Jason dan Lusiana sudah berada di dalam mobil. Seperti yang Jason katakan sebelumnya, ia akan mengantar Lusiana pulang.
"Siapa anak yang ada di foto tadi?" Tanya Jason.
Lusiana terdiam sejenak. "Adik ku."
Jason menganggukan kepalanya. Kemudian ia kembali fokus menyetir BMW kesayangannya tersebut. Sedangkan Lusiana diam diam memperhatikan Jason dengan saksama.
Lusiana berdeham pelan. "Kau bilang kaki Han terluka kan?"
Jason hanya mengangguk.
"Kau mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata untuk mengejar anak yang kaki nya terluka. Kemudian kau menabrak anak tersebut di sebuah jalan kecil yang tidak jauh dari rumah sakit. Bukan kah ada yang janggal?" Ujar Lusiana.
Jason menurunkan kecepatan mobilnya. Kemudian ia menoleh ke arah Lusiana. Ia berpikir sejenak, lalu ia juga menemukan kejanggalan tersebut.
Lusiana mengangguk mantap dengan mata berapi-ali. "Kematiannya pasti sudah di rencana kan."
Jason masih terdiam, ia tengah memikirkan siapa yang ada di balik kematian Han.
"Mana mungkin anak yang kakinya terluka bisa menyamakan kecepatan mobil mahal ini." Lanjut Lusiana.
Jason menoleh ke arah Lusiana dengan tatapan tajamnya.
"Apa kau yang ada di belakang ini semua?"
Lusiana menggelengkan kepalanya. "Aku hanya menebak."
Jason memicingkan matanya. "Terlalu kentara."
"Kau menuduhku?!" Tanya Lusiana dengan suara yang meninggi.
Jason tersenyum, kemudian ia menepikan mobilnya di sisi jalan. Ia menatap Lusiana dengan senyum lebarnya.
"Aku melihat semuanya."
~~~Di pagi hari nya, Jason di datangi oleh tamu yang sangat tidak ia harapkan. Sosok ayahnya yang muncul tiba-tiba di rumahnya itu mampu menurunkan mood Jason di pagi hari yang cerah. Ayahnya nampak tak keberatan dengan tatapan tak suka yang terpancarkan dari mata putranya tersebut.
"Keluar." Gumam Jason.
Ayahnya tersebut hanya tersenyum. "Kau tidak merindukan ku, Nik?"
Jason menarik nafasnya dalam, ia mencoba meredakan emosi yang hampir meledak. Ia bergegas pergi meninggalkan ayahnya yang tengah bersandar di sofa ruang tamu.
"Nik. Aku tidak main-main dengan ucapanku." Ujar Ayahnya sambil menyesap kopi yang ada di meja.
Jason menghentikan langkahnya dan berbalik. "Berhenti mengatur hidupku."
"HAHAHAHAA!!" Ayahnya tertawa cukup keras.
"Kau.. hidup mu berada di ujung jari ku." Ujar sang Ayah di sela tawanya.
"Jauhi dokter itu."
Ayahnya bangkit dan berjalan ke hadapan Jason. Ia mengeluarkan sebuah stun gun dan berusaha melayangkannya ke arah Jason. Namun anaknya tersebut cukup lincah untuk menghindari gerakannya. Jason memukul lengan Ayahnya hingga stun gun itu terpental.
"Seharusnya kau mati saat itu." Ujar Ayahnya sambil tersentum lebar dengan mata melotot.
Tubuh Jason bergetar, ia sudah tak bisa menahan emosinya. Tanpa berkata apapun, ia segera melayangkan pukulan ke wajah sang ayah, namun dapat ditangkis begitu saja. Ayahnya tersenyum kemudian memelintir lengan putranya. Jason menahan rasa sakit yang ada di tangannya.
"Lepaskan atau kau akan mati!" Teriak Jason memenuhi ruangan tersebut.
Ayahnya tak menghiraukan ucapan putranya. Hal tersebut membuat Jason menarik paksa tangannya.
Kletak!
