MEREKA SALING MENGENAL setelah Airi menghabiskan waktu istirahat dengan mengunjungi loteng sekolah, tempat terlarang bagi para siswa kecuali staf sekolah dan Kei Hasegawa.
Entah kapan Airi memutuskan untuk mendekati Kei. Dia tak terlalu ingat waktu pastinya. Airi mendaftar di Kogakuen High School, sebuah SMA ternama yang rata-rata diisi oleh siswa-siswi yang berlatar belakang menengah ke atas. Jika bukan karena bantuan dana dari Shizune, yang bersikeras menyekolahkan Airi di yayasan bergengsi ini, dia takkan punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sana.
Airi tak punya catatan akademik yang mencolok. Dia hanya memiliki nilai rata-rata, tidak terlalu tinggi ataupun rendah. Alasan dia lulus seleksi di sekolah itu hanya karena motivasi untuk membalas budi baik Shizune. Ethan, yang tak punya kesempatan untuk mencoba mengikuti ujian seleksi di Kogakuen, ikut membantu Airi belajar. Selain karena dia lebih tua dari Airi, dia dapat membantu Airi karena kemampuan akademiknya sedikit lebih baik dari perempuan itu.
Lolos seleksi di sekolah tersebut masih bagaikan mimpi. Namun, seiring berjalannya waktu, Airi berhasil beradaptasi—meskipun dia hanya memiliki segelintir teman, khususnya teman perempuan.
Bersosialisasi dengan orang-orang yang hanya mau mengajak main ke tempat-tempat mahal tidaklah mudah. Airi juga kesulitan untuk mengimbangi percakapan anak-anak cewek yang hampir selalu membicarakan lelaki tampan, brand sepatu terbaru, maupun liburan musim panas di luar negeri. Topik pembicaraan mereka begitu asing. Ketika tahu bahwa Airi berasal dari panti asuhan—bukan dari keluarga kaya seperti mereka—dia mulai dijauhi. Parahnya lagi, dia mulai dibenci karena bergaul dengan anak-anak cowok saja, padahal pihak yang mulai menjauhinya dan membuatnya mencoba mencari teman lain adalah mereka.
Kondisi ini sudah biasa bagi Airi. Dia tak merasa terganggu dan lanjut bergaul dengan anak lelaki yang untungnya tak melulu membicarakan merk produk mewah terbaru. Airi pandai berolahraga. Dia bisa ikut bermain bola, voli, basket, maupun permainan olahraga lain. Terima kasih untuk Ethan yang membuatnya terbiasa bermain dengan anak-anak cowok. Dibandingkan anak-anak perempuan, anak-anak cowok lebih mudah menerima Airi, meskipun Airi juga masih punya beberapa teman perempuan yang memang sangat baik sehingga tak menjauhinya hanya karena dia berbeda kelas dengan mereka.
Tahun pertama di Kogakuen High School tak terlalu buruk. Dia sering diajak mengobrol dan bercanda. Mereka kelihatan nyaman-nyaman saja menjadikan Airi teman. Bahkan, mereka tak segan untuk membagi cerita dengannya, termasuk cerita tentang seorang anak pindahan bernama Kei Hasegawa.
"... di kelas yang sama denganku," kata salah satu teman dekat Airi, Nomura. "Dia selalu menyendiri dan tak mau didekati. Di pelajaran Sejarah tadi, kami satu kelompok. Tapi, kalian tahu? Dia tak mau diajak mengobrol. Dia bahkan menyuruhku diam karena terlalu banyak bicara. Bah! Menjengkelkan sekali!"
Seseorang menimpali. "Maklum saja. Dia adalah yang terkaya dari yang terkaya. Ayahku memang pemimpin perusahaan, tapi perusahaan kecilnya sama sekali tak sebanding dengan milik Hasena Group. Kalian tahu universitas seni dan telekomunikasi swasta itu? Sekolah yang akan langsung menjamin karier para mahasiswanya?"
Nomura mengernyit. Dia bertanya, "Izanagi & Izanami University?"
Sosok yang tadi menjelaskan pun mengangguk. Dia menjentikkan jari.
"Yup. Kampus swasta itu adalah milik Hasena Group."
Pembicaraan mereka terdengar asing di telinga Airi. Dengan polosnya, dia bertanya, "Hasena Group ini ... siapa? Apakah hanya aku yang tidak kenal mereka?"
Itsuki, yang sejak tadi menjadi sumber informasi mereka, segera menatap Airi dengan tidak percaya.
"Kau serius?" tanyanya.
Airi mendelik.
"Oh, terima kasih banyak, aku tak kenal mereka karena kebetulan aku tak punya orang tua yang bekerja di perusahaan besar," sinisnya.
Nomura segera menimpali, tak ingin kembali menengahi perdebatan bodoh teman-temannya.
