MAKAN MALAM KELUARGA besar seharusnya terasa hangat, bukan memuakkan dan membuat para anggota keluarga tidak nyaman. Paling tidak, Kei selalu merasakan hal itu sejak dia kecil. Keluarga adalah omong kosong. Mereka tinggal satu atap hanya karena kesamaan genetika, sebuah garis biologis yang menyatukan, bukan karena keinginan untuk tinggal bersama.
Keluarga hanya bagaikan benalu, sebuah jerat yang mengekang hidupnya. Mereka membesarkan anak-anak hanya untuk mendapatkan balasan, agar ketika besar nanti mereka bisa menuntut anak-anak itu untuk memenuhi keinginan—memenuhi ambisi dan keserakahan sang orang tua.
Definisi tersebut mungkin akan sangat salah untuk sebagian besar orang. Kei mengerti. Keluarga normal takkan mengartikan sebuah keluarga dengan cara pandang ini. Namun, kata normal tidak berlaku untuk keluarga Hasegawa. Baik secara keseluruhan, maupun keluarga kecil yang dibangun sang ayah.
Meja berbentuk oval di sebuah ruangan megah tengah dikelilingi oleh dua orang wanita dan tiga orang pria. Di atas meja berbalut kaca itu tersaji hidangan makan yang akan membuat orang yang tak berkesempatan mencicipnya menelan saliva. Sosok yang tampak seperti kepala keluarga melambaikan tangan pada tiga orang pelayan, mengisyaratkan bahwa mereka sudah dibolehkan pergi.
Keheningan yang merambat di udara terasa menyesakkan. Namun, tak ada dari mereka yang memperlihatkan ketidaknyamanan. Mereka semua telah terbiasa. Di dalam rumah besar ini seolah telah tercantum peraturan tak tertulis yang meminta para anggota keluarganya untuk tak menunjukkan perasaan tersebut.
Kei sendiri terlalu enggan untuk berbasa basi. Diminta hadir pada acara makan malam keluarga berarti menyiratkan masalah. Dia takkan angkat bicara kecuali memang ditanya. Suara sang ibu, Mei Hasegawa, terdengar samar di telinganya. Dia sedang mengajak bicara sang menantu tercinta yang tak kunjung mendapatkan momongan bahkan setelah tiga tahun pernikahan.
"Izumi masih belum diperbolehkan mengandung setelah operasi itu, Ibu," jawab sang putra sulung, Juan Hasegawa. Nada suaranya terdengar amat monoton dan tak beremosi.
Perempuan berparas manis dengan rambut hitam panjang yang duduk di sebelah Juan menoleh pada sang ibu mertua. Senyuman bersalah tersemat di bibirnya.
"Aku akan berusaha untuk mempercepat penyembuhannya," kata Izumi.
Kalimat tadi adalah pernyataan retoris. Meskipun tanpa kerelaan, sudah seharusnya Izumi melakukan itu. Mei membalas senyum Izumi. Dia memberitahunya untuk tak perlu buru-buru.
"Kesehatanmu jauh lebih utama, Sayang," ungkapnya. "Aku dan ayah kalian sama sekali tidak mempermasalahkannya. Tapi, banyak orang-orang yang penasaran. Skandal akan selalu menodai nama sebuah keluarga. Kita tidak boleh merusak reputasi keluarga ini. Benar begitu, Yah?"
Pria paruh baya yang duduk di samping Mei pun mengangguk.
"Jaga istrimu baik-baik, Juan. Apakah kalian sudah mengunjungi Nakada-sensei?"
Juan mengiakan. "Beliau menanyakan kesehatanmu. Sebaiknya kau juga mengunjunginya."
Daiki kembali mengangguk. Ekspresinya tampak tak berubah, tapi kedua putranya tahu bahwa ayah mereka kelihatan puas atas informasi yang didapatnya.
"Sudah saatnya kami berbicara lebih serius agar Rodo tak selalu merasa di atas angin," ujar Daiki. "Kesehatan kakek kalian mulai memburuk. Dia bersikeras untuk menuliskan surat warisan." Dia menatap kedua putranya. "Aset Hasena Group sebagian besar akan jatuh di tangan Rodo sebagai putra sulung. Dia juga sepertinya akan mendapatkan seluruh warisan keluarga ini karena kakek kalian menghendaki penerus dari anak buyutnya, bukan cucu-cucunya. Dengan Juan dan Izumi yang belum dikaruniai keturunan, kita tak bisa berbuat banyak."
