Untuk pertama kalinya Jason berlari di tengah malam. Jason berlari mengejar Han yang sudah meninggalkan rumahnya. Entah sejak kapan manusia mampu berlari kencang dengan sebelah kakinya. Jason pun tidak tau kemana Han akan pergi, mengingat anak tersebut tidak punya tempat tujuan. Hanya ada satu tempat yang menjadi tujuan Jason saat ini. Rumah sakit tempat Lusiana bekerja. Entah mengapa hanya tempat itu yang terlintas di kepalanya. Jason mengubah langkah kakinya menuju rumahnya untuk mengambil mobil. Jason meraih kunci mobil yang selalu berada di sakunya. Ia memang selalu menyimpan kunci mobil di saku agar mudah di jangkau saat darurat seperti ini.
“Anak nakal..” gumam Jason di dalam mobilnya.
Ia segera tancap gas menuju rumah sakit tujuannya. Pikirannya melayang entah kemana. Ia memikirkan Han dan Keisha di saat bersamaan. Disebabkan pikirannya yang kacau, Jason mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Ia melewati rambu lalu lintas yang berwarna merah hingga terdengar sirine polisi yang mulai mengikutinya.
“Berhenti!!” teriak polisi tersebut dari dalam mobil.
Jason melirikkan matanya dari kaca spion mobil. Bukannya berhenti, Jason menambah kecepatan mobilnya hingga membuat para polisi itu geram.
Dor!!
Sebuah tembakan ke udara di layangkan oleh polisi tersebut. Jason tersenyum miring dan semakin menggila di tengah padatnya jalan di Kota Chicago tersebut. Beberapa mobil mulai mengeluarkan suara klakson yang memekakan telinga. Jason terkekeh dan memutar stirnya hingga mobil itu berbelok ke sebuah gang kecil.
“Kalian tidak akan mampu mengejarku.” Gumam Jason sambil tersenyum.
BRAAKKK!!!
Jason reflek menghentikan mobilnya saat terdengar suara tubrukan yang cukup keras berasal dari depan mobilnya. Ia merasa menabra ksesuatu, maka dari itu ia memutuskan untuk mengecek mobil kesayangannya tersebut.
“Akan ku bunuh orang yang menabrak mobil kesayanganku.” Ujar Jason dengan ekspresi dinginnya.
Ia medesis saat melihat bumper mobiilnya yang sedikit terkena cipratan darah. Jason menarik nafasnya untuk menstabilkan emosinya. Kemudian ia berjongkok untuk melihat kondisi korban tabrak larinya. Jason menatap jasad tersebut dengan jijik.
“Merepotkan! Aku harus segera menjemput putra kesayanganku.” Ujar Jason sambil menendang sebelah kaki korban tabrak lari tersebut.
Kemudian Jason berbalik memasuki mobilnya. Namun sedetik kemudian ia berbalik, dengan cepat ia meraih kaki tersebut. Ia terdiam di tempatnya, seperti membeku sambil menatap kaki yang ada di tangannya.
“Pilihkan kaki terbaik untuknya.” Ujar Jason pada dokter yang bertugas mengoperasi Han.Dokter tersembut mengangguk. Kemudian Jason memberinya uang tanpa di ketahui oleh petugas lainnya. Jason tersenyum dan pergi dari ruangan dokter tersebut.
“Nama nya Han.” Ujar Jason pada dokter tersebut saat berada di depan pintu.
“Beri nama Han pada kaki tersebut.” Lanjutnya.Jason memperhatikan kaki itu dengan saksama. Ia memutar kaki itu hingga dapat melihat setiap inchi nya. Hingga ia menemukan apa yang di carinya.“Han..”
Tanpa disadari air mata mulai mengalir ke pipinya. Ia menemukan nama Han di telapak kaki tersebut. Ia benar-benar ingat bahwa ia memerintahkan sang dokter untuk menuliskan nama Han di kaki tersebut agar mudah di cari jika suatu saat menghilang. Seperti saat ini. Jason dengan mudah mengenali jasad yang ia tabrak adalah Han. Satu-satunya anak yang menjadi sumber kehidupannya setelah sekian lama ia hidup sebagai robot pembunuh.
