Jason tiba di depan bangunan tua yang dihuni oleh ibu nya. Sudah lebih dari dua tahun Jason tidak menginjakan kakinya di lingkungan tersebut. Menurutnya, rumah ini merupakan tempat terkutuk bagi siapapun yang memasuki nya. Mereka tidak akan keluar dari rumah tersebut, bagai terpenjara atau bahkan terkubur di dalamnya. Namun kutukan itu tidak berlaku bagi Jason.
Jason membuka pintu kayu tersebur dengan perlahan. Suara decitan kayu yang di hasilkan dari pintu terdengar begitu menyedihkan. Bau amis yang biasa ia cium dirumahnya mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya.
"Anak ku.." seru Eliza yang sudah duduk cantik di ruang tamu.
Jason menghampiri Eliza dan memberikan sekantung plastik sayur mayur. Sudah menjadi rutinitasnya membawa sayuran ketika mengunjungi Eliza, karena ibu nya itu selalu memasak sup ketika Jason berkunjung.
Eliza meraih plastik tersebut dan ekspresi wajahnya mendadak kecewa.
"Wortelnya sudah tidak segar." Protes Eliza.
"Aku bahkan memetik langsung dari kebunnya." Ujar Jason.
Eliza melirik ke belakang Jason. Nampak Han sudah mengekori putra nya tersebut. Eliza melambaikan tangannya dan hanya mendapat senyuman dari Han.
"Untuk apa kau mengajaknya kesini?" Tanya Eliza setengah berbisik.
"Pawangku." Jawab Jason sambil menarik Han ke sampingnya.
Eliza mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian Eliza mempersilahkan mereka untuk duduk di ruang tamu. Sementara ia akan segera memasak sup yang istimewa.
Eliza masuk ke dapurnya dan mengunci pintu. Ia sangat tidak suka saat kegiatan memasaknya di saksikan orang lain. Kemudian Eliza menarik tubuh Xenovia yang sudah tidak bernyawa tersebut.
"Tidak ku sangka Adenium bereaksi sangat cepat." Gumam Eliza.
Eliza meraih pisau daging dan mulai memutilasi putri nya tersebut. Mulai dari memotong anggota badan putrinya tersebut, hingga mengulitinya. Eliza pernah bekerja di salah satu tempat pemotongan hewan di New York. Berkat kelihaian tangan Eliza, kini putri nya yang cantik sudah berubah menjadi layaknya daging di supermarket.
Eliza memilih bagian yang banyak terdapat daging untuk di campurkan bersama sup. Ia menyimpan sepasang mata Xenovia di dalam freezer untuk di jadikan pajangan di rumahnya. Sedangkan daging yang lain akan ia simpan di tempat penyimpanan daging rahasianya.
"Mata yang indah." Gumam Eliza di sertai seringai di wajahnya.
Tak perlu waktu lama untuk Eliza membuat sup spesial. Kini sup tersebut sudah tertata rapi di nampan untuk di hidangkan kepada dua tamunya tersebut. Eliza membuka pintu dapur dan mendapati Jason sudah berada di hadapannya.
"Terlalu lama untuk memasak sup." Ujar Jason.
Jason melirik ke arah mangkuk yang di bawa ibu nya tersebut. "Mengapa ada daging disana? Apa kau mau aku bunuh diri?"
Eliza tersenyum hangat kepada putranya. "Untuk pawangmu."
Eliza berjalan terlebih dahulu dan memberikan semangkuk sup dengan extra daging kepada Han. Bocah yang tidak tahu apa-apa itu hanya tersenyum dan menerima mangkuk tersebut. Secepat kilat Jason menyambar mangkuk tersebut dan mencium daging yang ada di dalamnya.
"Manusia." Gumam Jason.
Kemudian Jason melempar mangkuk tersebut ke lantai hingga isi nya berceceran kemana-mana. Han sangat terkejut melihat kelakuan pamannya tersebut.