Jason menatap tangan kanannya yang sudah berada di lantai dengan tatapan yang sulit di artikan. Sedangkan sang Ayah tertawa puas melihat keadaan anaknya yang hanya memiliki sebelah tangan. Jason berjongkok dan mengambil tangannya tersebut. Ia melirik ayahnya yang nampak sedang lengah.
Bugh!!
Ia memukul wajah ayahnya dengan tangan palsu yang yang sudah rusak tersebut. Pukulan yang cukup keras itu membuat sudut bibir ayahnya robek hingga mulai mengeluarkan darah segar. Sang ayah yang nampak tak terima pun mengambil sebuah pisau buah yang tergeletak di meja. Kemudian ia mengarahkan pisau tersebut ke mata Jason. Namun Jason mampu menghindar, tapi pipi nya tergores pisau tersebut.
Jason menyeka darah yang keluar dari luka di pipi nya. "Pergilah."
"Kau menyerah?" Tanya ayahnya.
Jason tak menggubris ucapan ayahnya dan berjalan masuk ke dalam kamar. Namun ayahnya masih terus mengikutinya.
"Jauhi Lusiana. Dia sangat berbahaya." Ujar ayahnya.
Jason memejamkan matanya, ia menarik nafasnya cukup dalam.
"KAU YANG BERBAHAYA! KAU YANG MEMBUNUH IBU!"
Ayahnya tersenyum miring. "Bukankah kau yang membunuhnya?"
Jason menggelengkan kepalanya. "Kau.. kau yang membunuhnya!"
Ayahnya mulai mendekati Jason.
"Kau yang menusuknya dengan pisau buah. Tepat disini." Ujar Ayahnya sambil mengarahkan pisau buah di kepala Jason.
Jason menggelengkan kepalanya berulang kali.
"Kau pembunuh."
Jason terus menggelengkan kepalanya. Telinga kembali berdenging keras. Lututnya sudah mulai melemas.
'Ibu pasti akan terus menjaga mu, Jason.' ujar ibu nya sambil mengelus puncak kepala Jason.
Jason kecil tersenyum dan mengecup kedua pipi ibu nya. 'Aku juga akan menjaga ibu.'
Jason mengerang saat kepalanya mulai terasa sakit. Kepalanya berputar hingga Jason tergeletak di lantai. Ingatan tentang ibu nya mulai terngiang ngiang kembali. Ia dapat melihat wajah memohon ibu nya.'Jangan..' ujar ibu nya sambil berlutut.Sosok kecil di hadapan ibu nya itu tertawa. 'Hi hi hi.'
Jleb!
Jason menggelengkan kepalanya. Air mata tanpa terasa mulai mengalir. Namun Jason tersenyum cukup lebar."Aku membunuh ibu.."To be continue..Sinar matahari menyorot Jason yang sedang menelusuri jalan tanpa mobil kesayangannya. Tanpa berpikir panjang ia segera pergi dari rumahnya, meninggalkan sang ayah yang berhasil membuatnya seperti orang kesetanan. Entah ia akan pergi kemana saat ini. Ia hanya mengikuti kemana dua kakinya akan melangkah. Jason menyeka darah yang sedikit keluar dari luka di pipinya dengan tangan kiri. Ia menatap tangan kanan nya yang sudah tak ada di tempatnya lagi. Orang-orang di sekitar menatap Jason dengan tatapan merendahkan, bukan tatapan sedih atau semacamnya."Apa dia korban penculikan?""Seram.""Apa kau tidak kasihan? Coba tanya apa yang terjadi.""Kau saja.""Jangan dekati dia."Jason dapat merasakan tatapan jijik dan takut dari orang-orang tersebut. Ia menolehkan kepalanya, serentak orang-orang itu bergegas pergi sambil terus mencemooh keadaannya. Jason meraba celananya, namun ia tak menemukan ponsel atau pun dompet disana. Ia meninggalkan semua barangnya
