Setelah tiga hari menunda kedatangannya ke kantor polisi, kini Jean mendatangi kantor polisi tepat pukul 7 malam. Jean memasuki kantor polisi yang telah lebih dahulu mengamankan rekaman CCTV di lokasi kejadian. Nampak tim Investigasi sedang berkumpul sambil mengamati layar proyektor. Jean mengetuk pintu yang sudah terbuka itu untuk memberitahu kedatangannya. Rekaman di layar proyektor itu berhenti, lalu semua kepala menoleh ke arahnya.
"Selamat datang, Detektif Jean." sapa kepala tim Investigasi sambil berjalan ke arahnya.
Jean melirik badge nama detektif tersebut. "Senang bertemu denganmu, Detektif Wirard."
Detektif bernama Wirard itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya. Jean membalas uluran tangan Wirard sejenak kemudian melepaskannya. Wirard mempersilahkan Jean untuk bergabung menonton rekaman CCTV yang ada di layar.
"Dimana letak CCTV yang merekam kejadian ini? Bukankah semua CCTV terdekat sudah di rusak?" tanya Jean.
Wirard mengangguk. "Ya, semuanya rusak. Beruntungnya kami menemukan sebuah CCTV yang ada di samping tempat sampah."
"Apakah pelaku hanya terlihat dari belakang?" tanya Jean.
Wirard mempercepat rekaman tersebut. "Di menit ke tujuh terlihat pelaku menolehkan kepalanya. Tapi belum sempat terlihat, rekaman tiba-tiba mati."
Jean tersenyum kecil hingga tak seorang pun menyadari nya.
"Sepertinya ia tidak bergerak sendirian." gumam salah satu polisi.
Jean mengangguk. "Temannya pasti yang merusak CCTV tersebut."
Semua anggota tim Investigasi mengangguk setuju. Jean menghela nafasnya saat mengingat aksinya tersebut.
"Max, harusnya kau menutup matamu."
Max nampak meringis sambil memegang sebelah telinga nya yang sudah tidak ada. Ia merangkak menjauhi Jean yang pelahan mendekatinya. Akibat benturan keras antara lututnya dengan linggis, kini Max tidak bisa menggunakan kakinya untuk berjalan atau bahkan berdiri. Jean mengeluarkan sebuah suntikan bekas yang ia temukan di laci meja kerjanya.
"Jangan mendekat!" ujar Max.
Bukannya menurut, Jean mempercepat langkahnya hingga kini ia berada di hadapan Max.
"Larilah.." gumam Jean pelan nyaris tak terdengar.
Max menggelengkan kepalanya. "Jangan!"
Jean tak bisa menahan senyumannya. Ia menggerakan suntikan tersebut layaknya pesawat terbang.
"Wushhh.." gumam Jean menirukan suara angin sambil menggerakan suntikan tersebut seolah sedang terbang.
"Awas matamu!"
Jleb!
Jarum suntik itu sukses mendarat di bola mata Max. Pria itu menjerit sambil memegangi suntikan yang menancap di matanya.
"Detektif.."Jean memulihkan kesadarannya saat seseorang memanggilnya. Jean sedari tadi nampak tersenyum hingga membuat seisi ruangan itu kebingungan. Jean berdeham dan menghapus senyum yang ada di wajahnya.
"Maaf, aku tiba-tiba mengingat ulang tahun anak ku."
~~~
Lusiana tiba di depan rumah Jason. Ia mendapatkan alamat itu lewat data yang di kirim oleh Franco. Lusiana merapihkan pakaiannya dan berulang kali mengatur senyum di wajahnya. Lusiana menekan bel yang ada di dekat pintu.
Tanpa menunggu waktu lama, pintu itu pun terbuka. Nampak Jason dengan wajah tanpa ekspresi nya.
"Bagaimana kau tahu alamat ku?" tanya Jason.
Lusiana berdeham. "Data rumah sakit."
"Maaf aku tidak bisa membawa masuk wanita ke rumahku." ujar Jason sambil mendorong pintu tersebut.
Lusiana menahan pintu tersebut. "Tunggu!"
Jason menatap tajam ke arah Lusiana. "Pergi."
Lusiana menggeleng, lalu ia mendorong pintu tersebut agar terbuka. Namun tenaga Jason lebih besar hingga pintu itu tak bergerak sedikit pun.
"Aku hitung sampai tiga."
Lusiana masih tidak bergerak, ia terus mendorong pintu tersebut agar terbuka.
"Satu."
Lusiana masih terus mendorong pintu tersebut.
"Dua."
Tiba-tiba Han muncul dari belakang tubuh Jason.
"Dokter Lusiana!"
Berkat bocah itu Lusiana bisa masuk ke dalam rumah Jason. Sedangkan si pemilik rumah itu menatapnya dengan tajam. Lusiana berusaha tidak memperdulika tatapan tajam itu dan terus berbincang dengan Han.
