Lusiana membuka mata nya, namun ia hanya mendapati kegelapan. Ia juga kesulitan bernafas karena oksigen yang terbatas. Ia menyadari bahwa tubuhnya terikat dalam posisi duduk dan kepalanya berada di dalam plastik berwarna hitam. Ia dapat mencium bau cokelat dari plastik tersebut. Lusiana mencoba untuk membuka ikatan di tangannya. Namun ia mendengar suara langkah yang makin mendekat.
"Sudah ku bilang, anak itu bodoh."
Lusiana dapat mendengar suara wanita yang terdengar sedang menelepon seseorang karena tak terdengar suara siapapun selain dirinya.
"Tidak, ayah pasti akan membunuhku jika ia tau aku menculik seorang dokter."
Wanita tersebut tertawa, entah menertawakan apa bersama orang di seberang sana.
"Aku menculik dokter Lusiana. Wajahnya sangat manis, apakah darahnya juga manis seperti cokelat?"
Lusiana menelan saliva nya dengan susah payah. Keringat dingin mulai mengalir dari dahi nya. Lusiana merasakan sosok itu mulai mendekati nya. Ia pun memejamkan matanya berpura pura masih belum dasar. Tak lama kemudian, plastik yang membungkus kepala Lusiana terbuka. Ia dapat merasakannya saat pandangan yang semula gelap mulai sedikit warna karena terpapar sinar dari lampu disekitarnya.
"Hei dokter, bangunlah!" Seru sosok tersebut.
Lusiana masih terus memejamkan matanya. Sosok itu pun menarik salah satu kursi dan duduk tepat di hadapan Lusiana.
"Buka matamu. Aku tahu kau sudah sadar." Ujar sosok tersebut.
Lusiana pun perlahan membuka matanya. Pandangannya buram karena terlalu lama menutup matanya. Lusiana mengerjap hingga pandangannya menjadi jernih. Ia dapat melihat sosok wanita yang cantik. Sangat cantik hingga ia tidak menyangka bahwa wanita tersebut adalah sosok yang ia temui di rumah sakit saat kejadian pada malam itu.
Wanita itu tersenyum lebar. "Apa kabar, dokter Lusiana? Kau tidak sadarkan diri selama tiga jam."
Lusiana masih terus merapatkan mulutnya tanpa berniat menjawab.
"Aku Xenovia Cornels. Sosok yang kau cari selama ini. Maafkan aku karena telah menyusahkanmu. Aku akan menyerahkan diriku karena aksi ku sudah terlihat oleh mu." Lanjut Xenovia.
Xenovia meraih ponsel dari sakunya dan menunjukan sebuah foto. "Aku tidak suka aksi ku terlihat orang lain."
Lusiana melihat sosok yang ia kenal di dalam foto tersebut. Ia adalah sosok penjaga ruang jenazah yang di bawa oleh wanita misterius.
Lusiana menatap Xenovia dengan wajah marah. "Kau.. kau.. membunuhnya?"
Xenovia menggeleng. "Mmm.. No. Aku tidak membunuh laki laki tua yang sudah tidak berdaya seperti itu."
Kemudian Xenovia menggeser layar ponselnya. Menampakan sosok wanita mengenakan Cartwheel Hat yang tengah membedah perut pria penjaga ruang jenazah. Kemudian Xenovia menggesernya lagi, wanita di foto nampak tengah memasukan coklat yang telah di lelehkan ke dalam perut pria tersebut. Xenovia lagi lagi menggeser layarnya. Namun foto kali ini mampu membuat Lusiana memuntahkan isi perutnya. Di dalam foto tersebut terlihat wanita itu tengah memakan coklat yang berada di dalam perut pria tersebut. Coklat bercampur darah? Umm.. pasti terasa sangat nikmat.
"Kejam!" Pekik Lusiana.
Xenovia mengangguk setuju. "Yap. Sekarang wanita di dalam foto itu menginginkan dirimu. Apa yang harus aku lakukan?"
Lusiana merasakan tubuhnya melemas. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Xenovia berjalan ke belakang Lusiana. Kemudian wanita itu berbisik.
"Mati di tanganku lebih menyenangkan dari pada mati di tangannya, dokter."
~~~
Tepat pukul 8 malam di San Fransisco, suasana sedang memanas. Sudah lebih dari delapan orang lansia di sekitar Howard Street tewas dengan mengenaskan. Lion selaku kepala kepolisian merasa tidak tenang, ditambah warga sudah mulai mendesaknya dengan beberapa laporan yang sangat serius. Bahkan beberapa dari mereka melaporkan bahwa pembunuh tersebut kini mulai bergerak ke arah jalan Castro Street. Lion pun mau tak mau memaksa tim investigasi untuk menyisir kawasan Castro Street di pimpin oleh Maxim Leargo yang baru saja kembali dari tugasnya di kota Washington Dc.