"BERANI NYA KAU MERUSAK MASAKANKU!!" Teriak Eliza dengan mata melotot.
Han bangun dari sofa dan bersembunyi di belakang Jason. Eliza yang terlihat ramah kini mulai menunjukan taringnya. Eliza menatap tajam ke arah putra nya, sedangkan Jason hanya diam tanoa ekspresi. Jason berbalik dan memerintahkan Han untuk segera ke mobil. Namun Eliza segera menarik lengan Han hingga bocah itu tersungkur ke lantai.
"AAKHH!" Pekik Han.
Ia merasakan tulang di kakinya seperti bergeser. Kini ia tak bisa menggerakan kakinya. Jason yang melihat anak asuhnya kesakitan itu pun meraih nampan yang ada di meja dan menghantamkannya ke wajah Eliza hingga wanita itu menjerit. Melihat Eliza yang masih kesakitan, Jason segera menggendong Han dan membawa nya masuk ke dalam mobil. Jason hendak menutup pintu mobilnya, namun Han berhasil menahan lengannya. Jason menatap Han tanpa ekspresi.
"Jangan menghalangiku." ujar Jason.
Han dapat melihat kemarahan dari sorot mata Jason. Ia pun melepas genggaman tangannya dari Jason. Kemudian Jason melesat pergi memasuki rumah tersebut. Saat tiba di depan pintu rumah ibu nya tersebut, Jason dikagetkan dengan kehadiran ibu nya yang langsung menghunuskan pisau buah ke arahnya. Jason yang tak siap dengan serangan itu pun harus mendapatkan luka di bahunya. Eliza menarik paksa pisau yang menancap dibahu putranya tersebut. Jason meringis saat lukanya terbuka dan darah mulai mengalir membasahi kemejanya.
"Ini hukuman untukmu karena terlalu lama bermain." ujar Eliza.
Eliza berjalan menjilat darah yang menempel di pisau tersebut. "Rasanya masih sama, seperti 20 tahun lalu."
Jason merasakan kepala nya berputar. Pandangannya mulai kabur dan telinga nya berdenging cukup keras. Jason ambruk dan duduk di lantai.
'Jason.. larilah..'
'Kau harus hidup..'
Jason menutup telinganya dengan kedua tangan. Suara-suara itu mengganggu pendengarannya.
"Hentikan.." gumam Jason.
"Ingat bagaimana dia membunuh Keisha?" tanya Eliza sambil tersenyum.
Jason menggelengkan kepalanya. "Hentikan!!"
Eliza mendekati Jason dan berbisik. "Mereka bahkan masih menyimpan organ Keisha untuk penelitian."
Jason menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Tidak!"
"Kau masih ingat anak yang kau selamatkan?" tanya Eliza sambil melebarkan matanya.
Jason menolehkan kepalanya ke segala arah. Ia nampak mencari sesuatu yang ada di dekatnya. Ia meraih sapu yang berada tak jauh dari nya. Kemudian ia mengarahkan sapu itu ke arah ibu nya.
"Mati kau!!" teriak Jason.
Eliza tersenyum lalu melemparkan pisau yang ada di tangannya ke lantai. Lalu wanita itu merentangkan tangannya.
"Bunuh aku, maka kau akan sendirian di dunia ini." ujar Eliza.
Eliza mulai bergerak mendekati Jason. Tangannya menggenggam ujung sapu tersebut.
"Hanya aku yang ada di pihakmu, Niko." ujar Eliza.
Jason menggelengkan kepalanya. Genggamannya pada sapu tersebu mulai melemah hingga benda itu terjatuh ke lantai. Eliza segera menghambur dan memeluk Jason yang perasaannya sudah tak karuan.
"Berhenti bermain dan lakukan tugasmu, anak ku." ujar Eliza sambil mengusap punggung Jason.