"Bagaimana kondisi kepalamu?" tanya Lusiana.
Han mengetuk pelan kepalanya. "Sudah keras kembali."
Lusiana terkekeh melihat tingkah bocah tersebut. Namun Lusiana baru menyadari bahwa Han mengenakan tongkat kruk untuk membantunya berjalan.
"Apa yang terja-?" tanya Lusiana.
"Jika tidak ada yang penting, kau boleh pulang. Sudah hampir larut malam." potong Jason.
Lusiana melirik jam dinding yang ada di rumah di dekatnya. Jarum pendek nya baru menunjuk ke angka sembilan. Ia masih memiliki banyak waktu untuk berbincang.
"Aku akan pulang tepat pukul sepuluh." ujar Lusiana.
Jason menganggukan kepalanya. "Han, tutup pintu saat dia sudah pulang. Aku ingin beristirahat di kamar."
Han mengacungkan ibu jari nya. Kemudian Jason melenggang pergi menuju kamarnya yang tidak terlalu jauh dari ruang tamu. Sesampainya di kamar, Jason tidak segera beranjak ke ranjangnya. Ia menarik salah satu kursi dan duduk di dekat pintu. Ia dapat mendengar percakapan kedua orang tersebut.
"Apa paman mu itu orang baik?" Tanya Lusiana.
Jason mendecih mendengar pertanyaan wanita tersebut.
"Tentu saja baik. Kalau paman orang jahat, mungkin aku sudah ada di kuburan saat ini." Jawab Han.
Jason tersenyum saat mendengar jawaban anak asuhnya tersebut.
"Benar." Gumam Jason.
Lusiana terdengar tertawa mendengar jawaban dari Han. Setelah itu tak terdengar percakapan apapun antara mereka berdua. Jason sedikit membuka pintu kamarnya untuk melihat apa yang di lakukan mereka.
"Tidak beristirahat?"
Jason terjatuh dari ke belakang bersama kursinya. Baru saja ia ingin mengintip lewat celah pintu, tapi wajah Lusiana sudah berada tepat di depannya. Jason bangkit dan membetulkan pakaiannya yang sedikit terangkat.
"Kau tidak mau pulang?" Tanya Jason.
Lusiana menolehkan kepalanya ke arah jam dinding. Kurang tiga menit lagi waktu akan segera menunjukan pukul 10 malam.
"Ya, segera." Jawab Lusiana sambil menganggukan kepalanya.
Jason pun ikut menganggukan kepalanya. "Bagus. Cepat pulang sebelum pintu ku terkunci permanen."
Lusiana memicingkan matanya. "Apa ini semacam godaan orang kaya?"
Jason mendengus dan menutup pintu nya sekencang mungkin. Sedangkan diluar kamarnya, Lusiana tertawa melihat tingkah Jason.
~~~
Tepat tengah malam, Jason melangkahkan kakinya ke ruang bawah tanah. Ia harus segera memeriksa kondisi peliharaannya. Terutama boneka beruang karya pertama nya. Jason melewati tangga yang berwarna merah karena lampu di sekitarnya. Sesampainya disana, Ruangan rahasia itu tidak terkunci. Pintu terbuka sangat lebar dan sistem keamanan sudah tergeletak di lantai.
Jason segera menghambur masuk ke dalam ruangan tersebut. Kemudian ia menekan sebuah tombol di lantai yang mengarahkannya pada ruangan rahasia sesungguhnya. Kondisi disana sudah sangat kacau. Rahangnya mengeras, kedua mata nya terbuka lebar saat melihat peliharaannya sudah tergeletak di lantai. Jason mendekati peliharaannya tersebut, darah sudah mengalir hingga menggenang di lantai. Jason tanpa sadar mengepalkan tangannya yang sudah berlumuran darah itu. Kemudian ia terfikirkan bocah yang ia ubah menjadi Ryan.
"Jangan.."
Lagi-lagi ia melihat ruangan tempat bocah itu berada sudah terbuka lebar. Ia tidak menemukan sosok yang dicarinya. Hanya ditemukan sebuah surat yang bertuliskan
'Siksaan yang paling mengerikan adalah sendirian'
Kemudian Jason melihat lembar berikutnya dari surat tersebut.
'Berhenti bermain karena kau bukan lagi anak kecil'
'Kau orang dewasa yang tidak berguna'
'Matilah'
'Kau ingin bertemu Keisha, bukan?'
Genggaman Jason melemah hingga kertas itu melayang jatuh ke lantai. Tubuhnya bergetar, lututnya melemas hingga tak mampu menopang berat tubuhnya. Jason pun jatuh ke lantai sambil menutup kedua telinganya.
"Ke-Keisha.."