"Hasena Group adalah salah satu keluarga paling kaya di Jepang," jelas Nomura. Beberapa saat kemudian dia meralat. "Uh, di Asia, bukan lagi hanya di Jepang."
Kening Airi mengerut samar.
"Bukankah kalian juga orang kaya?" Dia menunjuk Itsuki. "Keluargamu punya rumah sakit sendiri." Dia juga menunjuk Nomura. "Kakekmu membangun kuil, keluargamu banyak yang bekerja di pemerintahan, dan ada juga yang menjadi pemimpin perusahaan." Matanya menatap Itsuki dan Nomura. "Kalian kaya. Maksudku, tak semua orang memiliki rumah sakit pribadi dan membangun kuil sebagai bentuk kebaktian kepada dewa, ‘kan?"
Itsuki, yang sejak tadi sedang bermain-main dengan bola, meloncat dan melemparkannya tepat pada ring basket.
"Kami cuma orang biasa dibandingkan mereka. Percayalah," ujarnya. Dia menoleh, menatap perempuan yang tengah duduk di lantai gedung olahraga. "Kartu perdana yang kaupakai dibuat oleh Izanagi. Saluran televisi dan radio yang kaudengar, dikelola oleh Izanami. Camilan yang kaumakan tiap kali kita main game di rumahku? Itu semua produk dari Shinsei, perusahaan cabang Hasena Group."
Bola basket menggelinding menjauh. Itsuki berlari untuk mengambilnya.
"Kereta di beberapa stasiun yang mengantarkanmu ke sekolah? Hampir semuanya berada di bawah label Sunshin Railway." Itsuki melemparkan bola pada Nomura. "Liburan kemarin, aku ikut pamanku ke Australia. Kami menggunakan Ninshu Air, agen penerbangan yang juga berada di bawah nama Hasena Group. Lalu ...." Dia menarik Airi berdiri, memintanya ikut bermain dengan mereka. "Kau ingat dua anak kelas tiga yang kena skorsing karena ketahuan booking hotel? Tempat itu dibangun dan dikelola oleh Rinne Construction, perusahaan kontruksi yang lagi-lagi milik Hasena Group."
Nomura mendengkuskan tawa.
"Aku sekarang mengerti. Level kita jauh berbeda dengannya. Aku jadi sedikit lebih lega karena tahu alasan di balik kesombongannya." Nomura mengoper bola pada Airi. "Di mata mereka, aku dan Itsuki masih termasuk orang fakir. Jadi, kau tak boleh memeras uang jajan kami lagi, Aishi! Ayahku sangat pelit!"
Airi hanya menyeringai. "Kalau begitu, kupersilakan kalian untuk kembali menantangku. Bagi yang kalah harus membayar jatah makan siangku selama sebulan penuh!"
Keduanya langsung tertantang, tiba-tiba ingin mengalahkan seorang cewek yang sejak semester pertama telah mempermalukan ketua klub basket sekolah. Airi tak lagi memikirkan Kei Hasegawa pasca pembicaraan itu. Selain karena sikap antipati kedua temannya, yang jengkel karena mendapatkan perlakuan dingin, tapi juga karena dia tak mau terlibat masalah dengan para pemuja Hasegawa.
Mereka bersekolah di tempat yang sama. Namun, tak pernah sekalipun Airi berinteraksi dengannya. Dia hanya pernah melihat Kei beberapa kali, melihatnya tidur di perpustakaan ataupun UKS, melihatnya bermain basket seorang diri sampai malam tiba, dan tak jarang melihatnya tengah berjalan-jalan di koridor sekolah ketika jam pelajaran berlangsung. Peraturan sekolah yang cukup ketat tampak tidak berdampak untuk Kei. Airi memastikan efek itu dengan memberi tahu guru mereka bahwa ada seorang murid yang selalu menggunakan loteng pada jam istirahat.
Reaksi sang guru seperti ini, "Biarkan saja. Dia punya akses khusus buat memakai loteng."
Airi merasa terdiskriminasi. "Tapi, Sensei, aku sering melihatnya membolos kelas. Dia juga tidur di UKS. Padahal, Ayame-san selalu mengusirku kalau aku mampir tidur di sana."
Guru kelasnya membalas dengan lugas, "Dia berbeda dengan kalian, Airi-chan. Dibandingkan kakak-kakak sepupunya dulu, dia sama sekali tidak bermasalah. Kami tidak ingin mengurus masalah kecil seperti ini."
Airi memberi tahu Nomura dan Itsuki tentang masalah yang sama. Reaksi mereka berdua tak jauh berbeda dengan sang guru. Hanya saja, saat itu Itsuki menambahkan, "Dia sulit didekati. Mungkin saja, dia tahu bahwa tujuan orang-orang mendekatinya hanya untuk kekayaannya saja. Aku kenal seseorang yang mengatakan hal yang sama. Untuk sekarang aku beruntung karena dia masih mempercayaiku."
Usaha Airi untuk menegakkan keadilan pun luntur secara perlahan. Dia menyerah dan tak peduli dengan keistimewaan yang didapat si siswa baru. Dunia mereka berbeda, Airi tak mau ikut campur. Jika Kei menganggap Itsuki dan Nomura sebagai orang fakir, akan jadi apa Airi di matanya? Gelandangan yang kebetulan nyasar di sekolah mewah?
Airi sampai malas membahasnya dengan Ethan. Dia benar-benar tidak peduli. Paling tidak, sampai dia melihat Kei babak belur.
Saat itu sudah sangat sore, bahkan hampir malam. Airi baru bisa pulang setelah kebagian piket klub voli. Dia diberi tugas untuk merapikan alat-alat yang habis digunakan untuk latihan. Dia kelelahan dan sedang memikirkan repotnya kembali ke panti yang begitu jauh dari stasiun kereta, sebab minggu ini dia disuruh untuk mengunjungi panti. Lampu-lampu sekolah sudah mulai dimatikan oleh para satpam.
Airi tengah mengembalikan buku paket ke dalam loker ketika dia mendengar kehadiran seseorang. Mereka tidak berpapasan karena Airi menghindarinya. Namun, sore itu, Airi melihat Kei tengah menyender di koridor depan. Napasnya menderu, buku-buku tangannya berdarah. Dia masih mengenakan seragam sekolah, minus jas biru dongker yang selalu dipakai di atas kemeja. Melalui pantulan cahaya redup, Airi melihat memar yang cukup kentara di kulit pucatnya.
Sejak saat itu, Airi tak bisa untuk tak memikirkan Kei. Dia terus terbayang dan tanpa sadar selalu memeriksa kondisinya, mencoba melihat bekas memar yang selalu muncul di beberapa bagian tubuh. Dia punya kesempatan untuk melihat karena selalu bermain-main ke depan ruang ganti anak laki-laki ketika menunggu Itsuki dan Nomura.
Airi sedikit menyinggung masalah ini pada kedua temannya. Mereka kelihatan tidak peduli. Katanya, keluarga kaya sering menyewa pengawal. Keluarga mereka juga sangat ketat dalam mengurus anak-anaknya. Jadi, sudah sangat lumrah jika beberapa dari mereka mendapatkan hukuman.
"Aku diberi tahu ayah, kehidupan orang-orang atas sangat berbahaya," kata Itsuki. "Hasena Group menjadi sponsor utama pemilu tahun lalu. Kutebak, mereka pasti punya orang di pemerintahan."
"Kalau sekarang masih zaman monarki absolut, aku bisa membayangkan mereka sebagai bagian keluarga kerajaan," tambah Nomura. "Dan aku hanya prajurit rendahan dari kerajaan sebelah yang miskin."
Mereka berdua tertawa. Tapi, tidak untuk Airi. Mendapatkan hukuman berupa kekerasan semacam itu tidaklah benar. Kekerasan pada anak-anak tidakah benar, meskipun mereka sudah masuk masa-masa akhir remaja.
Hidup di panti asuhan mengajari Airi banyak hal. Dia punya banyak teman yang kembali mengunjungi panti untuk mengeluhkan masalah di keluarga yang mengadopsi mereka. Banyak di antara mereka yang menjadi korban pemukulan dan hal-hal lain yang membuat Airi merasa beruntung bisa dikelilingi orang-orang baik. Airi memang tak mengenal Kei. Tapi, dia tak bisa berdiam diri saat punya kesempatan untuk membantu.
Dari mana aku memulai? pikir Airi.
Dia menaruh bola terakhir ke dalam keranjang. Net voli di tengah lapangan sana telah dilepaskan. Airi merenggangkan tubuh dan menyampirkan tas sekolahnya di sebelah bahu. Dengan masih mengenakan pakaian olahraga plus kemeja yang diikatkan di pinggang, dia berjalan keluar setelah menutup lampu gelanggang. Lingkungan sekolah sudah sepi, kecuali para satpam dan beberapa penjual di kantin.
Seperti biasa, dia menaruh buku paketnya—untuk meringankan tas—ke dalam loker. Kedua kaki melangkah menuju koridor depan. Dia sedang memikirkan jadwal keberangkatan kereta ketika mendapati sosok yang beberapa saat lalu sempat menguasai pikirannya.
Mendapatinya di sekolah pada jam-jam ini sudah tak lagi mengejutkan Airi. Hanya saja, tak seperti dulu, dia kini tidak berbalik arah untuk mencari jalan keluar lain. Airi memang menghentikan langkahnya seperti biasa. Tapi, sekarang dia tak memutar badan untuk pergi.
Kei tengah duduk di sebuah gazebo di bawah pohon. Dia menunduk, menatap paving yang dijejakinya. Kedua tangan Kei tampak mengepal dengan lemah. Airi menarik napas pelan. Dia berjalan mendekat, menghampiri Kei, dan tanpa ragu langsung duduk di sampingnya.
Tak ada reaksi yang berarti. Kei hanya diam, sama sekali tak mencoba untuk mengusir ataupun beranjak pergi.
Airi ikut diam, mencoba memikirkan bahan pembicaraan.
Sebelum sempat menata ulang pikirannya, dia sudah berujar, "Luka memar akan lama hilang kalau tidak segera dikompres."
Masih tak ada reaksi apa pun.
"Memar memang lebih baik daripada luka berdarah," tambahnya, tak peduli jika tetap diabaikan. "Tapi, keduanya sama-sama merepotkan dan menjengkelkan. Bukan karena rasa sakitnya, tapi karena orang-orang akan melihatku dengan tatapan aneh, seolah aku kena penyakit menular atau apa. Mungkin mereka memang tidak pernah melihat bekas luka ataupun terlibat dengan orang-orang bermasalah yang membuatmu ingin menonjoknya dengan keras."
Hanya embusan angin yang menjawab ucapannya.
Airi membuka ponsel, melihat waktu yang telah menunjukkan pukul tujuh. Dia memasukkan ponselnya pada saku celana training.
"Kompres dengan es batu yang dibungkus kain atau apa. Jangan menempelkannya langsung pada bekas luka. Dua hari setelahnya, kompres dengan air hangat. Memar memang akan hilang dengan sendiri, tapi kompresan bisa membantu menghilangkannya dengan lebih cepat." Airi berdiri. Dia menepuk kemeja yang membalut pinggang. "Kedai Paman Watabe di kantin masih buka. Kau bisa membeli es batu di sana. Dia sedikit pelit, tapi takkan tega membiarkan anak-anak babak belur."
Ponsel Airi berdering. Dia melihat nama kontak Ethan di sana. Saat menerima panggilan, dia langsung mendengar seruan tidak sabaran.
"Kau terlambat tiga puluh menit! Kereta terakhir akan datang sepuluh menit lagi. Aku akan meninggalkanmu kalau kau tak segera sampai."
"Aku akan segera sampai."
"Larilah!"
"Aku lari."
"Kau tidak berlari."
"Aku lari, Sialan! Tahan pintu kereta untukku!"
Dari balik kegelapan, sang pemuda berambut hitam menolehkan kepala, melihat sosok yang berlari cepat ke gerbang utama. Pikirannya kosong, tak mengerti pada motif tindakan perempuan itu. Orang-orang tak pernah peduli. Mereka tak pernah mau terlibat pada masalahnya, pada keluarganya. Bahkan para guru sekalipun. Mereka tidak pernah mau repot-repot menegurnya ketika dia melanggar aturan, menasihati ketika dia melakukan kesalahan, ataupun menanyakan alasan di balik luka-luka memar yang hampir selalu menghiasi wajah maupun tangan.
Kei termangu, memperhatikan sosok yang telah menghilang di balik gerbang, memikirkan seorang siswa yang masih memerlukan kereta untuk bertransportasi. Dia tak terdengar seperti perempuan-perempuan yang haus akan perhatiannya. Dibandingkan perempuan asing ini, mereka akan selalu gagap saat bicara pada Kei. Mereka akan tampak malu-malu selagi mendapatkan sorakan semangat dari anak-anak lain di belakang sana. Dibanding dengan mereka, sosok itu sendirian, berpakaian training, berambut pendek, dan berlari tergesa hanya untuk mengejar keberangkatan kereta.
Siapa?
Esok hari dan hari-hari selanjutnya, dia pun tahu identitas perempuan itu. Bukan karena repot mencari tahu, tapi karena dia tak berhenti untuk datang bahkan setelah berkali-kali diabaikan.
Pertahanan Kei tak sekuat itu. Dia penasaran dan tak bisa untuk tetap diam ketika seseorang berkali-kali menyelinap ke tempat khusus yang seharusnya tak terjamah oleh siswa selain dia sendiri.
"Siapa kau?" tanya Kei pada akhirnya.
Yang ditanya tertawa. Tawanya sangat lepas dan ringan, bagaikan embusan angin di musim panas.
“Ternyata kau bisa bicara juga," komentarnya, tak peduli pada ketiadaan ekspresi di wajah Kei. "Airi. Airi saja. Nama belakangku tak begitu penting." Dia menoleh dan sedikit memiringkan kepala. "Namamu?"