"Selamat malam, Sir." Ujar Max sambil membuka pintu.
Lion mengangguk. "Ya, silakan masuk."
Max duduk di kursi yang telah di sediakan. Wajah Lion nampak sangat kacau saat ini. Bawah matanya sudah menghitam, bibir yang pucat dan rambut yang acak acakan.
"Apa tidak ada waktu untuk merapihkan diri?" Tanya Max.
Lion hanya menggeleng. "Sulit. Banyak sekali laporan yang datang dari warga sekitar."
Max mengangguk. "Bagaimana kinerja Jean selama di Howard Street?"
Lion menghela nafasnya. Ia tak bisa mengatakan apapun karena nyatanya memang masih belum ada kinerja yang terlihat. Selama mereka berpatroli di Howard Street, pembunuhan tetap saja terjadi. Bahkan salah satu anggota kepolisian ikut tewas dengan mengenaskan.
"Bukankah kita harus melibatkan Tim SWAT untuk kasus kali ini?" Tanya Max
"Tim SWAT saat ini tengah di tugaskan di kota Chicago." Jawab Lion.
Max mengernyitkan dahinya. Mengapa tim SWAT di kirim ke kota Chicago jika pembunuhnya berada di San Fransisco. Sepertinya ada kesalahan dalam pemberian tugas tersebut.
"Bagaimana jika aku memerintahkan tim SWAT untuk kembali, lalu aku akan bertukar ke kota Chicago?" Ujar Max.
Lion meng-iyakan saran dari Max. Namun baru saja Max ingin menghubungi Franco, mereka melihat sesuatu di saluran berita. Terjadi penyusupan di Chicago Lakeshore Hospital pada kemarin malam. Lion menyadari bahwa rumah sakit tersebut adalah tempat dimana dokter Lusiana berada. Franco dan Tim SWAT terlihat di layar televisi. Mereka nampak tengah melakukan investigasi di kawasan tersebut. Hal itu tentu saja tidak memungkinkan untuk memanggil mereka kembali ke San Fransisco.
Akhirnya Max pun menerima tugas untuk menyisir kawasan Castro Street. Max meninggalkan ruangan tersebut saat Lion sudah menjelaskan tugasnya.
~~~
"To..long.." ujar seorang pria di tengah kegelapan kota San Fransisco.
Pria itu merangkak di sebuah jalan sempit. Ia tidak bisa menggunakan kaki nya untuk berdiri. Darah mengalir dari kadua kakinya yang ternyata sudah terpotong. Dengan sisa tenaga yang ada ia terus melolong meminta pertolongan. Namun suara sirine polisi meredam suaranya hingga tak seorang pun datang menolong.
"Perlahan.. rasakan.."
Pria itu semakin panik saat mendengar suara yang begitu familiar di telinganya.
"Tidak!!" Pekik pria tersebut.
Namun sedetik kemudian, sosok yang ia takuti sudah berada tepat di hadapannya. Sosok itu ternyata adalah serigala berbulu domba. Tanpa berlama-lama, sosok itu menyeret kedua tangannya menuju sebuah jalan buntu. Pria tersebut tidak bisa berbuat apa apa selain berteriak walau ia tau takkan ada yang bisa mendengarnya saat ini.
"Suatu saat nanti kau pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal!" Ujar pria tersebut saat sosok di hadapannya mulai mengacungkan pisau tepat di lehernya.
"Menangislah.. aku akan melepaskanmu." Ujar sosok tersebut sambil berjongkok di hadapan korbannya.
Pria itu mendecih dan meludahi wajah sosok menakutkan di hadapannya. Sosok tersebut mengusap wajahnya dengan kasar kemudian menusuk sebelah mata pria tersebut dengan pisau di tangannya. Pria tersebut berteriak histeris.
"ARRRGHH!! BRENGSEK KAU JEAN!!"
Sedangkan sosok di hadapannya hanya menatap sendu korbannya yang sudah berlumuran darah. Sosok itu mencabut pisau tersebut dan kembali menusukan benda tajam tersebut di sebelah mata korbannya. Kini kedua mata korbannya sudah hancur. Sosok itu berdiri dan membiarkan pisau menancap di sebelah mata korbannya. Sosok itu memejamkan mata dan mendoakan korbannya.
"Semoga tuhan menempatkanmu di neraka terdalam."
