PENJELASAN SANG WALI kelas terdengar samar di telinga Airi. Dia sedang mengingatkan para murid mengenai ujian seleksi kampus yang akan diadakan kurang dari dua minggu lagi.
" ... mental dan pikiran. Jangan sampai rasa khawatir kalian mengganggu konsentrasi hingga merusak kompetensi diri. Kogakuen High School adalah sekolah unggulan yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi di Tokyo University ...."
Airi mengerling pada layar ponsel, memperhatikan jam digital yang menunjukkan pukul tiga lebih tiga belas menit. Dia mengembuskan napas pelan dan mengalihkan pandangan untuk melihat bentang langit kebiruan.
Bel pulang sekolah terdengar beberapa saat kemudian. Pertemuan di hari itu selesai. Kelas dibubarkan meski sang guru belum mencurahkan seluruh pidato motivasinya. Airi berberes untuk keluar. Dia sempat membalas high five Nomura dan Itsuki ketika melewati mereka.
"Kau tak mau main basket lagi?" seru Itsuki.
"Kita harus bersenang-senang sebelum ujian besar itu!" tambah Nomura.
Airi mengibaskan tangan. "Aku harus menyelamatkan nilai Matematika-ku."
"Nilai bahasamu sudah tinggi. Kau sudah pasti lulus!"
Berhenti melangkah, Airi berbalik untuk menghadap mereka.
"Aku tak punya uang untuk meninggikan nilai seperti kalian!"
Itsuki kelihatan ingin melemparinya dengan sepatu. Airi hanya menyunggingkan seringaian. Dia kembali mengibaskan tangan sebelum bergegas pergi. Perjalanan dari sekolah menuju stasiun hanya memakan waktu hingga sepuluh menit. Dia menaiki kereta dan keluar dari sana setelah sampai di tempat tujuan. Kepalanya menoleh untuk mencari seseorang. Dia mengerjap begitu mendapati seorang anak lelaki jangkung berambut hitam yang juga mengenakan seragam yang sama dengannya di balik jaket musim dingin yang dia kenakan.
"Kenapa kau bisa dapat nilai sempurna di mata pelajaran Bahasa, tapi selalu dapat nilai merah di Matematika?" Adalah kalimat yang diucapkan oleh sosok itu begitu Airi mendekat.
Foto lembar nilai rapor terpampang di layar ponsel si pemuda.
Airi mengembuskan napas lelah.
"Karena orang yang pandai Matematika tidaklah normal," kilah Airi.
"Kau hanya perlu memahami konsepnya."
"Hanya," beo Airi. Dia berdecak, kemudian merengut. "Cuma kau yang menganggap konsep Matematika sebagai hanya, Kei."
Kei memasukkan ponsel ke dalam saku. Dia memperhatikan seorang perempuan bercat rambut gelap yang mulai luntur, serta merta memperlihatkan helaian pirang di akar-akar rambutnya. Wajah Airi sedikit pucat, bibirnya agak membiru. Berbeda dengan Kei yang mengenakan jaket musim dingin, Airi hanya mengenakan seragam—yang sudah mulai mengecil sehingga roknya sedikit lebih pendek—dan sepatu bot.
Airi sedikit tersentak ketika punggung tangan Kei mendarat di pipinya. Hangat tangan itu amat kontras dengan dingin kulit Airi.
"Kau tidak punya jaket?" tanya Kei. Dia memiringkan kepala. "Mungkin nilaimu merah dikarenakan otakmu yang membeku sehingga kau kesulitan berpikir."
Tendangan ringan di tulang kering berhasil dihindari Kei.
"Ruang kelas sudah sangat hangat, Jerk," gerutu Airi.
Tanpa membalas ucapan Airi, Kei melepas syal rajut yang dipakainya dan dengan mudah melilitkannya di leher si cewek pirang. Airi hanya mengerjap. Kei telah berjalan mendahuluinya selagi mengutarakan daftar materi yang akan mereka ulas lagi sore ini.
Airi menggenggam kain hangat yang membalut lehernya. Dia mengambil napas pelan, merasakan harum familier yang selalu identik dengan Kei. Degupan jantungnya terlalu keras sampai seolah bergema di telinga. Dia menggeleng dan segera melepas syal tersebut selagi menyusul Kei dengan langkah lebar.