Jason menitikan air matanya namun ia tertawa. "Kei..sha.."
Tuk tuk tuk.
Jason menolehkan kepalanya mendengar sesuatu dari belakangnya. Ia melihat Han yang sudah berada di bawah tangga yang mengarahkannya ke ruang rahasia. Kini Han menatapnya dengan ekspresi yang sulit di artikan.
"Ini tidak seperti-"
"AAAAAAAAAA!!!"
To be continue..Untuk pertama kalinya Jason berlari di tengah malam. Jason berlari mengejar Han yang sudah meninggalkan rumahnya. Entah sejak kapan manusia mampu berlari kencang dengan sebelah kakinya. Jason pun tidak tau kemana Han akan pergi, mengingat anak tersebut tidak punya tempat tujuan. Hanya ada satu tempat yang menjadi tujuan Jason saat ini. Rumah sakit tempat Lusiana bekerja. Entah mengapa hanya tempat itu yang terlintas di kepalanya. Jason mengubah langkah kakinya menuju rumahnya untuk mengambil mobil. Jason meraih kunci mobil yang selalu berada di sakunya. Ia memang selalu menyimpan kunci mobil di saku agar mudah di jangkau saat darurat seperti ini.“Anak nakal..” gumam Jason di dalam mobilnya.Ia segera tancap gas menuju rumah sakit tujuannya. Pikirannya melayang entah kemana. Ia memikirkan Han dan Keisha di saat bersamaan. Disebabkan pikirannya yang kacau, Jason mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Ia melewati rambu lalu lintas yang berwarna merah hingga
Jason dan Lusiana sudah berada di dalam mobil. Seperti yang Jason katakan sebelumnya, ia akan mengantar Lusiana pulang."Siapa anak yang ada di foto tadi?" Tanya Jason.Lusiana terdiam sejenak. "Adik ku."Jason menganggukan kepalanya. Kemudian ia kembali fokus menyetir BMW kesayangannya tersebut. Sedangkan Lusiana diam diam memperhatikan Jason dengan saksama.Lusiana berdeham pelan. "Kau bilang kaki Han terluka kan?"Jason hanya mengangguk."Kau mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata untuk mengejar anak yang kaki nya terluka. Kemudian kau menabrak anak tersebut di sebuah jalan kecil yang tidak jauh dari rumah sakit. Bukan kah ada yang janggal?" Ujar Lusiana.Jason menurunkan kecepatan mobilnya. Kemudian ia menoleh ke arah Lusiana. Ia berpikir sejenak, lalu ia juga menemukan kejanggalan tersebut.Lusiana mengangguk mantap dengan mata berapi-ali. "Kematiannya pasti sudah di rencana kan."Jason masih terdiam, ia tengah
Sinar matahari menyorot Jason yang sedang menelusuri jalan tanpa mobil kesayangannya. Tanpa berpikir panjang ia segera pergi dari rumahnya, meninggalkan sang ayah yang berhasil membuatnya seperti orang kesetanan. Entah ia akan pergi kemana saat ini. Ia hanya mengikuti kemana dua kakinya akan melangkah. Jason menyeka darah yang sedikit keluar dari luka di pipinya dengan tangan kiri. Ia menatap tangan kanan nya yang sudah tak ada di tempatnya lagi. Orang-orang di sekitar menatap Jason dengan tatapan merendahkan, bukan tatapan sedih atau semacamnya."Apa dia korban penculikan?""Seram.""Apa kau tidak kasihan? Coba tanya apa yang terjadi.""Kau saja.""Jangan dekati dia."Jason dapat merasakan tatapan jijik dan takut dari orang-orang tersebut. Ia menolehkan kepalanya, serentak orang-orang itu bergegas pergi sambil terus mencemooh keadaannya. Jason meraba celananya, namun ia tak menemukan ponsel atau pun dompet disana. Ia meninggalkan semua barangnya
Franco terdiam sejenak, keringat dingin mengalir dari dahinya. Secepat kilat, Franco mampu merubah ekspresinya. Sebisa mungkin ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan yang natural. Walaupun sebenarnya jantungnya sudah berdetak tak karuan karena tatapan dari ketiga dokter di hadapannya."Aku kesulitan mencari ruang administrasi." Ujar Franco.Dokter penengah itu mengernyitkan dainya. "Bukankah ruang administrasi ada di lantai 1?"Dokter yang sedari tadi diam ikut mengangguk setuju."Aku tidak dapat menemukannya, yang aku lihat hanya lautan manusia di lantai 1." Jelas Franco.Ketiga dokter itu menganggukan kepalanya."Sudah lebih dari lima hari ini rumah sakit memang di penuhi oleh manusia. Angka kematian di Chicago menjadi meningkat pesat, dan tentunya kami kekurangan istirahat." Jelas dokter penengah itu sambil tersenyum."Mari kami antar." Lanjutnya.Setelah itu tak ada perbincangan apapun lagi, karena pintu lift sudah t
