AIRI TIDAK MENYANGKA bahwa proposalnya diterima dengan mudah. Penerimaan proposal memang belum menunjukkan keputusan final kerja sama. Mereka masih harus melakukan presentasi untuk memperlihatkan nilai dari proyek yang ditawarkan. Melalui presentasi tersebut, pihak yang mendapatkan penawaran akan mempertimbangkan keuntungan yang akan mereka dapat dari partner baru mereka.
Airi percaya diri dengan materi presentasi yang akan dibawanya. Namun, di saat yang sama dia cukup ragu. Izanami merupakan sebuah perusahaan yang begitu berjaya. Perusahaan tersebut juga merupakan rival yang beberapa hari lalu dibicarakan Ethan.
"Sudah tahu ingin sekolah di mana?" Airi bertanya pada Kazuki selagi menyiapkan sandwich untuk sarapan.
Kazuki tengah duduk di belakang konter dapur. Rambutnya masih acak-acakan khas bangun tidur. Dia menelungkupkan kepala di sana, menahan kantuk yang menerpa. Berbanding terbalik dengan penampilannya, sang ibu kelihatan sudah begitu rapi. Dia mengenakan celana kain kecokelatan dan blus putih. Rambut pirang sepunggungnya tergerai lurus, tampak tertata dengan indah.
Ketika Airi menyajikan sandwich ke atas konter, Kazuki menjawab, "Kogakuen Junior High."
Airi duduk di seberang Kazuki. Alisnya mengernyit.
"Sekolah swasta?" tanyanya.
Menegakkan diri. Kazuki mengangguk. "Ibu lulusan sana juga, 'kan?"
"Iya, waktu SMA," balas Airi pendek. "Yayasan Sekolah Kogakuen terdiri dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Pada jenjang sekolah dasar, kau masih bisa berpindah sekolah. Tapi, ketika SMP, kau akan direkomendasikan untuk tetap meneruskan SMA di sana."
"Tak masalah." Kazuki meraih potongan sandwich di hadapannya. "Hanya saja ... apakah nanti aku harus memakai seragam?"
Airi baru ingat, dia belum mengenalkan Kazuki pada sistem sekolah di negara ini.
"Ya, seragam tanpa aksesoris." Airi menunjuk gelang tali di pergelangan tangan putranya. "Itu jelas tidak boleh."
"Ini kenang-kenangan dari teman-temanku."
"Kalau begitu simpan saja."
"Aku akan tetap memakainya."
Airi ingat, dulu dia sempat mengenakan gelang yang serupa, di tangan dan kaki. Keduanya adalah hadiah dari ... seseorang. Dia akan selalu diteriaki oleh guru bimbingan konseling ketika mereka bertemu. Apalagi saat sang guru melihatnya di jam olahraga.
Kenangan itu menerbitkan seulas senyum di bibirnya. Airi ikut memakan menu sarapan mereka.
"Kalau begitu pakai saja," ujarnya. "Kau hanya akan diteriaki oleh guru konseling."
"Memakai aksesoris takkan mengurangi kepintaran siswa," komentar Kazuki.
Airi mengerjap. Sebuah ingatan samar terngiang di kepalanya, ingatan ketika dia menolak menerima hadiah itu dan diyakinkan dengan kalimat serupa seperti yang baru saja diucapkan Kazuki.
"Ibu tidak kelihatan seperti siswa yang bakal menuruti peraturan," lanjut Kazuki lagi.
Perhatian Airi kembali pada putranya. Dia mendengkuskan tawa dan menambahkan porsi sarapannya pada Kazuki.
"Yang penting nantinya kau tidak terlibat masalah besar, oke?"
Dia berdiri dan menaruh bekas perabotan makan ke dalam wastafel. Kazuki masih duduk di belakangnya. Airi mencuci tangan dan mengeringkannya. Dia menyambar blazer abu-abu yang sempat dia taruh di atas kursi, kemudian menoleh pada Kazuki, memintanya mencucikan piring-piring kotor dan memberi tahu tentang agenda pendaftaran sekolah.
"Siang nanti ibu akan mengantarmu mendaftar. Jadi, tetaplah di apartemen. Jangan main-main dulu dengan Ethan."
Kazuki hanya mengiakan. Dia menarik diri ketika hendak mendapat pelukan.
"Ah, tidak, tidak. Pergilah. Kau sudah terlambat."
Airi tidak mendengarkannya. Dia merangkul Kazuki erat dan menepuk punggungnya pelan.
Kazuki mengerang protes. Ketika Airi berbalik menuju pintu utama, dia berseru, "Aku sudah besar, Bu! Jangan lakukan itu lagi, apalagi ketika aku sedang bersama teman-teman!"
Tetap berjalan menuju ruang depan, Airi membalas, "Iya, aku juga mencintaimu."