Kuyahan Kei terhenti seketika. Dia sudah mendengar berita kesehatan kakeknya, Tajima Hasegawa, tapi dia tak tahu tentang kriteria pewaris yang dimaksudkan. Pertanyaan Kei atas tujuan dari makan malam ini pun segera terjawab. Dia menatap piring dengan kosong ketika kembali mendengar ucapan ayahnya.
"Apa yang akan kalian lakukan jika Rodo mendapatkan semuanya?"
Pertanyaan tersebut bukan hanya ditujukan untuk Kei. Namun, tatapan sang ayah yang terpatri pada Kei menyiratkan bahwa pertanyaan itu diutarakan khusus untuknya.
Kei merasakan kemuakkan yang mulai memuncak. Dengan suara rendah dan terkesan tidak peduli, dia berujar, "Mungkin kita perlu membunuhnya? Seperti yang kaulakukan pada Kepala Polisi Shuji Harada—"
"Kei," tegur Mei. Dia tidak membentak ataupun meninggikan suara, tapi sudah cukup dikenali Kei sebagai bentuk peringatan.
Kei menatap kedua orangtuanya. Dia mengulas senyuman palsu.
"Aku bercanda," ujarnya pendek, benar-benar tidak peduli pada peringatan sang ibu. Dia memilih untuk menegaskan sesuatu sebelum dipojokkan oleh orang tuanya. "Jika kalian ingin aku menikah, semuanya akan sia-sia saja. Kesehatan kakek sudah memburuk. Aku juga tak bisa mendapatkan seorang keturunan dalam waktu instan." Dengan sengaja, dia memberi jeda sesaat sebelum berkata, "Jangka waktu untuk mengandung adalah sembilan bulan. Bukankah begitu, Ayah?"
Merah di telinga Daiki menunjukkan kemarahan. Dia menyelesaikan makan dengan cepat dan langsung beranjak dengan alasan kepentingan kerja. Sebelum pergi, dia sempat mengerling pada istrinya, memintanya mengurus sisa makan malam yang gagal ini.
Kei menahan dengkusan. Dia menurut saja ketika sang ibu memintanya tinggal sementara Juan dan Izumi meninggalkan ruangan. Mereka telah menghabiskan hidangan yang disajikan. Acara makan malam ini telah selesai. Namun, kelihatannya Kei harus mempertahankan kesabarannya lebih lama lagi.
Dia menyender di punggung kursi selagi mendengar ucapan Mei.
"Keluarga Huang akan langsung bersedia membagi sahamnya dengan sukarela jika kau menikahi putri tunggal mereka," kata Mei terang-terangan. "Apa yang membuatmu terus menunda pertunangan itu? Dia perempuan baik-baik, sopan, beretika, dan yang jelas takkan mempermalukanmu. Apa lagi yang kurang darinya?"
Kei menarik napas pelan, mencoba menata emosi. Ketika yakin untuk tidak terpancing kemarahan, dia berujar, "Kecerdasan."
Mei Hasegawa menatap putra bungsunya lurus-lurus.
"Dia adalah lulusan Oxford University—"
"Dengan mengandalkan bantuan seorang penerima beasiswa yang sekarang menjadi profesor di sana," timpal Kei. Dia mengerling pada ibunya. "Dia beruntung karena berasal dari keluarga berada. Mungkin aku akan lebih menghargainya kalau dia berhenti memohon padamu untuk membuatku menikahinya."
Mei tak terpancing dengan ucapan Kei. Dia masih kelihatan tenang, terlalu tenang sampai ketenangan itu terasa menyeramkan.
"Apakah kau masih berhubungan dengan artis murahan itu?"
"Siapa yang kaumaksud?" ujar Kei dengan kaku.
Mei melipat kedua tangannya di depan dada. "Perempuan yang dulu sering menggoda kakakmu." Dia mengamati Kei lamat-lamat. "Apakah sekarang dia menargetkanmu? Foto kalian yang baru keluar dari hotel telah beredar di kalangan kita. Apa lagi skandal yang harus ibu bersihkan?"
"Kami hanya berteman."
