Lusiana dan Han menatap Jason dari meja makan. Pagi ini sudah menjadi hari ketiga Jason berada di rumah Lusiana, pria tersebut memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Jason tengah duduk mengajar muridnya melalui zoom di ruang tamu. Sudah lebih dari seminggu Jason tidak bekerja. Ia disibukkan oleh naluri pembunuhnya, belum lagi beberapa kasus yang melibatkan Han.
"Hei jangan tidur!" Ujar Jason tiba-tiba.
Lusiana dan Han sempat terkaget karena nada bicara Jason yang sedikit meninggi. Jason melirik jam yang ada di tangannya.
"Lima menit lagi."
Jason menarik nafasnya.
"Rik, jika minggu depan tugas ini tidak selesai, kepala mu akan ku penggal." Ujar Jason.
Muridnya yang bernama Riko itu terlihat menggangguk lemah. Jason hanya menatap laptop nya tanpa ekspresi apapun. Lusiana menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia mungkin akan berhenti kuliah jika mendapatkan seorang dosen seperti Jason.
"Kau tahu pamanmu seorang dosen?" Tanya Lusiana pada Han.
Han menggeleng. "Aku hanya tahu paman seorang pengangguran."
Lusiana mengangguk setuju. Ia juga beranggapan bahwa Jason hanya seorang pengangguran karena seperti yang terlihat, Ia memiliki cukup banyak waktu senggang untuk membuat pinggang nya terluka. Han beranjak dari ruang makan menuju ruang tamu dengan membawa semangkuk sup. Ia duduk di sebelah Jason yang masih menatap tajam ke arah laptopnya.
"Paman.." ujar Han.
Jason menolehkan kepalanya dan tersenyum simpul. "Ya?"
Han menyodorkan mangkuk yang ada di tangannya. "Makan dulu paman."
Jason tersenyum dan meraih mangkuk tersebut. Melihat tingkah Jason yang seperti itu, semua mahasiswa melihatnya dengan bingung. Han menatap ke arah Laptop Jason dan melambaikan tangannya. Kemudian semua mahasiswa itu membalas lambaian tangannya. Jason mengalihkan tatapannya saat ekor matanya menangkap sesuatu yang tidak wajar.
"FOKUS!" Ujar Jason yang tanpa sengaja meninggikan suaranya.
Mendengar suara Jason yang seperti peringatan kematian itu, semua mahasiswa kembali fokus pada tugasnya masing-masing. Sedangkan Jason kembali fokus pada mangkuknya.
"Oh iya Han, kau mau bersekolah?" Tanya Jason tiba-tiba.
"Sekolah?" Tanya Han.
Jason menatap Han datar. "Siapa yang mengajari mu menjawab pertanyaan dengan pertanyaan?"
Han menundukan kepalanya. "Maaf paman."
Sedangkan Lusiana yang masih mengamati mereka dari meja makan hanya tersenyum prihatin.
"Hebat. Mereka lebih seperti sepasang kekasih daripada ayah dan anak."
~~~
Tepat pukul 1 siang, di kota San Francisco. Telah di temukan sesosok mayat dalam kondisi termutilasi. Kepolisian San Francisco kembali disibukan dengan kasus pembunuhan yang semakin marak di kota tersebut. Lion pun memutuskan untuk memanggil Jean ke ruangannya. Lion mengacak rambutnya gusar menatap semua foto dari korban pembunuhan yang baru saja terjadi.
Max.
Sosok yang baru saja akan mengambil tugas di sekitar Howard Street kini sudah tak bernyawa. Tubuhnya sudah terpotong dan di bungkus dengan plastik wrapping seperti daging di supermarket.
"Selamat siang."
Lion mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Rahangnya mengeras setelah melihat Jean yang masih bisa tersenyum ke arahnya.
"APA YANG KAU LAKUKAN SELAMA INI?!" Teriak Lion hingga suara nya bisa terdengar sampai luar ruangannya.
Jean menautkan kedua alisnya. "Aku melakukan tugas yang kau berikan."