Ketika memaksa untuk mengembalikan kain tersebut, Kei langsung menolaknya.
"Aku punya banyak di apartemen."
Airi tentu saja sudah tahu. Dia hendak membalas Kei, mengatakan bahwa tindakan yang demikian akan menyebabkan kesalahpahaman. Hanya saja, mulutnya terasa kering. Dia tak bisa berterus terang dengan memberi tahu bahwa kebaikan kecil sang teman membuatnya resah, membuatnya mengartikan hal yang sebenarnya tidak demikian.
Pada akhirnya, Airi tak jadi mengembalikan. Mereka sampai di sebuah gedung apartemen kecil, tempat tinggal yang dipilih Kei setelah memutuskan untuk tidak lagi tinggal di rumah ayahnya. Sejak kematian sang ibu empat bulan lalu, Kei semacam diberi kebebasan lebih. Dia sudah tidak lagi dibuntuti oleh orang-orang berjas hitam yang jumlahnya lebih dari lima. Permintaan Kei untuk tinggal sendiri, agar bisa lebih mandiri katanya, juga dikabulkan oleh sang ayah—meski dia harus meminta dukungan dari kakeknya.
Keputusan Kei untuk memilih apartemen biasa alih-alih apartemen mahal tampak cukup menarik perhatian Tajima Hasegawa, kakek Kei. Mungkin saja, keinginan itu mengingatkan dia pada masa-masa ketika beliau masih berjuang membangun Hasena Group.
"Kau bisa mendapatkan ramen setelah mengerjakan satu set soal trigonometri dengan benar," ujar Kei ketika mereka telah sampai.
Jawaban Airi hanya berupa gerutuan pelan. Dia mengikuti Kei masuk dan duduk lesehan di ruang tengah. Di sana, terdapat meja serta bantalan untuk duduk. Kei sendiri tengah berada di kamar untuk berganti pakaian sekaligus mengambil kertas latihan soal. Ketika dia kembali, Airi telah membuka buku tulisnya sendiri. Akan tetapi, dari sorot mata itu dia kelihatan sedang melamun alih-alih membaca.
"Ada yang ingin kautanyakan?"
Lamunan Airi memudar. Dia menoleh dengan kedua mata sedikit melebar.
"Eh?" Suaranya terdengar bingung.
Kei mengedikkan dagu pada buku tulis Airi.
"Materi bab ini, ada yang mau kautanyakan?" ulang Kei.
Apa pun kesalahpahaman di kepala Airi segera hilang. Dia menggeleng sebelum mengikuti arahan Kei untuk mengerjakan satu set soal tersebut. Konsentrasi Airi tampak tercurah pada soal-soal di hadapannya meski sebenarnya dia sedang memikirkan hal lain. Kei tak menyadarinya. Dia sedang membaca buku sendiri, mencoba memahami deretan kata yang dibaca selagi mendengarkan detak jarum jam yang menjadi satu-satunya sumber suara dalam ruangan itu.
Menit demi menit berlalu hingga suara Kei memecah kesunyian yang ada.
"Aku akan melanjutkan studi di London."
Gerak jemari Airi terhenti. Dia masih mencoba mencerna ucapan Kei ketika mendengar lanjutan dari kalimat tadi.
Kei terdengar kaku, seolah dia tak ingin membicarakan masalah tersebut.
"Keputusan ini murni dariku, bukan paksaan keluarga." Kei menatap Airi, menyadari gestur mematung darinya. Dia mengembuskan napas pelan. "Setidaknya, mereka tidak memaksaku dengan terang-terangan."
Airi masih terdiam. Reaksi tersebut membuat Kei resah. Dia beringsut mendekat. Sebelah lengannya bertumpu di atas meja yang sedang digunakan Airi untuk menulis.
"Katakan sesuatu," kata Kei pelan.
Airi mengerling. Seulas senyuman tipis hadir di wajahnya.
"Baguslah. Aku senang kau memberitahuku."
Ada yang salah dengan reaksi itu, Kei tahu. Dia segera menambahkan, "Semua saudaraku melanjutkan studi di sana. Sekarang, aku sudah memikirkan suatu tujuan, seperti yang dulu kaubilang. Untuk mencapainya, aku memerlukan banyak persiapan, salah satunya ini."
Airi mengangguk selagi mencorat-coret lembaran kertas.