Franco terdiam sejenak, keringat dingin mengalir dari dahinya. Secepat kilat, Franco mampu merubah ekspresinya. Sebisa mungkin ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan yang natural. Walaupun sebenarnya jantungnya sudah berdetak tak karuan karena tatapan dari ketiga dokter di hadapannya."Aku kesulitan mencari ruang administrasi." Ujar Franco.Dokter penengah itu mengernyitkan dainya. "Bukankah ruang administrasi ada di lantai 1?"Dokter yang sedari tadi diam ikut mengangguk setuju."Aku tidak dapat menemukannya, yang aku lihat hanya lautan manusia di lantai 1." Jelas Franco.Ketiga dokter itu menganggukan kepalanya."Sudah lebih dari lima hari ini rumah sakit memang di penuhi oleh manusia. Angka kematian di Chicago menjadi meningkat pesat, dan tentunya kami kekurangan istirahat." Jelas dokter penengah itu sambil tersenyum."Mari kami antar." Lanjutnya.Setelah itu tak ada perbincangan apapun lagi, karena pintu lift sudah t
Jason menatap makanan di meja tanpa gairah apa pun. Sudah tiga hari ia berada di rumah Lusiana, dan semua makanannya selalu sama.Nasi Goreng.Ia menoleh ke arah Lusiana yang berada di hadapannya. Gadis itu nampak tengah menikmati makanannya. Lusiana yang menyadari Jason tidak menikmati makanannya pun mendengus pelan."Cepat makan. Sarapan itu perlu agar kau cepat pulih." Ujar Lusiana.Jason hanya menarik sebelah sudut bibirnya hingga menampakan senyum yang di paksakan. Lusiana bangkit dari kursi nya dan pindah ke sebelah Jason."Apa mau mu?!" Tanya Jason dengan kaget.Lusiana meletakan telunjuknya di bibir Jason. Kemudian ia menyendok nasi goreng yang ada di piring Jason, lalu ia melahapnya.Setelah itu Lusiana menatap Jason sambil tersenyum dengan mulut yang penuh makanan."Amwan.." ujar Lusiana sambil mengacungkan ibu jarinya.Jason mengernyitkan dahinya. "Apa?"Sebisa mungkin Lusiana segera menelan semua nasi goreng yan
Jean membuka matanya setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam. Tubuhnya terasa nyeri karena tidur dalam posisi duduk dalam waktu yang cukup lama. Jean di sambut oleh senyuman dari rekan kerja lamanya, Watt. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan tersebut. Semuanya bangunan ini terbuat dari kayu. Ia sadar bahwa ia sekarang sedang berada di xebuah kabin tua. Kabin ini dulu nya merupakan laboratorium milik Jean. Namun sejak ia berhasil masuk ke dalam Departemen Kepolisian, Ia menitipkan labpratprium itu kepada Watt dan Nancy yang merupakan teman lamanya. Jean menarik salah satu sudut bibirnya membentuk senyum miring yang dipaksakan.“Teman memiliki potensi paling besar dalam hal pengkhianatan.” Ujar Jean.Watt tersenyum dan menyodorkan segelas air pada Jean. “Kau pasti haus.”Jean meraih gelas tersebut dan menciumnya. “Heh... bau ricin.”Watt tersenyum mendengar ucapan Jean. “Penciuman mu boleh juga, kawan.”“Kau masih bisa memanggilku kawan sa
Jason menjauhkan wajahnya dari pria tersebut. Kemudian ia kembali beralih pada anak kecil yang menjadi alasannya datang ke tempat ini. Jason membantu anak itu untuk bangkit dengan cara memapahnya. Namun akhirnya laki-laki yang berperan sebagai penonton itu mulai bergerak. Ia menghalangi jalan yang hendak di lalui Jason. Hal itu sama sekali tak mengganggu nya, ia hanya tersenyum pada pria tersebut.“Kau boleh pergi, tapi tidak dengan anak ini.” Ujar pria itu sambil berusaha mengambil anak tersebut.Senyum Jason pudar berganti dengan tatapan tajam. “Lepas.”Pria tersebut nampaknya tak menghiraukan ucapan Jason. Ia masih terus berusaha menarik anak tersebut. Jason menghela nafas panjang sambil mengambil sesuatu dari saku kemejanya. Ia masih terus memperhatikan gerak-gerik pria tersebut dengan tatapan tajamnya. Hingga pria itu bisa mengambil apa yang ia inginkan. Jason menarik sebelah sudut bibirnya saat melihat anak itu sudah berada di tangan lawannya.Pri