Lion melemparkan semua foto yang ia dapat dari petugas yang ada di lokasi kejadian. "LALU BAGAIMANA KAU MENJELASKAN INI SEMUA? INI KELALAIAN MU DALAM BERTUGAS!"
Jean menganggukan kepalanya beberapa kali sambil tersenyum. "Kejadian ini bahkan berada cukup jauh dari Howard Street. Bagaimana bisa kau menyalahkan ku saat ada pembunuhan yang letaknya di luar pengawasan ku?"
"KAU--"
"Pindah tugaskan saja aku ke 505 Parnassus Ave agar kau bisa melempar kesalahan itu padaku. Aku tidak suka di salahkan dengan konyol seperti ini."
Setelah itu Jean keluar dari ruangan atasannya tersebut. Ia menutup pintu tersebut cukup keras. Dari luar ruangan, ia bisa mendengar umpatan umpatan dari atasannya tersebut. Sedangkan Jean hanya tersenyum miring dan bergegas pergi menuju parkiran. Ia harus secepat mungkin tiba di lokasi kejadian karena ada barangnya yang tertinggal.
Aglet.
Benda yang di pandang sebelah mata itu kini menjadi satu-satu nya bukti yang bisa menjebloskannya ke
penjara. Namun ia cukup yakin bahwa tidak akan ada yang memperdulikan benda tak berharga tersebut. Hanya orang dengan kecerdasan di atas rata-rata yang mengambil barang seperti itu untuk di jadikan barang bukti. Orang itu adalah Max yang secepat kilat sudah disingkirkan oleh sang pemilik barang bukti.Sesampainya di parkiran, ia memasuki Mercedes-Benz nya dan bergegas pergi menuju 505 Parnassus Ave sebelum lokasi tersebut di ramaikan oleh banyak detektif handal. Jean menancap gasnya ditemani oleh saluran berita di mobilnya dan juga senyuman.
"Terdapat sebuah rekaman CCTV di lokasi kejadian yang kini sudah di amankan oleh pihak kepolisian setempat.."
Senyumannya mendadak luntur saat mendengar rekaman CCTV. Sebelumnya Jean sudah memastikan bahwa ia sudah menghancurkan CCTV yang terletak di samping tiang listrik. Namun ia tidak tahu dimana lagi letak CCTV yang di maksud oleh berita tersebut.
"Sial.." gumamnya.
Ia menambahkan kecepatan mobilnya untuk tiba di Departemen Kepolisian Universitas California. Jean mengubah tujuannya karena ia harus segera mengambil atau menghancurkan rekaman CCTV tersebut.
~~~
"Kau tidak berguna!" Teriak seorang wanita.
Plak!
Xenovia mendengus kesal saat sebuah tamparan melayang di pipi kanan hingga meninggalkan bekas. Kini ia hanya bisa menundukan kepalanya dan mendengarkan semua ocehan wanita tersebut.
"Kau bodoh!!"
Xenovia menarik sebelah sudut bibirnya.
"Aku tidak akan membiayai hidupmu lagi!" Ujar wanita tersebut.
Xenovia mengangkat kepalanya dan mengangguk. "Baiklah."
Plak!
Tamparan mendarat di pipi kirinya. Kini kedua pipinya terasa panas, namun tidak sepanas hatinya saat ini.
"Jangan menjawab ku!"
Wanita tersebut menatap Xenovia dengan mata berapi-api. Ia melemparkan Cartwheel nya dengan asal. Kemudian ia meraih pisau yang berasa di dekatnya. Xenovia hanya menatap datar ke arah wanita tersebut tanpa perasaan takut.
Wanita itu mengarahkan pisaunya tepat di leher Xenovia. "Hewan yang tidak berguna harus segera di musnahkan."
Xenovia menggeser pisau tersebut dengan tangannya. "Hewan yang tidak berguna menjadi tidak berguna karena pemilik nya yang sangat tidak berguna."
Wanita itu menatap Xenovia dengan tajam. Nafasnya mulai tak beraturan karena emosi yang sudah hampir mencapai batasnya.
"K-kau..!!"