Kei yakin, sosok bernama Airi ini sudah tahu namanya.
Namun, jawaban atas nama tadi sedikit mematik sesuatu di diri Kei, sesuatu tentang motif yang mungkin akan berbeda dengan yang lain.
Pada akhirnya, dia menjawab, "Kei. Hanya Kei."
Airi mengulaskan senyum.
Sejak saat itu, Kei lebih dapat menoleransi masalah di keluarganya. Airi mengenalkan Kei pada dunia yang tak sempat dia lihat. Dia mengenalkannya pada harapan yang selama ini tak dia percayai.
Kei dan Airi berteman—hanya berteman. Paling tidak, itulah yang mereka pikirkan hingga sebuah batasan dilanggar, sebuah awal yang akan sangat membekas di masing-masing diri mereka meskipun keduanya telah mencoba untuk melepaskan. []
AIRI TIDAK BERENCANA untuk memberikan pengalaman pertama-nya pada Kei. Sudah enam bulan sejak mereka memutuskan untuk saling mengenal. Selama itu pula, mereka hanya akan bertemu di sekolah, dengan Airi yang menghampiri Kei di loteng. Tempat itu seolah telah menjadi persembunyian khusus mereka. Airi akan menemui Kei di sana pada lima belas menit pertama jam istirahat. Mereka juga akan kembali bertemu sepulang sekolah setelah Airi menjadikan ajang 'Kei mentraktir ramen untuk Airi' sebagai agenda rutin. Tindakan ini dilakukan karena Kei bersikeras menolak ajakannya untuk bertemu siswa-siswa lain. Dia memang menerima Airi sebagai teman, tapi bukan berarti dia mau ikut bergaul dengan yang lain. Airi mengerti. Dia tidak memaksa. Mengenal Kei lebih dekat cukup untuk mengonfirmasikan anggapan tentang Kei yang tak seburuk berita-berita di sekitarnya. Dia memang dingin, menutup diri, dan sangat jarang berinisiatif untuk mengawali pembicaraan. Namun, sebenarnya
PENJELASAN SANG WALI kelas terdengar samar di telinga Airi. Dia sedang mengingatkan para murid mengenai ujian seleksi kampus yang akan diadakan kurang dari dua minggu lagi." ... mental dan pikiran. Jangan sampai rasa khawatir kalian mengganggu konsentrasi hingga merusak kompetensi diri. Kogakuen High School adalah sekolah unggulan yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi di Tokyo University ...."Airi mengerling pada layar ponsel, memperhatikan jam digital yang menunjukkan pukul tiga lebih tiga belas menit. Dia mengembuskan napas pelan dan mengalihkan pandangan untuk melihat bentang langit kebiruan.Bel pulang sekolah terdengar beberapa saat kemudian. Pertemuan di hari itu selesai. Kelas dibubarkan meski sang guru belum mencurahkan seluruh pidato motivasinya. Airi berberes untuk keluar. Dia sempat membalas high five Nomura dan Itsuki ketika melewati mereka."Kau tak mau main basket lagi?" seru Itsuki."Kita harus bersenang-senang sebelu
KEMBALI MELENTANGKAN TUBUH, Airi mengutuki efek obat yang tak kunjung membuatnya mengantuk.Kenapa juga dia harus setampan itu? Bajingan sekali. Harusnya dia sedikit buruk rupa—tidak, dia harus sangat buruk rupa biar aku bisa langsung menendangnya waktu pertama kali dia menciumku di vila.Rasanya ingin menghantamkan kepala ke dinding terdekat. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya murni untuk menghibur diri. Kei memang bajingan karena memulai hubungan itu. Tapi, Airi sama tidak warasnya. Dia mengikuti permainan Kei dan sesumbar bahwa dia takkan merasakan apa pun.Embusan napas kembali dilakukan. Dia menoleh saat mendengar kedatangan seseorang. Shizune, masih mengenakan jas musim dingin, datang dengan membawa semangkuk sup hangat.Airi bangkit untuk duduk. Dengan pelan, dia berucap, "Sudah kubilang, kau tak perlu merawatku, Shizune-san.""Persediaan makanmu kosong. Tadi aku sempat mampir ke swalayan," tukas Shizune, tak peduli pada prote