"Tentu saja kalian berteman. Dulu kakakmu juga mengatakan hal yang sama."
Seruak emosi telah menggumpal dalam dada. Kei berusaha mengosongkan pikiran selagi mengingatkan bahwa dia takkan mendapatkan keuntungan apa pun dengan meluapkan rasa marahnya. Yang perlu dia lakukan adalah menyudahi pembicaraan ini.
"Selama ini, aku telah mengikuti segala kenginanmu, termasuk membiarkanmu menentukan jalan karierku. Kau telah membuat Juan melakukan hal yang sama dengan ikut campur kehidupan pribadinya. Seperti yang kau tahu, aku akan tetap menuruti kemauanmu dan ayah jika kalian tak mencampuri kehidupan pribadiku. Aku bukan Juan yang bersedia mengorbankan keinginannya agar dapat membalas budi.” Tak mengindahkan ekspresi masam lawan bicaranya, Kei melanjutkan, “Aku ada janji malam ini, selamat malam, Ibu."
Menyambar jas hitamnya, Kei melenggang pergi dari ruang makan. Dia menarik pintu geser yang terbuat dari kayu spesial dan mengenakan alas kaki sebelum bergegas keluar. Halaman luas yang dihiasi kolam ikan segera terpampang di hadapannya. Kei memasuki mobil yang terparkir di halaman luas itu dan menutup pintunya dengan cukup keras. Embusan napas panjang keluar dari bibir. Dia hendak menghidupkan mobil ketika mendapatkan sebuah pesan singkat dari Juan.
"Kau masih waras?"
Kei mendengkus. Dia mengetikkan balasan.
"Kakak berengsek.
Katakan di depanku kalau kau berani.
Sebaiknya kau segera menggunakan otak brilianmu untuk mengatasi bencana ini."
Sebuah balasan segera didapatkan Kei.
"Nikahi Jia."
Kening mengerut. Kei mengetikkan kata 'Fuck
u.Sialan, kau memasang penyadap lagi?'"Nope," tulis Juan.
Kei berdecak dan kembali mengetik.
"Bullshit
Aku menemukannya
Mau menitip salam pada Yukie?"
Lima menit berlalu, Kei tak mendapatkan balasan. Dia menahan tawa, membayangkan ekspresi datar Juan yang tak bisa membalas ucapannya karena satu nama itu. Kei meletakkan ponsel di atas dashboard. Dia menghidupkan mobil dan hendak berjalan ketika kembali mendapatkan beberapa pesan masuk.
"Aku akan pergi ke London selama tiga hari.
Gantikan aku untuk menghadiri rapat dengan para co-production.
Kita akan mendapatkan proyek besar dari anak buah Shigaki."
Sejak kapan Akito Shigaki mau menurunkan gengsinya untuk bekerja sama dengan mereka?
Kei ingin bertanya, tapi yakin bahwa Juan takkan membalas akibat candaan tadi. Pada akhirnya, dia hanya mengetikkan kata 'ya'. Dalam perjalanan, dia mencoba menelan rasa penasarannya karena besok dia akan tetap mendapat jawaban. []
AIRI TIDAK MENYANGKA bahwa proposalnya diterima dengan mudah. Penerimaan proposal memang belum menunjukkan keputusan final kerja sama. Mereka masih harus melakukan presentasi untuk memperlihatkan nilai dari proyek yang ditawarkan. Melalui presentasi tersebut, pihak yang mendapatkan penawaran akan mempertimbangkan keuntungan yang akan mereka dapat dari partner baru mereka. Airi percaya diri dengan materi presentasi yang akan dibawanya. Namun, di saat yang sama dia cukup ragu. Izanami merupakan sebuah perusahaan yang begitu berjaya. Perusahaan tersebut juga merupakan rival yang beberapa hari lalu dibicarakan Ethan. "Sudah tahu ingin sekolah di mana?" Airi bertanya pada Kazuki selagi menyiapkan sandwich untuk sarapan. Kazuki tengah duduk di belakang konter dapur. Rambutnya masih acak-acakan khas bangun tidur. Dia menelungkupkan kepala di sana, menahan kantuk yang menerpa. Berbanding terbalik dengan penampilannya, sang ibu kelihatan sud