"Berikan cintamu untuk orang lain!"
Airi menahan tawa. Dia mengambil tas dan bergegas keluar apartemen. Angka di jam tangannya menunjukkan pukul tujuh. Dia punya waktu dua jam sebelum mempresentasikan proyek besar dari Hiraishin Picture kepada pihak Izanami Studio. Sebelum ini, dia akan melakukan rapat singkat bersama beberapa koleganya. Semoga saja nanti dia tidak dirundung ketidakberuntungan. Keberhasilan penawaran kerja sama ini akan menjadi penentuan kariernya di dunia kerja. Dia jelas-jelas tidak boleh gagal.
oOo
Pagi hari adalah waktu krusial yang dapat menentukan suasana hati seseorang selama sehari penuh. Kei tidak dijengkelkan oleh apa pun pagi ini. Dia cukup menikmati pagi cerah di musim semi. Sampai kemudian Shou Hisaya memutuskan untuk menemuinya dengan tujuan memberikan informasi buruk. Dia adalah salah satu dari sedikitnya orang yang dianggap teman oleh Kei. Selain menjadi teman, dia juga merupakan kolega kerja yang dapat diandalkan. Shou merupakan roda utama dari Hisaya Inc.—salah satu perusahaan real estate multinasional terbesar di Jepang.
Sebagai teman yang sama-sama menjadi eksekutif muda, mereka berdua tentu saja telah menjalin kerja sama. Baik Kei maupun Shou telah menanamkan saham pada masing-masing perusahaan. Kei bahkan memiliki saham yang lebih besar di perusahaan sang kawan dibanding dengan miliknya sendiri. Jadi, ketika Shou memberi tahu tentang percikan masalah di perusahaannya, masalah itu sudah pasti ikut menjadi tanggung jawabnya.
Mereka berdua sedang duduk berhadapan di ruang kantor Kei. Setiap kalimat yang terucap dari bibir temannya itu berhasil merusak pagi cerah Kei.
"... tidak lagi kompeten sehingga harus diganti. Padahal, pada rapat dewan komisaris akhir tahun lalu tak ada yang meragukan hasil kerjaku," ungkap Shou selagi menahan kekesalan. "Aku dijebak."
Kei menyilangkan kaki. Dia menatap Shou lurus-lurus.
"Kau mengencani sekretarismu sendiri."
Kalimat tadi adalah sebuah pernyataan, bukan pertanyaan.
"Kami tidak berkencan."
"Kau tidur dengannya?" tanya Kei dengan suara monoton.
"I was drunk."
"But sober enough to fuck her."
Shou mengumpat pelan, pada akhirnya menyerah untuk kembali mengelak.
"Yeah, I'm fucking messed up. Kami memang berkencan dan aku hendak membantunya mendapatkan pekerjaan lagi agar kami tak berada di satu perusahaan yang sama. Tapi, mereka mengatahui ini sebelum aku sempat memindahkannya. Bisa kaulihat? Mereka pasti telah mengintaiku sejak lama. Jika tidak, kenapa masalah ini tiba-tiba datang tepat sebelum rapat evaluasi awal tahun?" Shou menautkan kedua telapak tangan dan menumpukannya di atas paha. "Aku punya dugaan. Ini adalah ulah investor baru itu. Dia memberikan pendanaan proyek di Shanghai tahun lalu."
Kei mencoba mengingat-ingat. Sebuah nama langsung hadir di kepalanya.
"Subaru Kato," gumamnya. "Pimpinan dari cabang perusahaan farmasi nasional." Kening Kei mengernyit. "Aku bahkan ragu untuk mengeluarkan dana sebanyak itu. Bagaimana bisa dia mendanai seluruh proyek di Shanghai?"
Shou menghela napas panjang dan menyugar rambut dengan lelah.
"Perusahaannya baru saja mendapatkan suntikan dana dari Shinsei."
Shinsei adalah perusahaan makanan dan minuman terbesar di Asia yang sekarang dikelola oleh saudara sepupu Kei, Takeo Hasegawa—putra bungsu Rodo Hasegawa.
Keterkaitan Shinsei dengan masalah yang menimpa Shou sudah pasti mencurigakan, terlebih untuk Kei. Dia teringat pembicaraan pada acara makan malam kemarin, mengenai Rodo yang akan dipastikan mendapatkan seluruh aset Hasena Group jika mereka tidak melakukan apa pun. Untuk mengantisipasi keadaan itu, Kei telah melakukan berbagai antisipasi dengan memperbanyak koneksi pada korporasi lain. Dengan begitu, meskipun Rodo tetap menguasai sebagian besar aset Hasena Group, dia takkan dapat menyingkirkannya maupun Juan.