Jason menatap makanan di meja tanpa gairah apa pun. Sudah tiga hari ia berada di rumah Lusiana, dan semua makanannya selalu sama.Nasi Goreng.Ia menoleh ke arah Lusiana yang berada di hadapannya. Gadis itu nampak tengah menikmati makanannya. Lusiana yang menyadari Jason tidak menikmati makanannya pun mendengus pelan."Cepat makan. Sarapan itu perlu agar kau cepat pulih." Ujar Lusiana.Jason hanya menarik sebelah sudut bibirnya hingga menampakan senyum yang di paksakan. Lusiana bangkit dari kursi nya dan pindah ke sebelah Jason."Apa mau mu?!" Tanya Jason dengan kaget.Lusiana meletakan telunjuknya di bibir Jason. Kemudian ia menyendok nasi goreng yang ada di piring Jason, lalu ia melahapnya.Setelah itu Lusiana menatap Jason sambil tersenyum dengan mulut yang penuh makanan."Amwan.." ujar Lusiana sambil mengacungkan ibu jarinya.Jason mengernyitkan dahinya. "Apa?"Sebisa mungkin Lusiana segera menelan semua nasi goreng yan
Jean membuka matanya setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam. Tubuhnya terasa nyeri karena tidur dalam posisi duduk dalam waktu yang cukup lama. Jean di sambut oleh senyuman dari rekan kerja lamanya, Watt. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan tersebut. Semuanya bangunan ini terbuat dari kayu. Ia sadar bahwa ia sekarang sedang berada di xebuah kabin tua. Kabin ini dulu nya merupakan laboratorium milik Jean. Namun sejak ia berhasil masuk ke dalam Departemen Kepolisian, Ia menitipkan labpratprium itu kepada Watt dan Nancy yang merupakan teman lamanya. Jean menarik salah satu sudut bibirnya membentuk senyum miring yang dipaksakan.“Teman memiliki potensi paling besar dalam hal pengkhianatan.” Ujar Jean.Watt tersenyum dan menyodorkan segelas air pada Jean. “Kau pasti haus.”Jean meraih gelas tersebut dan menciumnya. “Heh... bau ricin.”Watt tersenyum mendengar ucapan Jean. “Penciuman mu boleh juga, kawan.”“Kau masih bisa memanggilku kawan sa
Jason menjauhkan wajahnya dari pria tersebut. Kemudian ia kembali beralih pada anak kecil yang menjadi alasannya datang ke tempat ini. Jason membantu anak itu untuk bangkit dengan cara memapahnya. Namun akhirnya laki-laki yang berperan sebagai penonton itu mulai bergerak. Ia menghalangi jalan yang hendak di lalui Jason. Hal itu sama sekali tak mengganggu nya, ia hanya tersenyum pada pria tersebut.“Kau boleh pergi, tapi tidak dengan anak ini.” Ujar pria itu sambil berusaha mengambil anak tersebut.Senyum Jason pudar berganti dengan tatapan tajam. “Lepas.”Pria tersebut nampaknya tak menghiraukan ucapan Jason. Ia masih terus berusaha menarik anak tersebut. Jason menghela nafas panjang sambil mengambil sesuatu dari saku kemejanya. Ia masih terus memperhatikan gerak-gerik pria tersebut dengan tatapan tajamnya. Hingga pria itu bisa mengambil apa yang ia inginkan. Jason menarik sebelah sudut bibirnya saat melihat anak itu sudah berada di tangan lawannya.Pri
Jason mengendarai mobil Lusiana menuju rumah sakit. Ia sudah berjanji untuk menjemput Lusiana di rumah sakit. Jason mengendarai mobil tersebut dengan tubuh yang masih bergetar. Ia berdeham beberapa kali saat suaranya tak kunjung keluar. Jason masih tak terbiasa saat melihat foto masa lalu nya itu. Walau ia bersikap biasa saja, namun tubuhnya selalu merespon secara berlebihan. Terlalu sibuk dengan pikirannya, hingga tanpa terasa Jason sudah berada di kawasan rumah sakit. Jason memicingkan matanya saat melihat Lusiana yang tengah berjalan beriringan dengan seorang pria. Jason mendesis pelan saat menyadari bahwa pria itu adalah Franco. Jason segera keluar ddari mobil yang belum terparkir denga rapih tersebut.Jason bersama langkah besarnya pun menghampiri Lusiana yang terlihat sedang tertawa bahagia. Jason berdeham saat sudah ada di hadapan mereka. Lusiana menatap Jason dengan datar, seolah tak mengharapkan kedatangannya. Franco yang melihat kedatangan Jason pun dengan terpaksa m