MEREKA SALING MENGENAL setelah Airi menghabiskan waktu istirahat dengan mengunjungi loteng sekolah, tempat terlarang bagi para siswa kecuali staf sekolah dan Kei Hasegawa.Entah kapan Airi memutuskan untuk mendekati Kei. Dia tak terlalu ingat waktu pastinya. Airi mendaftar di Kogakuen High School, sebuah SMA ternama yang rata-rata diisi oleh siswa-siswi yang berlatar belakang menengah ke atas. Jika bukan karena bantuan dana dari Shizune, yang bersikeras menyekolahkan Airi di yayasan bergengsi ini, dia takkan punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sana.Airi tak punya catatan akademik yang mencolok. Dia hanya memiliki nilai rata-rata, tidak terlalu tinggi ataupun rendah. Alasan dia lulus seleksi di sekolah itu hanya karena motivasi untuk membalas budi baik Shizune. Ethan, yang tak punya kesempatan untuk mencoba mengikuti ujian seleksi di Kogakuen, ikut membantu Airi belajar. Selain karena dia lebih tua dari Airi, dia dapat membantu Airi karena kemampuan akademik
AIRI TIDAK BERENCANA untuk memberikan pengalaman pertama-nya pada Kei. Sudah enam bulan sejak mereka memutuskan untuk saling mengenal. Selama itu pula, mereka hanya akan bertemu di sekolah, dengan Airi yang menghampiri Kei di loteng. Tempat itu seolah telah menjadi persembunyian khusus mereka. Airi akan menemui Kei di sana pada lima belas menit pertama jam istirahat. Mereka juga akan kembali bertemu sepulang sekolah setelah Airi menjadikan ajang 'Kei mentraktir ramen untuk Airi' sebagai agenda rutin. Tindakan ini dilakukan karena Kei bersikeras menolak ajakannya untuk bertemu siswa-siswa lain. Dia memang menerima Airi sebagai teman, tapi bukan berarti dia mau ikut bergaul dengan yang lain. Airi mengerti. Dia tidak memaksa. Mengenal Kei lebih dekat cukup untuk mengonfirmasikan anggapan tentang Kei yang tak seburuk berita-berita di sekitarnya. Dia memang dingin, menutup diri, dan sangat jarang berinisiatif untuk mengawali pembicaraan. Namun, sebenarnya
PENJELASAN SANG WALI kelas terdengar samar di telinga Airi. Dia sedang mengingatkan para murid mengenai ujian seleksi kampus yang akan diadakan kurang dari dua minggu lagi." ... mental dan pikiran. Jangan sampai rasa khawatir kalian mengganggu konsentrasi hingga merusak kompetensi diri. Kogakuen High School adalah sekolah unggulan yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi di Tokyo University ...."Airi mengerling pada layar ponsel, memperhatikan jam digital yang menunjukkan pukul tiga lebih tiga belas menit. Dia mengembuskan napas pelan dan mengalihkan pandangan untuk melihat bentang langit kebiruan.Bel pulang sekolah terdengar beberapa saat kemudian. Pertemuan di hari itu selesai. Kelas dibubarkan meski sang guru belum mencurahkan seluruh pidato motivasinya. Airi berberes untuk keluar. Dia sempat membalas high five Nomura dan Itsuki ketika melewati mereka."Kau tak mau main basket lagi?" seru Itsuki."Kita harus bersenang-senang sebelu
KEMBALI MELENTANGKAN TUBUH, Airi mengutuki efek obat yang tak kunjung membuatnya mengantuk.Kenapa juga dia harus setampan itu? Bajingan sekali. Harusnya dia sedikit buruk rupa—tidak, dia harus sangat buruk rupa biar aku bisa langsung menendangnya waktu pertama kali dia menciumku di vila.Rasanya ingin menghantamkan kepala ke dinding terdekat. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya murni untuk menghibur diri. Kei memang bajingan karena memulai hubungan itu. Tapi, Airi sama tidak warasnya. Dia mengikuti permainan Kei dan sesumbar bahwa dia takkan merasakan apa pun.Embusan napas kembali dilakukan. Dia menoleh saat mendengar kedatangan seseorang. Shizune, masih mengenakan jas musim dingin, datang dengan membawa semangkuk sup hangat.Airi bangkit untuk duduk. Dengan pelan, dia berucap, "Sudah kubilang, kau tak perlu merawatku, Shizune-san.""Persediaan makanmu kosong. Tadi aku sempat mampir ke swalayan," tukas Shizune, tak peduli pada prote