"Itulah kenapa kubilang bagus." Dia masih mematrikan perhatian pada lembaran kertas. "Kau tak perlu mengkhawatirkanku. Gunakan waktumu sebaik mungkin. Mungkin kau juga bakal memakai waktu liburanmu? Semacam untuk magang atau membantu proyek penelitian dosen maupun pekerjaan yang sedang mereka lakukan. Kalau memang begitu, lakukan saja. Tak perlu mengkhawatirkanku."
Tak ada yang salah dari ucapan Airi. Dia tidak keberatan atau melarangnya. Airi tahu betul mengenai prioritas. Dia sendiri ingin Kei meraih tujuan itu. Dia tak mau menjadi beban yang hanya akan menghalanginya.
Kei memandang Airi lekat, memperhatikannya yang seolah tidak peduli pada pernyataan tadi. Airi sendiri sadar akan tatapan itu. Sorot mata Kei selalu tajam. Tak jarang, dia kelihatan terlalu intens sampai membuat Airi seolah terbakar.
Sekarang adalah salah satu momen itu.
Degup jantung Airi kembali bertalu-talu tak karuan. Dia mendengar Kei yang memanggilnya. Tanpa melihat langsung, dia tahu intensi Kei, sebab mereka sudah sering melaluinya. Mereka sudah terlalu sering mengalami ketegangan di udara yang hanya akan meluruh dengan melakukan hal yang seharusnya tak dilakukan oleh mereka yang sekadar teman.
Pulpen yang digenggam Airi menggelinding jatuh ke atas lantai. Airi tak terlalu tahu kapan dia menoleh. Yang dia rasakan hanya harum maskulin teman lelakinya, dingin lantai kayu di punggung, serta hangat bibir yang tengah mengecapnya. Kepala Airi serasa pening oleh sensasi yang familier. Dia memikirkan kedekatan mereka, waktu-waktu yang telah dihabiskan bersama, rasa percaya Kei padanya, hingga rasa baru yang mulai tumbuh dalam dirinya.
Degup jantung Airi masih menggila oleh campuran emosi yang tak dapat dia definisikan. Dia tahu bahwa kedekatan dan intimasi ini takkan berarti lebih. Dia tahu bahwa di antara mereka terdapat dinding tak kasat mata yang tak boleh dihancurkannya. Dia sangat tahu. Oleh karenanya, dia mencengkeram bahu Kei dan mendorongnya pelan, memintanya berhenti.
Napas hangat Kei menerpa leher Airi. Dia sedikit menarik diri guna menatapnya.
"Lembar soal itu takkan ke mana-mana."
Airi mencoba mengeluarkan kalimat yang menolak untuk dikatakan.
"Bukan itu." Dia menarik kepalanya ke samping saat Kei hendak kembali menciumnya. "Kita harus menghentikan ini." Mengambil napas pelan, dia melanjutkan, "Tak hanya sekarang, tapi untuk seterusnya."
Jeda pada respons Kei mengindikasikan ketidakpercayaan.
"Kenapa?" Suara tidak terima itu semakin memperjelasnya. "Apakah karena yang tadi kukatakan?"
Airi menoleh. Dia mendorong pelan bahu Kei selagi berusaha untuk kembali duduk. "Tidak. Aku tak—"
"Liburan nanti akan kugunakan untuk kembali. Aku takkan di sana sepanjang tahun," potong Kei. "Jadi, kau tak perlu khawatir—"
"Bukan itu maksudku," tandas Airi, suaranya sedikit meninggi. Dia mengepalkan tangan dengan lemah, menahan tubuh yang mulai gemetar oleh rasa takut yang baru dia sadari. Takut jika semuanya hancur jika ....
"Kenapa?" tanya Kei lagi. "Semua itu bukan karena kau yang tiba-tiba mulai menaruh rasa padaku, 'kan?" Dia mengatakannya dengan nada seolah kemungkinan tersebut sangat mustahil untuk terjadi. "Kau selalu yakin untuk tak menyukai orang sepertiku. Kau juga tahu, sekarang aku takkan bisa memberimu lebih—"
Airi memalingkan wajah, menolak untuk menjawab. Reaksi yang demikian amat berbeda dengan yang diharapkan Kei. Dia sedikit tersentak. Nada tak percaya sangat kentara di suaranya ketika dia berkata, "Sangkal ucapanku, Ai. Jangan membuatku berpikir bahwa kau memang merasakan itu."
