TINGGAL DI LINGKUNGAN baru tidaklah mudah. Sejak meninggalkan Tokyo dua belas tahun lalu, Airi jadi lupa seberapa disiplinnya orang-orang dari negara ini. Disiplin yang dimaksud Airi merujuk pada sesuatu yang baik. Jepang menjadi salah satu negara maju di Asia dan di dunia bukan tanpa alasan. Warga di negara ini begitu sopan dan patuh pada aturan.
Di sini, kau takkan melihat orang-orang berdebat dan menyumpah satu sama lain akibat insiden lalu lintas, kau juga takkan mendapati perkelahian antar orang mabuk di sebuah gang sempit. Banyak hal yang disukai Airi dari negara ini. Namun, rasa sukanya juga sebanding dengan rasa tidak sukanya terhadap upah yang tidak setimpal, banyaknya formalitas, dan budaya senioritas yang begitu kental.
Dari tiga ketidaksukaan itu, Airi telah merasakan dua di antaranya. Hari ini, dia baru saja memenuhi undangan pertemuan dengan Presdir Kage Summit Cinema, Akito Shigaki. Beliau adalah kaki tangan dari Presdir Kage Summit Studios, perusahan induk yang mewadahi bagian perfilman. Berada di posisi tinggi membuat Shigaki begitu disegani. Airi paham. Dia berusaha menghormatinya. Dia bukan seseorang yang tak tahu sopan santun.
Akan tetapi, memiliki etika bukan berarti dia tak punya hak untuk mengeluarkan opini. Raut tersinggung atasannya—yang sangat mengintimidasi karena Shigaki-san benar-benar terlihat garang—itu masih terbayang-bayang oleh Airi. Bahkan setelah mereka selesai melakukan pertemuan dan lanjut melakukan pertemuan lain dengan sekretaris barunya.
Rasa asam jus apel terasa hambar di mulut Airi. Dia sedang terpekur, memikirkan nasib karier barunya yang berawal buruk, sangat buruk.
"Aku hanya pernah beberapa kali bertemu dengannya. Dia memang agak sedikit sensitif."
Ucapan seseorang membuat Airi mendongak. Dia menatap sosok perempuan di hadapannya, perempuan dengan rambut ombre bercat ungu mencolok. Penampilan tersebut terlihat amat menantang jika dibandingkan dengan rata-rata karyawan perempuan di perusahaan mereka.
"Yugao-san, yang kulakukan hanyalah memberi tahu bahwa tuntutan yang dia minta takkan dapat diselesaikan dalam waktu dekat," balas Airi, masih tidak menyangka. "Terakhir kali kulihat berkasnya, kita sedang memegang dua seri televisi. Dua-duanya memiliki kurva rating penonton yang negatif. Artinya, pada setiap episode baru, jumlah penonton kita semakin turun. Aku harus memperbaikinya untuk menghindari kerugian. Tapi, dia juga menyuruh kita menerima lima proyek film baru untuk perilisan di tahun depan. Padahal, sekarang tiga proyek film yang kita tangani sedang mandek."
Airi menatap Yugao dengan heran campur frustrasi.
"Karyawan Hiraishin Picture hanya sekitar seratus. Permintaannya tidak masuk akal. Aku hanya sedikit memberi tahunya. Tapi, dia malah memarahiku yang terlalu pesimis," lanjut Airi dengan nelangsa.
"Harusnya Anda mengiakan saja seluruh ucapannya."
"Mengiakan sama saja memberi janji. Dengan pertimbangan yang sekarang kita hadapi, bagaimana mungkin aku menjamin seluruh kesuksesan proyek tanpa adanya konsekuensi? Dia bahkan tak menanyakan alasanku mengatakan hal itu."
Airi mengembuskan napas pelan.
"Maaf karena membuatmu mendengar seluruh keluhanku," ucapnya, merasa tidak enak. "Aku hanya sedikit tidak mengira kalau kondisi kita separah ini." Tawa Airi sedikit dipaksakan. Dia menunjuk makanan mereka dengan sumpit. "Mungkin kau ingin tambah, Yugao-san?"