KEI BERTAMBAH GAGAH dibandingkan dua belas tahun lalu.Airi mengumpat pelan ketika melihat Kei, alih-alih Juan, memasuki ruangan. Untuk sesaat, Kei tak melihatnya karena dia memang tidak memperhatikan para karyawan sebagai individu. Airi cukup mengenal Kei untuk tahu bahwa dia masih tidak terlalu peduli pada orang lain yang tak berkepentingan dengannya.Salam dan senyum yang dilemparkan Airi hanyalah bagian dari formalitas. Dia tak bermaksud apa pun. Reaksi terkejut Keilah yang membuat Airi terheran-heran. Ketika memikirkan tawaran kerja sama, Airi sudah menebak bahwa dia pasti akan bertemu—atau setidaknya berpapasan—dengan Kei. Mungkin memang tidak secepat ini. Tapi, antisipasi itu membuat dia cukup siap untuk kembali melihatnya.Lagi pula, sudah tak ada apa-apa lagi di antara mereka. Jadi, kenapa dia harus takut?Presentasi yang dibawakan Airi berjalan lancar. Dia tak merasa terusik pada kehadiran Kei. Dua belas tahun yang dilewati telah mem
YUKIE KAZAHANA MENGENAL Kei Hasegawa di acara after party sebuah movie premiere tujuh tahun lalu.Sebagai seorang aktris, dia cukup mengenal orang-orang penting di perusahaan hiburan, dia bahkan dekat dengan seorang pimpinan perusahaan paling muda di ranah industri tersebut, sosok yang tak lain bernama Juan Hasegawa.Bagi Yukie, Juan adalah lelaki paling berkarisma yang pernah ditemuinya. Dia begitu tenang dan takkan tergoda dengan godaan terberat sekalipun. Di mata Yukie, Juan bagaikan ... air dalam di lautan lepas; tenang dan tentram. Namun, di saat bersamaan terasa gelap dan dapat menenggelamkan siapa pun yang ingin meraihnya. Tak ada keindahan untuk tetap berada di sisinya. Tapi, di saat bersamaan dia akan membuatmu ingin berada di sana karena kau merasa aman dari gangguan dunia luar.Ketika mengenal Kei, Yukie kira, sang adik—yang menghabiskan waktu kurang lebih enam tahun di Eropa—takkan jauh berbeda dari kakaknya. Be
GREEN HOUSE MEMANG sangat cocok menjadi tempat bersantai di musim semi.Pada kediaman Daiki Hasegawa, Mei tengah memotong tangkai tanaman hias koleksinya. Jumlah tanaman di sana memang tidak sampai dua ratus, tetapi harganya dapat digunakan untuk membeli sebuah rumah minimalis modern yang sulit dibeli oleh pegawai kantoran sekalipun.Sinar matahari menyusup melalui celah dinding kaca, membantu proses pengolahan makanan untuk tanaman hias yang berjejer.Seorang pelayan rumah tangga tampak berjalan dari kejauhan, hendak menghampiri sang majikan. Mei menoleh ketika mendengar kedatangannya. Dia menaruh gunting khusus yang sedang dipakai sebelum berjalan menghampiri."Ada apa?" tanyanya pendek.Seorang wanita muda yang menjadi pegawainya itu menunduk."Takamiya-san ingin bertemu Anda," ungkapnya.Mei mengernyit samar. "Takamiya?"Si pelayan mengangguk."Biarkan dia masuk. Aku akan ke sana."Berbalik kembali ke
TAWARAN KERJA SAMA dari Hiraishin Picture diterima oleh Izanami Studio. Airi bersuka cita kalau saja tak ada beban lain yang harus dia tanggung.Lembar berkas laporan ditatap dengan nanar. Airi meraih telepon kantor, menghubungi Yugao untuk memintanya menyambungkan panggilan pada Kepala Bagian Produksi, Shouta Okumura, seorang senior paling congkak yang sampai saat ini masih belum bersedia mengakui Airi sebagai pemimpin mereka. Dia merupakan putra sulung dari seorang hakim ternama di negara gingseng itu. Akan tetapi, dia sama sekali tak memiliki sifat yang mencerminkan putra dari seorang hakim.“Bisakah kau ke ruanganku sekarang? Ada yang ingin kubicarakan terkait laporan yang kauberikan.”Dia menemui Airi satu jam kemudian dengan alasan harus menemani temannya makan siang. Kesabaran Airi benar-benar diuji ketika Shouta mengatakannya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Jika dia lebih senior darinya, dia akan langsung memarahi Shouta atas kelalaian ini.