Meskipun begitu, rencana Kei sepertinya telah diprediksi oleh sang paman. Dia kembali kecolongan.
Kei menahan diri untuk tak memijat pelipisnya. Dia menatap Shou lurus-lurus, kentara sekali menahan geram.
"Kenapa harus sekretaris?"
Shou kelihatan bersalah, tapi dia tetap membela diri dengan berujar, "Karena hanya dia wanita yang kulihat selama berhari-hari. Aku tak mau ambil risiko dengan bermain-main bersama public figure. Tak semua orang sepertimu yang bisa mendapatkan Yukie Kazahana, aktris terpanas dan terpopuler selama lima tahun terakhir yang mau menjalin hubungan tanpa status dan tanpa tuntutan komitmen apa pun, Berengsek."
Kei hanya berdecih pelan. Dia menyesap minuman berkafein yang tersaji di hadapannya. Jam dinding telah menunjukkan pukul setengah sembilan. Dia kembali menatap Shou untuk memintanya tenang.
"Aku masih bisa membelamu di rapat dewan komisaris nanti," kata Kei. "Persentase keberhasilannya takkan begitu besar. Prediksiku, kau bakal lengser dari jabatanmu yang sekarang. Para orang tua tak pernah menoleransi skandal semacam ini meskipun dulu mereka juga sering terlibat kasus serupa, mungkin sampai sekarang pun masih." Kei mengembuskan napas pelan. "Hanya saja, dewan komisaris di perusahaanmu didominasi oleh keluargamu sendiri. Paman dan ayahmu takkan membiarkan perusahaan keluarga jatuh ke tangan orang asing. Mungkin sekarang saatnya kau menyerahkan posisi itu pada dia."
Ekspresi Shou teramat kaku. Dia kentara sekali tak menyukai gagasan yang diajukan Kei.
"Hisaya lebih baik dikelola oleh sepupumu daripada orang lain," komentar Kei. Dia mengerling pada jam tangannya. "Hiroki berbeda dengan kita. Dia tak berambisi besar. Kau bisa merebut posisinya setelah kasus ini reda."
Sebelum membicarakan semua ini, Kei telah mengatakan bahwa dia harus bergegas ke Izanami. Shou kehabisan waktu. Dia mengerti bahwa pembicaraan mereka sudah selesai, Kei hanya akan membantunya lewat cara tadi. Yang dapat dilakukan Shou hanyalah menunggu hingga musibahnya berlalu. Waktu akan membuat orang-orang lupa dengan skandal kecil semacam ini. Kei benar, dia hanya perlu menunggu.
"Sebesar apa pun usaha kita untuk berhati-hati, lawan akan selalu menemukan celah," kata Shou ketika mereka berada di dalam elevator. "Sebaiknya kau berhati-hati. Dulu Juan sudah pernah tersandung. Sekarang giliranku. Kau benar-benar harus menjauhi masalah semacam ini. Setidaknya sampai kita menyingkirkannya."
Senyuman separuh tersemat di bibir Kei.
"Aku bukan kalian." Kei menoleh pada temannya. "I don't fall in love."
Dentingan elevator terdengar, menandakan pintu yang terbuka.
Shou mendengkus pelan.
"Yeah, you better be. It suck to be controlled by emotion."
Mereka berpisah setelah memasuki mobil masing-masing. Kei menyetir dengan cepat ketika melihat waktu yang hampir menunjukkan pukul sembilan. Jalanan Tokyo tak sepadat ibu kota pada umumnya karena penggunaan kendaraan umum yang efektif. Dia memanfaatkan jalanan lengang untuk menaikan kecepatan mobil. Tak sampai lima belas menit, dia telah mencapai halaman sebuah gedung pencakar langit. Ukiran nama Izanami Entertainment terpampang di atas gedung. Kaca-kaca ruangan dalam bangunan itu tampak mengilap oleh pantulan cahaya.
Kei mengarahkan mobilnya menuju basement. Dia bergegas masuk ke dalam gedung, menggunakan elevator untuk mencapai lantai yang dituju, dan beberapa kali mengangguk maupun membalas sapaan karyawan di sana.
Di depan sebuah ruangan konferensi, berdiri seorang karyawan yang dikenal Kei sebagai eksekutif asisten dari Juan. Dia tampak sedang menunggunya. Di tangan si asisten tergenggam berkas-berkas untuk keperluan rapat. Kei diberi tahu bahwa para peserta rapat telah menunggunya meskipun Kei datang lima menit lebih awal. Dia hanya mengangguk pada si asisten dan menerima berkas-berkas itu.
Karena tak punya waktu untuk membaca berkas tersebut di sini, dia hanya sempat melihat kelengkapan berkas sebelum memasuki ruang konferensi.