Yugao menolaknya. Mereka kemudian menyelesaikan makan selagi berbincang untuk sedikit mengenal satu sama lain. Pada suapan terakhir, Yugao memberitahukan jadwal rapat untuk esok hari, rapat pertama Airi di perusahaan tersebut. Sudah tiga hari dia masuk kerja. Tiga hari pula dia mencoba mengenali para karyawannya. Jika dibanding kolega-kolega kerjanya yang dulu, orang-orang sini memang cenderung lebih kaku dan formal. Airi bertekad untuk mengubah dinamika interaksi mereka secara perlahan, terutama interaksi dengan para petinggi alias senior yang tampak masih belum rela dipimpin oleh anak baru yang sialnya berdarah campuran,dan lebih muda dari mereka.
Pertemuan dengan Yugao berakhir di sore hari. Airi bergegas ke stasiun untuk kembali ke apartemen. Dia tak mendapati Kazuki ketika sampai. Sehari yang lalu, Airi menyerahkan Kazuki pada Ethan. Pria itu mengajak Kazuki berjalan-jalan mengelilingi Tokyo, sekaligus untuk melihat-lihat sekolah di musim liburan ini. Kegiatan belajar mengajar akan dimulai dua pekan depan. Kazuki masih punya waktu untuk memilih sekolah.
Masalah akademik Kazuki sama sekali tak dikhawatirkan Airi. Berbeda dengan orang tua khas Asia pada umumnya, dia takkan terlalu menekan Kazuki untuk mencetak prestasi akademik. Dia membebaskannya mengeksplor hal-hal yang menurutnya menarik. Cara ini telah dia terapkan sejak dulu dan hasilnya tidak mengecewakan. Kazuki mengembangkan banyak hobi baru, salah satunya membaca. Siapa sangka kalau anak laki-laki, di usia muda, sudah menggemari lembaran kertas?
Membersihkan diri sejenak, Airi kemudian menghubungi Ethan, memberi tahu agar mereka tidak pulang terlalu larut. Dia mengikat rambut dengan asal dan membawa secangkir kopi panas ke dalam ruang kerja. Pertemuannya dengan sang atasan berhasil menggelitik egonya. Citra diri Airi tampak menurun di hadapan Tuan Shigaki. Dia ingin memperbaiki kesalahpahaman itu dan menunjukkan bahwa dia kompeten. Tidak lucu jika dia langsung diturunkan dari posisi baru ini ketika baru memulai tiga hari lalu.
Layar laptop mulai menyala. Airi membuka email berisi dokumen yang dikirimkan oleh rekan-rekan barunya. Waktu berlalu dengan cepat selagi Airi mencurahkan perhatian pada layar. Minuman berkafein yang menemaninya ikut berkurang sedikit demi sedikit. Airi mengernyitkan dahi selagi mempertimbangkan sesuatu. Dia menyender pada kursi kerjanya, mengistirahatkan punggung selagi berpikir.
Setelah terdiam beberapa saat, dia membuka ponsel untuk menghubungi Yugao. Sambungan telepon diangkat pada nada dering ketiga.
"Tolong siapkan proposal kerja sama untuk beberapa perusahaan yang kemarin kubicarakan."
"Proposal kerja sama untuk Suna Studios, Soni Film Entertainment, Wamner Cros Picture, dan Izanami Film, benar?"
"Ya. Tolong siapkan proposalnya agar besok bisa langsung dikirimkan pada jam kerja."
Di seberang sana, Yugao menyanggupi. Airi mengucapkan terima kasih sebelum menutup panggilan. Dia termenung sesaat, tiba-tiba teringat profil perusahaan yang hendak mereka hubungi. Dari empat perusahaan itu, tiga di antaranya pernah menjalin kerja sama dengan cabang perusahaan Kage Summit Cinema. Hanya satu yang belum pernah menjalin produksi kerja sama dengan mereka. Perusahaan yang dimaksud adalah Izanami Film, sebuah cabang perusahaan produksi film dari Izanami Studios—salah satu divisi sebuah perusahaan hiburan, Izanami Entertainment.
