Lusiana dan Han menatap Jason dari meja makan. Pagi ini sudah menjadi hari ketiga Jason berada di rumah Lusiana, pria tersebut memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Jason tengah duduk mengajar muridnya melalui zoom di ruang tamu. Sudah lebih dari seminggu Jason tidak bekerja. Ia disibukkan oleh naluri pembunuhnya, belum lagi beberapa kasus yang melibatkan Han.
"Hei jangan tidur!" Ujar Jason tiba-tiba.
Lusiana dan Han sempat terkaget karena nada bicara Jason yang sedikit meninggi. Jason melirik jam yang ada di tangannya.
"Lima menit lagi."
Jason menarik nafasnya.
"Rik, jika minggu depan tugas ini tidak selesai, kepala mu akan ku penggal." Ujar Jason.
Muridnya yang bernama Riko itu terlihat menggangguk lemah. Jason hanya menatap laptop nya tanpa ekspresi apapun. Lusiana menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia mungkin akan berhenti kuliah jika mendapatkan seorang dosen seperti Jason.
"Kau tahu pamanmu seorang dosen?" Tanya Lusiana pada Han.
Han menggeleng. "Aku hanya tahu paman seorang pengangguran."
Lusiana mengangguk setuju. Ia juga beranggapan bahwa Jason hanya seorang pengangguran karena seperti yang terlihat, Ia memiliki cukup banyak waktu senggang untuk membuat pinggang nya terluka. Han beranjak dari ruang makan menuju ruang tamu dengan membawa semangkuk sup. Ia duduk di sebelah Jason yang masih menatap tajam ke arah laptopnya.
"Paman.." ujar Han.
Jason menolehkan kepalanya dan tersenyum simpul. "Ya?"
Han menyodorkan mangkuk yang ada di tangannya. "Makan dulu paman."
Jason tersenyum dan meraih mangkuk tersebut. Melihat tingkah Jason yang seperti itu, semua mahasiswa melihatnya dengan bingung. Han menatap ke arah Laptop Jason dan melambaikan tangannya. Kemudian semua mahasiswa itu membalas lambaian tangannya. Jason mengalihkan tatapannya saat ekor matanya menangkap sesuatu yang tidak wajar.
"FOKUS!" Ujar Jason yang tanpa sengaja meninggikan suaranya.
Mendengar suara Jason yang seperti peringatan kematian itu, semua mahasiswa kembali fokus pada tugasnya masing-masing. Sedangkan Jason kembali fokus pada mangkuknya.
"Oh iya Han, kau mau bersekolah?" Tanya Jason tiba-tiba.
"Sekolah?" Tanya Han.
Jason menatap Han datar. "Siapa yang mengajari mu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?"
Han menundukan kepalanya. "Maaf paman."
Sedangkan Lusiana yang masih mengamati mereka dari meja makan hanya tersenyum prihatin.
"Hebat. Mereka lebih seperti sepasang kekasih daripada ayah dan anak."
~~~
Tepat pukul 1 siang, di kota San Francisco. Telah di temukan sesosok mayat dalam kondisi termutilasi. Kepolisian San Francisco kembali disibukan dengan kasus pembunuhan yang semakin marak di kota tersebut. Lion pun memutuskan untuk memanggil Jean ke ruangannya. Lion mengacak rambutnya gusar menatap semua foto dari korban pembunuhan yang baru saja terjadi.
Max.
Sosok yang baru saja akan mengambil tugas di sekitar Howard Street kini sudah tak bernyawa. Tubuhnya sudah terpotong dan di bungkus dengan plastik wrapping seperti daging di supermarket.
"Selamat siang."
Lion mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Rahangnya mengeras setelah melihat Jean yang masih bisa tersenyum ke arahnya.
"APA YANG KAU LAKUKAN SELAMA INI?!" Teriak Lion hingga suara nya bisa terdengar sampai luar ruangannya.
Jean menautkan kedua alisnya. "Aku melakukan tugas yang kau berikan."
Lion melemparkan semua foto yang ia dapat dari petugas yang ada di lokasi kejadian. "LALU BAGAIMANA KAU MENJELASKAN INI SEMUA? INI KELALAIAN MU DALAM BERTUGAS!"