Jason menatap lurus ke depan tanpa ekspresi apapun. Sedetik kemudian sebelah bibirnya tertarik.
"Ya."
~~~
Tepat sehari setelah kepergian Jason dari rumahnya, Lusiana pun memutuskan untuk kembali bekerja. Ia sudah tidak mempunyai aktivitas apapun di rumahnya. Pihak rumah sakit pun sudah memberitahukan bahwa hari ini ia mendapat jadwal untuk memimpin operasi. Maka dari itu ia sudah tiba di Chicago Lakeshore Hospital saat matahari baru saja terbit. Ia menemukan banyak sekali ucapan Semoga Lekas Sembuh dari pihak rumah sakit dan juga pasien. Lusiana tersenyum mengamati banyaknya memo yang menempel di pintu ruangannya.
"Aku bahkan lebih baik-baik saja dari mereka." gumam Lusiana.
Setelah puas melihat memo tersebut, Lusiana pun memasuki ruangannya. Sudah hampir seminggu ia tidak pergi bekerja. Ia sangat merindukan ruangannya yang sangat rapih. Lusiana menyingkap gorden jendela ruangan tersebut. Sinar matahari pagi langsung menyeruak masuk ke dalam ruangan.
"Aku merindukan ruanganku." gumam Lusiana.
Lusiana menatap meja nya yang sudah dipenuhi tumpukan map. Lusiana mendekati mejanya dan mengamati tumpukan tersebut dengan malas.
"Ah.. aku ingin resign." ujar Lusiana.
Lusiana melirik ponselnya yang tergeletak di sebelah tumpukan map. Terdapat sebuah pesan dari Franco. Ia meraih benda persegi panjang tersebut dan membuka kotak pesannya.
'Xenovia telah tewas. Kita beralih ke misi B.'
Lusiana menatap pesan tersebut dengan bingung. Wanita yang ia temui beberapa hari lalu kini sudah tewas entah di tangan siapa.
Drrtt
Sebuah email masuk di ponselnya, masih dari orang yang sama. Ia membuka email tersebut dan terdapat data dari target selanjutnya. Lusiana memindahkan data tersebut ke laptopnya.
"Dokter Lusiana."
Lusiana segera menutup laptopnya saat pintu ruangannya terbuka.
"Dokter, operasi akan di laksanakan lima menit lagi." ujar Suster.
Lusiana mengangguk. "Aku akan segera kesana."
Saat suster itu sudah pergi, Lusiana membuka kembali laptopnya. Kemudian ia tersenyum tipis saat melihat foto targetnya.
"Ternyata kau lebih muda dari ku."
To be continue...Setelah tiga hari menunda kedatangannya ke kantor polisi, kini Jean mendatangi kantor polisi tepat pukul 7 malam. Jean memasuki kantor polisi yang telah lebih dahulu mengamankan rekaman CCTV di lokasi kejadian. Nampak tim Investigasi sedang berkumpul sambil mengamati layar proyektor. Jean mengetuk pintu yang sudah terbuka itu untuk memberitahu kedatangannya. Rekaman di layar proyektor itu berhenti, lalu semua kepala menoleh ke arahnya."Selamat datang, Detektif Jean." sapa kepala tim Investigasi sambil berjalan ke arahnya.Jean melirik badge nama detektif tersebut. "Senang bertemu denganmu, Detektif Wirard."Detektif bernama Wirard itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya. Jean membalas uluran tangan Wirard sejenak kemudian melepaskannya. Wirard mempersilahkan Jean untuk bergabung menonton rekaman CCTV yang ada di layar."Dimana letak CCTV yang merekam kejadian ini? Bukankah semua CCTV terdekat sudah di rusak?" tanya Jean.Wirard mengangguk. "Ya,