Hasil produksi film dari perusahaan tersebut hampir selalu sukses. Mereka bekerja sama dengan banyak perusahaan multinasional dan menghasilkan jejeran film populer. Airi merasa bodoh karena baru mendengar nama mereka, padahal dia menggeluti bidang yang sama. Ketidaktahuan itu mendorongnya untuk mencari informasi perusahaan tersebut dengan lebih banyak lagi. Hasil yang dia dapat pada laman profil perusahaan langsung membuatnya bungkam.
Airi menatap kosong layar laptopnya. Dia bangkit berdiri dan bergegas membukakan pintu saat mendengar suara bel. Sosok Kazuki dengan ekspresi puas segera menyambut Airi. Ketika ditanya ada apa, dia hanya menyeringai dan memberikan plastik berisi ramen hangat pada Airi. Sosoknya telah menghilang di balik pintu kamar sebelum Airi sempat memanggilnya.
Menoleh pada Ethan, Airi bertanya, "Apa saja yang kalian lakukan?"
Ethan mengedikkan bahu. "Jalan-jalan."
"Apa yang kautunjukkan?" Airi meralat pertanyaannya.
Senyuman separuh merambat di bibir Ethan.
"Pameran Robot Internasional."
Airi mengerjap. Dia lalu mendengkusan tawa.
"Pantas saja," komentarnya. "Dia takkan sesemangat itu kalau bukan untuk ... robot?" Airi mengerling pada ramen hangat yang dia terima. "Kelihatannya kau memberi tahu Kazuki banyak hal tentangku."
"Justru aku heran kenapa kau bisa tak memberitahukan kegilaanmu terhadap ramen."
Mengedikkan bahu, Airi membalas, "Ramen bukan makanan yang baik untuk pertumbuhan. Aku tak ingin dia bermasalah seperti ibunya."
Ethan mendengkuskan tawa. Dia menolak tawaran Airi untuk mampir.
"Aku ada shift malam," jelasnya.
Airi mengangguk. Dia masih membuka pintu sampai Ethan berbalik. Namun, alih-alih segera pergi, pria itu kembali menghadapnya. Dia menanyakan kegiatan Airi hari ini.
"Beberapa meeting dan hal-hal lain, klise."
"Kau baik-baik saja, 'kan?" tanya Ethan dengan tiba-tiba.
Airi mengerjap, tak mengantisipasi datangnya pertanyaan itu.
"Yeah, aku baik-baik saja."
"Kau kelihatan sedang bermasalah." Dia menatap Airi lamat-lamat. "Apakah dia—"
Airi segera menggeleng.
"Tidak. Tidak. Pertemuanku dengan bos besar sedikit tidak lancar dan aku sedang memikirkannya," ungkap Airi.
Ethan kentara sekali masih terlihat ragu. Airi kembali meyakinkannya dengan beralasan bahwa dia sedang merancang rencana proyek barunya. Setelah merasa cukup yakin pada kondisi Airi, pria itu pada akhirnya mengangkat kaki.
Sepeninggalan Ethan, Airi mengembuskan napas pelan. Banyak orang yang kesulitan memahaminya, tapi Ethan bukanlah salah satu dari orang itu. Mereka berdua telah bersama sejak kecil. Tepatnya sejak mereka memasuki sekolah dasar. Ethan adalah kakak kelasnya. Dia anak laki-laki yang baik, satu-satunya anak yang melerai dan membelanya ketika dia terlibat keributan dengan anak lain.
Sama seperti Airi, Ethan berasal dari panti asuhan. Mereka adalah yatim piatu. Ethan merasakan beban yang juga dirasakan Airi sehingga dia dapat bersimpati padanya. Mereka mungkin dekat karena kesamaan tersebut. Hanya saja, tak seperti Airi, saat itu Ethan telah mendapatkan orang tua baru. Dia diasuh oleh keluarga berkecukupan dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Bersama dengan Ethan, Airi mengenal banyak orang, salah satunya Shizune Tatsuki, seorang dokter yang menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya tinggal. Shizune memang tak mengadopsi Airi secara langsung. Namun, dia membiayai sebagian besar kebutuhan Airi, termasuk pendidikan. Dia pulalah yang membantu Airi mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri meski Airi sedang menghadapi kondisi sulit.