To be continue...Hari telah berganti, namun Jason masih tetap berada diruang bawah tanah memandangi wajah teman lamanya, Ryan. Temannya itu mengalami hipotermia karena penghangat di dalam ruangan tersebut rusak. Lampu diruangan tersebut juga tiba tiba padam membuat suhu ruangan menjadi sangat dingin. Jason sudah memindahkan teman lamanya tersebut ke sebuah ruangan yang biasa di gunakan untuk mengeksekusi korbannya. Di ruangan itu, Jason merendam tubuh Ryan di air hangat. Namun bukannya membaik, tubuh Ryan yang terbalut kostum naga tersebut mulai membengkak. Wajahnya semakin membiru, pada menit selanjutnya Jason tak bisa lagi merasakan denyut nadi dan detak jantung temannya tersebut.Jason tersenyum memandangi tubuh tak bernyawa di hadapannya itu. Jason pun mengangkat mayat temannya itu dan membaringkannya di meja operasi yang biasa ia gunakan untuk melakukan operasi pada semua korbannya. Jason menguliti wajah Ryan yang sudah tak bernyawa tersebut. Ia tak bisa henti hentinya tertawa, namun tanp
Matahari sudah berganti dengan bulan. Jason merasakan perutnya mulai sakit karena lebih dari 24 jam tidak makan apapun. Jason pun memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut. Ia juga ingat bahwa Han tidak bisa memesan makanan sendiri. Bocah itu pasti kelaparan sekarang. Jason menaiki tangga menuju ruang tamu."Han.." panggilnya.Suasana rumahnya sangat sunyi, tak ada suara teriakan Han yang biasa menyambutnya. Jason merasa ada sesuatu yang aneh disini. Jason pun mengelilingi rumahnya untuk mencari anak asuhnya tersebut."Han! Aku tidak ingin bermain! Aku lapar!" teriak Jason.Namun lagi lagi tak ada sahutan dari Han. Jason mengira bocah itu sedang keluar rumah. Ia pun memesan makanan terlebih dahulu kareba perutnya sudah tak bisa di ajak berkompromi.Setelah memesan makanan, ia pun keluar dari rumah untuk melihat kemungkinan ada Han disana.Lagi-lagi nihil.Tak ada apapun selain mobil mewahnya yang terparkir indah di halaman. Tapi matanya
"PAMAN!!!"Han berteriak histeris dari dalam mobil saat melihat tubuh Jason yang sudah terkapar di aspal. Darah tak henti hentinya mengalir dari luka di pinggang Jason. Sedangkan Lusiana hanya bisa membeku di tempatnya, menatap Jason layaknya orang yang baru pertama kali melihat darah."Dokter Lusiana.. tolong paman.." ujar Han lirih.Lusiana sontak menolehkan kepalanya ke arah Jason. Matanya masih terasa kosong, nyawa nya bagaikan terbang ke tempat lain."DOKTER!"Teriakan Han tersebut mampu menyatukan jiwa dan raga Lusiana. Ia segera keluar dari mobil dan memapah Jason ke dalam mobil dengan di bantu oleh bocah tersebut. Selanjutnya, Lusiana akan membawa nya pulang.Apa Lusiana tahu dimana tempat tinggal Jason?Tentu saja tidak.Pulang yang di maksud adalah ke rumah Lusiana. Han sedari tadi hanya menangis di sebelah Jason. Berulang kali Lusiana bertanya dimana alamat rumah mereka, Han hanya menangis. Satu-satunya tempat untuk pulang saat
Lusiana dan Han menatap Jason dari meja makan. Pagi ini sudah menjadi hari ketiga Jason berada di rumah Lusiana, pria tersebut memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Jason tengah duduk mengajar muridnya melalui zoom di ruang tamu. Sudah lebih dari seminggu Jason tidak bekerja. Ia disibukkan oleh naluri pembunuhnya, belum lagi beberapa kasus yang melibatkan Han."Hei jangan tidur!" Ujar Jason tiba-tiba.Lusiana dan Han sempat terkaget karena nada bicara Jason yang sedikit meninggi. Jason melirik jam yang ada di tangannya."Lima menit lagi."Jason menarik nafasnya."Rik, jika minggu depan tugas ini tidak selesai, kepala mu akan ku penggal." Ujar Jason.Muridnya yang bernama Riko itu terlihat menggangguk lemah. Jason hanya menatap laptop nya tanpa ekspresi apapun. Lusiana menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia mungkin akan berhenti kuliah jika mendapatkan seorang dosen seperti Jason."Kau tahu pamanmu seorang dosen?" Tanya Lusiana pada