Untuk pertama kalinya Jason berlari di tengah malam. Jason berlari mengejar Han yang sudah meninggalkan rumahnya. Entah sejak kapan manusia mampu berlari kencang dengan sebelah kakinya. Jason pun tidak tau kemana Han akan pergi, mengingat anak tersebut tidak punya tempat tujuan. Hanya ada satu tempat yang menjadi tujuan Jason saat ini. Rumah sakit tempat Lusiana bekerja. Entah mengapa hanya tempat itu yang terlintas di kepalanya. Jason mengubah langkah kakinya menuju rumahnya untuk mengambil mobil. Jason meraih kunci mobil yang selalu berada di sakunya. Ia memang selalu menyimpan kunci mobil di saku agar mudah di jangkau saat darurat seperti ini.“Anak nakal..” gumam Jason di dalam mobilnya.Ia segera tancap gas menuju rumah sakit tujuannya. Pikirannya melayang entah kemana. Ia memikirkan Han dan Keisha di saat bersamaan. Disebabkan pikirannya yang kacau, Jason mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Ia melewati rambu lalu lintas yang berwarna merah hingga
Jason dan Lusiana sudah berada di dalam mobil. Seperti yang Jason katakan sebelumnya, ia akan mengantar Lusiana pulang."Siapa anak yang ada di foto tadi?" Tanya Jason.Lusiana terdiam sejenak. "Adik ku."Jason menganggukan kepalanya. Kemudian ia kembali fokus menyetir BMW kesayangannya tersebut. Sedangkan Lusiana diam diam memperhatikan Jason dengan saksama.Lusiana berdeham pelan. "Kau bilang kaki Han terluka kan?"Jason hanya mengangguk."Kau mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata untuk mengejar anak yang kaki nya terluka. Kemudian kau menabrak anak tersebut di sebuah jalan kecil yang tidak jauh dari rumah sakit. Bukan kah ada yang janggal?" Ujar Lusiana.Jason menurunkan kecepatan mobilnya. Kemudian ia menoleh ke arah Lusiana. Ia berpikir sejenak, lalu ia juga menemukan kejanggalan tersebut.Lusiana mengangguk mantap dengan mata berapi-ali. "Kematiannya pasti sudah di rencana kan."Jason masih terdiam, ia tengah
Sinar matahari menyorot Jason yang sedang menelusuri jalan tanpa mobil kesayangannya. Tanpa berpikir panjang ia segera pergi dari rumahnya, meninggalkan sang ayah yang berhasil membuatnya seperti orang kesetanan. Entah ia akan pergi kemana saat ini. Ia hanya mengikuti kemana dua kakinya akan melangkah. Jason menyeka darah yang sedikit keluar dari luka di pipinya dengan tangan kiri. Ia menatap tangan kanan nya yang sudah tak ada di tempatnya lagi. Orang-orang di sekitar menatap Jason dengan tatapan merendahkan, bukan tatapan sedih atau semacamnya."Apa dia korban penculikan?""Seram.""Apa kau tidak kasihan? Coba tanya apa yang terjadi.""Kau saja.""Jangan dekati dia."Jason dapat merasakan tatapan jijik dan takut dari orang-orang tersebut. Ia menolehkan kepalanya, serentak orang-orang itu bergegas pergi sambil terus mencemooh keadaannya. Jason meraba celananya, namun ia tak menemukan ponsel atau pun dompet disana. Ia meninggalkan semua barangnya
Franco terdiam sejenak, keringat dingin mengalir dari dahinya. Secepat kilat, Franco mampu merubah ekspresinya. Sebisa mungkin ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan yang natural. Walaupun sebenarnya jantungnya sudah berdetak tak karuan karena tatapan dari ketiga dokter di hadapannya."Aku kesulitan mencari ruang administrasi." Ujar Franco.Dokter penengah itu mengernyitkan dainya. "Bukankah ruang administrasi ada di lantai 1?"Dokter yang sedari tadi diam ikut mengangguk setuju."Aku tidak dapat menemukannya, yang aku lihat hanya lautan manusia di lantai 1." Jelas Franco.Ketiga dokter itu menganggukan kepalanya."Sudah lebih dari lima hari ini rumah sakit memang di penuhi oleh manusia. Angka kematian di Chicago menjadi meningkat pesat, dan tentunya kami kekurangan istirahat." Jelas dokter penengah itu sambil tersenyum."Mari kami antar." Lanjutnya.Setelah itu tak ada perbincangan apapun lagi, karena pintu lift sudah t
