Jason tiba di depan bangunan tua yang dihuni oleh ibu nya. Sudah lebih dari dua tahun Jason tidak menginjakan kakinya di lingkungan tersebut. Menurutnya, rumah ini merupakan tempat terkutuk bagi siapapun yang memasuki nya. Mereka tidak akan keluar dari rumah tersebut, bagai terpenjara atau bahkan terkubur di dalamnya. Namun kutukan itu tidak berlaku bagi Jason.
Jason membuka pintu kayu tersebur dengan perlahan. Suara decitan kayu yang di hasilkan dari pintu terdengar begitu menyedihkan. Bau amis yang biasa ia cium dirumahnya mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya.
"Anak ku.." seru Eliza yang sudah duduk cantik di ruang tamu.
Jason menghampiri Eliza dan memberikan sekantung plastik sayur mayur. Sudah menjadi rutinitasnya membawa sayuran ketika mengunjungi Eliza, karena ibu nya itu selalu memasak sup ketika Jason berkunjung.
Eliza meraih plastik tersebut dan ekspresi wajahnya mendadak kecewa.
"Wortelnya sudah tidak segar." Protes Eliza.
"Aku bahkan memetik langsung dari kebunnya." Ujar Jason.
Eliza melirik ke belakang Jason. Nampak Han sudah mengekori putra nya tersebut. Eliza melambaikan tangannya dan hanya mendapat senyuman dari Han.
"Untuk apa kau mengajaknya kesini?" Tanya Eliza setengah berbisik.
"Pawangku." Jawab Jason sambil menarik Han ke sampingnya.
Eliza mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian Eliza mempersilahkan mereka untuk duduk di ruang tamu. Sementara ia akan segera memasak sup yang istimewa.
Eliza masuk ke dapurnya dan mengunci pintu. Ia sangat tidak suka saat kegiatan memasaknya di saksikan orang lain. Kemudian Eliza menarik tubuh Xenovia yang sudah tidak bernyawa tersebut.
"Tidak ku sangka Adenium bereaksi sangat cepat." Gumam Eliza.
Eliza meraih pisau daging dan mulai memutilasi putri nya tersebut. Mulai dari memotong anggota badan putrinya tersebut, hingga mengulitinya. Eliza pernah bekerja di salah satu tempat pemotongan hewan di New York. Berkat kelihaian tangan Eliza, kini putri nya yang cantik sudah berubah menjadi layaknya daging di supermarket.
Eliza memilih bagian yang banyak terdapat daging untuk di campurkan bersama sup. Ia menyimpan sepasang mata Xenovia di dalam freezer untuk di jadikan pajangan di rumahnya. Sedangkan daging yang lain akan ia simpan di tempat penyimpanan daging rahasianya.
"Mata yang indah." Gumam Eliza di sertai seringai di wajahnya.
Tak perlu waktu lama untuk Eliza membuat sup spesial. Kini sup tersebut sudah tertata rapi di nampan untuk di hidangkan kepada dua tamunya tersebut. Eliza membuka pintu dapur dan mendapati Jason sudah berada di hadapannya.
"Terlalu lama untuk memasak sup." Ujar Jason.
Jason melirik ke arah mangkuk yang di bawa ibu nya tersebut. "Mengapa ada daging disana? Apa kau mau aku bunuh diri?"
Eliza tersenyum hangat kepada putranya. "Untuk pawangmu."
Eliza berjalan terlebih dahulu dan memberikan semangkuk sup dengan extra daging kepada Han. Bocah yang tidak tahu apa-apa itu hanya tersenyum dan menerima mangkuk tersebut. Secepat kilat Jason menyambar mangkuk tersebut dan mencium daging yang ada di dalamnya.
"Manusia." Gumam Jason.
Kemudian Jason melempar mangkuk tersebut ke lantai hingga isi nya berceceran kemana-mana. Han sangat terkejut melihat kelakuan pamannya tersebut.
"BERANI NYA KAU MERUSAK MASAKANKU!!" Teriak Eliza dengan mata melotot.