Jason mengendarai mobil Lusiana menuju rumah sakit. Ia sudah berjanji untuk menjemput Lusiana di rumah sakit. Jason mengendarai mobil tersebut dengan tubuh yang masih bergetar. Ia berdeham beberapa kali saat suaranya tak kunjung keluar. Jason masih tak terbiasa saat melihat foto masa lalu nya itu. Walau ia bersikap biasa saja, namun tubuhnya selalu merespon secara berlebihan. Terlalu sibuk dengan pikirannya, hingga tanpa terasa Jason sudah berada di kawasan rumah sakit. Jason memicingkan matanya saat melihat Lusiana yang tengah berjalan beriringan dengan seorang pria. Jason mendesis pelan saat menyadari bahwa pria itu adalah Franco. Jason segera keluar ddari mobil yang belum terparkir denga rapih tersebut.Jason bersama langkah besarnya pun menghampiri Lusiana yang terlihat sedang tertawa bahagia. Jason berdeham saat sudah ada di hadapan mereka. Lusiana menatap Jason dengan datar, seolah tak mengharapkan kedatangannya. Franco yang melihat kedatangan Jason pun dengan terpaksa m
Lusiana mengendarai mobilnya dengan perasaan khawatir, di temani matahari yang sudah berada tepat di atas kepalanya. Ia masih tak bisa menghubungi Jason. Bahkan beberapa waktu yang lalu, ponsel Jason berada di luar jangkauan. Hal itu tentu saja membuat Lusiana menaikan kecepatan mobilnya. Setelah tiba di depan rumah Jason, Lusiana segera turun tanpa memarkirnya di halaman rumah Jason. Lusiana berlari kecil menyusuri halaman Jason, lalu ia segera menekan bel rumah Jason. Namun Lusiana di sambut oleh orang yang tidak ia harapkan. Berdiri seorang pria berambut cepak dengan saus yang menempel di sudut bibirnya.“Maaf, anda mencari siapa?” tanya pria tersebut.Lusiana tak menggubris pria tersebut.Ia memilih untuk segera masuk ke dalam rumah Jason. Namun Lusiana tak menemukan keberadaan Jason di dalam rumah tersebut. Lusiana hanya mendapati seorang pria yang sedang makan dan seorang pria yang tengah berbaring dengan luka di matanya.“Siapa kau? Apa kau perampok?” tanya L
Jason berada di dalam toilet sambil terus memikirkan cara untuk kabur. Di sekeliling ruangan itu sama sekali tidak ada celah untuk meloloskan diri. Seperti sebuah ruangan yang di gunakan untuk menahan seorang penjahat kelas kakap. Tapi, itu memang benar! Jason adalah salah satu pembunuh kelas kakap.Dari dalam ruangan, Jason dapat mendengar suara Hanes yang menunggu nya diluar. Beberapa kali Hanes memanggil namanya, namun Jason sengaja tidak menjawab panggilan tersebut. Samar-samar Jason dapat mendengar suara wanita yang bisa di pastikan bahwa itu adalah Shella. Walau pun pelan, Jason dapat mendengar perbincangan mereka karena keadaan yang sunyi.“Apa kita harus menunggu nya?” tanya Shella.“Mmmm... bagaimana jika kita melakukannya terlebih dahulu?” ujar Hanes dengan sedikit meminta pertimbangan dari wanita tersebut.“Ya, kita bisa saja menyuntiknya tanpa menunggu kedatangan orang itu. Dia sama sekali tak bisa di harapkan.” Ujar Shella.Terdengar tawa b