“Kalian keparat!” teriak Pandan Arum dan tidak peduli lagi dengan keadaannya sehingga dia meronta-ronta. “Aku pasti akan membunuh kalian dengan lebih kejam!”“Dasar bodoh!” tukas Antaguna. “Kau tahu bahwa dengan meronta, maka jaringku itu akan melilitmu semakin kuat. Berhentilah meronta-ronta!”“Kau bajingan, Antaguna…!” teriak Pandan Arum yang semakin merasakan sesak akibat lilitan Jaring Jerat Naga.Antaguna membuka matanya, melirik pada Puti Bungo Satangkai yang berdiri di kiri depannya sembari memandangi mayat-mayat di tanah, di hadapan mereka.“Apa yang akan kau lakukan kepada mayat-mayat ini?”Bungo mengalihkan pandangannya kepada Antaguna, lalu menggerakkan tangannya, ‘Kupikir lebih baik mereka dikubur saja.’“Yah,” Antaguna mendesah panjang. “Kupikir juga begitu. Tapi maaf, aku masih tidak bertenaga untuk sekarang. Jadi, kau saja yang menggali kuburan untuk mereka.”Sang gadis tersenyum tipis dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.“Hei,” sahut Antaguna. “Kasihanlah sedikit kep
“Itulah mengapa aku mengusulkan kepadamu untuk menyerahkan wanita iblis itu kepada pihak kerajaan,” ujar Antaguna. “Biar pihak kerajaan yang memutuskan akan seperti apa hukuman baginya.”Puti Bungo Satangkai menghela napas dalam-dalam, dan kembali berdiri, lalu tatapannya tertuju kepada Pandan Arum.‘Yah, itu memang lebih baik,’ pikirnya.Toh, dia pribadi tidak memiliki urusan apa pun dengan Pandan Arum. Apa yang dia inginkan dalam tugasnya telah dia dapatkan, hanya tersisa dua kepingan lagi saja. Dan setelah itu, dia membiarkan takdir yang akan menuntun langkah ke depannya.Sementara itu, Pandan Arum mencoba memutar otak untuk bisa lepas dari semua masalah yang sekarang menghimpitnya.Akan tetapi, sekeras apa pun dia berpikir, tidak satu jalan keluar pun yang dapat ia temukan. Terlebih lagi, bila nanti kedua orang itu benar-benar akan menyerahkannya kepada pihak istana. Dia pasti tidak akan lolos dari hukuman kematian, atau minimal penjara bawah tanah yang menyengsarakan itu, sebagai
Di sebuah mata air yang sebening kaca, di kawasan barat kaki Gunung Tandikat, sebelah tenggara Danau Maninjau.Sikumbang sedang merumput di dekat sumber air yang lebih terlihat seperti sebuah sungai kecil selebar satu tombak—kurang lebih satu setengah meter—yang mengalir dari puncak gunung itu sendiri.Di dalam air yang sangat dangkal itu, Antaguna mengernyit dengan tubuh memerah dan berkeringat, begitu juga dengan Puti Bungo Satangkai. Semakin lama napasnya semakin menderu dan sulit untuk ia kendalikan.Perlahan-lahan, pria berbadan besar, tinggi, dan berotot itu melepaskan telapak tangannya dari punggung sang gadis. Dan seiring itu pula rona kemerah-merahan di wajahnya berangsur-angsur menghilang.Sang gadis tersedak, lalu memuntahkan darah kehitam-hitaman.“Kupikir kau sekarang sudah terbebas,” ujar sang pria dan kemudian berdiri. “Aku akan meninggalkanmu sendiri.”Tentu saja, untuk sekarang, Antaguna masih dapat menahan berahinya sebab meskipun mereka sama telanjang, duduk bersimp
‘Bukan seperti itu,’ ujar Puti Bungo Satangkai dengan bahasa isyaratnya. ‘Jurus itu sangat ganas.’“Yeah,” sahut Antaguna, “aku sudah melihat itu dalam pertarunganmu sebelumnya. Gila! Bahkan orang seperti Datuak Sani kau buat hancur tulang-tulang tangannya. Kau gadis yang mengerikan!”Bungo menghela napas dalam-dalam. ‘Itulah yang tidak aku inginkan terjadi kepadamu.’ Dan dia meraih kembali ayam bakarnya, menyantap daging ayam yang masih mengepulkan uap panas tersebut.Sementara Antaguna terdiam demi mengetahui alasan sang gadis tidak menggunakan jurus mengerikan itu ketika mereka terlibat perkelahian di saat pertemuan pertama mereka.Benarkah seperti itu? pikirnya, dan lantas mereguk ludah. Atau… karena ada alasan lainnya?“Katakan padaku,” ujar Antaguna, “kenapa kau tidak mau membunuhku padahal kau tidak segan-segan membunuh anak buahku?”Lagi-lagi sang gadis mengendikkan bahunya. Kembali dia meletakkan ranting penusuk daging ayam bakar tersebut, lalu meraih kantong kulit dan meregu