Jean menganggukan kepalanya beberapa kali sambil tersenyum. "Kejadian ini bahkan berada cukup jauh dari Howard Street. Bagaimana bisa kau menyalahkan ku saat ada pembunuhan yang letaknya di luar pengawasan ku?"
"KAU--"
"Pindah tugaskan saja aku ke 505 Parnassus Ave agar kau bisa melempar kesalahan itu padaku. Aku tidak suka di salahkan dengan konyol seperti ini."
Setelah itu Jean keluar dari ruangan atasannya tersebut. Ia menutup pintu tersebut cukup keras. Dari luar ruangan, ia bisa mendengar umpatan umpatan dari atasannya tersebut. Sedangkan Jean hanya tersenyum miring dan bergegas pergi menuju parkiran. Ia harus secepat mungkin tiba di lokasi kejadian karena ada barangnya yang tertinggal.
Aglet.
Benda yang di pandang sebelah mata itu kini menjadi satu-satu nya bukti yang bisa menjebloskannya ke
penjara. Namun ia cukup yakin bahwa tidak akan ada yang memperdulikan benda tak berharga tersebut. Hanya orang dengan kecerdasan di atas rata-rata yang mengambil barang seperti itu untuk di jadikan barang bukti. Orang itu adalah Max yang secepat kilat sudah disingkirkan oleh sang pemilik barang bukti.Sesampainya di parkiran, ia memasuki Mercedes-Benz nya dan bergegas pergi menuju 505 Parnassus Ave sebelum lokasi tersebut di ramaikan oleh banyak detektif handal. Jean menancap gasnya ditemani oleh saluran berita di mobilnya dan juga senyuman.
"Terdapat sebuah rekaman CCTV di lokasi kejadian yang kini sudah di amankan oleh pihak kepolisian setempat.."
Senyumannya mendadak luntur saat mendengar rekaman CCTV. Sebelumnya Jean sudah memastikan bahwa ia sudah menghancurkan CCTV yang terletak di samping tiang listrik. Namun ia tidak tahu dimana lagi letak CCTV yang di maksud oleh berita tersebut.
"Sial.." gumamnya.
Ia menambahkan kecepatan mobilnya untuk tiba di Departemen Kepolisian Universitas California. Jean mengubah tujuannya karena ia harus segera mengambil atau menghancurkan rekaman CCTV tersebut.
~~~
"Kau tidak berguna!" Teriak seorang wanita.
Plak!
Xenovia mendengus kesal saat sebuah tamparan melayang di pipi kanan hingga meninggalkan bekas. Kini ia hanya bisa menundukan kepalanya dan mendengarkan semua ocehan wanita tersebut.
"Kau bodoh!!"
Xenovia menarik sebelah sudut bibirnya.
"Aku tidak akan membiayai hidupmu lagi!" Ujar wanita tersebut.
Xenovia mengangkat kepalanya dan mengangguk. "Baiklah."
Plak!
Tamparan mendarat di pipi kirinya. Kini kedua pipinya terasa panas, namun tidak sepanas hatinya saat ini.
"Jangan menjawab ku!"
Wanita tersebut menatap Xenovia dengan mata berapi-api. Ia melemparkan Cartwheel nya dengan asal. Kemudian ia meraih pisau yang berasa di dekatnya. Xenovia hanya menatap datar ke arah wanita tersebut tanpa perasaan takut.
Wanita itu mengarahkan pisaunya tepat di leher Xenovia. "Hewan yang tidak berguna harus segera di musnahkan."
Xenovia menggeser pisau tersebut dengan tangannya. "Hewan yang tidak berguna menjadi tidak berguna karena pemilik nya yang sangat tidak berguna."
Wanita itu menatap Xenovia dengan tajam. Nafasnya mulai tak beraturan karena emosi yang sudah hampir mencapai batasnya.
"K-kau..!!"
Xenovia melenggang pergi dari hadapan wanita tersebut. Wanita itu tak tinggal diam. Ia berjalan mendekati Xenovia dan hendak menyerangnya dari belakang. Namun Xenovia bukanlah seorang amatiran yang bisa dibunuh dengan cara tersebut. Xenovia berbalik dan menangkis pisau tersebut dengan tasnya hingga pisau itu terpental.
Kemudian Xenovia mendekati wanita tersebut. Xenovia menarik kedua sudut bibirnya hingga menampilkan jajaran giginya dengan mata yang melebar.
"Sudah lama aku tidak membunuh." Gumam Xenovia.