Han bangun dari sofa dan bersembunyi di belakang Jason. Eliza yang terlihat ramah kini mulai menunjukan taringnya. Eliza menatap tajam ke arah putra nya, sedangkan Jason hanya diam tanoa ekspresi. Jason berbalik dan memerintahkan Han untuk segera ke mobil. Namun Eliza segera menarik lengan Han hingga bocah itu tersungkur ke lantai.
"AAKHH!" Pekik Han.
Ia merasakan tulang di kakinya seperti bergeser. Kini ia tak bisa menggerakan kakinya. Jason yang melihat anak asuhnya kesakitan itu pun meraih nampan yang ada di meja dan menghantamkannya ke wajah Eliza hingga wanita itu menjerit. Melihat Eliza yang masih kesakitan, Jason segera menggendong Han dan membawa nya masuk ke dalam mobil. Jason hendak menutup pintu mobilnya, namun Han berhasil menahan lengannya. Jason menatap Han tanpa ekspresi.
"Jangan menghalangiku." ujar Jason.
Han dapat melihat kemarahan dari sorot mata Jason. Ia pun melepas genggaman tangannya dari Jason. Kemudian Jason melesat pergi memasuki rumah tersebut. Saat tiba di depan pintu rumah ibu nya tersebut, Jason dikagetkan dengan kehadiran ibu nya yang langsung menghunuskan pisau buah ke arahnya. Jason yang tak siap dengan serangan itu pun harus mendapatkan luka di bahunya. Eliza menarik paksa pisau yang menancap dibahu putranya tersebut. Jason meringis saat lukanya terbuka dan darah mulai mengalir membasahi kemejanya.
"Ini hukuman untukmu karena terlalu lama bermain." ujar Eliza.
Eliza berjalan menjilat darah yang menempel di pisau tersebut. "Rasanya masih sama, seperti 20 tahun lalu."
Jason merasakan kepala nya berputar. Pandangannya mulai kabur dan telinga nya berdenging cukup keras. Jason ambruk dan duduk di lantai.
'Jason.. larilah..'
'Kau harus hidup..'
Jason menutup telinganya dengan kedua tangan. Suara-suara itu mengganggu pendengarannya.
"Hentikan.." gumam Jason.
"Ingat bagaimana dia membunuh Keisha?" tanya Eliza sambil tersenyum.
Jason menggelengkan kepalanya. "Hentikan!!"
Eliza mendekati Jason dan berbisik. "Mereka bahkan masih menyimpan organ Keisha untuk penelitian."
Jason menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Tidak!"
"Kau masih ingat anak yang kau selamatkan?" tanya Eliza sambil melebarkan matanya.
Jason menolehkan kepalanya ke segala arah. Ia nampak mencari sesuatu yang ada di dekatnya. Ia meraih sapu yang berada tak jauh dari nya. Kemudian ia mengarahkan sapu itu ke arah ibu nya.
"Mati kau!!" teriak Jason.
Eliza tersenyum lalu melemparkan pisau yang ada di tangannya ke lantai. Lalu wanita itu merentangkan tangannya.
"Bunuh aku, maka kau akan sendirian di dunia ini." ujar Eliza.
Eliza mulai bergerak mendekati Jason. Tangannya menggenggam ujung sapu tersebut.
"Hanya aku yang ada di pihakmu, Niko." ujar Eliza.
Jason menggelengkan kepalanya. Genggamannya pada sapu tersebu mulai melemah hingga benda itu terjatuh ke lantai. Eliza segera menghambur dan memeluk Jason yang perasaannya sudah tak karuan.
"Berhenti bermain dan lakukan tugasmu, anak ku." ujar Eliza sambil mengusap punggung Jason.
Jason menatap lurus ke depan tanpa ekspresi apapun. Sedetik kemudian sebelah bibirnya tertarik.
"Ya."
~~~
Tepat sehari setelah kepergian Jason dari rumahnya, Lusiana pun memutuskan untuk kembali bekerja. Ia sudah tidak mempunyai aktivitas apapun di rumahnya. Pihak rumah sakit pun sudah memberitahukan bahwa hari ini ia mendapat jadwal untuk memimpin operasi. Maka dari itu ia sudah tiba di Chicago Lakeshore Hospital saat matahari baru saja terbit. Ia menemukan banyak sekali ucapan Semoga Lekas Sembuh dari pihak rumah sakit dan juga pasien. Lusiana tersenyum mengamati banyaknya memo yang menempel di pintu ruangannya.
"Aku bahkan lebih baik-baik saja dari mereka." gumam Lusiana.
Setelah puas melihat memo tersebut, Lusiana pun memasuki ruangannya. Sudah hampir seminggu ia tidak pergi bekerja. Ia sangat merindukan ruangannya yang sangat rapih. Lusiana menyingkap gorden jendela ruangan tersebut. Sinar matahari pagi langsung menyeruak masuk ke dalam ruangan.
"Aku merindukan ruanganku." gumam Lusiana.
Lusiana menatap meja nya yang sudah dipenuhi tumpukan map. Lusiana mendekati mejanya dan mengamati tumpukan tersebut dengan malas.
"Ah.. aku ingin resign." ujar Lusiana.
Lusiana melirik ponselnya yang tergeletak di sebelah tumpukan map. Terdapat sebuah pesan dari Franco. Ia meraih benda persegi panjang tersebut dan membuka kotak pesannya.
'Xenovia telah tewas. Kita beralih ke misi B.'
Lusiana menatap pesan tersebut dengan bingung. Wanita yang ia temui beberapa hari lalu kini sudah tewas entah di tangan siapa.
Drrtt
Sebuah email masuk di ponselnya, masih dari orang yang sama. Ia membuka email tersebut dan terdapat data dari target selanjutnya. Lusiana memindahkan data tersebut ke laptopnya.
"Dokter Lusiana."
Lusiana segera menutup laptopnya saat pintu ruangannya terbuka.
"Dokter, operasi akan di laksanakan lima menit lagi." ujar Suster.
Lusiana mengangguk. "Aku akan segera kesana."
Saat suster itu sudah pergi, Lusiana membuka kembali laptopnya. Kemudian ia tersenyum tipis saat melihat foto targetnya.
"Ternyata kau lebih muda dari ku."
To be continue...Setelah tiga hari menunda kedatangannya ke kantor polisi, kini Jean mendatangi kantor polisi tepat pukul 7 malam. Jean memasuki kantor polisi yang telah lebih dahulu mengamankan rekaman CCTV di lokasi kejadian. Nampak tim Investigasi sedang berkumpul sambil mengamati layar proyektor. Jean mengetuk pintu yang sudah terbuka itu untuk memberitahu kedatangannya. Rekaman di layar proyektor itu berhenti, lalu semua kepala menoleh ke arahnya."Selamat datang, Detektif Jean." sapa kepala tim Investigasi sambil berjalan ke arahnya.Jean melirik badge nama detektif tersebut. "Senang bertemu denganmu, Detektif Wirard."Detektif bernama Wirard itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya. Jean membalas uluran tangan Wirard sejenak kemudian melepaskannya. Wirard mempersilahkan Jean untuk bergabung menonton rekaman CCTV yang ada di layar."Dimana letak CCTV yang merekam kejadian ini? Bukankah semua CCTV terdekat sudah di rusak?" tanya Jean.Wirard mengangguk. "Ya,
Untuk pertama kalinya Jason berlari di tengah malam. Jason berlari mengejar Han yang sudah meninggalkan rumahnya. Entah sejak kapan manusia mampu berlari kencang dengan sebelah kakinya. Jason pun tidak tau kemana Han akan pergi, mengingat anak tersebut tidak punya tempat tujuan. Hanya ada satu tempat yang menjadi tujuan Jason saat ini. Rumah sakit tempat Lusiana bekerja. Entah mengapa hanya tempat itu yang terlintas di kepalanya. Jason mengubah langkah kakinya menuju rumahnya untuk mengambil mobil. Jason meraih kunci mobil yang selalu berada di sakunya. Ia memang selalu menyimpan kunci mobil di saku agar mudah di jangkau saat darurat seperti ini.“Anak nakal..” gumam Jason di dalam mobilnya.Ia segera tancap gas menuju rumah sakit tujuannya. Pikirannya melayang entah kemana. Ia memikirkan Han dan Keisha di saat bersamaan. Disebabkan pikirannya yang kacau, Jason mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Ia melewati rambu lalu lintas yang berwarna merah hingga
Jason dan Lusiana sudah berada di dalam mobil. Seperti yang Jason katakan sebelumnya, ia akan mengantar Lusiana pulang."Siapa anak yang ada di foto tadi?" Tanya Jason.Lusiana terdiam sejenak. "Adik ku."Jason menganggukan kepalanya. Kemudian ia kembali fokus menyetir BMW kesayangannya tersebut. Sedangkan Lusiana diam diam memperhatikan Jason dengan saksama.Lusiana berdeham pelan. "Kau bilang kaki Han terluka kan?"Jason hanya mengangguk."Kau mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata untuk mengejar anak yang kaki nya terluka. Kemudian kau menabrak anak tersebut di sebuah jalan kecil yang tidak jauh dari rumah sakit. Bukan kah ada yang janggal?" Ujar Lusiana.Jason menurunkan kecepatan mobilnya. Kemudian ia menoleh ke arah Lusiana. Ia berpikir sejenak, lalu ia juga menemukan kejanggalan tersebut.Lusiana mengangguk mantap dengan mata berapi-ali. "Kematiannya pasti sudah di rencana kan."Jason masih terdiam, ia tengah
Sinar matahari menyorot Jason yang sedang menelusuri jalan tanpa mobil kesayangannya. Tanpa berpikir panjang ia segera pergi dari rumahnya, meninggalkan sang ayah yang berhasil membuatnya seperti orang kesetanan. Entah ia akan pergi kemana saat ini. Ia hanya mengikuti kemana dua kakinya akan melangkah. Jason menyeka darah yang sedikit keluar dari luka di pipinya dengan tangan kiri. Ia menatap tangan kanan nya yang sudah tak ada di tempatnya lagi. Orang-orang di sekitar menatap Jason dengan tatapan merendahkan, bukan tatapan sedih atau semacamnya."Apa dia korban penculikan?""Seram.""Apa kau tidak kasihan? Coba tanya apa yang terjadi.""Kau saja.""Jangan dekati dia."Jason dapat merasakan tatapan jijik dan takut dari orang-orang tersebut. Ia menolehkan kepalanya, serentak orang-orang itu bergegas pergi sambil terus mencemooh keadaannya. Jason meraba celananya, namun ia tak menemukan ponsel atau pun dompet disana. Ia meninggalkan semua barangnya
Franco terdiam sejenak, keringat dingin mengalir dari dahinya. Secepat kilat, Franco mampu merubah ekspresinya. Sebisa mungkin ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan yang natural. Walaupun sebenarnya jantungnya sudah berdetak tak karuan karena tatapan dari ketiga dokter di hadapannya."Aku kesulitan mencari ruang administrasi." Ujar Franco.Dokter penengah itu mengernyitkan dainya. "Bukankah ruang administrasi ada di lantai 1?"Dokter yang sedari tadi diam ikut mengangguk setuju."Aku tidak dapat menemukannya, yang aku lihat hanya lautan manusia di lantai 1." Jelas Franco.Ketiga dokter itu menganggukan kepalanya."Sudah lebih dari lima hari ini rumah sakit memang di penuhi oleh manusia. Angka kematian di Chicago menjadi meningkat pesat, dan tentunya kami kekurangan istirahat." Jelas dokter penengah itu sambil tersenyum."Mari kami antar." Lanjutnya.Setelah itu tak ada perbincangan apapun lagi, karena pintu lift sudah t
Jason menatap makanan di meja tanpa gairah apa pun. Sudah tiga hari ia berada di rumah Lusiana, dan semua makanannya selalu sama.Nasi Goreng.Ia menoleh ke arah Lusiana yang berada di hadapannya. Gadis itu nampak tengah menikmati makanannya. Lusiana yang menyadari Jason tidak menikmati makanannya pun mendengus pelan."Cepat makan. Sarapan itu perlu agar kau cepat pulih." Ujar Lusiana.Jason hanya menarik sebelah sudut bibirnya hingga menampakan senyum yang di paksakan. Lusiana bangkit dari kursi nya dan pindah ke sebelah Jason."Apa mau mu?!" Tanya Jason dengan kaget.Lusiana meletakan telunjuknya di bibir Jason. Kemudian ia menyendok nasi goreng yang ada di piring Jason, lalu ia melahapnya.Setelah itu Lusiana menatap Jason sambil tersenyum dengan mulut yang penuh makanan."Amwan.." ujar Lusiana sambil mengacungkan ibu jarinya.Jason mengernyitkan dahinya. "Apa?"Sebisa mungkin Lusiana segera menelan semua nasi goreng yan
Jean membuka matanya setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam. Tubuhnya terasa nyeri karena tidur dalam posisi duduk dalam waktu yang cukup lama. Jean di sambut oleh senyuman dari rekan kerja lamanya, Watt. Ia menyapukan pandangannya ke seluruh ruangan tersebut. Semuanya bangunan ini terbuat dari kayu. Ia sadar bahwa ia sekarang sedang berada di xebuah kabin tua. Kabin ini dulu nya merupakan laboratorium milik Jean. Namun sejak ia berhasil masuk ke dalam Departemen Kepolisian, Ia menitipkan labpratprium itu kepada Watt dan Nancy yang merupakan teman lamanya. Jean menarik salah satu sudut bibirnya membentuk senyum miring yang dipaksakan.“Teman memiliki potensi paling besar dalam hal pengkhianatan.” Ujar Jean.Watt tersenyum dan menyodorkan segelas air pada Jean. “Kau pasti haus.”Jean meraih gelas tersebut dan menciumnya. “Heh... bau ricin.”Watt tersenyum mendengar ucapan Jean. “Penciuman mu boleh juga, kawan.”“Kau masih bisa memanggilku kawan sa
Jason menjauhkan wajahnya dari pria tersebut. Kemudian ia kembali beralih pada anak kecil yang menjadi alasannya datang ke tempat ini. Jason membantu anak itu untuk bangkit dengan cara memapahnya. Namun akhirnya laki-laki yang berperan sebagai penonton itu mulai bergerak. Ia menghalangi jalan yang hendak di lalui Jason. Hal itu sama sekali tak mengganggu nya, ia hanya tersenyum pada pria tersebut.“Kau boleh pergi, tapi tidak dengan anak ini.” Ujar pria itu sambil berusaha mengambil anak tersebut.Senyum Jason pudar berganti dengan tatapan tajam. “Lepas.”Pria tersebut nampaknya tak menghiraukan ucapan Jason. Ia masih terus berusaha menarik anak tersebut. Jason menghela nafas panjang sambil mengambil sesuatu dari saku kemejanya. Ia masih terus memperhatikan gerak-gerik pria tersebut dengan tatapan tajamnya. Hingga pria itu bisa mengambil apa yang ia inginkan. Jason menarik sebelah sudut bibirnya saat melihat anak itu sudah berada di tangan lawannya.Pri
Hari sudah berganti menjadi pagi. Jason dan Lusiana membawa tubuh Jean yang sudah tak bernyawa ke kabin yang dulunya laboratorium. Jean memang tak minta di makamkan disana, tapi Jason berinisiatif untuk memakamkannya disana. Jason juga sudah menyiapkan lubang di samping kabin untuk makam ayahnya. Jason membuka pintu kabin yang sudah rusak itu. Jason memasuki sebuah ruangan rahasia di dalam kabin tersebut. Lalu ia melihat sebuah peti yang sudah di siapkan oleh Jean bertahun-tahun lama nya. Rupanya peti itu yang pernah di ceritakan oleh Jean padanya. Jason ingin menggunakan peti itu, tapi terlalu berat untuk di angkat berdua dengan Lusiana. Akhirnya Jason dan Lusiana sepakat untuk mengubur Jean hanya menggunakan alas kain. Mereka tak bisa membiarkan siapapun tahu tentang kematian Jean. Jason dan Lusiana membawa tubuh Jean keluar dari mobil. Lalu mereka merebahkan tubuh Jean di atas sebuah kain. Jason menatap Jean yang sudah sangat pucat tersebut. Tubuh Jean
Jean tiba di depan rumah Jason dengan perasaan yang gelisah. Ia segera memasuki pekarangan rumah itu. Saat itu matahari sudah mulai berada cukup tinggi. Jean membuka pintu yang tak terkunci tersebut. Tapi ia sama sekali tak bisa menemukan Jason. Jean pun berkeliling di rumah itu sendirian untuk mencari keberadaan Jason. Tangan Kanan yang belakangan ini selalu mengikutinya itu sudah kembali ke rumahnya. Jean bahkan sudah berpamitan dengan Tangan Kanan. Mereka tidak akan bertemu lagi karena semua masalah sudah selesai, lalu Jean pun akan kembali ke San Francisco.Setelah cukup lama mencari, Jean pun mulai lelah. Ia sama sekali tak menemukan sosok Jason di rumah tersebut. Jean memilih bersantai di sofa ruang tamu yang begitu menggoda. Jean meraih ponsel Watt yang ada di sakunya. Kemudian ia membuka semua gambar di galeri nya yang berisi kenangan tersebut. Jean menghela nafasnya yang terasa berat saat melihat fotonya bersama Watt di taman Tangan Kanan. Saat it
Jason kembali ke lantai atas setelah bermalam di ruang bawah tanah. Ia bergegas menuju halaman rumahnya. Pagi ini Jason merasakan semua beban di tubuhnya menghilang. Ia bisa tersenyum lepas menatap matahari yang masih malu-malu menampakan dirinya. Jason memejamkan matanya, merasakan sensasi udara pagi yang begitu segar. Lalu Lusiana muncul dari pintu dengan kondisi yang masih berantakan. Nampaknya wanita itu baru saja bangun dari tidurnya.Jason menghampiri Lusiana yang tersenyum ke arahnya. Sebenarnya Lusiana sempat marah padanya sejak insiden penjagalan anggota tim alpha. Namun sepertinya Lusiana sudah bisa melupakan semuanya saat ini."Bagaimana tidur mu?" Tanya Jason.Lusiana melebarkan senyumnya. "Sangat tenang dan nyaman."Jason juga melebarkan senyumnya. "Bagus lah jika begitu."Jason berdeham pelan. "Bagaimana jika kita jalan-jalan hari ini?"
Setengah jam setelah Tangan Kanan mengusulkan ide nya, kini mereka berada di luar rumah Holland. Dari bola mata mereka terlihat kobaran api yang besar. Ternyata mereka lebih memilih membakar bangunan itu daripada mengebom nya. Jean dan Tangan Kanan terus menatap rumah yang terbakar tersebut. Jean sudah menghubungi pemadam kebakaran 5 menit yang lalu. Orang-orang di sekitar juga sudah mulai berkerumun melihat kebakaran tersebut."Kau sudah menghafal dialog nya?" Bisik Tangan Kanan."Belum. Kau cukup menyamakan jawaban dengan ku, kan?" Jawab Jean dengan pelan.Tangan Kanan menganggukan kepalanya. Lalu ia melanjutkan melihat pemandangan si jago merah yang begitu gagah melahap bangunan tersebut. Tak lama kemudian mobil pemadam kebakaran tiba disusul dengan mobil polisi beberapa menit kemudian. Tangan Kanan menatap Jean sekilas sambil mengacungkan ibu jarinya. Jean juga mengacungkan ibu jarinya. 
Sudah lebih dari 5 menit tapi Franco masih terlalu jauh untuk mencapai tangga. Waktu sudah menunjukan pukul 3 p.m. Jason merasakan perutnya terasa sakit. Ia sama sekali belum memakan apapun selama pulang dari rumah sakit. Jason pun berjalan melewati Franco yang masih berusaha melarikan diri dengan cara melata seperti ular. Jason menghembuskan nafasnya pelan saat berada di samping Franco. Kemudian ia segera menaiki anak tangga itu dengan cepat meninggalkan Franco di ruang bawah tanah itu bersama anggota tim alpha yang sudah tewas.Jason keluar dari pintu yang ada di belakang kulkas. Ia segera menghampiri Lusiana yang sedang berdiri memandangi lantai yang bolong. Jason tersenyum manis pada Lusiana, namun Lusiana hanya menatapnya sekilas."Maafkan aku." Ujar Jason.Lusiana mengernyitkan dahinya. "Untuk apa?"Jason menarik sudut bibirnya. "Aku tak menjawab pertanyaan itu. Sekarang
Franco dan tim alpha yang baru masuk ke rumah Holland itu pun terkejut setelah menonton siaran ulang. Mereka yang mengira Walikota berada disini pun akhirnya memilih untuk segera pergi ke rumah Jason. Tujuan utama mereka hanyalah menyelamatkan Walikota. Jean dan Tangan Kanan yang semula panik kini mulai bisa menghembuskan nafasnya dengan lega. Franco dan tim alpha itu sudah pergi dari rumah tersebut. Seandainya tidak ada siaran langsung itu, mungkin Franco dan tim alpha akan memeriksa bangunan tersebut. Lalu mereka akan menemukan ketiga orang yang sudah di bunuh oleh Jason.Diluar gedung, Franco bersama tim alpha itu sedang menyusun strategi. Mereka harus menyelamatkan Walikota dan menangkap Jason. Franco mengeluarkan selembar kertas dan pulpen dari sakunya. Lalu Franco menggambarkan sesuatu."Kita semua ada 8 orang, kita akan bagi menjadi 4 kelompok. Aku akan datang dari arah gerbang depan. Lalu kelompok 2 dan 3 akan masuk lewat
Jason mengambil ponselnya, lalu ia beranjak ke kamarnya. Di dalam kamarnya, ia melihat walikota yang sedang meringsut di kasurnya. Jason masuk ke kamarnya, lalu mengunci pinter tersebut. Walikota itu sangat panik saat melihat Jason sudah ada di dalam bersama nya. Jason meletakan ponselnya di atas meja yang bisa menangkap seluruh kamarnya. Kemudian Jason mengenakan topeng yang pernah di beli nya sewaktu kecil. Setelah menggunakan topeng, Jason menekan layar ponselnya. Jason melambaikan tangannya ke kamera saat siaran langsung di mulai."Selamat siang semuanya." Sapa Jason sambil melambaikan tangannya.Jason dapat melihat banyak sekali komentar, tapi ia tak bisa membacanya karena jarak yang cukup jauh. Jason sedikit menggeser tubuhnya agar para penonton bisa melihat walikota yang sedang ketakutan."Aku tidak akan menyakiti pak walikota. Aku hanya akan menanyakan beberapa hal padanya." Ujar Jason.
Jean merasa sangat resah saat ini. Sudah lebih dari 2 jam saat Jason memutuskan untuk menjemput Franco dan Walikota. Seharusnya ia menembak mati Jason saat diminta. Namun rupanya ia sama sekali tak bisa menyingkirkan iblise kecil itu. Jadilah kini ia yang sangat resah karena Jason tak kunjung kembali. Hanya ada dua kemungkinan saat ini. Kemungkinan pertama Jason tertangkap, lalu kemungkinan kedua Jason mati di tempat. Jean menghela nafasnya dengan kasar. Ia menatap Tangan Kanan yang tengah fokus memakan sesuatu di mangkuk. Jean pun menarik mangkuk itu dan mengambil alihnya."Itu punya ku." Ujar Tangan Kanan.Jean mengedikan bahunya. "Mengalah dengan yang lebih tua."Tangan Kanan hanya bisa mendengus pelan menatap mie instan nya yang sudah habis tak tersisa di makan oleh seniornya tersebut. Tangan Kanan bangkit dari kursi nya, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk buang air kecil. Ia lupa jika d
"Kau pernah menjadi sopir Holland?" Tanya Jason.Tangan Kanan menganggukan kepalanya. Ia baru saja memberitahu Jason tentang masa lalunya. Asal usul keluarga nya dan bagaimana dia bisa mengenal Jean. Sebenarnya pertemuannya dengan Jason saat itu memang sudah di rencanakan bersama Jean. Tangan Kanan sengaja menemui Jason yang masih kecil itu untuk berteman dengannya."Lalu mengapa kau di undang ke permainan?" Tanya Jason.Tangan Kanan mengedikan bahunya. "Mungkin dia takut rahasianya terbongkar."Jason menganggukan kepalanya, itu bisa jadi alasan yang sangat masuk akal. Pasti Holland sangat takut rahasia besarnya terbongkar oleh Tangan Kanan."Apa Holland pernah membunuh seseorang?" Tanya Jason.Tangan Kanan mengangguk. "Aku pernah di perintahkan untuk mengubur seorang wanita yang di jadikan eksperimen olehnya."