Xenovia melenggang pergi dari hadapan wanita tersebut. Wanita itu tak tinggal diam. Ia berjalan mendekati Xenovia dan hendak menyerangnya dari belakang. Namun Xenovia bukanlah seorang amatiran yang bisa dibunuh dengan cara tersebut. Xenovia berbalik dan menangkis pisau tersebut dengan tasnya hingga pisau itu terpental.
Kemudian Xenovia mendekati wanita tersebut. Xenovia menarik kedua sudut bibirnya hingga menampilkan jajaran giginya dengan mata yang melebar.
"Sudah lama aku tidak membunuh." Gumam Xenovia.
Wanita itu ikut tersenyum nyaris sama dengan Xenovia. "Membunuh adalah keahlianku."
Wanita itu melepas jepit rambut yang terpasang indah di rambutnya. Jepit rambut itu ternyata adalah sebuah pisau lipat. Xenovia mendengus sebal karena jepit rambut produknya sangat diminati oleh wanita-wanita yang menyebalkan.
Xenovia pun ikut melepas jepit rambutnya yang merupakan edisi terbaru untuk tahun ini.
"Aku sangat kecewa saat tahu kau akan membunuhku dengan produk lama." ujar Xenovia.
Wanita itu mendecih dan melempar pisau tersebut ke arah wajah Xenovia. Sedangkan Xenovia sudah sangat terbiasa dengan situasi tersebut. Ia pun menendang benda tajam itu hingga terpental cukup jauh. Xenovia tersenyum penuh kemenangan saat melihat wajah panik tercetak jelas pada wanita di hadapannya.
"Amatir." ejek Xenovia.
Xenovia pun maju selangkah menuju wanita di hadapannya.
"Pembunuh itu--"
Jleb!
Sebuah panah sukses menembus daun telinga Xenovia membuat nya menjatuhkan pisau lipat yang ada di tangannya. Pendarahan hebat pun di alami oleh Xenovia.
Wanita itu pun tersenyum. "Pembunuh itu harus panda memainkan otaknya."
Xenovia merasakan telinga nya yang terasa sangat sakit. Kemudian disusul oleh kepalanya yang pusing dan ia juga mulai merasa mual. Pandangan Xenovia mulai kabur hingga ia matanya mulai terlihat sayu.
"Wow.. Adenium bekerja sangat cepat." gumam wanita tersebut.
Xenovia yang mulai berada di bawah kendali racun Adenium pun akhirnya harus terkulai lemah di lantai. Xenovia melupakan sebuah fakta bahwa ibu nya tersebut adalah pengguna racun dalam setiap kegiatannya.
"Mimpi indah, putri ku." ujar Eliza sambil mengelus kepala anaknya tersebut.
Eliza menyeret tubuh putri nya tersebut menuju ruangan tak terpakai. Ia memang selalu membeli rumah dengan banyak kamar untuk melakukan hobi nya. Salah satu hobi nya adalah menghukum anaknya.
"Niko, cepat pulang. Mama merindukanmu." ujar Eliza pada seseorang di telepon.
Setelah mendapat respon memuaskan, Eliza menutup panggilan tersebut d akhiri dengan senyum lebarnya.
"Kematian apa yang cocok untuk anak anak pembangkang?"