Jason menatap makanan di meja tanpa gairah apa pun. Sudah tiga hari ia berada di rumah Lusiana, dan semua makanannya selalu sama.Nasi Goreng.Ia menoleh ke arah Lusiana yang berada di hadapannya. Gadis itu nampak tengah menikmati makanannya. Lusiana yang menyadari Jason tidak menikmati makanannya pun mendengus pelan."Cepat makan. Sarapan itu perlu agar kau cepat pulih." Ujar Lusiana.Jason hanya menarik sebelah sudut bibirnya hingga menampakan senyum yang di paksakan. Lusiana bangkit dari kursi nya dan pindah ke sebelah Jason."Apa mau mu?!" Tanya Jason dengan kaget.Lusiana meletakan telunjuknya di bibir Jason. Kemudian ia menyendok nasi goreng yang ada di piring Jason, lalu ia melahapnya.Setelah itu Lusiana menatap Jason sambil tersenyum dengan mulut yang penuh makanan."Amwan.." ujar Lusiana sambil mengacungkan ibu jarinya.Jason mengernyitkan dahinya. "Apa?"Sebisa mungkin Lusiana segera menelan semua nasi goreng yan
Jean membuka matanya setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam. Tubuhnya terasa nyeri karena tidur dalam posisi duduk dalam waktu yang cukup lama. Jean di sambut oleh senyuman dari rekan kerja lamanya, Watt. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan tersebut. Semuanya bangunan ini terbuat dari kayu. Ia sadar bahwa ia sekarang sedang berada di xebuah kabin tua. Kabin ini dulu nya merupakan laboratorium milik Jean. Namun sejak ia berhasil masuk ke dalam Departemen Kepolisian, Ia menitipkan labpratprium itu kepada Watt dan Nancy yang merupakan teman lamanya. Jean menarik salah satu sudut bibirnya membentuk senyum miring yang dipaksakan.“Teman memiliki potensi paling besar dalam hal pengkhianatan.” Ujar Jean.Watt tersenyum dan menyodorkan segelas air pada Jean. “Kau pasti haus.”Jean meraih gelas tersebut dan menciumnya. “Heh... bau ricin.”Watt tersenyum mendengar ucapan Jean. “Penciuman mu boleh juga, kawan.”“Kau masih bisa memanggilku kawan sa
Jason menjauhkan wajahnya dari pria tersebut. Kemudian ia kembali beralih pada anak kecil yang menjadi alasannya datang ke tempat ini. Jason membantu anak itu untuk bangkit dengan cara memapahnya. Namun akhirnya laki-laki yang berperan sebagai penonton itu mulai bergerak. Ia menghalangi jalan yang hendak di lalui Jason. Hal itu sama sekali tak mengganggu nya, ia hanya tersenyum pada pria tersebut.“Kau boleh pergi, tapi tidak dengan anak ini.” Ujar pria itu sambil berusaha mengambil anak tersebut.Senyum Jason pudar berganti dengan tatapan tajam. “Lepas.”Pria tersebut nampaknya tak menghiraukan ucapan Jason. Ia masih terus berusaha menarik anak tersebut. Jason menghela nafas panjang sambil mengambil sesuatu dari saku kemejanya. Ia masih terus memperhatikan gerak-gerik pria tersebut dengan tatapan tajamnya. Hingga pria itu bisa mengambil apa yang ia inginkan. Jason menarik sebelah sudut bibirnya saat melihat anak itu sudah berada di tangan lawannya.Pri