ENTAH SEJAK KAPAN operasional dari cabang perusahaan ditangani langsung oleh presiden direktur perusahaan induk. Airi pikir, dia hanya akan berurusan dengan Direktur Izanagi TV, alih-alih Presiden Direktur Izanagi Telecommunication Inc., Kei Hasegawa.Beberapa hari lalu, Airi telah memutuskan untuk mengesampingkan kepentingan pribadi dan mengutamakan profesionalitas. Kesempatan pengalihan siaran yang dibuka oleh Izanagi segera diambil. Dia hanya perlu memberikan data dan jaminan untuk meyakinkan mereka bahwa acara yang ditawarkan masih memiliki potensi untuk laku di pasaran.Guna melancarkan negosiasi ini, dia datang ke Izanagi bersama Kepala Bagian Produksi—Shouta Okumura—dan seorang creative director. Mereka bertiga sempat dipersilakan untuk menemui Sakita, Direktur Izanagi TV. Oleh Sakita, Airi disuruh untuk langsung menghadap presiden direktur mereka yang tak lain adalah Kei.“Beberapa acara yang tahun lalu kami ambil semp
EMBUSAN ANGIN SALJU tampak membekukan. Tumpukan es telah menutupi sebagian besar tanah lapang. Airi sedang memikirkan nasib tumbuhan di dalam rumah kaca yang dilihatnya ketika seseorang datang, membawakan seduhan teh panas untuk mereka berdua. "Teh hijau adalah favoritku. Kuharap kau menikmatinya juga." Mei Hasegawa tersenyum dan duduk di seberang Airi. Dia memperbaiki baju hangatnya, menyilangkan kaki, dan mulai menyesap minuman panas itu. Airi menghirup segar aroma teh. "Sebenarnya bukan favorit. Saya hanya sering mengonsumsinya saja." Airi sedikit mencicip, merasakan hangat yang memanja indra perasa. "Sering mengonsumsi akan membuatmu terbiasa," ujar Mei sambil melengkungkan senyum. "Ah, aku lupa mem
SEJAK MEREKA MENJALIN hubungan serius, Kei belum pernah semarah ini. Airi bisa menanganinya dengan mudah kalau mereka hanya dihalangi kesalahpahaman, bukan dihalangi oleh keputusan sepihak yang dibuatnya.Sikap diam Kei nyatanya jauh mengkhawatirkan dibandingkan dengan sikap tegasnya yang biasa. Karena kondisi ini, Airi bahkan mengubah rencana menginapnya dan Yugao. Dia tak menghabiskan waktu di penginapan kantor, tapi langsung melakukan check in ulang begitu urusan kerjanya di hari kedua selesai.Pesan balasan dari Lucy, sang kawan baik, datang. Dia tampak tak masalah pada penundaan pertemuan mereka. Airi mengembuskan napas lega. Dia meletakkan tas tangan begitu saja di atas nakas. Kemudian berbaring di atas ranjang. Kedua mata menutup rapat, membayangkan guyuran hujan salju
KESEHARIAN AIRI HINGGA akhir tahun berlangsung jauh lebih normal dari yang dia duga. Menjalin hubungan dengan Kei nyatanya tidak begitu menjungkirbalikkan hidupnya. Sejak tereksposnya hubungan mereka, dia memang jadi lebih sering dihubungi wartawan majalah. Pada awalnya, mereka memang hanya memeras informasi mengenai Airi Ishihara yang merupakan kekasih Kei Hasegawa. Dia hanya dikenal sebagai kekasih seorang pengusaha kaya, bukan seorang wanita dengan karier dan pencapaiannya sendiri. Akan tetapi, selang beberapa waktu, orang-orang mulai menyadari kalau Airi bukan sekadar wanita pendamping saja. Mereka mulai menyoroti nama Airi, dia yang berhasil meniti karier dari seorang asisten produsen hingga menjadi pemimpin sebuah industri perfilman. Eksposur yang demikian jelas-jelas menguntungkan. Airi tidak merasa terganggu lagi. Dia juga mendapatkan lebi
AIRI TAK BEGITU terkejut ketika mendengar berita kerja sama Hasena dengan Huang Industrial Group. Selama ini, dia mengira kegagalan relasi pribadi Kei dan Jia akan berimplikasi besar terhadap status kerja sama perusahaan mereka. Setelah lebih mengenal Kei, Airi pun mengerti. Kei takkan menyia-nyiakan kesempatan besar itu hanya karena masalah pribadi. Dia telah memastikan Huang bergantung padanya, membuat mereka mau tidak mau mempertahankan relasi yang telah terjalin. Strategi bisnis pria itu … Airi cukup mengaguminya. Namun, di saat yang sama dia masih sering diliputi tanya. Bagaimana kalau suatu hari nanti pria itu mengambil keputusan ekstrem yang menurut Airi tak dapat dibenarkan? Cahaya pagi di musim semi menyadarkan Airi dari lamunan. Dia menghabiskan cokelat panasnya dan segera beranjak ke dalam apartemen. Seperti yang pernah dibicarakan dengan Kei