Wanita itu ikut tersenyum nyaris sama dengan Xenovia. "Membunuh adalah keahlianku."
Wanita itu melepas jepit rambut yang terpasang indah di rambutnya. Jepit rambut itu ternyata adalah sebuah pisau lipat. Xenovia mendengus sebal karena jepit rambut produknya sangat diminati oleh wanita-wanita yang menyebalkan.
Xenovia pun ikut melepas jepit rambutnya yang merupakan edisi terbaru untuk tahun ini.
"Aku sangat kecewa saat tahu kau akan membunuhku dengan produk lama." ujar Xenovia.
Wanita itu mendecih dan melempar pisau tersebut ke arah wajah Xenovia. Sedangkan Xenovia sudah sangat terbiasa dengan situasi tersebut. Ia pun menendang benda tajam itu hingga terpental cukup jauh. Xenovia tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah panik tercetak jelas pada wanita di hadapannya.
"Amatir." ejek Xenovia.
Xenovia pun maju selangkah menuju wanita di hadapannya.
"Pembunuh itu--"
Jleb!
Sebuah panah sukses menembus daun telinga Xenovia membuat nya menjatuhkan pisau lipat yang ada di tangannya. Pendarahan hebat pun di alami oleh Xenovia.
Wanita itu pun tersenyum. "Pembunuh itu harus panda memainkan otaknya."
Xenovia merasakan telinga nya yang terasa sangat sakit. Kemudian disusul oleh kepalanya yang pusing dan ia juga mulai merasa mual. Pandangan Xenovia mulai kabur hingga ia matanya mulai terlihat sayu.
"Wow.. Adenium bekerja sangat cepat." gumam wanita tersebut.
Xenovia yang mulai berada di bawah kendali racun Adenium pun akhirnya harus terkulai lemah di lantai. Xenovia melupakan sebuah fakta bahwa ibu nya tersebut adalah pengguna racun dalam setiap kegiatannya.
"Mimpi indah, putri ku." ujar Eliza sambil mengelus kepala anaknya tersebut.
Eliza menyeret tubuh putri nya tersebut menuju ruangan tak terpakai. Ia memang selalu membeli rumah dengan banyak kamar untuk melakukan hobi nya. Salah satu hobi nya adalah menghukum anaknya.
"Niko, cepat pulang. Mama merindukanmu." ujar Eliza pada seseorang di telepon.
Setelah mendapat respon memuaskan, Eliza menutup panggilan tersebut d akhiri dengan senyum lebarnya.
"Kematian apa yang cocok untuk anak anak pembangkang?"
To be continue...Jason tiba di depan bangunan tua yang dihuni oleh ibu nya. Sudah lebih dari dua tahun Jason tidak menginjakan kakinya di lingkungan tersebut. Menurutnya, rumah ini merupakan tempat terkutuk bagi siapapun yang memasuki nya. Mereka tidak akan keluar dari rumah tersebut, bagai terpenjara atau bahkan terkubur di dalamnya. Namun kutukan itu tidak berlaku bagi Jason.Jason membuka pintu kayu tersebur dengan perlahan. Suara decitan kayu yang di hasilkan dari pintu terdengar begitu menyedihkan. Bau amis yang biasa ia cium dirumahnya mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya."Anak ku.." seru Eliza yang sudah duduk cantik di ruang tamu.Jason menghampiri Eliza dan memberikan sekantung plastik sayur mayur. Sudah menjadi rutinitasnya membawa sayuran ketika mengunjungi Eliza, karena ibu nya itu selalu memasak sup ketika Jason berkunjung.Eliza meraih plastik tersebut dan ekspresi wajahnya mendadak kecewa."Wortelnya sudah tidak segar." Protes Eliza."Aku bahka
Setelah tiga hari menunda kedatangannya ke kantor polisi, kini Jean mendatangi kantor polisi tepat pukul 7 malam. Jean memasuki kantor polisi yang telah lebih dahulu mengamankan rekaman CCTV di lokasi kejadian. Nampak tim Investigasi sedang berkumpul sambil mengamati layar proyektor. Jean mengetuk pintu yang sudah terbuka itu untuk memberitahu kedatangannya. Rekaman di layar proyektor itu berhenti, lalu semua kepala menoleh ke arahnya."Selamat datang, Detektif Jean." sapa kepala tim Investigasi sambil berjalan ke arahnya.Jean melirik badge nama detektif tersebut. "Senang bertemu denganmu, Detektif Wirard."Detektif bernama Wirard itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya. Jean membalas uluran tangan Wirard sejenak kemudian melepaskannya. Wirard mempersilahkan Jean untuk bergabung menonton rekaman CCTV yang ada di layar."Dimana letak CCTV yang merekam kejadian ini? Bukankah semua CCTV terdekat sudah di rusak?" tanya Jean.Wirard mengangguk. "Ya,
Untuk pertama kalinya Jason berlari di tengah malam. Jason berlari mengejar Han yang sudah meninggalkan rumahnya. Entah sejak kapan manusia mampu berlari kencang dengan sebelah kakinya. Jason pun tidak tau kemana Han akan pergi, mengingat anak tersebut tidak punya tempat tujuan. Hanya ada satu tempat yang menjadi tujuan Jason saat ini. Rumah sakit tempat Lusiana bekerja. Entah mengapa hanya tempat itu yang terlintas di kepalanya. Jason mengubah langkah kakinya menuju rumahnya untuk mengambil mobil. Jason meraih kunci mobil yang selalu berada di sakunya. Ia memang selalu menyimpan kunci mobil di saku agar mudah di jangkau saat darurat seperti ini.“Anak nakal..” gumam Jason di dalam mobilnya.Ia segera tancap gas menuju rumah sakit tujuannya. Pikirannya melayang entah kemana. Ia memikirkan Han dan Keisha di saat bersamaan. Disebabkan pikirannya yang kacau, Jason mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Ia melewati rambu lalu lintas yang berwarna merah hingga
Jason dan Lusiana sudah berada di dalam mobil. Seperti yang Jason katakan sebelumnya, ia akan mengantar Lusiana pulang."Siapa anak yang ada di foto tadi?" Tanya Jason.Lusiana terdiam sejenak. "Adik ku."Jason menganggukan kepalanya. Kemudian ia kembali fokus menyetir BMW kesayangannya tersebut. Sedangkan Lusiana diam diam memperhatikan Jason dengan saksama.Lusiana berdeham pelan. "Kau bilang kaki Han terluka kan?"Jason hanya mengangguk."Kau mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata untuk mengejar anak yang kaki nya terluka. Kemudian kau menabrak anak tersebut di sebuah jalan kecil yang tidak jauh dari rumah sakit. Bukan kah ada yang janggal?" Ujar Lusiana.Jason menurunkan kecepatan mobilnya. Kemudian ia menoleh ke arah Lusiana. Ia berpikir sejenak, lalu ia juga menemukan kejanggalan tersebut.Lusiana mengangguk mantap dengan mata berapi-ali. "Kematiannya pasti sudah di rencana kan."Jason masih terdiam, ia tengah
Sinar matahari menyorot Jason yang sedang menelusuri jalan tanpa mobil kesayangannya. Tanpa berpikir panjang ia segera pergi dari rumahnya, meninggalkan sang ayah yang berhasil membuatnya seperti orang kesetanan. Entah ia akan pergi kemana saat ini. Ia hanya mengikuti kemana dua kakinya akan melangkah. Jason menyeka darah yang sedikit keluar dari luka di pipinya dengan tangan kiri. Ia menatap tangan kanan nya yang sudah tak ada di tempatnya lagi. Orang-orang di sekitar menatap Jason dengan tatapan merendahkan, bukan tatapan sedih atau semacamnya."Apa dia korban penculikan?""Seram.""Apa kau tidak kasihan? Coba tanya apa yang terjadi.""Kau saja.""Jangan dekati dia."Jason dapat merasakan tatapan jijik dan takut dari orang-orang tersebut. Ia menolehkan kepalanya, serentak orang-orang itu bergegas pergi sambil terus mencemooh keadaannya. Jason meraba celananya, namun ia tak menemukan ponsel atau pun dompet disana. Ia meninggalkan semua barangnya
