan selimut di atas meja dan tidur di lantai, habis perkara!’“Enak saja kau bicara!”Lagi-lagi sang gadis mengendikkan bahunya dan dengan santai, seolah berkata, ‘Terserah padamu!’ Dia membaringkan punggung di dipan bambu begitu saja.“Argh…!” Antaguna bertambah kesal. “Aku pasti tidak akan nyenyak!”Meski menggerutu, namun Antaguna melangkah mendekati meja renda
Semenjak tiba di Istana Minanga, si Kumbang Janti selalu gelisah. Bahkan hingga ke malam ini, dia tidak dapat tidur sama sekali.Dari berbaring di ranjang yang tak mampu membuatnya merasa nyaman, lalu dia duduk di pinggir ranjang tersebut, bangkit dan melangkah ke sana kemari sembari meremas-remas rambutnya, lalu duduk lagi di satu kursi di dalam kamar itu.Begitu terus berulang-ulang.Tidak ada yang dipikirkan olehnya selain tentang kejadian yang tidak ia inginkan beberapa malam yang lalu itu. Tentang Nilam yang akhirnya berhasil membuatnya kehilangan keperjakaannya.Dan bagi si Kumbang Janti sendiri, ini bukanlah satu perkara kecil, bukan hal yang sepele sebab sejatinya, dia hanya ingin memberikan semua itu kepada gadis yang nanti akan menjadi istrinya.Keteguhan yang semenjak lama ia pertahankan, runtuh dalam satu malam, hanya gara-gara ia terlalu mempercayai orang lain.Kegelisahan itu semakin membesar di dalam dirinya bilamana dia berpikir kejadian malam itu tersebar di tengah-te
Gadih Cimpago tertunduk, mendesah halus, dan akhirnya meninggalkan bagian depan kamar si Kumbang Janti. Dia ingin membicarakan hal ini kepada Rajo Bungsu. Setidaknya, demi menghindari kekusutan yang ia temukan di dalam diri si Kumbang Janti tidak melebar, apalagi jika sampai mempengaruhi satu dan lain perkara di dalam lingkungan istana.Tentu saja, itu bukan hal yang baik, pikirnya. Jadi, dia hendak langsung menuju ke kamar utama sang raja.Pada saat itu, Rajo Bungsu baru saja selesai berkasih-kasih dengan sang ratu. Meskipun tubuh keduanya tertutup selimut tipis sedemikian rupa, namun dari wajah dan beberapa sudut tubuh keduanya yang basah oleh keringat telah memberitahukan hal ini.“Aku merasa haus,” ujar sang raja kepada istrinya.Dia memerhatikan wajah sang istri yang bersemu, membelai kening dan pipinya dengan lembut, lalu mengecup keningnya dengan penuh kehangatan.Setelah itu, sang raja turun dari ranjangnya sembari membenahi pakaiannya, sang ratu menarik selimut hingga menutup
“Maafkan kelancangan hamba,” Gadih Cimpago sedikit membungkukkan badan. Bagaimanapun, dia tahu bahwa dia telah mengganggu sang raja dan sang ratu yang mungkin tengah berkasih-kasih. “Akan tetapi, ini cukup mengganggu pikiran hamba.”“Aku paham,” sahut Rajo Bungsu, mendesah halus dan panjang. “Engkau mengkhawatirkan sikap si Talago akan mempengaruhi orang-orang di istana ini, bukan?”“Dengan satu dan lain cara,” jawab Gadih Cimpago. “Iya. Itulah yang hamba takutkan, Paduko.”“Kasihan dia,” timpal Ratu Nan Sabatang, tertunduk, dan wajah yang memperlihatkan kesedihan terhadap si Kumbang Janti. “Pasti ada sesuatu yang telah menyebabkan itu kepadanya.”“Itu pasti!” sahut sang raja. “Tidak akan ada asap bila tidak ada api.”“Dan tidak ada gading yang tak retak,” timpal Gadih Cimpago.Mereka semua sangat menyadari hal ini. Sesempurna apa pun seseorang, selalu akan ada celah untuk sesuatu mempengaruhinya, sekecil apa pun itu.“Di satu sisi,” Rajo Bungsu menghela napas dengan sangat panjang hi