To be continue...Jason tiba di depan bangunan tua yang dihuni oleh ibu nya. Sudah lebih dari dua tahun Jason tidak menginjakan kakinya di lingkungan tersebut. Menurutnya, rumah ini merupakan tempat terkutuk bagi siapapun yang memasuki nya. Mereka tidak akan keluar dari rumah tersebut, bagai terpenjara atau bahkan terkubur di dalamnya. Namun kutukan itu tidak berlaku bagi Jason.Jason membuka pintu kayu tersebur dengan perlahan. Suara decitan kayu yang di hasilkan dari pintu terdengar begitu menyedihkan. Bau amis yang biasa ia cium dirumahnya mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya."Anak ku.." seru Eliza yang sudah duduk cantik di ruang tamu.Jason menghampiri Eliza dan memberikan sekantung plastik sayur mayur. Sudah menjadi rutinitasnya membawa sayuran ketika mengunjungi Eliza, karena ibu nya itu selalu memasak sup ketika Jason berkunjung.Eliza meraih plastik tersebut dan ekspresi wajahnya mendadak kecewa."Wortelnya sudah tidak segar." Protes Eliza."Aku bahka
Setelah tiga hari menunda kedatangannya ke kantor polisi, kini Jean mendatangi kantor polisi tepat pukul 7 malam. Jean memasuki kantor polisi yang telah lebih dahulu mengamankan rekaman CCTV di lokasi kejadian. Nampak tim Investigasi sedang berkumpul sambil mengamati layar proyektor. Jean mengetuk pintu yang sudah terbuka itu untuk memberitahu kedatangannya. Rekaman di layar proyektor itu berhenti, lalu semua kepala menoleh ke arahnya."Selamat datang, Detektif Jean." sapa kepala tim Investigasi sambil berjalan ke arahnya.Jean melirik badge nama detektif tersebut. "Senang bertemu denganmu, Detektif Wirard."Detektif bernama Wirard itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya. Jean membalas uluran tangan Wirard sejenak kemudian melepaskannya. Wirard mempersilahkan Jean untuk bergabung menonton rekaman CCTV yang ada di layar."Dimana letak CCTV yang merekam kejadian ini? Bukankah semua CCTV terdekat sudah di rusak?" tanya Jean.Wirard mengangguk. "Ya,
Untuk pertama kalinya Jason berlari di tengah malam. Jason berlari mengejar Han yang sudah meninggalkan rumahnya. Entah sejak kapan manusia mampu berlari kencang dengan sebelah kakinya. Jason pun tidak tau kemana Han akan pergi, mengingat anak tersebut tidak punya tempat tujuan. Hanya ada satu tempat yang menjadi tujuan Jason saat ini. Rumah sakit tempat Lusiana bekerja. Entah mengapa hanya tempat itu yang terlintas di kepalanya. Jason mengubah langkah kakinya menuju rumahnya untuk mengambil mobil. Jason meraih kunci mobil yang selalu berada di sakunya. Ia memang selalu menyimpan kunci mobil di saku agar mudah di jangkau saat darurat seperti ini.“Anak nakal..” gumam Jason di dalam mobilnya.Ia segera tancap gas menuju rumah sakit tujuannya. Pikirannya melayang entah kemana. Ia memikirkan Han dan Keisha di saat bersamaan. Disebabkan pikirannya yang kacau, Jason mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Ia melewati rambu lalu lintas yang berwarna merah hingga
Jason dan Lusiana sudah berada di dalam mobil. Seperti yang Jason katakan sebelumnya, ia akan mengantar Lusiana pulang."Siapa anak yang ada di foto tadi?" Tanya Jason.Lusiana terdiam sejenak. "Adik ku."Jason menganggukan kepalanya. Kemudian ia kembali fokus menyetir BMW kesayangannya tersebut. Sedangkan Lusiana diam diam memperhatikan Jason dengan saksama.Lusiana berdeham pelan. "Kau bilang kaki Han terluka kan?"Jason hanya mengangguk."Kau mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata untuk mengejar anak yang kaki nya terluka. Kemudian kau menabrak anak tersebut di sebuah jalan kecil yang tidak jauh dari rumah sakit. Bukan kah ada yang janggal?" Ujar Lusiana.Jason menurunkan kecepatan mobilnya. Kemudian ia menoleh ke arah Lusiana. Ia berpikir sejenak, lalu ia juga menemukan kejanggalan tersebut.Lusiana mengangguk mantap dengan mata berapi-ali. "Kematiannya pasti sudah di rencana kan."Jason masih terdiam, ia tengah