Antaguna mereguk ludah dan wajahnya bersemu, lalu terdengar Sikumbang yang meringkik halus seolah-olah menertawai tuannya yang sedang mati kutu tersebut di hadapan gadis yang dicintainya.“Kuda berengsek!” dengus Antaguna dengan bergumam pelan. “Awas kau nanti!”Tapi lagi-lagi Sikumbang meringkik halus dengan menggerak-gerakkan bulu ekornya yang panjang ke kiri dan ke kanan.Puti Bungo Satangkai tersenyum lebar. Bagaimanapun, semua sudah terlihat jelas di depan matanya. Sikap pria tersebut telah memberitahukan lebih dari satu kata kepadanya.‘Kau tahu,’ ujar Bungo kemudian dengan gerakan isyaratnya, ‘saat aku meninggalkanmu di goa di Pantai Sungai Suci itu, aku berjanji bahwa aku akan kembali untuk menemuimu setelah semua urusanku selesai.’Antaguna membelalak mengetahui itu. “B-Benarkah?” tanyanya dan kemudian mereguk ludah. “K-Kenapa?”Sang gadis mengangguk dalam senyuman. ‘Sebab aku ingin melihat apakah kau benar-benar memenuhi permintaanku untuk tidak kembali menjadi seorang penja
Si Kumbang Janti semakin mengernyit ketika pandangannya membentur enam kuburan yang berjejer di dekat perapian yang padam. Dia memang belum pernah sekalipun mengunjungi Datuak Sani sebelum ini, sehingga, dia mengabaikan saja enam kuburan tersebut.Karena curiga dengan tidak melihat adanya tanda-tanda seseorang di dalam rumah, tidak pula di sekitar, si Kumbang Janti memutuskan untuk memeriksa rumah tersebut.Dan ya, dia tidak menemukan siapa pun di dalam rumah. Dia mencoba mencari-cari ke sekeliling rumah, dan hasilnya tetap sama.Dalam kebingungannya, langkah kakinya membawanya kembali ke bagian depan, dan kembali tatapannya tertuju pada enam gundukan tanah di depan perapian.Lalu tiba-tiba dia membelalak. “Benar juga,” gumamnya seraya mendekati enam kuburan itu. “I-Ini, semuanya adalah kuburan baru!”Dan hal ini semakin diyakinkan dengan si Kumbang Janti yang menemukan setiap papan nisan yang ada pada kuburan tersebut tertulis keterangan.“Siapa yang melakukan ini semua?” gumamnya. “
“Bersabarlah!” kekeh si pria yang sudah telanjang sebagian ke bawah tubuhnya. “Kalian akan mendapatkan giliran. Tenang, tidak akan ada orang di sekitar jalan yang gelap ini.”“L-Lepaskan…!” teriak si wanita.Si penjahat lantas menindih tubuh si wanita sedemikian rupa, si wanita meronta-ronta semakin kuat. Dan sepertinya, si penjahat cukup kesulitan menggagahi si wanita yang selalu bergerak dan meronta-ronta.Lalu…Plakk!Lagi-lagi si wanita terpekik kencang sebab si penjahat menamparnya dengan sangat keras hingga membuatnya merasa pusing berat dan berkunang-kunang.“Bagus!” kekeh si penjahat. “Kau lebih tenang, maka akan lebih mudah dan senang bagiku untuk menikmatimu!”“T-Tidak…!” teriak sang wanita dengan pipi yang memerah dan bengkak akibat tamparan keras itu. “Kumohon, lepaskan aku…!”Sesaat sebelum si penjahat berhasil menusukkan pusakanya ke liang sanggama sang wanita, sesuatu melesat dengan sangat cepat, lalu menancap tepat di pangkal lehernya.Si penjahat tersentak, tersedak,
Si Kumbang Janti mendekati mereka, lalu memeriksa anak perempuan yang hening di dalam pangkuan ibunya.“Tolong, Tuan,” tangis si wanita. “Selamatkan putri kami.”Sang datuk yang sedang menyamar itu tersenyum, menghela napas panjang, “Tidak mengapa,” ujarnya. “Kurasa putri kalian hanya pingsan saja.”Dia juga menemukan luka lebam di pipi si gadis kecil, besar kemungkinan dia dipukul atau ditampar oleh salah seorang dari penjahat itu sebelum akhirnya pingsan.Lalu si Kumbang Janti tercekat. Entah sengaja atau tidak, tapi yang pasti sebelah dari buah dada si wanita terpampang begitu saja di depan matanya, bahkan nyaris tersentuh oleh tangannya sebab dia masih memeriksa kondisi si gadis kecil.Dia dengan cepat menjauhkan tangannya, berdeham sembari membuang pandangannya pada si pria.Tidak, dia tidak sengaja, pikirnya. Bagaimanapun, pakaiannya tadi telah dirobek-robek oleh para penjahat.“Yah,” ujarnya dengan menganggukkan kepala. “Putri kalian baik-baik saja.”“Terima kasih,” kata si pri
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau