Matahari sudah berganti dengan bulan. Jason merasakan perutnya mulai sakit karena lebih dari 24 jam tidak makan apapun. Jason pun memutuskan untuk keluar dari ruangan tersebut. Ia juga ingat bahwa Han tidak bisa memesan makanan sendiri. Bocah itu pasti kelaparan sekarang. Jason menaiki tangga menuju ruang tamu.
"Han.." panggilnya.
Suasana rumahnya sangat sunyi, tak ada suara teriakan Han yang biasa menyambutnya. Jason merasa ada sesuatu yang aneh disini. Jason pun mengelilingi rumahnya untuk mencari anak asuhnya tersebut.
"Han! Aku tidak ingin bermain! Aku lapar!" teriak Jason.
Namun lagi lagi tak ada sahutan dari Han. Jason mengira bocah itu sedang keluar rumah. Ia pun memesan makanan terlebih dahulu kareba perutnya sudah tak bisa di ajak berkompromi.
Setelah memesan makanan, ia pun keluar dari rumah untuk melihat kemungkinan ada Han disana.
Lagi-lagi nihil.
Tak ada apapun selain mobil mewahnya yang terparkir indah di halaman. Tapi matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di rerumputan.
Ponsel Han.
Jason pun berlari menuju rerumputan tersebut. Lalu ia melihat bercak darah di sekitar rerumputan tersebut. Jason pun segera mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Xenovia.
Tak perlu waktu lama, panggilan tersebut pun di terima oleh kakak nya. Ia mendengar tangisan Han lewat panggilan tersebut.
"Brengsek!"
Hanya kata itu yang ingin di ucapkan oleh Jason kepada kakaknya. Ia segera mengakhiri panggilan dan bergegas menuju mobilnya.
Set.
Sebuah pistol berada tepat di pelipisnya. Jason reflek menghentikan langkahnya.
"Kejutan!" bisik seseorang tepat di telinga nya.
Lewat ekor matanya, Jason menebak siapa yang tengah menodongkan pistol ke arahnya.
Wanita.
Cantik.
Gaun putih.
Tak lupa dengan Cartwheel Hat.
"Jangan bergerak, Jason." ujar sosok tersebut.
Jason menolehkan kepalanya ke arah sosok tersebut.
"Menyingkir!"
Sosok tersebut tersenyum lebar.
"Ya. Setelah kepala mu ku tembak."
Dorr!!
~~~
Han menangis sambil memegangi kepala nya yang berdarah. Wanita yang membawanya sudah pergi entah kemana. Wanita itu bilang akan membawakan dokter untuk mengobati kepalanya. Kini Han seorang diri di sebuah ruangan yang minim pencahayaan dan lagi ruangan tersebut di kunci. Han hanya bisa meringkuk menahan sakit dan juga rasa takut.
"Paman.." ujarnya lirih.
Tak lama kemudian pintu terbuka, menampakan sosok yang membawanya atau lebih tepatnya menculiknya. Di belakang sosok tersebut berdiri seorang wanita yang ia kenal tengah menunduk.
"Dokter Lusiana!" teriak Han.
Lusiana yang merasa terpanggil pun mengangkat kepalanya.
"Han!"
Sosok itu pun mendorong Lusiana masuk ke dalam ruangan remang-remang tersebut.
"Baguslah jika kalian sudah saling mengenal." Ujar sosok tersebut.
"Lusiana, dia pasien yang harus kau obati. Peralatan P3K ada di sebelah anak itu." Jelasnya.
Kemudian sosok itu menatap Han. "Hei Bocah! Dia dokter yang akan merawat kepala kecilmu. Baik-baiklah dengannya. Aku tidak mau kanvasku rusak sebelum aku menorehnya dengan tinta."
Setelah mengatakan hal tersebut, sosok itu pun kembali mengunci pintu. Terdengr langkah kaki yang semakin menjauh menandakan sosok itu sudah pergi.
Lusiana mengambil kotak P3K yang berada di samping Han. Lusiana melihat luka yang ada di kepala anak tersebut. Terdapat lebam di dahi Han yang juga di hiasi oleh darah yang sudah mulai mengering.
"Jangan bergerak." Ujar Lusiana.
Kemudian Lusiana mengambil sapu tangan yang selalu ia bawa kemana pun. Lusiana membasahi sapu tangan tersebut dengan air yang di sediakan untuk minum. Perlahan ia membersihkan darah yang sudah mengering di sekitar luka tersebut. Lusiana menekan luka tersebut selama kurang lebih 10 menit. Dirasa darah sudah tidak mengalir lagi, Lusiana pun membalut luka tersebut dengan perban yang sudah di sediakan beserta plester luka. Lalu ia mengambil paracetamol dan memberikannya pada Han.
"Darahnya sudah berhenti, sekarang minum ini untuk mengurangi rasa nyeri nya." Jelas Lusiana.
Han mengangguk dan segera menelan obat tersebut disusul oleh air putih. Lusiana tersenyum dan mengusap kepala Han.
"Anak pintar. Berapa usia mu?" Tanya Lusiana.
"10 tahun." Jawab Han.
Lusiana menganggukan kepalanya beberapa kali.
"Kita pasti bisa bebas, Han." Ujar Lusiana.
Han mengangguk mantap. "Ya! Paman Niko akan menjemputku. Tadi aku mendengar suara paman Niko saat tante jahat itu sedang menelepon."
Lusiana mendekatkan wajahnya dengan Han. "Paman Niko? Siapa itu?"
"Paman yang itu." Ujar Han sambil menunjuk ke arah jendela.
Yap. Jason sudah menampakan kepalanya di jendela. Ia menatap datar ke arah Lusiana, kemudian tersenyum lebar pada Han. Sungguh perbedaan yang kentara. Lusiana segera membuka jendela, namun jendela tersebut sangat sulit terbuka karena mungkin sudah terlalu lama tertutup.
Jason mengisyaratkan mereka untuk minggir, kemudian ia mendorong jendela tersebut hingga engselnya patah. Kemudian jendela tersebut terbuka walaupun menimbulkan sedikit kegaduhan. Jason segera masuk ke dalam ruangan remang-remang tersebut.
"Han.." panggil Jason lirih.
Ia memeluk anak asuhnya tersebut dengan erat. Tak bisa di percaya ia menangis hanya karena Han. Mungkin itu karena Han adalah dia, dan dia adalah Han. Sungguh romantis bapak dan anak tak sedarah ini.
"Ayo pulang. Aku sudah membeli daging." Ujar Jason.
Han mengangguk senang.
Sedangkan Lusiana hanya bisa menonton drama antara bapak dan anak tersebut. Jason melirik Lusiana dan menyuruhnya untuk keluar terlebih dahulu.
"Bawa Han terlebih dahulu. Ini kunci mobilku, aku memarkirnya tepat di lantai dasar." Ujar Jason.
Lusiana termangu mendengar ucapan Jason. Lantai dasar? Yap. Mereka sekarang berada di lantai tiga di sebuah gedung tak terpakai. Bagaimana Jason bisa mengetahui posisi mereka? Itu karena Jason memasangkan alat pelacak di semua baju yang di kenakan oleh Han. Hebat bukan ayah yang satu ini?
"Lompat?" Tanya Lusiana dengan ragu.
Jason menatap malas ke arah dokter tersebut.
"Lompatlah jika kau ingin mati. Kau pikir aku kesini tanpa persiapan apapun?"
Lusiana tertawa pelan. Ia menengok ke arah jendela dan mendapati tangga vertikal yang terbuat dari tali, seperti yang biasa di dapati pada rumah pohon. Lusiana pun keluar melewati jendela, kemudian ia perlahan menuruni anak tangga tersebut. Setelah itu Han mengikuti Lusiana menuruni tangga itu menuju ke bawah. Tinggalah Jason yang masih berads di ruangan tersebut. Jason tak bergerak sama sekali. Ia menunggu sosok yang dengan berani menculik anak asuhnya tersebut.
Lusiana dan Han sudah berada di bawah dan masuk ke dalam mobil. Tapi Jason masih tak terlihat melewati tangga tersebut. Jason masih menatap ke arah pintu. Tak lama kemudian, terdengar langkah kaki yang mendekat.
Pintu pun terbuka.
Sosok yang membelakangi cahaya itu menatap horor ke arah Jason.
"Jas- Niko?" Panggil sosok tersebut dengan raut wajah ketakutan.
Jason menatap datar ke arah sosok tersebut. "Kau yang mengirim nya kepada ku? Sebaiknya kau pulang dan siapkan pemakaman untuknya."
Sosok tersebut mulai melangkahkan kakinya ke arah Jason dengan langkah yang di seret.
"Berani nya kau.."
Jason tak menghiraukan sosok tersebut dan berjalan menuju jendela. Tanpa di duga, sosok itu mengacungkan senjata tajam ke arah Jason. Sedangkan Jason yang lengah, akhirnya harus mendapatkan luka tusukan di pinggang sebelah kanan.
Jason melemas dan jatuh ke lantai. Sosok itu pun tak membuang waktunya. Ia mengambil sebuah besi yang berada di sudut ruangan dan memukulkan nya ke Jason. Namun Jason menendang kaki sosok tersebut hingga terjatuh. Jason menarik pisau yang masih menancap di pinggang nya. Kemudian ia menusukan pisau tersebut kepada sang pemilik.
Jlebb!!
Jlebb!!
Jlebb!!
"MATI KAU!!" Teriak Jason yang sudah mulai hilang kendali.
Jason berkali-kali menusukan pisau itu di sekitar perut korbannya. Ia sangat membenci orang yang berani menyentuh miliknya. Saat sedang bersenang-senang, rasa nyeri mulai menghujam pinggangnya. Tanpa terasa darah sudah sangat deras keluar dari luka tersebut. Jason pun memutuskan untuk menuruni tangga vertikal yang ada di jendela. Tubuhnya sudah mulai melemas karena kekurangan darah. Tapi ia harus menguatkan diri agar tidak terjun dari lantai tiga gedung tersebut.
"Paman!!" Teriak Han dari dalam mobil.
Jason jalan terseok-seok menuju mobilnya. Pandangannya mulai meremang, hingga kemudian semuanya menjadi gelap. Dengan tubuh yang melemah, Jason mengetuk kaca mobilnya. Lusiana pun membuka kaca mobil tersebut. Jason menatap Lusiana dengan mata yang hampir terpejam.
"Ce..pat pergi..Ting..gal..kan aku.."
To be continue.."PAMAN!!!"Han berteriak histeris dari dalam mobil saat melihat tubuh Jason yang sudah terkapar di aspal. Darah tak henti hentinya mengalir dari luka di pinggang Jason. Sedangkan Lusiana hanya bisa membeku di tempatnya, menatap Jason layaknya orang yang baru pertama kali melihat darah."Dokter Lusiana.. tolong paman.." ujar Han lirih.Lusiana sontak menolehkan kepalanya ke arah Jason. Matanya masih terasa kosong, nyawa nya bagaikan terbang ke tempat lain."DOKTER!"Teriakan Han tersebut mampu menyatukan jiwa dan raga Lusiana. Ia segera keluar dari mobil dan memapah Jason ke dalam mobil dengan di bantu oleh bocah tersebut. Selanjutnya, Lusiana akan membawa nya pulang.Apa Lusiana tahu dimana tempat tinggal Jason?Tentu saja tidak.Pulang yang di maksud adalah ke rumah Lusiana. Han sedari tadi hanya menangis di sebelah Jason. Berulang kali Lusiana bertanya dimana alamat rumah mereka, Han hanya menangis. Satu-satunya tempat untuk pulang saat
Lusiana dan Han menatap Jason dari meja makan. Pagi ini sudah menjadi hari ketiga Jason berada di rumah Lusiana, pria tersebut memutuskan untuk kembali pada pekerjaannya. Jason tengah duduk mengajar muridnya melalui zoom di ruang tamu. Sudah lebih dari seminggu Jason tidak bekerja. Ia disibukkan oleh naluri pembunuhnya, belum lagi beberapa kasus yang melibatkan Han."Hei jangan tidur!" Ujar Jason tiba-tiba.Lusiana dan Han sempat terkaget karena nada bicara Jason yang sedikit meninggi. Jason melirik jam yang ada di tangannya."Lima menit lagi."Jason menarik nafasnya."Rik, jika minggu depan tugas ini tidak selesai, kepala mu akan ku penggal." Ujar Jason.Muridnya yang bernama Riko itu terlihat menggangguk lemah. Jason hanya menatap laptop nya tanpa ekspresi apapun. Lusiana menggelengkan kepalanya berulang kali. Ia mungkin akan berhenti kuliah jika mendapatkan seorang dosen seperti Jason."Kau tahu pamanmu seorang dosen?" Tanya Lusiana pada
Jason tiba di depan bangunan tua yang dihuni oleh ibu nya. Sudah lebih dari dua tahun Jason tidak menginjakan kakinya di lingkungan tersebut. Menurutnya, rumah ini merupakan tempat terkutuk bagi siapapun yang memasuki nya. Mereka tidak akan keluar dari rumah tersebut, bagai terpenjara atau bahkan terkubur di dalamnya. Namun kutukan itu tidak berlaku bagi Jason.Jason membuka pintu kayu tersebur dengan perlahan. Suara decitan kayu yang di hasilkan dari pintu terdengar begitu menyedihkan. Bau amis yang biasa ia cium dirumahnya mulai menyeruak masuk ke dalam hidungnya."Anak ku.." seru Eliza yang sudah duduk cantik di ruang tamu.Jason menghampiri Eliza dan memberikan sekantung plastik sayur mayur. Sudah menjadi rutinitasnya membawa sayuran ketika mengunjungi Eliza, karena ibu nya itu selalu memasak sup ketika Jason berkunjung.Eliza meraih plastik tersebut dan ekspresi wajahnya mendadak kecewa."Wortelnya sudah tidak segar." Protes Eliza."Aku bahka
Setelah tiga hari menunda kedatangannya ke kantor polisi, kini Jean mendatangi kantor polisi tepat pukul 7 malam. Jean memasuki kantor polisi yang telah lebih dahulu mengamankan rekaman CCTV di lokasi kejadian. Nampak tim Investigasi sedang berkumpul sambil mengamati layar proyektor. Jean mengetuk pintu yang sudah terbuka itu untuk memberitahu kedatangannya. Rekaman di layar proyektor itu berhenti, lalu semua kepala menoleh ke arahnya."Selamat datang, Detektif Jean." sapa kepala tim Investigasi sambil berjalan ke arahnya.Jean melirik badge nama detektif tersebut. "Senang bertemu denganmu, Detektif Wirard."Detektif bernama Wirard itu mengangguk lalu mengulurkan tangannya. Jean membalas uluran tangan Wirard sejenak kemudian melepaskannya. Wirard mempersilahkan Jean untuk bergabung menonton rekaman CCTV yang ada di layar."Dimana letak CCTV yang merekam kejadian ini? Bukankah semua CCTV terdekat sudah di rusak?" tanya Jean.Wirard mengangguk. "Ya,
Untuk pertama kalinya Jason berlari di tengah malam. Jason berlari mengejar Han yang sudah meninggalkan rumahnya. Entah sejak kapan manusia mampu berlari kencang dengan sebelah kakinya. Jason pun tidak tau kemana Han akan pergi, mengingat anak tersebut tidak punya tempat tujuan. Hanya ada satu tempat yang menjadi tujuan Jason saat ini. Rumah sakit tempat Lusiana bekerja. Entah mengapa hanya tempat itu yang terlintas di kepalanya. Jason mengubah langkah kakinya menuju rumahnya untuk mengambil mobil. Jason meraih kunci mobil yang selalu berada di sakunya. Ia memang selalu menyimpan kunci mobil di saku agar mudah di jangkau saat darurat seperti ini.“Anak nakal..” gumam Jason di dalam mobilnya.Ia segera tancap gas menuju rumah sakit tujuannya. Pikirannya melayang entah kemana. Ia memikirkan Han dan Keisha di saat bersamaan. Disebabkan pikirannya yang kacau, Jason mengendarai mobilnya dengan ugal-ugalan. Ia melewati rambu lalu lintas yang berwarna merah hingga