Mata Kei mengedar sekilas, melihat jejeran kursi yang telah dipenuhi oleh para kolega kerja. Sebuah meja panjang dengan desain semi-kotak berada di tengah-tengah ruangan. Di bagian meja yang menghadap langsung ke layar presentasi, tertata tiga buah kursi yang berdampingan. Dua di antaranya sudah terisi. Hanya kursi paling tengah yang masih kosong. Kei bergegas menghampiri. Dia mengulas senyum formal selagi sedikit membungkukkan badan sebagai bagian dari etika.
Dua pria paruh baya yang duduk di samping Kei merupakan direktur dari Izanami Studio dan Izanami Publishing, perusahaan cabang milik Izanami Entertainment. Mereka berbincang kecil, sedikit berbasa-basi, sebelum Kei duduk dan membuka acara tersebut.
Kala itu, Kei hanya menatap sekilas calon-calon kolega kerja Juan. Dia tak terlalu peduli pada identitas pribadi mereka. Para karyawan ini bekerja atas nama perusahaan. Kei hanya perlu melabeli mereka atas nama perusahaan alih-alih mengenal dan menghafalkan nama seluruh orang.
Kenalan kerja akan selalu datang dan pergi. Dia tak punya waktu untuk mengenal masing-masing wajah mereka.
"Sebelum memulai, saya berterima kasih untuk rekan-rekan yang telah memilih Izanami sebagai partner kerja sama. Atas nama Izanami, saya mengucapkan selamat karena proposal yang kalian tawarkan telah berhasil menarik perhatian kami sehingga kita dapat melihatnya lebih jauh melalui presentasi di rapat ini," tutur Kei.
Nada suara Kei terdengar profesional alih-alih monoton ataupun datar seperti biasa. Dibanding dengan pribadi Kei yang sesungguhnya, Kei yang sekarang terlihat cukup ramah, tidak terkesan dingin ataupun mengintimidasi. Bekerja selama lebih dari satu dekade di ranah ini telah berhasil menyempurnakan topeng dari seorang Kei Hasegawa.
Dia lanjut berbicara dengan mengutarakan alasan di balik kehadirannya. Di sela perkataan, dia sempat menyebutkan bahwa tingkat kinerjanya dan Juan tidaklah jauh berbeda, jadi mereka tak perlu merisaukan hasil penilaiannya.
"Kami tetap seorang kakak beradik. Sejauh-jauhnya perbedaan kami mungkin hanya untuk urusan pasangan hidup," gurau Kei, begitu sadar bahwa pembicaraan tentang dia yang masih juga melajang—ketika sang kakak telah menikah—sangatlah populer di kalangan para pengusaha dan orang-orang elite.
Tawa rendah mengisi kesenyapan ruang.
Kei lanjut berbicara selagi membuka-buka berkas yang berisi profil singkat perusahaan dan garis besar proyek yang diajukan oleh mereka. Di sana tertera nama-nama petinggi perusahaan itu, sekaligus nama perwakilan pihak yang akan menjelaskan proyek yang ditawarkan.
Terdapat empat bekas yang tersedia. Kei memutuskan untuk memulai dari bagian perfilman.
"Proyek adaptasi sebuah cerita populer ke dalam film aksi layar lebar memang sangat riskan. Banyak perusahaan produksi film yang gagal mengadaptasi karya hebat semacam itu dan malah mendapat banyak kerugian. Padahal proyek tersebut sangat berpotensial untuk menguasai pasar," awal Kei. "Izanami akan sangat berkenan menerima tawaran ini setelah mempertimbangkan presentasi yang akan disampaikan. Untuk mengawali pengenalan proyek tersebut, saya mempersilakan perwakilan dari Hiraishin Picture untuk membawakan presentasinya."
Kei memindai dan membaca nama-nama petinggi cabang perusahaan tersebut. Sebuah nama di kolom presenter berhasil membuatnya bungkam.
The executive producer as presenter
Ms. Airi Ishihara
Kedua mata mengerjap. Kei termangu sesaat sebelum membacakan nama tersebut. Suara tepukan tangan memenuhi ruangan. Tapi, saat itu Kei masih menatap kertas di kedua tangannya, memastikan bahwa dia tidak salah baca.
Nama yang tertera di sana masih sama.
Kei mengalihkan pandangan. Dia mendongak dan benar-benar terpaku ketika mendapati sosok wanita berambut pirang yang tengah berdiri di hadapan mereka semua. Suara di sekitar Kei terasa berdengung. Seluruh indranya seolah macet. Dia hanya mampu melihat dia, dia yang berdiri tegak dan berwibawa. Dia yang telah bertambah dewasa, anggun, dan jelita. Hangat aura yang melingkupi masih sama. Kalaupun berbeda, hangatnya terasa lebih menenangkan—lebih nyaman.