Franco terdiam sejenak, keringat dingin mengalir dari dahinya. Secepat kilat, Franco mampu merubah ekspresinya. Sebisa mungkin ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan yang natural. Walaupun sebenarnya jantungnya sudah berdetak tak karuan karena tatapan dari ketiga dokter di hadapannya."Aku kesulitan mencari ruang administrasi." Ujar Franco.Dokter penengah itu mengernyitkan dainya. "Bukankah ruang administrasi ada di lantai 1?"Dokter yang sedari tadi diam ikut mengangguk setuju."Aku tidak dapat menemukannya, yang aku lihat hanya lautan manusia di lantai 1." Jelas Franco.Ketiga dokter itu menganggukan kepalanya."Sudah lebih dari lima hari ini rumah sakit memang di penuhi oleh manusia. Angka kematian di Chicago menjadi meningkat pesat, dan tentunya kami kekurangan istirahat." Jelas dokter penengah itu sambil tersenyum."Mari kami antar." Lanjutnya.Setelah itu tak ada perbincangan apapun lagi, karena pintu lift sudah t
Jason menatap makanan di meja tanpa gairah apa pun. Sudah tiga hari ia berada di rumah Lusiana, dan semua makanannya selalu sama.Nasi Goreng.Ia menoleh ke arah Lusiana yang berada di hadapannya. Gadis itu nampak tengah menikmati makanannya. Lusiana yang menyadari Jason tidak menikmati makanannya pun mendengus pelan."Cepat makan. Sarapan itu perlu agar kau cepat pulih." Ujar Lusiana.Jason hanya menarik sebelah sudut bibirnya hingga menampakan senyum yang di paksakan. Lusiana bangkit dari kursi nya dan pindah ke sebelah Jason."Apa mau mu?!" Tanya Jason dengan kaget.Lusiana meletakan telunjuknya di bibir Jason. Kemudian ia menyendok nasi goreng yang ada di piring Jason, lalu ia melahapnya.Setelah itu Lusiana menatap Jason sambil tersenyum dengan mulut yang penuh makanan."Amwan.." ujar Lusiana sambil mengacungkan ibu jarinya.Jason mengernyitkan dahinya. "Apa?"Sebisa mungkin Lusiana segera menelan semua nasi goreng yan
Jean membuka matanya setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam. Tubuhnya terasa nyeri karena tidur dalam posisi duduk dalam waktu yang cukup lama. Jean di sambut oleh senyuman dari rekan kerja lamanya, Watt. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan tersebut. Semuanya bangunan ini terbuat dari kayu. Ia sadar bahwa ia sekarang sedang berada di xebuah kabin tua. Kabin ini dulu nya merupakan laboratorium milik Jean. Namun sejak ia berhasil masuk ke dalam Departemen Kepolisian, Ia menitipkan labpratprium itu kepada Watt dan Nancy yang merupakan teman lamanya. Jean menarik salah satu sudut bibirnya membentuk senyum miring yang dipaksakan.“Teman memiliki potensi paling besar dalam hal pengkhianatan.” Ujar Jean.Watt tersenyum dan menyodorkan segelas air pada Jean. “Kau pasti haus.”Jean meraih gelas tersebut dan menciumnya. “Heh... bau ricin.”Watt tersenyum mendengar ucapan Jean. “Penciuman mu boleh juga, kawan.”“Kau masih bisa memanggilku kawan sa