KEI BERTAMBAH GAGAH dibandingkan dua belas tahun lalu.Airi mengumpat pelan ketika melihat Kei, alih-alih Juan, memasuki ruangan. Untuk sesaat, Kei tak melihatnya karena dia memang tidak memperhatikan para karyawan sebagai individu. Airi cukup mengenal Kei untuk tahu bahwa dia masih tidak terlalu peduli pada orang lain yang tak berkepentingan dengannya.Salam dan senyum yang dilemparkan Airi hanyalah bagian dari formalitas. Dia tak bermaksud apa pun. Reaksi terkejut Keilah yang membuat Airi terheran-heran. Ketika memikirkan tawaran kerja sama, Airi sudah menebak bahwa dia pasti akan bertemu—atau setidaknya berpapasan—dengan Kei. Mungkin memang tidak secepat ini. Tapi, antisipasi itu membuat dia cukup siap untuk kembali melihatnya.Lagi pula, sudah tak ada apa-apa lagi di antara mereka. Jadi, kenapa dia harus takut?Presentasi yang dibawakan Airi berjalan lancar. Dia tak merasa terusik pada kehadiran Kei. Dua belas tahun yang dilewati telah mem
YUKIE KAZAHANA MENGENAL Kei Hasegawa di acara after party sebuah movie premiere tujuh tahun lalu.Sebagai seorang aktris, dia cukup mengenal orang-orang penting di perusahaan hiburan, dia bahkan dekat dengan seorang pimpinan perusahaan paling muda di ranah industri tersebut, sosok yang tak lain bernama Juan Hasegawa.Bagi Yukie, Juan adalah lelaki paling berkarisma yang pernah ditemuinya. Dia begitu tenang dan takkan tergoda dengan godaan terberat sekalipun. Di mata Yukie, Juan bagaikan ... air dalam di lautan lepas; tenang dan tentram. Namun, di saat bersamaan terasa gelap dan dapat menenggelamkan siapa pun yang ingin meraihnya. Tak ada keindahan untuk tetap berada di sisinya. Tapi, di saat bersamaan dia akan membuatmu ingin berada di sana karena kau merasa aman dari gangguan dunia luar.Ketika mengenal Kei, Yukie kira, sang adik—yang menghabiskan waktu kurang lebih enam tahun di Eropa—takkan jauh berbeda dari kakaknya. Be
GREEN HOUSE MEMANG sangat cocok menjadi tempat bersantai di musim semi.Pada kediaman Daiki Hasegawa, Mei tengah memotong tangkai tanaman hias koleksinya. Jumlah tanaman di sana memang tidak sampai dua ratus, tetapi harganya dapat digunakan untuk membeli sebuah rumah minimalis modern yang sulit dibeli oleh pegawai kantoran sekalipun.Sinar matahari menyusup melalui celah dinding kaca, membantu proses pengolahan makanan untuk tanaman hias yang berjejer.Seorang pelayan rumah tangga tampak berjalan dari kejauhan, hendak menghampiri sang majikan. Mei menoleh ketika mendengar kedatangannya. Dia menaruh gunting khusus yang sedang dipakai sebelum berjalan menghampiri."Ada apa?" tanyanya pendek.Seorang wanita muda yang menjadi pegawainya itu menunduk."Takamiya-san ingin bertemu Anda," ungkapnya.Mei mengernyit samar. "Takamiya?"Si pelayan mengangguk."Biarkan dia masuk. Aku akan ke sana."Berbalik kembali ke
EMBUSAN ANGIN SALJU tampak membekukan. Tumpukan es telah menutupi sebagian besar tanah lapang. Airi sedang memikirkan nasib tumbuhan di dalam rumah kaca yang dilihatnya ketika seseorang datang, membawakan seduhan teh panas untuk mereka berdua. "Teh hijau adalah favoritku. Kuharap kau menikmatinya juga." Mei Hasegawa tersenyum dan duduk di seberang Airi. Dia memperbaiki baju hangatnya, menyilangkan kaki, dan mulai menyesap minuman panas itu. Airi menghirup segar aroma teh. "Sebenarnya bukan favorit. Saya hanya sering mengonsumsinya saja." Airi sedikit mencicip, merasakan hangat yang memanja indra perasa. "Sering mengonsumsi akan membuatmu terbiasa," ujar Mei sambil melengkungkan senyum. "Ah, aku lupa mem