Jason segera menggotong tubuh Han yang sudah tidak bernyawa ke dalam mobil. Orang-orang yang melintas hanya menatapnya tanpa bertanya. Mungkin karena Jason menatap mereka dengan tajam. Ia kembali melanjutkan perjalanannya menuju Chicago Lakeshore Hospital, namun dengan tujuan yang berbeda. Ia mungkin sudah tidak bisa menyelamatkan nyawa Han, namun ia harus tetap melaporkan kematiannya ke rumah sakit. Han harus di makam kan atau di kremasi sebagaimana mestinya.
“Terima kasih telah mengizinkanku membunuhmu, Han.”
~~~
Lusiana keluar dari ruangannya tepat pukul 2 pagi. Ia terpaksa lembur karena adanya pasien yang datang dalam keadaan yang sangat darurat. Hal itu memaksa Lusiana untuk segera melakukan operasi. Walau dengan pandangan yang mulai memburam, Lusiana mampu menyelesaikan operasi tersebut dengan baik. Lusiana berjalan menuju parkiran untuk mencari mobil Mercedes Benz kesayangannya. Namun ia di kagetkan oleh sebuah mobil yang melaju kencang di hadapannya. Mobil itu terlihat tidak asing, hingga sang pemilik keluar dari mobilnya.
“Lusiana!” teriak pemilik mobil tersebut.
Lusiana dapat mengenali sosok itu adalah Jason. Ia berjalan dengan langkah gontai mendekati Lusiana. Disebelah tangannya, Jason membawa sebuah kaki yang membuat Lusiana refelek memundurkan langkahnya.
“Help me..” gumam Jason pelan namun masih dapat terdengar oleh Lusiana.
“Ada apa?” tanya Lusiana.
Jason memberikan sebelah kaki palsu itu kepada Lusiana. Kemudian Jason menunjukan sebuah nama yang ada di telapak kaki tersebut.
“Aku membunuhnya..” ujar Jason dengan mata yang berkaca-kaca.
Lusiana masih menatap Jason dengan penuh tanda tanya. “Coba jelaskan padaku apa yang terjadi.”
Jason berjongkok sambil menyembunyikan kepalanya di kedua kakinya. Ia tidak menangis, yang Lusiana dengar hanyalah suara tawa pelan. Lusiana ikut berjongkok dan mengangkat kepala Jason.
“AKU MEMBUNUHNYA!!!” teriak Jason histeris sambil tersenyum lebar ke arah Lusiana.
Melihat hal tersebut Lusiana pun kaget. Ia jatuh terduduk di hadapan Jason yang sudah berubah menjadi orang gila. Jason menatapnya dengan mata yang melebar. Pria itu perlahan mendekati Lusiana dengan tangan yang terkepal kuat.
BUGH!!!
Lusiana reflek menutup matanya saat Jason melayangkan tinju ke arahnya. Namun ia tidak merasakan apapun. Akhirnya ia membuka matanya dan mendapati Franco berada di belakangnya dengan keadaan tak sadarkan diri. Jason memukul Franco hingga partner kerjanya itu tak sadarkan diri.
“Aku akan mengantarmu pulang. Tidak baik seorang wanita pulang menyetir sendirian di malam hari.” Ujar jason.
“Sebelum itu, bantu aku mengurus jenazah Han. Laporkan kematiannya sebagai kecelakaan lalu lintas.” Lanjutnya.Lusiana hanya terdiam melihat Jason yang sedang masuk ke dalam mobilnya. Tak lama kemudian Jason keluar dengan tubuh Han yang sudah tak bernyawa. Jason menggerakan matanya seolah mengisyaratkan Lusiana untuk jalan terlebih dahulu. Lusiana yang mengerti pun segera berjalan memasuki rumah sakit tempatnya bekerja tersebut, meninggalkan Franco yang sudah tak sadarkan diri.
“Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Lusiana saat di dalam lift.