Ethan mungkin terlalu lama mengenalnya hingga membuat Airi kesulitan menyembunyikan keresahannya.
Ketika mendengar masalah yang dihadapi perusahaan, Airi langsung tahu bahwa salah satu solusinya adalah dengan mengajukan tawaran kolaborasi produksi. Dari situ, Airi mulai mengenal Izanami Entertainment, sebuah industri hiburan yang sekarang dipimpin oleh sosok bernama Juan Hasegawa.
Nama Hasegawa berhasil mematik rasa penasaran Airi. Sesaat setelah mencoba mengulik lebih jauh tentang perusahaan tersebut, dia langsung mengerti, Izanami adalah saudara dari perusahaan telekomunikasi multinasional yang bernama Izanagi Communication Inc. Jika industri hiburan ternama itu dipimpin oleh Juan Hasegawa, maka industri telekomunikasi raksasa yang satunya dipimpin oleh sang adik, Kei Hasegawa, seorang pria yang menjadi benang penghubung masa lalu Airi.
Airi selalu tahu bahwa Kei akan menjadi orang sukses. Dia hanya tak menyangka bahwa Kei Hasegawa akan ... sesukses itu.
Keterkejutan ini membuatnya urung untuk merancang rencana kerja sama dengan anak perusahaan Izanami. Airi dilanda keraguan akibat kekhawatiran yang ternyata masih terpendam dalam dirinya. Padahal, dia hanya membutuhkan kerja sama dengan Izanami Entertainment, bukan saudara dari perusahaan tersebut. Jika proposalnya diterima, mereka akan menjalankan proyek film bersama. Dia akan bekerja, bukan melakukan hal lain atau terlibat dalam masalah lain.
Airi mengambil napas dalam. Dia menutup pintu, bergegas ke dapur, dan duduk di dekat pantri untuk menyantap makanan favoritnya.
Rasa khas ramen langsung memenuhi indra perasanya, membawanya pada memori masa muda yang telah berlalu, memori yang telah dia terima, memori yang telah menjadi bagian hidupnya dan tak lagi akan dia coba untuk dihindari.
Kenangan itu mengingatkannya bahwa dia tak lagi takut, khawatir, ataupun risau.
Ketika kembali ke ruang kerja, Airi tahu bahwa dia memang baik-baik saja. Kemungkinan untuk kembali bertemu tidak lagi meresahkannya, sebab mereka telah lama selesai. Airi tak lagi bermasalah dengan sosok itu, begitu pula sebaliknya. []
MAKAN MALAM KELUARGA besar seharusnya terasa hangat, bukan memuakkan dan membuat para anggota keluarga tidak nyaman. Paling tidak, Kei selalu merasakan hal itu sejak dia kecil. Keluarga adalah omong kosong. Mereka tinggal satu atap hanya karena kesamaan genetika, sebuah garis biologis yang menyatukan, bukan karena keinginan untuk tinggal bersama. Keluarga hanya bagaikan benalu, sebuah jerat yang mengekang hidupnya. Mereka membesarkan anak-anak hanya untuk mendapatkan balasan, agar ketika besar nanti mereka bisa menuntut anak-anak itu untuk memenuhi keinginan—memenuhi ambisi dan keserakahan sang orang tua. Definisi tersebut mungkin akan sangat salah untuk sebagian besar orang. Kei mengerti. Keluarga normal takkan mengartikan sebuah keluarga dengan cara pandang ini. Namun, kata normal tidak berlaku untuk keluarga Hasegawa. Baik secara keseluruhan, maupun keluarga kecil yang dibangun sang ayah. Meja berbentuk oval di sebuah ruangan meg
AIRI TIDAK MENYANGKA bahwa proposalnya diterima dengan mudah. Penerimaan proposal memang belum menunjukkan keputusan final kerja sama. Mereka masih harus melakukan presentasi untuk memperlihatkan nilai dari proyek yang ditawarkan. Melalui presentasi tersebut, pihak yang mendapatkan penawaran akan mempertimbangkan keuntungan yang akan mereka dapat dari partner baru mereka. Airi percaya diri dengan materi presentasi yang akan dibawanya. Namun, di saat yang sama dia cukup ragu. Izanami merupakan sebuah perusahaan yang begitu berjaya. Perusahaan tersebut juga merupakan rival yang beberapa hari lalu dibicarakan Ethan. "Sudah tahu ingin sekolah di mana?" Airi bertanya pada Kazuki selagi menyiapkan sandwich untuk sarapan. Kazuki tengah duduk di belakang konter dapur. Rambutnya masih acak-acakan khas bangun tidur. Dia menelungkupkan kepala di sana, menahan kantuk yang menerpa. Berbanding terbalik dengan penampilannya, sang ibu kelihatan sud
MEREKA SALING MENGENAL setelah Airi menghabiskan waktu istirahat dengan mengunjungi loteng sekolah, tempat terlarang bagi para siswa kecuali staf sekolah dan Kei Hasegawa.Entah kapan Airi memutuskan untuk mendekati Kei. Dia tak terlalu ingat waktu pastinya. Airi mendaftar di Kogakuen High School, sebuah SMA ternama yang rata-rata diisi oleh siswa-siswi yang berlatar belakang menengah ke atas. Jika bukan karena bantuan dana dari Shizune, yang bersikeras menyekolahkan Airi di yayasan bergengsi ini, dia takkan punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sana.Airi tak punya catatan akademik yang mencolok. Dia hanya memiliki nilai rata-rata, tidak terlalu tinggi ataupun rendah. Alasan dia lulus seleksi di sekolah itu hanya karena motivasi untuk membalas budi baik Shizune. Ethan, yang tak punya kesempatan untuk mencoba mengikuti ujian seleksi di Kogakuen, ikut membantu Airi belajar. Selain karena dia lebih tua dari Airi, dia dapat membantu Airi karena kemampuan akademik
AIRI TIDAK BERENCANA untuk memberikan pengalaman pertama-nya pada Kei. Sudah enam bulan sejak mereka memutuskan untuk saling mengenal. Selama itu pula, mereka hanya akan bertemu di sekolah, dengan Airi yang menghampiri Kei di loteng. Tempat itu seolah telah menjadi persembunyian khusus mereka. Airi akan menemui Kei di sana pada lima belas menit pertama jam istirahat. Mereka juga akan kembali bertemu sepulang sekolah setelah Airi menjadikan ajang 'Kei mentraktir ramen untuk Airi' sebagai agenda rutin. Tindakan ini dilakukan karena Kei bersikeras menolak ajakannya untuk bertemu siswa-siswa lain. Dia memang menerima Airi sebagai teman, tapi bukan berarti dia mau ikut bergaul dengan yang lain. Airi mengerti. Dia tidak memaksa. Mengenal Kei lebih dekat cukup untuk mengonfirmasikan anggapan tentang Kei yang tak seburuk berita-berita di sekitarnya. Dia memang dingin, menutup diri, dan sangat jarang berinisiatif untuk mengawali pembicaraan. Namun, sebenarnya
PENJELASAN SANG WALI kelas terdengar samar di telinga Airi. Dia sedang mengingatkan para murid mengenai ujian seleksi kampus yang akan diadakan kurang dari dua minggu lagi." ... mental dan pikiran. Jangan sampai rasa khawatir kalian mengganggu konsentrasi hingga merusak kompetensi diri. Kogakuen High School adalah sekolah unggulan yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi di Tokyo University ...."Airi mengerling pada layar ponsel, memperhatikan jam digital yang menunjukkan pukul tiga lebih tiga belas menit. Dia mengembuskan napas pelan dan mengalihkan pandangan untuk melihat bentang langit kebiruan.Bel pulang sekolah terdengar beberapa saat kemudian. Pertemuan di hari itu selesai. Kelas dibubarkan meski sang guru belum mencurahkan seluruh pidato motivasinya. Airi berberes untuk keluar. Dia sempat membalas high five Nomura dan Itsuki ketika melewati mereka."Kau tak mau main basket lagi?" seru Itsuki."Kita harus bersenang-senang sebelu