Sinar matahari menyorot Jason yang sedang menelusuri jalan tanpa mobil kesayangannya. Tanpa berpikir panjang ia segera pergi dari rumahnya, meninggalkan sang ayah yang berhasil membuatnya seperti orang kesetanan. Entah ia akan pergi kemana saat ini. Ia hanya mengikuti kemana dua kakinya akan melangkah. Jason menyeka darah yang sedikit keluar dari luka di pipinya dengan tangan kiri. Ia menatap tangan kanan nya yang sudah tak ada di tempatnya lagi. Orang-orang di sekitar menatap Jason dengan tatapan merendahkan, bukan tatapan sedih atau semacamnya."Apa dia korban penculikan?""Seram.""Apa kau tidak kasihan? Coba tanya apa yang terjadi.""Kau saja.""Jangan dekati dia."Jason dapat merasakan tatapan jijik dan takut dari orang-orang tersebut. Ia menolehkan kepalanya, serentak orang-orang itu bergegas pergi sambil terus mencemooh keadaannya. Jason meraba celananya, namun ia tak menemukan ponsel atau pun dompet disana. Ia meninggalkan semua barangnya
Franco terdiam sejenak, keringat dingin mengalir dari dahinya. Secepat kilat, Franco mampu merubah ekspresinya. Sebisa mungkin ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan yang natural. Walaupun sebenarnya jantungnya sudah berdetak tak karuan karena tatapan dari ketiga dokter di hadapannya."Aku kesulitan mencari ruang administrasi." Ujar Franco.Dokter penengah itu mengernyitkan dainya. "Bukankah ruang administrasi ada di lantai 1?"Dokter yang sedari tadi diam ikut mengangguk setuju."Aku tidak dapat menemukannya, yang aku lihat hanya lautan manusia di lantai 1." Jelas Franco.Ketiga dokter itu menganggukan kepalanya."Sudah lebih dari lima hari ini rumah sakit memang di penuhi oleh manusia. Angka kematian di Chicago menjadi meningkat pesat, dan tentunya kami kekurangan istirahat." Jelas dokter penengah itu sambil tersenyum."Mari kami antar." Lanjutnya.Setelah itu tak ada perbincangan apapun lagi, karena pintu lift sudah t
Jason menatap makanan di meja tanpa gairah apa pun. Sudah tiga hari ia berada di rumah Lusiana, dan semua makanannya selalu sama.Nasi Goreng.Ia menoleh ke arah Lusiana yang berada di hadapannya. Gadis itu nampak tengah menikmati makanannya. Lusiana yang menyadari Jason tidak menikmati makanannya pun mendengus pelan."Cepat makan. Sarapan itu perlu agar kau cepat pulih." Ujar Lusiana.Jason hanya menarik sebelah sudut bibirnya hingga menampakan senyum yang di paksakan. Lusiana bangkit dari kursi nya dan pindah ke sebelah Jason."Apa mau mu?!" Tanya Jason dengan kaget.Lusiana meletakan telunjuknya di bibir Jason. Kemudian ia menyendok nasi goreng yang ada di piring Jason, lalu ia melahapnya.Setelah itu Lusiana menatap Jason sambil tersenyum dengan mulut yang penuh makanan."Amwan.." ujar Lusiana sambil mengacungkan ibu jarinya.Jason mengernyitkan dahinya. "Apa?"Sebisa mungkin Lusiana segera menelan semua nasi goreng yan
Jean membuka matanya setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam. Tubuhnya terasa nyeri karena tidur dalam posisi duduk dalam waktu yang cukup lama. Jean di sambut oleh senyuman dari rekan kerja lamanya, Watt. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan tersebut. Semuanya bangunan ini terbuat dari kayu. Ia sadar bahwa ia sekarang sedang berada di xebuah kabin tua. Kabin ini dulu nya merupakan laboratorium milik Jean. Namun sejak ia berhasil masuk ke dalam Departemen Kepolisian, Ia menitipkan labpratprium itu kepada Watt dan Nancy yang merupakan teman lamanya. Jean menarik salah satu sudut bibirnya membentuk senyum miring yang dipaksakan.“Teman memiliki potensi paling besar dalam hal pengkhianatan.” Ujar Jean.Watt tersenyum dan menyodorkan segelas air pada Jean. “Kau pasti haus.”Jean meraih gelas tersebut dan menciumnya. “Heh... bau ricin.”Watt tersenyum mendengar ucapan Jean. “Penciuman mu boleh juga, kawan.”“Kau masih bisa memanggilku kawan sa