Mulut Kei mengatup akibat Airi yang masih menolak bicara.
"Katakan bahwa aku salah," ucapnya lagi, masih meminta Airi bicara. "Tertawakan apa yang kukatakan. Beri tahu bahwa ucapanku tadi hanyalah lelucon konyol."
Airi hanya diam dengan tangan mengepal, dengan sekuat tenaga mengharapkan kata 'tidak' untuk keluar dengan mudah dari mulutnya. Menggeleng bahkan terasa sangat berat. Dia menoleh dan menatap Kei. Kedua matanya memanas kala melihat ekspresi tak percaya di mata itu, seolah dia baru saja dikhianati.
"Aku tak menyukaimu."
Dan pernyataan tersebut sia-sia saja karena Kei telah menangkap kebohongannya.
Airi melihat Kei mengembuskan napas kasar. Dia melihat raut berkonfliknya dan dia jelas-jelas mendengar nada frustrasi Kei saat berucap, "Kita hanya bermain-main. Kenapa kau—"
Entah apa kelanjutan ucapan itu. Telinga Airi berdengung. Kedua matanya juga telah memanas. Dia seolah bergerak sendiri saat mengemasi barang-barang dan bergegas keluar. Panggilan Kei diabaikan. Dia mempercepat langkah selagi menahan agar cairan yang mengumpul di kedua matanya tak segera tumpah.
"Aku ada janji dengan teman," katanya dengan nada rendah, menahan isak yang ingin terselip keluar. "Jangan menghalangiku," tambahnya, menoleh pada Kei yang hendak menarik tangannya.
Begitu berkata demikian, Airi keluar dari apartemen. Dia merasa kebas saat buliran salju datang menyambut. Sepanjang langkah yang diambil, dia masih mampu menahan tangis. Tapi, ketika memori itu terulang di kepalanya, dia menghentikan langkah. Airi berpegangan pada dinding sebuah gang. Mulutnya mengatup rapat. Panas air mata mengaliri pipi, menyaingi dingin buliran salju yang menghujani.
Airi diam di jalanan sepi itu entah sampai berapa lama.
Kenapa dia harus memperjelas penolakannya?
Telapak tangan Airi mengepal.
Jantungnya serasa diremas kuat-kuat sampai remuk. Ketika dijauhi, diolok, dan dikucilkan, dia tak pernah merasa se-jatuh ini. Jadi, kenapa sesak yang sekarang dia rasakan melebihi sesak ketika dia dijauhi? Kenapa penolakan yang sudah biasa dia dapat dari orang lain terasa lebih sakit ketika terucap dari mulut Kei? Kenapa dia membiarkan Kei terlalu memengaruhinya seperti ini?
Keesokan harinya, dia tidak masuk sekolah karena demam. Berdiri terlalu lama di bawah guyuran salju jelas-jelas bukan keputusan cerdas. Emosi manusia memang sangat mendominasi otak sampai membuat seseorang sulit berpikir jernih. Airi pernah membaca buku Neurologi milik Shizune, di sana disebutkan bahwa bagian otak manusia yang mengatur emosi memang akan lebih cepat bereaksi dibandingkan bagian yang mengatur proses penalaran. Jadi, pantas saja dia menjadi lebih bodoh ketika termakan kesedihan.
Untuk ke depannya, akan sangat merepotkan kalau dia terus-terusan tak bisa berpikir jernih karena nalarnya dibutakan emosi. Airi memandang kosong langit-langit kamar. Ponsel yang tergeletak di atas nakas tampak mati. Airi tak punya keinginan ataupun motivasi untuk mengaktifkannya. Dia sedang menyelami nasib tak mujur akibat daya tarik Kei Hasegawa yang sangat tidak manusiawi.
Kenapa dia hanya berteman denganku sampai aku tak bisa membandingkan perilakunya dengan orang lain?
Airi menenggelamkan wajah pada bantal.
Kenapa juga dia selalu sok perhatian? Ethan bahkan cuma menyuruhku berjalan lebih cepat biar tidak kedinginan. Kenapa dia malah memberikan dan dengan entengnya memakaikan syal sialan itu?