Hari sudah berganti menjadi pagi. Jason dan Lusiana membawa tubuh Jean yang sudah tak bernyawa ke kabin yang dulunya laboratorium. Jean memang tak minta di makamkan disana, tapi Jason berinisiatif untuk memakamkannya disana. Jason juga sudah menyiapkan lubang di samping kabin untuk makam ayahnya. Jason membuka pintu kabin yang sudah rusak itu. Jason memasuki sebuah ruangan rahasia di dalam kabin tersebut. Lalu ia melihat sebuah peti yang sudah di siapkan oleh Jean bertahun-tahun lama nya. Rupanya peti itu yang pernah di ceritakan oleh Jean padanya. Jason ingin menggunakan peti itu, tapi terlalu berat untuk di angkat berdua dengan Lusiana. Akhirnya Jason dan Lusiana sepakat untuk mengubur Jean hanya menggunakan alas kain. Mereka tak bisa membiarkan siapapun tahu tentang kematian Jean. Jason dan Lusiana membawa tubuh Jean keluar dari mobil. Lalu mereka merebahkan tubuh Jean di atas sebuah kain. Jason menatap Jean yang sudah sangat pucat tersebut. Tubuh Jean
Jean tiba di depan rumah Jason dengan perasaan yang gelisah. Ia segera memasuki pekarangan rumah itu. Saat itu matahari sudah mulai berada cukup tinggi. Jean membuka pintu yang tak terkunci tersebut. Tapi ia sama sekali tak bisa menemukan Jason. Jean pun berkeliling di rumah itu sendirian untuk mencari keberadaan Jason. Tangan Kanan yang belakangan ini selalu mengikutinya itu sudah kembali ke rumahnya. Jean bahkan sudah berpamitan dengan Tangan Kanan. Mereka tidak akan bertemu lagi karena semua masalah sudah selesai, lalu Jean pun akan kembali ke San Francisco.Setelah cukup lama mencari, Jean pun mulai lelah. Ia sama sekali tak menemukan sosok Jason di rumah tersebut. Jean memilih bersantai di sofa ruang tamu yang begitu menggoda. Jean meraih ponsel Watt yang ada di sakunya. Kemudian ia membuka semua gambar di galeri nya yang berisi kenangan tersebut. Jean menghela nafasnya yang terasa berat saat melihat fotonya bersama Watt di taman Tangan Kanan. Saat it
Jason kembali ke lantai atas setelah bermalam di ruang bawah tanah. Ia bergegas menuju halaman rumahnya. Pagi ini Jason merasakan semua beban di tubuhnya menghilang. Ia bisa tersenyum lepas menatap matahari yang masih malu-malu menampakan dirinya. Jason memejamkan matanya, merasakan sensasi udara pagi yang begitu segar. Lalu Lusiana muncul dari pintu dengan kondisi yang masih berantakan. Nampaknya wanita itu baru saja bangun dari tidurnya.Jason menghampiri Lusiana yang tersenyum ke arahnya. Sebenarnya Lusiana sempat marah padanya sejak insiden penjagalan anggota tim alpha. Namun sepertinya Lusiana sudah bisa melupakan semuanya saat ini."Bagaimana tidur mu?" Tanya Jason.Lusiana melebarkan senyumnya. "Sangat tenang dan nyaman."Jason juga melebarkan senyumnya. "Bagus lah jika begitu."Jason berdeham pelan. "Bagaimana jika kita jalan-jalan hari ini?"
Setengah jam setelah Tangan Kanan mengusulkan ide nya, kini mereka berada di luar rumah Holland. Dari bola mata mereka terlihat kobaran api yang besar. Ternyata mereka lebih memilih membakar bangunan itu daripada mengebom nya. Jean dan Tangan Kanan terus menatap rumah yang terbakar tersebut. Jean sudah menghubungi pemadam kebakaran 5 menit yang lalu. Orang-orang di sekitar juga sudah mulai berkerumun melihat kebakaran tersebut."Kau sudah menghafal dialog nya?" Bisik Tangan Kanan."Belum. Kau cukup menyamakan jawaban dengan ku, kan?" Jawab Jean dengan pelan.Tangan Kanan menganggukan kepalanya. Lalu ia melanjutkan melihat pemandangan si jago merah yang begitu gagah melahap bangunan tersebut. Tak lama kemudian mobil pemadam kebakaran tiba disusul dengan mobil polisi beberapa menit kemudian. Tangan Kanan menatap Jean sekilas sambil mengacungkan ibu jarinya. Jean juga mengacungkan ibu jarinya. 