Jason tiba di depan bangunan tua yang dihuni oleh ibu nya. Sudah lebih dari dua tahun Jason tidak menginjakan kakinya di lingkungan tersebut. Menurutnya, rumah ini merupakan tempat terkutuk bagi siapapun yang memasuki nya. Mereka tidak akan keluar dari rumah tersebut, bagai terpenjara atau bahkan terkubur di dalamnya. Namun kutukan itu tidak berlaku bagi Jason.Jason membuka pintu kayu tersebur dengan perlahan. Suara decitan kayu yang di hasilkan dari pintu terdengar begitu menyedihkan. Bau amis yang biasa ia cium dirumahnya mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya."Anak ku.." seru Eliza yang sudah duduk cantik di ruang tamu.Jason menghampiri Eliza dan memberikan sekantung plastik sayur mayur. Sudah menjadi rutinitasnya membawa sayuran ketika mengunjungi Eliza, karena ibu nya itu selalu memasak sup ketika Jason berkunjung.Eliza meraih plastik tersebut dan ekspresi wajahnya mendadak kecewa."Wortelnya sudah tidak segar." Protes Eliza."Aku bahka
Setelah tiga hari menunda kedatangannya ke kantor polisi, kini Jean mendatangi kantor polisi tepat pukul 7 malam. Jean memasuki kantor polisi yang telah lebih dahulu mengamankan rekaman CCTV di lokasi kejadian. Nampak tim Investigasi sedang berkumpul sambil mengamati layar proyektor. Jean mengetuk pintu yang sudah terbuka itu untuk memberitahu kedatangannya. Rekaman di layar proyektor itu berhenti, lalu semua kepala menoleh ke arahnya."Selamat datang, Detektif Jean." sapa kepala tim Investigasi sambil berjalan ke arahnya.Jean melirik badge nama detektif tersebut. "Senang bertemu denganmu, Detektif Wirard."Detektif bernama Wirard itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya. Jean membalas uluran tangan Wirard sejenak kemudian melepaskannya. Wirard mempersilahkan Jean untuk bergabung menonton rekaman CCTV yang ada di layar."Dimana letak CCTV yang merekam kejadian ini? Bukankah semua CCTV terdekat sudah di rusak?" tanya Jean.Wirard mengangguk. "Ya,
Untuk pertama kalinya Jason berlari di tengah malam. Jason berlari mengejar Han yang sudah meninggalkan rumahnya. Entah sejak kapan manusia mampu berlari kencang dengan sebelah kakinya. Jason pun tidak tau kemana Han akan pergi, mengingat anak tersebut tidak punya tempat tujuan. Hanya ada satu tempat yang menjadi tujuan Jason saat ini. Rumah sakit tempat Lusiana bekerja. Entah mengapa hanya tempat itu yang terlintas di kepalanya. Jason mengubah langkah kakinya menuju rumahnya untuk mengambil mobil. Jason meraih kunci mobil yang selalu berada di sakunya. Ia memang selalu menyimpan kunci mobil di saku agar mudah di jangkau saat darurat seperti ini.“Anak nakal..” gumam Jason di dalam mobilnya.Ia segera tancap gas menuju rumah sakit tujuannya. Pikirannya melayang entah kemana. Ia memikirkan Han dan Keisha di saat bersamaan. Disebabkan pikirannya yang kacau, Jason mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Ia melewati rambu lalu lintas yang berwarna merah hingga
Jason dan Lusiana sudah berada di dalam mobil. Seperti yang Jason katakan sebelumnya, ia akan mengantar Lusiana pulang."Siapa anak yang ada di foto tadi?" Tanya Jason.Lusiana terdiam sejenak. "Adik ku."Jason menganggukan kepalanya. Kemudian ia kembali fokus menyetir BMW kesayangannya tersebut. Sedangkan Lusiana diam diam memperhatikan Jason dengan saksama.Lusiana berdeham pelan. "Kau bilang kaki Han terluka kan?"Jason hanya mengangguk."Kau mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata untuk mengejar anak yang kaki nya terluka. Kemudian kau menabrak anak tersebut di sebuah jalan kecil yang tidak jauh dari rumah sakit. Bukan kah ada yang janggal?" Ujar Lusiana.Jason menurunkan kecepatan mobilnya. Kemudian ia menoleh ke arah Lusiana. Ia berpikir sejenak, lalu ia juga menemukan kejanggalan tersebut.Lusiana mengangguk mantap dengan mata berapi-ali. "Kematiannya pasti sudah di rencana kan."Jason masih terdiam, ia tengah