Ai, Ai, Ai. Kenapa dia harus menggunakan nama panggilan itu waktu menyebutku, seolah kami sudah sangat dekat? Selain itu, apakah dia terlalu bodoh untuk tahu arti kata ai? []
KEMBALI MELENTANGKAN TUBUH, Airi mengutuki efek obat yang tak kunjung membuatnya mengantuk.Kenapa juga dia harus setampan itu? Bajingan sekali. Harusnya dia sedikit buruk rupa—tidak, dia harus sangat buruk rupa biar aku bisa langsung menendangnya waktu pertama kali dia menciumku di vila.Rasanya ingin menghantamkan kepala ke dinding terdekat. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya murni untuk menghibur diri. Kei memang bajingan karena memulai hubungan itu. Tapi, Airi sama tidak warasnya. Dia mengikuti permainan Kei dan sesumbar bahwa dia takkan merasakan apa pun.Embusan napas kembali dilakukan. Dia menoleh saat mendengar kedatangan seseorang. Shizune, masih mengenakan jas musim dingin, datang dengan membawa semangkuk sup hangat.Airi bangkit untuk duduk. Dengan pelan, dia berucap, "Sudah kubilang, kau tak perlu merawatku, Shizune-san.""Persediaan makanmu kosong. Tadi aku sempat mampir ke swalayan," tukas Shizune, tak peduli pada prote
KEI BERTAMBAH GAGAH dibandingkan dua belas tahun lalu.Airi mengumpat pelan ketika melihat Kei, alih-alih Juan, memasuki ruangan. Untuk sesaat, Kei tak melihatnya karena dia memang tidak memperhatikan para karyawan sebagai individu. Airi cukup mengenal Kei untuk tahu bahwa dia masih tidak terlalu peduli pada orang lain yang tak berkepentingan dengannya.Salam dan senyum yang dilemparkan Airi hanyalah bagian dari formalitas. Dia tak bermaksud apa pun. Reaksi terkejut Keilah yang membuat Airi terheran-heran. Ketika memikirkan tawaran kerja sama, Airi sudah menebak bahwa dia pasti akan bertemu—atau setidaknya berpapasan—dengan Kei. Mungkin memang tidak secepat ini. Tapi, antisipasi itu membuat dia cukup siap untuk kembali melihatnya.Lagi pula, sudah tak ada apa-apa lagi di antara mereka. Jadi, kenapa dia harus takut?Presentasi yang dibawakan Airi berjalan lancar. Dia tak merasa terusik pada kehadiran Kei. Dua belas tahun yang dilewati telah mem
YUKIE KAZAHANA MENGENAL Kei Hasegawa di acara after party sebuah movie premiere tujuh tahun lalu.Sebagai seorang aktris, dia cukup mengenal orang-orang penting di perusahaan hiburan, dia bahkan dekat dengan seorang pimpinan perusahaan paling muda di ranah industri tersebut, sosok yang tak lain bernama Juan Hasegawa.Bagi Yukie, Juan adalah lelaki paling berkarisma yang pernah ditemuinya. Dia begitu tenang dan takkan tergoda dengan godaan terberat sekalipun. Di mata Yukie, Juan bagaikan ... air dalam di lautan lepas; tenang dan tentram. Namun, di saat bersamaan terasa gelap dan dapat menenggelamkan siapa pun yang ingin meraihnya. Tak ada keindahan untuk tetap berada di sisinya. Tapi, di saat bersamaan dia akan membuatmu ingin berada di sana karena kau merasa aman dari gangguan dunia luar.Ketika mengenal Kei, Yukie kira, sang adik—yang menghabiskan waktu kurang lebih enam tahun di Eropa—takkan jauh berbeda dari kakaknya. Be
GREEN HOUSE MEMANG sangat cocok menjadi tempat bersantai di musim semi.Pada kediaman Daiki Hasegawa, Mei tengah memotong tangkai tanaman hias koleksinya. Jumlah tanaman di sana memang tidak sampai dua ratus, tetapi harganya dapat digunakan untuk membeli sebuah rumah minimalis modern yang sulit dibeli oleh pegawai kantoran sekalipun.Sinar matahari menyusup melalui celah dinding kaca, membantu proses pengolahan makanan untuk tanaman hias yang berjejer.Seorang pelayan rumah tangga tampak berjalan dari kejauhan, hendak menghampiri sang majikan. Mei menoleh ketika mendengar kedatangannya. Dia menaruh gunting khusus yang sedang dipakai sebelum berjalan menghampiri."Ada apa?" tanyanya pendek.Seorang wanita muda yang menjadi pegawainya itu menunduk."Takamiya-san ingin bertemu Anda," ungkapnya.Mei mengernyit samar. "Takamiya?"Si pelayan mengangguk."Biarkan dia masuk. Aku akan ke sana."Berbalik kembali ke