SEJAK MEREKA MENJALIN hubungan serius, Kei belum pernah semarah ini. Airi bisa menanganinya dengan mudah kalau mereka hanya dihalangi kesalahpahaman, bukan dihalangi oleh keputusan sepihak yang dibuatnya.Sikap diam Kei nyatanya jauh mengkhawatirkan dibandingkan dengan sikap tegasnya yang biasa. Karena kondisi ini, Airi bahkan mengubah rencana menginapnya dan Yugao. Dia tak menghabiskan waktu di penginapan kantor, tapi langsung melakukan check in ulang begitu urusan kerjanya di hari kedua selesai.Pesan balasan dari Lucy, sang kawan baik, datang. Dia tampak tak masalah pada penundaan pertemuan mereka. Airi mengembuskan napas lega. Dia meletakkan tas tangan begitu saja di atas nakas. Kemudian berbaring di atas ranjang. Kedua mata menutup rapat, membayangkan guyuran hujan salju
KESEHARIAN AIRI HINGGA akhir tahun berlangsung jauh lebih normal dari yang dia duga. Menjalin hubungan dengan Kei nyatanya tidak begitu menjungkirbalikkan hidupnya. Sejak tereksposnya hubungan mereka, dia memang jadi lebih sering dihubungi wartawan majalah. Pada awalnya, mereka memang hanya memeras informasi mengenai Airi Ishihara yang merupakan kekasih Kei Hasegawa. Dia hanya dikenal sebagai kekasih seorang pengusaha kaya, bukan seorang wanita dengan karier dan pencapaiannya sendiri. Akan tetapi, selang beberapa waktu, orang-orang mulai menyadari kalau Airi bukan sekadar wanita pendamping saja. Mereka mulai menyoroti nama Airi, dia yang berhasil meniti karier dari seorang asisten produsen hingga menjadi pemimpin sebuah industri perfilman. Eksposur yang demikian jelas-jelas menguntungkan. Airi tidak merasa terganggu lagi. Dia juga mendapatkan lebi
AIRI TAK BEGITU terkejut ketika mendengar berita kerja sama Hasena dengan Huang Industrial Group. Selama ini, dia mengira kegagalan relasi pribadi Kei dan Jia akan berimplikasi besar terhadap status kerja sama perusahaan mereka. Setelah lebih mengenal Kei, Airi pun mengerti. Kei takkan menyia-nyiakan kesempatan besar itu hanya karena masalah pribadi. Dia telah memastikan Huang bergantung padanya, membuat mereka mau tidak mau mempertahankan relasi yang telah terjalin. Strategi bisnis pria itu … Airi cukup mengaguminya. Namun, di saat yang sama dia masih sering diliputi tanya. Bagaimana kalau suatu hari nanti pria itu mengambil keputusan ekstrem yang menurut Airi tak dapat dibenarkan? Cahaya pagi di musim semi menyadarkan Airi dari lamunan. Dia menghabiskan cokelat panasnya dan segera beranjak ke dalam apartemen. Seperti yang pernah dibicarakan dengan Kei
ENTAH BERAPA TAHUN Kei menantikan momen ini tiba, momen ketika paman congkaknya terlihat marah dan menderita berkat kekalahan yang menimpa. Persis seperti prediksinya, proses persidangan berjalan lancar seperti yang dia harapkan. Rodo Hasegawa terjerat pasal berlipat, pasal mengenai penggelapan dan pencucian dana serta pasal tentang percobaan pembunuhan. Kejahatan kerah putih yang dilakukan Rodo tidaklah sedikit. Seluruh kecurangannya di bidang finansial cukup menggunung. Kei sudah merasa cukup dengan tuntutan itu. Uluran tangan Airi benar-benar memberatkan tuntutan yang menjerat Rodo. Konsekuensi tindakan rencana pembunuhan memang mendapatkan hukuman yang cukup berat. Oleh karena itu, rencana hukuman penjara yang awalnya berselang lima belas tahun, kini menjadi maksimal tiga puluh tahun. Dari hasil ketukan palu, hukuman Rodo ditetapkan menjadi du