KEMBALI MELENTANGKAN TUBUH, Airi mengutuki efek obat yang tak kunjung membuatnya mengantuk.Kenapa juga dia harus setampan itu? Bajingan sekali. Harusnya dia sedikit buruk rupa—tidak, dia harus sangat buruk rupa biar aku bisa langsung menendangnya waktu pertama kali dia menciumku di vila.Rasanya ingin menghantamkan kepala ke dinding terdekat. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya murni untuk menghibur diri. Kei memang bajingan karena memulai hubungan itu. Tapi, Airi sama tidak warasnya. Dia mengikuti permainan Kei dan sesumbar bahwa dia takkan merasakan apa pun.Embusan napas kembali dilakukan. Dia menoleh saat mendengar kedatangan seseorang. Shizune, masih mengenakan jas musim dingin, datang dengan membawa semangkuk sup hangat.Airi bangkit untuk duduk. Dengan pelan, dia berucap, "Sudah kubilang, kau tak perlu merawatku, Shizune-san.""Persediaan makanmu kosong. Tadi aku sempat mampir ke swalayan," tukas Shizune, tak peduli pada prote
KEI BERTAMBAH GAGAH dibandingkan dua belas tahun lalu.Airi mengumpat pelan ketika melihat Kei, alih-alih Juan, memasuki ruangan. Untuk sesaat, Kei tak melihatnya karena dia memang tidak memperhatikan para karyawan sebagai individu. Airi cukup mengenal Kei untuk tahu bahwa dia masih tidak terlalu peduli pada orang lain yang tak berkepentingan dengannya.Salam dan senyum yang dilemparkan Airi hanyalah bagian dari formalitas. Dia tak bermaksud apa pun. Reaksi terkejut Keilah yang membuat Airi terheran-heran. Ketika memikirkan tawaran kerja sama, Airi sudah menebak bahwa dia pasti akan bertemu—atau setidaknya berpapasan—dengan Kei. Mungkin memang tidak secepat ini. Tapi, antisipasi itu membuat dia cukup siap untuk kembali melihatnya.Lagi pula, sudah tak ada apa-apa lagi di antara mereka. Jadi, kenapa dia harus takut?Presentasi yang dibawakan Airi berjalan lancar. Dia tak merasa terusik pada kehadiran Kei. Dua belas tahun yang dilewati telah mem
YUKIE KAZAHANA MENGENAL Kei Hasegawa di acara after party sebuah movie premiere tujuh tahun lalu.Sebagai seorang aktris, dia cukup mengenal orang-orang penting di perusahaan hiburan, dia bahkan dekat dengan seorang pimpinan perusahaan paling muda di ranah industri tersebut, sosok yang tak lain bernama Juan Hasegawa.Bagi Yukie, Juan adalah lelaki paling berkarisma yang pernah ditemuinya. Dia begitu tenang dan takkan tergoda dengan godaan terberat sekalipun. Di mata Yukie, Juan bagaikan ... air dalam di lautan lepas; tenang dan tentram. Namun, di saat bersamaan terasa gelap dan dapat menenggelamkan siapa pun yang ingin meraihnya. Tak ada keindahan untuk tetap berada di sisinya. Tapi, di saat bersamaan dia akan membuatmu ingin berada di sana karena kau merasa aman dari gangguan dunia luar.Ketika mengenal Kei, Yukie kira, sang adik—yang menghabiskan waktu kurang lebih enam tahun di Eropa—takkan jauh berbeda dari kakaknya. Be
EMBUSAN ANGIN SALJU tampak membekukan. Tumpukan es telah menutupi sebagian besar tanah lapang. Airi sedang memikirkan nasib tumbuhan di dalam rumah kaca yang dilihatnya ketika seseorang datang, membawakan seduhan teh panas untuk mereka berdua. "Teh hijau adalah favoritku. Kuharap kau menikmatinya juga." Mei Hasegawa tersenyum dan duduk di seberang Airi. Dia memperbaiki baju hangatnya, menyilangkan kaki, dan mulai menyesap minuman panas itu. Airi menghirup segar aroma teh. "Sebenarnya bukan favorit. Saya hanya sering mengonsumsinya saja." Airi sedikit mencicip, merasakan hangat yang memanja indra perasa. "Sering mengonsumsi akan membuatmu terbiasa," ujar Mei sambil melengkungkan senyum. "Ah, aku lupa mem