Jason menatap mayat Han yang ada di atas Mortuary Table. “Aku menabrak bocah bodoh ini.”
Lusiana mengerutkan dahinya. “Bagaimana bisa?”
“Dia melihat mayat teman-temannya, kemudian ia mengira aku yang membunuh teman-temannya. Anak bodoh!” jawab Jason.
“Kau membunuh mereka?” tanya Lusiana.
Jason menggelengkan kepalanya. “Aku yang merawat mereka. Tidak mungkin aku membunuh mereka. Lagipula aku ini bersih, tak ada satupun catatan kriminal.”
Lusiana mencebikan bibirnya. “Kalau dua?”
Jason menolehkan kepalanya ke arah Lusiana sambil tersenyum. “Mungkin ada.”
Ting!
Sebelum Lusiana sempat membuka mulutnya, pintu lift terbuka. Jason secepat kilat keluar dari lift dan berjalan menuju ruangan jenazah. Tak ada sambutan dari penjaga ruangan tersebut, karena memang tak ada yang mau menjadi penjaga ruangan tersebut semenjak kejadian yang cukup menggegerkan warga Chicago. Jason membuka pintu ruangan tersebut dan mendapati tak ada satu pun jenazah disana.
“Ruangan ini sudah tak di pakai lagi.” Ujar Lusiana.
Jason menatap Lusiana dengan bingung. “Lalu mengapa kita kesini? Aku sangat lelah mendorong meja ini.”
Lusiana mengambil alih Mortuary Table dari Jason. Kemudian ia mendorong meja itu menuju pintu yang ada di ruang jenazah. Terdapat sebuah lemari besar yang biasa di gunakan untuk menyimpan mayat. Lusiana membuka salah satu loker yang kosong, kemudian ia memasukan Han ke dalam loker tersebut.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Jason.
Lusiana tak berniat menjawab pertanyaan itu. Ia mengambil salah satu kursi yang tak jauh darinya. “Mengapa kau sangat menyukai anak itu?”
Jason terdiam sejenak memikirkan alasan yang tepat. Sedangkan Lusiana masih setia menunggu jawaban dari pria di hadapannya.
“Mungkin karena dia lucu.” Jawab Jason asal.
Lusiana tertawa di dalam hati. ‘Kau pikir aku bodoh?’
“Kau menyukai anak kecil?” tanya Lusiana.
Jason menatap tajam ke arah Lusiana. “Kau sedang mewawancarai ku?”
Lusiana tersenyum simpul. “Jawab saja.”
Jason mengangguk. “Tentu saja aku menyukai mereka.”
Lusiana menganggukan kepalanya beberapa kali. Kemudian ia bangkit dari kursi yang ia singgahi. Ia berjalan perlahan ke arah Jason dengan tatapan dingin. Lusiana mengeluarkan ponsel dari sakunya. Lalu ia menunjukan sesuatu di ponselnya kepada Jason.
“Tapi mengapa kau membunuhnya?”
To be continue...