“PROSES ITU TAKKAN mudah, tapi semuanya akan berjalan lancar.” Adalah kalimat Kei yang sempat Airi ragukan.Selama kurun waktu sebulan ini, terdapat banyak hal yang terjadi. Airi merasa kewalahan dan terburu-buru, sulit untuk tenang, seolah dia sedang dituntut untuk berlari secepatnya selagi melepaskan diri dari jerat di belakang sana. Dikenal menjadi pasangan Kei Hasegawa tidaklah mudah. Menjadi penuntut hukum seseorang dari keluarga Hasegawa tidaklah enteng. Airi masih dihantui oleh ledakan besar yang hampir merenggut nyawanya. Dia masih sering terbangun di tengah malam, tersentak hebat karena peristiwa tersebut masih mengejarnya hingga ke alam mimpi.Airi telah melalui banyak kesulitan sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sekarang adalah salah satu masa yang membuatnya lelah. Pemberitaan di berbagai media elektronik, bisikan gosip d
SEPERTI PERKIRAAN KEI, sidang pertama Rodo Hasegawa memang dilaksanakan satu minggu kemudian. Airi sempat mendengar beritanya kemarin. Pagi tadi, Kei juga sempat menghubunginya, memberitahukan mengenai dia yang akan hadir di persidangan. Proses peradilan itu bersifat terbuka sehingga masyarakat umum diperbolehkan datang, asal tidak mengganggu proses peradilan. Airi akan mencoba datang juga kalau saja dia tidak mempunyai agenda tersendiri.“Catatan rapat tadi sudah saya back-up pada akun perusahaan, Ishihara-san. Apakah ada yang perlu saya agendakan lagi untuk hari ini?” ujar Mayumi, sekretaris sementara Airi.Kolega kerja mereka sudah meninggalkan ruang pertemuan. Airi pun menoleh pada Mayumi yang telah selesai berberes.
PENAHANAN RODO HASEGAWA memudahkan polisi melakukan pengusutan lebih lanjut. Mereka bekerja sama dengan detektif swasta yang dipekerjakan oleh pengacara penuntut utama. Tak hanya Rodo dan Seizu, nama Toshiki Furuma juga sudah ikut terseret. Salah satu anggota dewan paling berpengaruh itu sudah mendapatkan surat panggilan dari polisi sejak tiga hari lalu. Dari beberapa tahun terakhir, baru kali ini kepolisian pusat menangani kasus yang melibatkan tiga orang besar sekaligus. Pemberitaan kasus pun jadi semakin marak diperbincangkan. “Rodo adalah anak angkat kakekku. Dia tidak sedarah dengan paman ataupun ayah,” jelas Kei. Pintu geser kaca di dekat dapur tampak sedikit terbuka, menampakkan sinar matahari pagi yang masih terasa hangat. Tata letak rumah milik sang lelaki memang jauh lebih lenggang dan terbuka. Mereka dapat melihat keberadaan taman belakang melalui pintu geser yang ada di sana. Airi baru selesai memasukkan es batu ke dalam wadah berisi minuman rasa
AIRI TIDAK INGAT kapan dia terlelap. Matanya tertutup begitu saja setelah mendaratkan diri di atas ranjang. Dia sudah sangat mengantuk sejak selesai berendam. Ketika mengerjap, dia tak tahu sudah jam berapa. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Sampai kemudian dia merasakan erat rangkulan di belakangnya, juga hangat ciuman yang menjatuhi perpotongan lehernya.Airi sempat lupa kalau dia sedang tinggal di apartemen sang kekasih. Harum maskulin menggelitik hidung. Airi menoleh, menatap dalam remang cahaya kamar.“Aku ketiduran,” ungkap Airi, terdengar parau. “Maaf, tak sempat menunggumu.”Kei hanya membalas dalam gumaman. Dia tak mengatakan apa pun ketika kembali mengeratkan pelukan. Kecupan panas itu lagi-lagi hadir pada lekuk leher Airi, terus hingga rahang dan belakang telinga. Airi kontan meremang.“Ada apa?” tanya Airi, bernada rendah.“Kenapa kau tidak tidur di kamarku?” gumam Kei, sedikit tere