SEJAK MEREKA MENJALIN hubungan serius, Kei belum pernah semarah ini. Airi bisa menanganinya dengan mudah kalau mereka hanya dihalangi kesalahpahaman, bukan dihalangi oleh keputusan sepihak yang dibuatnya.Sikap diam Kei nyatanya jauh mengkhawatirkan dibandingkan dengan sikap tegasnya yang biasa. Karena kondisi ini, Airi bahkan mengubah rencana menginapnya dan Yugao. Dia tak menghabiskan waktu di penginapan kantor, tapi langsung melakukan check in ulang begitu urusan kerjanya di hari kedua selesai.Pesan balasan dari Lucy, sang kawan baik, datang. Dia tampak tak masalah pada penundaan pertemuan mereka. Airi mengembuskan napas lega. Dia meletakkan tas tangan begitu saja di atas nakas. Kemudian berbaring di atas ranjang. Kedua mata menutup rapat, membayangkan guyuran hujan salju
KESEHARIAN AIRI HINGGA akhir tahun berlangsung jauh lebih normal dari yang dia duga. Menjalin hubungan dengan Kei nyatanya tidak begitu menjungkirbalikkan hidupnya. Sejak tereksposnya hubungan mereka, dia memang jadi lebih sering dihubungi wartawan majalah. Pada awalnya, mereka memang hanya memeras informasi mengenai Airi Ishihara yang merupakan kekasih Kei Hasegawa. Dia hanya dikenal sebagai kekasih seorang pengusaha kaya, bukan seorang wanita dengan karier dan pencapaiannya sendiri. Akan tetapi, selang beberapa waktu, orang-orang mulai menyadari kalau Airi bukan sekadar wanita pendamping saja. Mereka mulai menyoroti nama Airi, dia yang berhasil meniti karier dari seorang asisten produsen hingga menjadi pemimpin sebuah industri perfilman. Eksposur yang demikian jelas-jelas menguntungkan. Airi tidak merasa terganggu lagi. Dia juga mendapatkan lebi
AIRI TAK BEGITU terkejut ketika mendengar berita kerja sama Hasena dengan Huang Industrial Group. Selama ini, dia mengira kegagalan relasi pribadi Kei dan Jia akan berimplikasi besar terhadap status kerja sama perusahaan mereka. Setelah lebih mengenal Kei, Airi pun mengerti. Kei takkan menyia-nyiakan kesempatan besar itu hanya karena masalah pribadi. Dia telah memastikan Huang bergantung padanya, membuat mereka mau tidak mau mempertahankan relasi yang telah terjalin. Strategi bisnis pria itu … Airi cukup mengaguminya. Namun, di saat yang sama dia masih sering diliputi tanya. Bagaimana kalau suatu hari nanti pria itu mengambil keputusan ekstrem yang menurut Airi tak dapat dibenarkan? Cahaya pagi di musim semi menyadarkan Airi dari lamunan. Dia menghabiskan cokelat panasnya dan segera beranjak ke dalam apartemen. Seperti yang pernah dibicarakan dengan Kei
ENTAH BERAPA TAHUN Kei menantikan momen ini tiba, momen ketika paman congkaknya terlihat marah dan menderita berkat kekalahan yang menimpa. Persis seperti prediksinya, proses persidangan berjalan lancar seperti yang dia harapkan. Rodo Hasegawa terjerat pasal berlipat, pasal mengenai penggelapan dan pencucian dana serta pasal tentang percobaan pembunuhan. Kejahatan kerah putih yang dilakukan Rodo tidaklah sedikit. Seluruh kecurangannya di bidang finansial cukup menggunung. Kei sudah merasa cukup dengan tuntutan itu. Uluran tangan Airi benar-benar memberatkan tuntutan yang menjerat Rodo. Konsekuensi tindakan rencana pembunuhan memang mendapatkan hukuman yang cukup berat. Oleh karena itu, rencana hukuman penjara yang awalnya berselang lima belas tahun, kini menjadi maksimal tiga puluh tahun. Dari hasil ketukan palu, hukuman Rodo ditetapkan menjadi du