Dan tidak ada lagi alasan bagi Antaguna untuk membantah itu. Tidak pula bagi Puti Bungo Satangkai. Sang pemilik kawasan itu sendiri yang memberikan lewat tangan cucu mereka. Tentu saja, menolak itu akan sama seperti menyinggung langsung kedua sesepuh tersebut.Pada akhirnya, Bungo menerima tali kekang yang disodorkan si pria lugu. Dia mengangguk dan tersenyum sebagai ucapan terima kasihnya.“Aku tahu kalian hendak bergegas pergi dari sini,” ujar si pria lugu, masih dengan senyuman yang terlihat tanpa dipaksakan sama sekali. “Akan tetapi, ingat-ingatlah satu hal ini. Tidak semua hal yang kita lihat, kita dengar, harus menjadi perhatian kita. Terkadang, bersikap diam akan lebih baik untuk keselamatan diri kita sendiri.”Dan lagi, Antaguna saling pandang dengan Bungo. Mereka tersenyum. Setidaknya, si pria lugu mencoba memberikan mereka satu nasihat yang baik.“Terima kasih,” ujar Antaguna. “Sampaikan kepada kedua sesepuh salam kami.”“Pasti!” pria lugu mengangguk.Setelah itu, Antaguna m
Antaguna menjitak pelan kening Puti Bungo Satangkai, dan sang gadis meringis sembari mengusap-usap keningnya.“Sudahlah,” ujar sang pria, “lupakan saja!”Antaguna bangkit karena telah selesai menyiangi tiga ekor ikan tersebut. Lalu membawa semua itu ke satu titik di bawah sebuah pohon nan rindang, meletakkan ikan-ikan itu ke atas sebuah batu pipih dengan beralaskan daun keladi.Dan setelah itu, dia mencoba membuat api unggun. Tentu saja, untuk membakar ikan-ikan itu tadi.Tapi Bungo tahu lebih jauh daripada itu, Antaguna pasti punya keinginan yang besar untuk mengunjungi tanah kelahiran ayahnya, yang berarti pula tanah asal darah yang mengalir di tubuhnya. Dia hanya seorang pria yang cukup bodoh untuk tidak berterus terang saja.Menggelikan! Badan besar, tinggi, berotot, tapi untuk urusan perasaan, dia malah seperti seekor kucing yang melihat seseorang membawa rotan. Sang gadis menahan tawanya.Bungo pun bangkit, lalu mendekat ke bawah pohon itu. Sementara, dua kuda mereka sedang asyi
“Pendek kata,” sambung Antaguna, “Paduko Rajo ketika itu sangat tidak sehat. Lalu, dia mendengar bahwa ada sepasang sesepuh yang terkenal sebagai Raja dan Ratu Pengobatan di Lembah Anai. Maka seketika, beliau mengutus orang-orang untuk menjemput keduanya. Tapi sayang, dua sesepuh bukanlah jenis yang mudah diperintah begitu saja, walau oleh seorang raja sekalipun.”Setidaknya, Puti Bungo Satangkai dapat memahami hal ini setelah beberapa hari tinggal bersama kedua sesepuh di Lembah Anai tersebut. Yah, keduanya adalah orang-orang bebas yang tak hendak terikat oleh aturan apa pun, dari siapa pun.“Maksudku,” kata Antaguna yang kembali sembari membolak-balikkan tiga ekor ikan di hadapannya. “Seorang penguasa dari sebuah negeri yang besar saja tidak mampu mengusik keduanya. Apatah lagi jika kita bicara tentang seorang kepala penjahat seperti si Gagak Api.”Mungkin itu benar, pikir Bungo. Dia mendesah panjang. Semoga saja memang seperti itu, harapnya di hati. Dia hanya merasa telah menjadi d
“Satu hal saja yang kuminta darimu.”Puti Bungo Satangkai melirik pria besar di sampingnya, seolah bertanya lewat tatap matanya, ‘Tentang apa?’Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tolong, jangan lakukan kebodohan yang sama.”Sang gadis tersenyum. Dia tidak tersinggung sama sekali. Bagaimanapun, kejadian sebelumnya yang memaksa dia harus bertarung dengan dua sesepuh Lembah Anai itu memang sepintas terkesan bodoh.Melakukan sesuatu tanpa perhitungan panjang terlebih dahulu, meskipun alasannya sangat baik, untuk menyelamatkan si gadis kecil yang tak berdosa. Tapi tetap saja, keadaan dan suasana ketika itu yang tidak mendukung, dan akhirnya, menyebabkan dia harus mengalami kekalahan.Bukankah itu memang satu kebodohan? Atau setidaknya, terlihat seperti itu, mengorbankan diri sendiri pada sesuatu yang belum pasti.Mungkin, ini pula alasannya mengapa si pria lugu memberikan satu nasihat kepadanya, sesaat sebelum mereka meninggalkan kawasan asri itu pagi tadi.“Aku tidak berkata tentang pe