Blazer lengan kerja Airi sedikit dilipat, memperlihatkan jam tangan standar yang melingkar di pergelangan tangan. Dia tak mengenakan sepatu berhak tinggi, tapi figurnya tetap menjulang dari kebanyakan perempuan. Riasan di wajahnya amat sederhana, tetapi berhasil memoles dan memperindah rupanya. Dia mengikat rambut panjangnya di belakang kepala, sengaja menyisakan helaian yang tak ikut terikat untuk menggantung di sisi wajah.
Kei mendapati senyum dan mendengar ucapan terima kasih yang terucap dari bibir Airi. Detik ketika kembali melihat safir itu, Kei tahu dia akan terlibat dalam masalah besar.
Kei mengatupkan mulut. Konsentrasinya buyar ketika mulai mendengar alunan suara sang wanita.
Kenapa dia harus kembali di saat-saat ini? []
MEREKA SALING MENGENAL setelah Airi menghabiskan waktu istirahat dengan mengunjungi loteng sekolah, tempat terlarang bagi para siswa kecuali staf sekolah dan Kei Hasegawa.Entah kapan Airi memutuskan untuk mendekati Kei. Dia tak terlalu ingat waktu pastinya. Airi mendaftar di Kogakuen High School, sebuah SMA ternama yang rata-rata diisi oleh siswa-siswi yang berlatar belakang menengah ke atas. Jika bukan karena bantuan dana dari Shizune, yang bersikeras menyekolahkan Airi di yayasan bergengsi ini, dia takkan punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sana.Airi tak punya catatan akademik yang mencolok. Dia hanya memiliki nilai rata-rata, tidak terlalu tinggi ataupun rendah. Alasan dia lulus seleksi di sekolah itu hanya karena motivasi untuk membalas budi baik Shizune. Ethan, yang tak punya kesempatan untuk mencoba mengikuti ujian seleksi di Kogakuen, ikut membantu Airi belajar. Selain karena dia lebih tua dari Airi, dia dapat membantu Airi karena kemampuan akademik
AIRI TIDAK BERENCANA untuk memberikan pengalaman pertama-nya pada Kei. Sudah enam bulan sejak mereka memutuskan untuk saling mengenal. Selama itu pula, mereka hanya akan bertemu di sekolah, dengan Airi yang menghampiri Kei di loteng. Tempat itu seolah telah menjadi persembunyian khusus mereka. Airi akan menemui Kei di sana pada lima belas menit pertama jam istirahat. Mereka juga akan kembali bertemu sepulang sekolah setelah Airi menjadikan ajang 'Kei mentraktir ramen untuk Airi' sebagai agenda rutin. Tindakan ini dilakukan karena Kei bersikeras menolak ajakannya untuk bertemu siswa-siswa lain. Dia memang menerima Airi sebagai teman, tapi bukan berarti dia mau ikut bergaul dengan yang lain. Airi mengerti. Dia tidak memaksa. Mengenal Kei lebih dekat cukup untuk mengonfirmasikan anggapan tentang Kei yang tak seburuk berita-berita di sekitarnya. Dia memang dingin, menutup diri, dan sangat jarang berinisiatif untuk mengawali pembicaraan. Namun, sebenarnya
PENJELASAN SANG WALI kelas terdengar samar di telinga Airi. Dia sedang mengingatkan para murid mengenai ujian seleksi kampus yang akan diadakan kurang dari dua minggu lagi." ... mental dan pikiran. Jangan sampai rasa khawatir kalian mengganggu konsentrasi hingga merusak kompetensi diri. Kogakuen High School adalah sekolah unggulan yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi di Tokyo University ...."Airi mengerling pada layar ponsel, memperhatikan jam digital yang menunjukkan pukul tiga lebih tiga belas menit. Dia mengembuskan napas pelan dan mengalihkan pandangan untuk melihat bentang langit kebiruan.Bel pulang sekolah terdengar beberapa saat kemudian. Pertemuan di hari itu selesai. Kelas dibubarkan meski sang guru belum mencurahkan seluruh pidato motivasinya. Airi berberes untuk keluar. Dia sempat membalas high five Nomura dan Itsuki ketika melewati mereka."Kau tak mau main basket lagi?" seru Itsuki."Kita harus bersenang-senang sebelu
KEMBALI MELENTANGKAN TUBUH, Airi mengutuki efek obat yang tak kunjung membuatnya mengantuk.Kenapa juga dia harus setampan itu? Bajingan sekali. Harusnya dia sedikit buruk rupa—tidak, dia harus sangat buruk rupa biar aku bisa langsung menendangnya waktu pertama kali dia menciumku di vila.Rasanya ingin menghantamkan kepala ke dinding terdekat. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya murni untuk menghibur diri. Kei memang bajingan karena memulai hubungan itu. Tapi, Airi sama tidak warasnya. Dia mengikuti permainan Kei dan sesumbar bahwa dia takkan merasakan apa pun.Embusan napas kembali dilakukan. Dia menoleh saat mendengar kedatangan seseorang. Shizune, masih mengenakan jas musim dingin, datang dengan membawa semangkuk sup hangat.Airi bangkit untuk duduk. Dengan pelan, dia berucap, "Sudah kubilang, kau tak perlu merawatku, Shizune-san.""Persediaan makanmu kosong. Tadi aku sempat mampir ke swalayan," tukas Shizune, tak peduli pada prote