Jason dan Lusiana sudah berada di dalam mobil. Seperti yang Jason katakan sebelumnya, ia akan mengantar Lusiana pulang."Siapa anak yang ada di foto tadi?" Tanya Jason.Lusiana terdiam sejenak. "Adik ku."Jason menganggukan kepalanya. Kemudian ia kembali fokus menyetir BMW kesayangannya tersebut. Sedangkan Lusiana diam diam memperhatikan Jason dengan saksama.Lusiana berdeham pelan. "Kau bilang kaki Han terluka kan?"Jason hanya mengangguk."Kau mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata untuk mengejar anak yang kaki nya terluka. Kemudian kau menabrak anak tersebut di sebuah jalan kecil yang tidak jauh dari rumah sakit. Bukan kah ada yang janggal?" Ujar Lusiana.Jason menurunkan kecepatan mobilnya. Kemudian ia menoleh ke arah Lusiana. Ia berpikir sejenak, lalu ia juga menemukan kejanggalan tersebut.Lusiana mengangguk mantap dengan mata berapi-ali. "Kematiannya pasti sudah di rencana kan."Jason masih terdiam, ia tengah
Sinar matahari menyorot Jason yang sedang menelusuri jalan tanpa mobil kesayangannya. Tanpa berpikir panjang ia segera pergi dari rumahnya, meninggalkan sang ayah yang berhasil membuatnya seperti orang kesetanan. Entah ia akan pergi kemana saat ini. Ia hanya mengikuti kemana dua kakinya akan melangkah. Jason menyeka darah yang sedikit keluar dari luka di pipinya dengan tangan kiri. Ia menatap tangan kanan nya yang sudah tak ada di tempatnya lagi. Orang-orang di sekitar menatap Jason dengan tatapan merendahkan, bukan tatapan sedih atau semacamnya."Apa dia korban penculikan?""Seram.""Apa kau tidak kasihan? Coba tanya apa yang terjadi.""Kau saja.""Jangan dekati dia."Jason dapat merasakan tatapan jijik dan takut dari orang-orang tersebut. Ia menolehkan kepalanya, serentak orang-orang itu bergegas pergi sambil terus mencemooh keadaannya. Jason meraba celananya, namun ia tak menemukan ponsel atau pun dompet disana. Ia meninggalkan semua barangnya
Franco terdiam sejenak, keringat dingin mengalir dari dahinya. Secepat kilat, Franco mampu merubah ekspresinya. Sebisa mungkin ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan yang natural. Walaupun sebenarnya jantungnya sudah berdetak tak karuan karena tatapan dari ketiga dokter di hadapannya."Aku kesulitan mencari ruang administrasi." Ujar Franco.Dokter penengah itu mengernyitkan dainya. "Bukankah ruang administrasi ada di lantai 1?"Dokter yang sedari tadi diam ikut mengangguk setuju."Aku tidak dapat menemukannya, yang aku lihat hanya lautan manusia di lantai 1." Jelas Franco.Ketiga dokter itu menganggukan kepalanya."Sudah lebih dari lima hari ini rumah sakit memang di penuhi oleh manusia. Angka kematian di Chicago menjadi meningkat pesat, dan tentunya kami kekurangan istirahat." Jelas dokter penengah itu sambil tersenyum."Mari kami antar." Lanjutnya.Setelah itu tak ada perbincangan apapun lagi, karena pintu lift sudah t
Jason menatap makanan di meja tanpa gairah apa pun. Sudah tiga hari ia berada di rumah Lusiana, dan semua makanannya selalu sama.Nasi Goreng.Ia menoleh ke arah Lusiana yang berada di hadapannya. Gadis itu nampak tengah menikmati makanannya. Lusiana yang menyadari Jason tidak menikmati makanannya pun mendengus pelan."Cepat makan. Sarapan itu perlu agar kau cepat pulih." Ujar Lusiana.Jason hanya menarik sebelah sudut bibirnya hingga menampakan senyum yang di paksakan. Lusiana bangkit dari kursi nya dan pindah ke sebelah Jason."Apa mau mu?!" Tanya Jason dengan kaget.Lusiana meletakan telunjuknya di bibir Jason. Kemudian ia menyendok nasi goreng yang ada di piring Jason, lalu ia melahapnya.Setelah itu Lusiana menatap Jason sambil tersenyum dengan mulut yang penuh makanan."Amwan.." ujar Lusiana sambil mengacungkan ibu jarinya.Jason mengernyitkan dahinya. "Apa?"Sebisa mungkin Lusiana segera menelan semua nasi goreng yan