Jason dan Lusiana sudah berada di dalam mobil. Seperti yang Jason katakan sebelumnya, ia akan mengantar Lusiana pulang."Siapa anak yang ada di foto tadi?" Tanya Jason.Lusiana terdiam sejenak. "Adik ku."Jason menganggukan kepalanya. Kemudian ia kembali fokus menyetir BMW kesayangannya tersebut. Sedangkan Lusiana diam diam memperhatikan Jason dengan saksama.Lusiana berdeham pelan. "Kau bilang kaki Han terluka kan?"Jason hanya mengangguk."Kau mengendarai mobil dengan kecepatan di atas rata-rata untuk mengejar anak yang kaki nya terluka. Kemudian kau menabrak anak tersebut di sebuah jalan kecil yang tidak jauh dari rumah sakit. Bukan kah ada yang janggal?" Ujar Lusiana.Jason menurunkan kecepatan mobilnya. Kemudian ia menoleh ke arah Lusiana. Ia berpikir sejenak, lalu ia juga menemukan kejanggalan tersebut.Lusiana mengangguk mantap dengan mata berapi-ali. "Kematiannya pasti sudah di rencana kan."Jason masih terdiam, ia tengah
Sinar matahari menyorot Jason yang sedang menelusuri jalan tanpa mobil kesayangannya. Tanpa berpikir panjang ia segera pergi dari rumahnya, meninggalkan sang ayah yang berhasil membuatnya seperti orang kesetanan. Entah ia akan pergi kemana saat ini. Ia hanya mengikuti kemana dua kakinya akan melangkah. Jason menyeka darah yang sedikit keluar dari luka di pipinya dengan tangan kiri. Ia menatap tangan kanan nya yang sudah tak ada di tempatnya lagi. Orang-orang di sekitar menatap Jason dengan tatapan merendahkan, bukan tatapan sedih atau semacamnya."Apa dia korban penculikan?""Seram.""Apa kau tidak kasihan? Coba tanya apa yang terjadi.""Kau saja.""Jangan dekati dia."Jason dapat merasakan tatapan jijik dan takut dari orang-orang tersebut. Ia menolehkan kepalanya, serentak orang-orang itu bergegas pergi sambil terus mencemooh keadaannya. Jason meraba celananya, namun ia tak menemukan ponsel atau pun dompet disana. Ia meninggalkan semua barangnya
Franco terdiam sejenak, keringat dingin mengalir dari dahinya. Secepat kilat, Franco mampu merubah ekspresinya. Sebisa mungkin ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk lengkungan yang natural. Walaupun sebenarnya jantungnya sudah berdetak tak karuan karena tatapan dari ketiga dokter di hadapannya."Aku kesulitan mencari ruang administrasi." Ujar Franco.Dokter penengah itu mengernyitkan dainya. "Bukankah ruang administrasi ada di lantai 1?"Dokter yang sedari tadi diam ikut mengangguk setuju."Aku tidak dapat menemukannya, yang aku lihat hanya lautan manusia di lantai 1." Jelas Franco.Ketiga dokter itu menganggukan kepalanya."Sudah lebih dari lima hari ini rumah sakit memang di penuhi oleh manusia. Angka kematian di Chicago menjadi meningkat pesat, dan tentunya kami kekurangan istirahat." Jelas dokter penengah itu sambil tersenyum."Mari kami antar." Lanjutnya.Setelah itu tak ada perbincangan apapun lagi, karena pintu lift sudah t