KEI BERTAMBAH GAGAH dibandingkan dua belas tahun lalu.Airi mengumpat pelan ketika melihat Kei, alih-alih Juan, memasuki ruangan. Untuk sesaat, Kei tak melihatnya karena dia memang tidak memperhatikan para karyawan sebagai individu. Airi cukup mengenal Kei untuk tahu bahwa dia masih tidak terlalu peduli pada orang lain yang tak berkepentingan dengannya.Salam dan senyum yang dilemparkan Airi hanyalah bagian dari formalitas. Dia tak bermaksud apa pun. Reaksi terkejut Keilah yang membuat Airi terheran-heran. Ketika memikirkan tawaran kerja sama, Airi sudah menebak bahwa dia pasti akan bertemu—atau setidaknya berpapasan—dengan Kei. Mungkin memang tidak secepat ini. Tapi, antisipasi itu membuat dia cukup siap untuk kembali melihatnya.Lagi pula, sudah tak ada apa-apa lagi di antara mereka. Jadi, kenapa dia harus takut?Presentasi yang dibawakan Airi berjalan lancar. Dia tak merasa terusik pada kehadiran Kei. Dua belas tahun yang dilewati telah mem
YUKIE KAZAHANA MENGENAL Kei Hasegawa di acara after party sebuah movie premiere tujuh tahun lalu.Sebagai seorang aktris, dia cukup mengenal orang-orang penting di perusahaan hiburan, dia bahkan dekat dengan seorang pimpinan perusahaan paling muda di ranah industri tersebut, sosok yang tak lain bernama Juan Hasegawa.Bagi Yukie, Juan adalah lelaki paling berkarisma yang pernah ditemuinya. Dia begitu tenang dan takkan tergoda dengan godaan terberat sekalipun. Di mata Yukie, Juan bagaikan ... air dalam di lautan lepas; tenang dan tentram. Namun, di saat bersamaan terasa gelap dan dapat menenggelamkan siapa pun yang ingin meraihnya. Tak ada keindahan untuk tetap berada di sisinya. Tapi, di saat bersamaan dia akan membuatmu ingin berada di sana karena kau merasa aman dari gangguan dunia luar.Ketika mengenal Kei, Yukie kira, sang adik—yang menghabiskan waktu kurang lebih enam tahun di Eropa—takkan jauh berbeda dari kakaknya. Be
GREEN HOUSE MEMANG sangat cocok menjadi tempat bersantai di musim semi.Pada kediaman Daiki Hasegawa, Mei tengah memotong tangkai tanaman hias koleksinya. Jumlah tanaman di sana memang tidak sampai dua ratus, tetapi harganya dapat digunakan untuk membeli sebuah rumah minimalis modern yang sulit dibeli oleh pegawai kantoran sekalipun.Sinar matahari menyusup melalui celah dinding kaca, membantu proses pengolahan makanan untuk tanaman hias yang berjejer.Seorang pelayan rumah tangga tampak berjalan dari kejauhan, hendak menghampiri sang majikan. Mei menoleh ketika mendengar kedatangannya. Dia menaruh gunting khusus yang sedang dipakai sebelum berjalan menghampiri."Ada apa?" tanyanya pendek.Seorang wanita muda yang menjadi pegawainya itu menunduk."Takamiya-san ingin bertemu Anda," ungkapnya.Mei mengernyit samar. "Takamiya?"Si pelayan mengangguk."Biarkan dia masuk. Aku akan ke sana."Berbalik kembali ke
TAWARAN KERJA SAMA dari Hiraishin Picture diterima oleh Izanami Studio. Airi bersuka cita kalau saja tak ada beban lain yang harus dia tanggung.Lembar berkas laporan ditatap dengan nanar. Airi meraih telepon kantor, menghubungi Yugao untuk memintanya menyambungkan panggilan pada Kepala Bagian Produksi, Shouta Okumura, seorang senior paling congkak yang sampai saat ini masih belum bersedia mengakui Airi sebagai pemimpin mereka. Dia merupakan putra sulung dari seorang hakim ternama di negara gingseng itu. Akan tetapi, dia sama sekali tak memiliki sifat yang mencerminkan putra dari seorang hakim.“Bisakah kau ke ruanganku sekarang? Ada yang ingin kubicarakan terkait laporan yang kauberikan.”Dia menemui Airi satu jam kemudian dengan alasan harus menemani temannya makan siang. Kesabaran Airi benar-benar diuji ketika Shouta mengatakannya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Jika dia lebih senior darinya, dia akan langsung memarahi Shouta atas kelalaian ini.