“PROSES ITU TAKKAN mudah, tapi semuanya akan berjalan lancar.” Adalah kalimat Kei yang sempat Airi ragukan.Selama kurun waktu sebulan ini, terdapat banyak hal yang terjadi. Airi merasa kewalahan dan terburu-buru, sulit untuk tenang, seolah dia sedang dituntut untuk berlari secepatnya selagi melepaskan diri dari jerat di belakang sana. Dikenal menjadi pasangan Kei Hasegawa tidaklah mudah. Menjadi penuntut hukum seseorang dari keluarga Hasegawa tidaklah enteng. Airi masih dihantui oleh ledakan besar yang hampir merenggut nyawanya. Dia masih sering terbangun di tengah malam, tersentak hebat karena peristiwa tersebut masih mengejarnya hingga ke alam mimpi.Airi telah melalui banyak kesulitan sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sekarang adalah salah satu masa yang membuatnya lelah. Pemberitaan di berbagai media elektronik, bisikan gosip d
SEPERTI PERKIRAAN KEI, sidang pertama Rodo Hasegawa memang dilaksanakan satu minggu kemudian. Airi sempat mendengar beritanya kemarin. Pagi tadi, Kei juga sempat menghubunginya, memberitahukan mengenai dia yang akan hadir di persidangan. Proses peradilan itu bersifat terbuka sehingga masyarakat umum diperbolehkan datang, asal tidak mengganggu proses peradilan. Airi akan mencoba datang juga kalau saja dia tidak mempunyai agenda tersendiri.“Catatan rapat tadi sudah saya back-up pada akun perusahaan, Ishihara-san. Apakah ada yang perlu saya agendakan lagi untuk hari ini?” ujar Mayumi, sekretaris sementara Airi.Kolega kerja mereka sudah meninggalkan ruang pertemuan. Airi pun menoleh pada Mayumi yang telah selesai berberes.
PENAHANAN RODO HASEGAWA memudahkan polisi melakukan pengusutan lebih lanjut. Mereka bekerja sama dengan detektif swasta yang dipekerjakan oleh pengacara penuntut utama. Tak hanya Rodo dan Seizu, nama Toshiki Furuma juga sudah ikut terseret. Salah satu anggota dewan paling berpengaruh itu sudah mendapatkan surat panggilan dari polisi sejak tiga hari lalu. Dari beberapa tahun terakhir, baru kali ini kepolisian pusat menangani kasus yang melibatkan tiga orang besar sekaligus. Pemberitaan kasus pun jadi semakin marak diperbincangkan. “Rodo adalah anak angkat kakekku. Dia tidak sedarah dengan paman ataupun ayah,” jelas Kei. Pintu geser kaca di dekat dapur tampak sedikit terbuka, menampakkan sinar matahari pagi yang masih terasa hangat. Tata letak rumah milik sang lelaki memang jauh lebih lenggang dan terbuka. Mereka dapat melihat keberadaan taman belakang melalui pintu geser yang ada di sana. Airi baru selesai memasukkan es batu ke dalam wadah berisi minuman rasa
AIRI TIDAK INGAT kapan dia terlelap. Matanya tertutup begitu saja setelah mendaratkan diri di atas ranjang. Dia sudah sangat mengantuk sejak selesai berendam. Ketika mengerjap, dia tak tahu sudah jam berapa. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Sampai kemudian dia merasakan erat rangkulan di belakangnya, juga hangat ciuman yang menjatuhi perpotongan lehernya.Airi sempat lupa kalau dia sedang tinggal di apartemen sang kekasih. Harum maskulin menggelitik hidung. Airi menoleh, menatap dalam remang cahaya kamar.“Aku ketiduran,” ungkap Airi, terdengar parau. “Maaf, tak sempat menunggumu.”Kei hanya membalas dalam gumaman. Dia tak mengatakan apa pun ketika kembali mengeratkan pelukan. Kecupan panas itu lagi-lagi hadir pada lekuk leher Airi, terus hingga rahang dan belakang telinga. Airi kontan meremang.“Ada apa?” tanya Airi, bernada rendah.“Kenapa kau tidak tidur di kamarku?” gumam Kei, sedikit tere