Sudah lebih dari 5 menit tapi Franco masih terlalu jauh untuk mencapai tangga. Waktu sudah menunjukan pukul 3 p.m. Jason merasakan perutnya terasa sakit. Ia sama sekali belum memakan apapun selama pulang dari rumah sakit. Jason pun berjalan melewati Franco yang masih berusaha melarikan diri dengan cara melata seperti ular. Jason menghembuskan nafasnya pelan saat berada di samping Franco. Kemudian ia segera menaiki anak tangga itu dengan cepat meninggalkan Franco di ruang bawah tanah itu bersama anggota tim alpha yang sudah tewas.Jason keluar dari pintu yang ada di belakang kulkas. Ia segera menghampiri Lusiana yang sedang berdiri memandangi lantai yang bolong. Jason tersenyum manis pada Lusiana, namun Lusiana hanya menatapnya sekilas."Maafkan aku." Ujar Jason.Lusiana mengernyitkan dahinya. "Untuk apa?"Jason menarik sudut bibirnya. "Aku tak menjawab pertanyaan itu. Sekarang
Franco dan tim alpha yang baru masuk ke rumah Holland itu pun terkejut setelah menonton siaran ulang. Mereka yang mengira Walikota berada disini pun akhirnya memilih untuk segera pergi ke rumah Jason. Tujuan utama mereka hanyalah menyelamatkan Walikota. Jean dan Tangan Kanan yang semula panik kini mulai bisa menghembuskan nafasnya dengan lega. Franco dan tim alpha itu sudah pergi dari rumah tersebut. Seandainya tidak ada siaran langsung itu, mungkin Franco dan tim alpha akan memeriksa bangunan tersebut. Lalu mereka akan menemukan ketiga orang yang sudah di bunuh oleh Jason.Diluar gedung, Franco bersama tim alpha itu sedang menyusun strategi. Mereka harus menyelamatkan Walikota dan menangkap Jason. Franco mengeluarkan selembar kertas dan pulpen dari sakunya. Lalu Franco menggambarkan sesuatu."Kita semua ada 8 orang, kita akan bagi menjadi 4 kelompok. Aku akan datang dari arah gerbang depan. Lalu kelompok 2 dan 3 akan masuk lewat
Jason mengambil ponselnya, lalu ia beranjak ke kamarnya. Di dalam kamarnya, ia melihat walikota yang sedang meringsut di kasurnya. Jason masuk ke kamarnya, lalu mengunci pinter tersebut. Walikota itu sangat panik saat melihat Jason sudah ada di dalam bersama nya. Jason meletakan ponselnya di atas meja yang bisa menangkap seluruh kamarnya. Kemudian Jason mengenakan topeng yang pernah di beli nya sewaktu kecil. Setelah menggunakan topeng, Jason menekan layar ponselnya. Jason melambaikan tangannya ke kamera saat siaran langsung di mulai."Selamat siang semuanya." Sapa Jason sambil melambaikan tangannya.Jason dapat melihat banyak sekali komentar, tapi ia tak bisa membacanya karena jarak yang cukup jauh. Jason sedikit menggeser tubuhnya agar para penonton bisa melihat walikota yang sedang ketakutan."Aku tidak akan menyakiti pak walikota. Aku hanya akan menanyakan beberapa hal padanya." Ujar Jason.
Jean merasa sangat resah saat ini. Sudah lebih dari 2 jam saat Jason memutuskan untuk menjemput Franco dan Walikota. Seharusnya ia menembak mati Jason saat diminta. Namun rupanya ia sama sekali tak bisa menyingkirkan iblise kecil itu. Jadilah kini ia yang sangat resah karena Jason tak kunjung kembali. Hanya ada dua kemungkinan saat ini. Kemungkinan pertama Jason tertangkap, lalu kemungkinan kedua Jason mati di tempat. Jean menghela nafasnya dengan kasar. Ia menatap Tangan Kanan yang tengah fokus memakan sesuatu di mangkuk. Jean pun menarik mangkuk itu dan mengambil alihnya."Itu punya ku." Ujar Tangan Kanan.Jean mengedikan bahunya. "Mengalah dengan yang lebih tua."Tangan Kanan hanya bisa mendengus pelan menatap mie instan nya yang sudah habis tak tersisa di makan oleh seniornya tersebut. Tangan Kanan bangkit dari kursi nya, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Ia lupa jika d
"Kau pernah menjadi sopir Holland?" Tanya Jason.Tangan Kanan menganggukan kepalanya. Ia baru saja memberitahu Jason tentang masa lalunya. Asal usul keluarga nya dan bagaimana dia bisa mengenal Jean. Sebenarnya pertemuannya dengan Jason saat itu memang sudah di rencanakan bersama Jean. Tangan Kanan sengaja menemui Jason yang masih kecil itu untuk berteman dengannya."Lalu mengapa kau di undang ke permainan?" Tanya Jason.Tangan Kanan mengedikan bahunya. "Mungkin dia takut rahasianya terbongkar."Jason menganggukan kepalanya, itu bisa jadi alasan yang sangat masuk akal. Pasti Holland sangat takut rahasia besarnya terbongkar oleh Tangan Kanan."Apa Holland pernah membunuh seseorang?" Tanya Jason.Tangan Kanan mengangguk. "Aku pernah di perintahkan untuk mengubur seorang wanita yang di jadikan eksperimen olehnya."