EMBUSAN ANGIN SALJU tampak membekukan. Tumpukan es telah menutupi sebagian besar tanah lapang. Airi sedang memikirkan nasib tumbuhan di dalam rumah kaca yang dilihatnya ketika seseorang datang, membawakan seduhan teh panas untuk mereka berdua. "Teh hijau adalah favoritku. Kuharap kau menikmatinya juga." Mei Hasegawa tersenyum dan duduk di seberang Airi. Dia memperbaiki baju hangatnya, menyilangkan kaki, dan mulai menyesap minuman panas itu. Airi menghirup segar aroma teh. "Sebenarnya bukan favorit. Saya hanya sering mengonsumsinya saja." Airi sedikit mencicip, merasakan hangat yang memanja indra perasa. "Sering mengonsumsi akan membuatmu terbiasa," ujar Mei sambil melengkungkan senyum. "Ah, aku lupa mem
SEJAK MEREKA MENJALIN hubungan serius, Kei belum pernah semarah ini. Airi bisa menanganinya dengan mudah kalau mereka hanya dihalangi kesalahpahaman, bukan dihalangi oleh keputusan sepihak yang dibuatnya.Sikap diam Kei nyatanya jauh mengkhawatirkan dibandingkan dengan sikap tegasnya yang biasa. Karena kondisi ini, Airi bahkan mengubah rencana menginapnya dan Yugao. Dia tak menghabiskan waktu di penginapan kantor, tapi langsung melakukan check in ulang begitu urusan kerjanya di hari kedua selesai.Pesan balasan dari Lucy, sang kawan baik, datang. Dia tampak tak masalah pada penundaan pertemuan mereka. Airi mengembuskan napas lega. Dia meletakkan tas tangan begitu saja di atas nakas. Kemudian berbaring di atas ranjang. Kedua mata menutup rapat, membayangkan guyuran hujan salju
KESEHARIAN AIRI HINGGA akhir tahun berlangsung jauh lebih normal dari yang dia duga. Menjalin hubungan dengan Kei nyatanya tidak begitu menjungkirbalikkan hidupnya. Sejak tereksposnya hubungan mereka, dia memang jadi lebih sering dihubungi wartawan majalah. Pada awalnya, mereka memang hanya memeras informasi mengenai Airi Ishihara yang merupakan kekasih Kei Hasegawa. Dia hanya dikenal sebagai kekasih seorang pengusaha kaya, bukan seorang wanita dengan karier dan pencapaiannya sendiri. Akan tetapi, selang beberapa waktu, orang-orang mulai menyadari kalau Airi bukan sekadar wanita pendamping saja. Mereka mulai menyoroti nama Airi, dia yang berhasil meniti karier dari seorang asisten produsen hingga menjadi pemimpin sebuah industri perfilman. Eksposur yang demikian jelas-jelas menguntungkan. Airi tidak merasa terganggu lagi. Dia juga mendapatkan lebi
AIRI TAK BEGITU terkejut ketika mendengar berita kerja sama Hasena dengan Huang Industrial Group. Selama ini, dia mengira kegagalan relasi pribadi Kei dan Jia akan berimplikasi besar terhadap status kerja sama perusahaan mereka. Setelah lebih mengenal Kei, Airi pun mengerti. Kei takkan menyia-nyiakan kesempatan besar itu hanya karena masalah pribadi. Dia telah memastikan Huang bergantung padanya, membuat mereka mau tidak mau mempertahankan relasi yang telah terjalin. Strategi bisnis pria itu … Airi cukup mengaguminya. Namun, di saat yang sama dia masih sering diliputi tanya. Bagaimana kalau suatu hari nanti pria itu mengambil keputusan ekstrem yang menurut Airi tak dapat dibenarkan? Cahaya pagi di musim semi menyadarkan Airi dari lamunan. Dia menghabiskan cokelat panasnya dan segera beranjak ke dalam apartemen. Seperti yang pernah dibicarakan dengan Kei
ENTAH BERAPA TAHUN Kei menantikan momen ini tiba, momen ketika paman congkaknya terlihat marah dan menderita berkat kekalahan yang menimpa. Persis seperti prediksinya, proses persidangan berjalan lancar seperti yang dia harapkan. Rodo Hasegawa terjerat pasal berlipat, pasal mengenai penggelapan dan pencucian dana serta pasal tentang percobaan pembunuhan. Kejahatan kerah putih yang dilakukan Rodo tidaklah sedikit. Seluruh kecurangannya di bidang finansial cukup menggunung. Kei sudah merasa cukup dengan tuntutan itu. Uluran tangan Airi benar-benar memberatkan tuntutan yang menjerat Rodo. Konsekuensi tindakan rencana pembunuhan memang mendapatkan hukuman yang cukup berat. Oleh karena itu, rencana hukuman penjara yang awalnya berselang lima belas tahun, kini menjadi maksimal tiga puluh tahun. Dari hasil ketukan palu, hukuman Rodo ditetapkan menjadi du