Jean membuka matanya setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam. Tubuhnya terasa nyeri karena tidur dalam posisi duduk dalam waktu yang cukup lama. Jean di sambut oleh senyuman dari rekan kerja lamanya, Watt. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan tersebut. Semuanya bangunan ini terbuat dari kayu. Ia sadar bahwa ia sekarang sedang berada di xebuah kabin tua. Kabin ini dulu nya merupakan laboratorium milik Jean. Namun sejak ia berhasil masuk ke dalam Departemen Kepolisian, Ia menitipkan labpratprium itu kepada Watt dan Nancy yang merupakan teman lamanya. Jean menarik salah satu sudut bibirnya membentuk senyum miring yang dipaksakan.“Teman memiliki potensi paling besar dalam hal pengkhianatan.” Ujar Jean.Watt tersenyum dan menyodorkan segelas air pada Jean. “Kau pasti haus.”Jean meraih gelas tersebut dan menciumnya. “Heh... bau ricin.”Watt tersenyum mendengar ucapan Jean. “Penciuman mu boleh juga, kawan.”“Kau masih bisa memanggilku kawan sa
Jason menjauhkan wajahnya dari pria tersebut. Kemudian ia kembali beralih pada anak kecil yang menjadi alasannya datang ke tempat ini. Jason membantu anak itu untuk bangkit dengan cara memapahnya. Namun akhirnya laki-laki yang berperan sebagai penonton itu mulai bergerak. Ia menghalangi jalan yang hendak di lalui Jason. Hal itu sama sekali tak mengganggu nya, ia hanya tersenyum pada pria tersebut.“Kau boleh pergi, tapi tidak dengan anak ini.” Ujar pria itu sambil berusaha mengambil anak tersebut.Senyum Jason pudar berganti dengan tatapan tajam. “Lepas.”Pria tersebut nampaknya tak menghiraukan ucapan Jason. Ia masih terus berusaha menarik anak tersebut. Jason menghela nafas panjang sambil mengambil sesuatu dari saku kemejanya. Ia masih terus memperhatikan gerak-gerik pria tersebut dengan tatapan tajamnya. Hingga pria itu bisa mengambil apa yang ia inginkan. Jason menarik sebelah sudut bibirnya saat melihat anak itu sudah berada di tangan lawannya.Pri
Jason mengendarai mobil Lusiana menuju rumah sakit. Ia sudah berjanji untuk menjemput Lusiana di rumah sakit. Jason mengendarai mobil tersebut dengan tubuh yang masih bergetar. Ia berdeham beberapa kali saat suaranya tak kunjung keluar. Jason masih tak terbiasa saat melihat foto masa lalu nya itu. Walau ia bersikap biasa saja, namun tubuhnya selalu merespon secara berlebihan. Terlalu sibuk dengan pikirannya, hingga tanpa terasa Jason sudah berada di kawasan rumah sakit. Jason memicingkan matanya saat melihat Lusiana yang tengah berjalan beriringan dengan seorang pria. Jason mendesis pelan saat menyadari bahwa pria itu adalah Franco. Jason segera keluar ddari mobil yang belum terparkir denga rapih tersebut.Jason bersama langkah besarnya pun menghampiri Lusiana yang terlihat sedang tertawa bahagia. Jason berdeham saat sudah ada di hadapan mereka. Lusiana menatap Jason dengan datar, seolah tak mengharapkan kedatangannya. Franco yang melihat kedatangan Jason pun dengan terpaksa m
Lusiana mengendarai mobilnya dengan perasaan khawatir, di temani matahari yang sudah berada tepat di atas kepalanya. Ia masih tak bisa menghubungi Jason. Bahkan beberapa waktu yang lalu, ponsel Jason berada di luar jangkauan. Hal itu tentu saja membuat Lusiana menaikan kecepatan mobilnya. Setelah tiba di depan rumah Jason, Lusiana segera turun tanpa memarkirnya di halaman rumah Jason. Lusiana berlari kecil menyusuri halaman Jason, lalu ia segera menekan bel rumah Jason. Namun Lusiana di sambut oleh orang yang tidak ia harapkan. Berdiri seorang pria berambut cepak dengan saus yang menempel di sudut bibirnya.“Maaf, anda mencari siapa?” tanya pria tersebut.Lusiana tak menggubris pria tersebut.Ia memilih untuk segera masuk ke dalam rumah Jason. Namun Lusiana tak menemukan keberadaan Jason di dalam rumah tersebut. Lusiana hanya mendapati seorang pria yang sedang makan dan seorang pria yang tengah berbaring dengan luka di matanya.“Siapa kau? Apa kau perampok?” tanya L