ENTAH BERAPA TAHUN Kei menantikan momen ini tiba, momen ketika paman congkaknya terlihat marah dan menderita berkat kekalahan yang menimpa. Persis seperti prediksinya, proses persidangan berjalan lancar seperti yang dia harapkan. Rodo Hasegawa terjerat pasal berlipat, pasal mengenai penggelapan dan pencucian dana serta pasal tentang percobaan pembunuhan. Kejahatan kerah putih yang dilakukan Rodo tidaklah sedikit. Seluruh kecurangannya di bidang finansial cukup menggunung. Kei sudah merasa cukup dengan tuntutan itu. Uluran tangan Airi benar-benar memberatkan tuntutan yang menjerat Rodo. Konsekuensi tindakan rencana pembunuhan memang mendapatkan hukuman yang cukup berat. Oleh karena itu, rencana hukuman penjara yang awalnya berselang lima belas tahun, kini menjadi maksimal tiga puluh tahun. Dari hasil ketukan palu, hukuman Rodo ditetapkan menjadi du
“PROSES ITU TAKKAN mudah, tapi semuanya akan berjalan lancar.” Adalah kalimat Kei yang sempat Airi ragukan.Selama kurun waktu sebulan ini, terdapat banyak hal yang terjadi. Airi merasa kewalahan dan terburu-buru, sulit untuk tenang, seolah dia sedang dituntut untuk berlari secepatnya selagi melepaskan diri dari jerat di belakang sana. Dikenal menjadi pasangan Kei Hasegawa tidaklah mudah. Menjadi penuntut hukum seseorang dari keluarga Hasegawa tidaklah enteng. Airi masih dihantui oleh ledakan besar yang hampir merenggut nyawanya. Dia masih sering terbangun di tengah malam, tersentak hebat karena peristiwa tersebut masih mengejarnya hingga ke alam mimpi.Airi telah melalui banyak kesulitan sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sekarang adalah salah satu masa yang membuatnya lelah. Pemberitaan di berbagai media elektronik, bisikan gosip d
SEPERTI PERKIRAAN KEI, sidang pertama Rodo Hasegawa memang dilaksanakan satu minggu kemudian. Airi sempat mendengar beritanya kemarin. Pagi tadi, Kei juga sempat menghubunginya, memberitahukan mengenai dia yang akan hadir di persidangan. Proses peradilan itu bersifat terbuka sehingga masyarakat umum diperbolehkan datang, asal tidak mengganggu proses peradilan. Airi akan mencoba datang juga kalau saja dia tidak mempunyai agenda tersendiri.“Catatan rapat tadi sudah saya back-up pada akun perusahaan, Ishihara-san. Apakah ada yang perlu saya agendakan lagi untuk hari ini?” ujar Mayumi, sekretaris sementara Airi.Kolega kerja mereka sudah meninggalkan ruang pertemuan. Airi pun menoleh pada Mayumi yang telah selesai berberes.
PENAHANAN RODO HASEGAWA memudahkan polisi melakukan pengusutan lebih lanjut. Mereka bekerja sama dengan detektif swasta yang dipekerjakan oleh pengacara penuntut utama. Tak hanya Rodo dan Seizu, nama Toshiki Furuma juga sudah ikut terseret. Salah satu anggota dewan paling berpengaruh itu sudah mendapatkan surat panggilan dari polisi sejak tiga hari lalu. Dari beberapa tahun terakhir, baru kali ini kepolisian pusat menangani kasus yang melibatkan tiga orang besar sekaligus. Pemberitaan kasus pun jadi semakin marak diperbincangkan. “Rodo adalah anak angkat kakekku. Dia tidak sedarah dengan paman ataupun ayah,” jelas Kei. Pintu geser kaca di dekat dapur tampak sedikit terbuka, menampakkan sinar matahari pagi yang masih terasa hangat. Tata letak rumah milik sang lelaki memang jauh lebih lenggang dan terbuka. Mereka dapat melihat keberadaan taman belakang melalui pintu geser yang ada di sana. Airi baru selesai memasukkan es batu ke dalam wadah berisi minuman rasa
AIRI TIDAK INGAT kapan dia terlelap. Matanya tertutup begitu saja setelah mendaratkan diri di atas ranjang. Dia sudah sangat mengantuk sejak selesai berendam. Ketika mengerjap, dia tak tahu sudah jam berapa. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Sampai kemudian dia merasakan erat rangkulan di belakangnya, juga hangat ciuman yang menjatuhi perpotongan lehernya.Airi sempat lupa kalau dia sedang tinggal di apartemen sang kekasih. Harum maskulin menggelitik hidung. Airi menoleh, menatap dalam remang cahaya kamar.“Aku ketiduran,” ungkap Airi, terdengar parau. “Maaf, tak sempat menunggumu.”Kei hanya membalas dalam gumaman. Dia tak mengatakan apa pun ketika kembali mengeratkan pelukan. Kecupan panas itu lagi-lagi hadir pada lekuk leher Airi, terus hingga rahang dan belakang telinga. Airi kontan meremang.“Ada apa?” tanya Airi, bernada rendah.“Kenapa kau tidak tidur di kamarku?” gumam Kei, sedikit tere