“PROSES ITU TAKKAN mudah, tapi semuanya akan berjalan lancar.” Adalah kalimat Kei yang sempat Airi ragukan.Selama kurun waktu sebulan ini, terdapat banyak hal yang terjadi. Airi merasa kewalahan dan terburu-buru, sulit untuk tenang, seolah dia sedang dituntut untuk berlari secepatnya selagi melepaskan diri dari jerat di belakang sana. Dikenal menjadi pasangan Kei Hasegawa tidaklah mudah. Menjadi penuntut hukum seseorang dari keluarga Hasegawa tidaklah enteng. Airi masih dihantui oleh ledakan besar yang hampir merenggut nyawanya. Dia masih sering terbangun di tengah malam, tersentak hebat karena peristiwa tersebut masih mengejarnya hingga ke alam mimpi.Airi telah melalui banyak kesulitan sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sekarang adalah salah satu masa yang membuatnya lelah. Pemberitaan di berbagai media elektronik, bisikan gosip d
SEPERTI PERKIRAAN KEI, sidang pertama Rodo Hasegawa memang dilaksanakan satu minggu kemudian. Airi sempat mendengar beritanya kemarin. Pagi tadi, Kei juga sempat menghubunginya, memberitahukan mengenai dia yang akan hadir di persidangan. Proses peradilan itu bersifat terbuka sehingga masyarakat umum diperbolehkan datang, asal tidak mengganggu proses peradilan. Airi akan mencoba datang juga kalau saja dia tidak mempunyai agenda tersendiri.“Catatan rapat tadi sudah saya back-up pada akun perusahaan, Ishihara-san. Apakah ada yang perlu saya agendakan lagi untuk hari ini?” ujar Mayumi, sekretaris sementara Airi.Kolega kerja mereka sudah meninggalkan ruang pertemuan. Airi pun menoleh pada Mayumi yang telah selesai berberes.
PENAHANAN RODO HASEGAWA memudahkan polisi melakukan pengusutan lebih lanjut. Mereka bekerja sama dengan detektif swasta yang dipekerjakan oleh pengacara penuntut utama. Tak hanya Rodo dan Seizu, nama Toshiki Furuma juga sudah ikut terseret. Salah satu anggota dewan paling berpengaruh itu sudah mendapatkan surat panggilan dari polisi sejak tiga hari lalu. Dari beberapa tahun terakhir, baru kali ini kepolisian pusat menangani kasus yang melibatkan tiga orang besar sekaligus. Pemberitaan kasus pun jadi semakin marak diperbincangkan. “Rodo adalah anak angkat kakekku. Dia tidak sedarah dengan paman ataupun ayah,” jelas Kei. Pintu geser kaca di dekat dapur tampak sedikit terbuka, menampakkan sinar matahari pagi yang masih terasa hangat. Tata letak rumah milik sang lelaki memang jauh lebih lenggang dan terbuka. Mereka dapat melihat keberadaan taman belakang melalui pintu geser yang ada di sana. Airi baru selesai memasukkan es batu ke dalam wadah berisi minuman rasa
AIRI TIDAK INGAT kapan dia terlelap. Matanya tertutup begitu saja setelah mendaratkan diri di atas ranjang. Dia sudah sangat mengantuk sejak selesai berendam. Ketika mengerjap, dia tak tahu sudah jam berapa. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Sampai kemudian dia merasakan erat rangkulan di belakangnya, juga hangat ciuman yang menjatuhi perpotongan lehernya.Airi sempat lupa kalau dia sedang tinggal di apartemen sang kekasih. Harum maskulin menggelitik hidung. Airi menoleh, menatap dalam remang cahaya kamar.“Aku ketiduran,” ungkap Airi, terdengar parau. “Maaf, tak sempat menunggumu.”Kei hanya membalas dalam gumaman. Dia tak mengatakan apa pun ketika kembali mengeratkan pelukan. Kecupan panas itu lagi-lagi hadir pada lekuk leher Airi, terus hingga rahang dan belakang telinga. Airi kontan meremang.“Ada apa?” tanya Airi, bernada rendah.“Kenapa kau tidak tidur di kamarku?” gumam Kei, sedikit tere