TAWARAN KERJA SAMA dari Hiraishin Picture diterima oleh Izanami Studio. Airi bersuka cita kalau saja tak ada beban lain yang harus dia tanggung.Lembar berkas laporan ditatap dengan nanar. Airi meraih telepon kantor, menghubungi Yugao untuk memintanya menyambungkan panggilan pada Kepala Bagian Produksi, Shouta Okumura, seorang senior paling congkak yang sampai saat ini masih belum bersedia mengakui Airi sebagai pemimpin mereka. Dia merupakan putra sulung dari seorang hakim ternama di negara gingseng itu. Akan tetapi, dia sama sekali tak memiliki sifat yang mencerminkan putra dari seorang hakim.“Bisakah kau ke ruanganku sekarang? Ada yang ingin kubicarakan terkait laporan yang kauberikan.”Dia menemui Airi satu jam kemudian dengan alasan harus menemani temannya makan siang. Kesabaran Airi benar-benar diuji ketika Shouta mengatakannya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Jika dia lebih senior darinya, dia akan langsung memarahi Shouta atas kelalaian ini.
ENTAH SEJAK KAPAN operasional dari cabang perusahaan ditangani langsung oleh presiden direktur perusahaan induk. Airi pikir, dia hanya akan berurusan dengan Direktur Izanagi TV, alih-alih Presiden Direktur Izanagi Telecommunication Inc., Kei Hasegawa.Beberapa hari lalu, Airi telah memutuskan untuk mengesampingkan kepentingan pribadi dan mengutamakan profesionalitas. Kesempatan pengalihan siaran yang dibuka oleh Izanagi segera diambil. Dia hanya perlu memberikan data dan jaminan untuk meyakinkan mereka bahwa acara yang ditawarkan masih memiliki potensi untuk laku di pasaran.Guna melancarkan negosiasi ini, dia datang ke Izanagi bersama Kepala Bagian Produksi—Shouta Okumura—dan seorang creative director. Mereka bertiga sempat dipersilakan untuk menemui Sakita, Direktur Izanagi TV. Oleh Sakita, Airi disuruh untuk langsung menghadap presiden direktur mereka yang tak lain adalah Kei.“Beberapa acara yang tahun lalu kami ambil semp
KEI BERKATA BAHWA dia tidak jatuh cinta, bukan tidak pernah tertarik pada seseorang. Pernyataan demikian sengaja dibuat agar memiliki banyak penafsiran, tergantung pada persepsi masing-masing orang yang mendengar. Kei tak ingin memperjelasnya. Satu hal yang pasti, Airi selalu berarti lebih—berarti lebih hingga Kei selalu mengharapkan kehadiran, ketenangan, dan juga kenyamanan yang tercipta ketika mereka bersama. Rasa aman, tenang, dan afeksi dari Airi dan Juan tidaklah sama. Juan memedulikan Kei karena mereka berdua terhubung oleh darah. Kei adalah adiknya sehingga dia seolah berkewajiban unt
“ADA YANG INGIN Anda tanyakan, Nakamura-san?”Suara Takamiya berdengung samar di telinga Mei. Seminggu sudah sejak dia meminta Takamiya mencarikan informasi terkait Airi Ishihara. Pagi tadi, Takamiya mengabarkan bahwa dia telah mengumpulkan informasi baru yang sekiranya akan berguna. Mereka janji bertemu di sebuah restauran bergaya klasik pada jam makan malam. Setelah sedikit berbincang, Takamiya menunjukkan sebuah profil seseorang dari layar tabletnya.Fokus pandangan Mei masih belum lepas dari data digital yang dia lihat. Mulai dari foto, data diri, hingga riwayat tempat tinggal yang masih sangat baru di Jepang. Mei mencoba menahan rasa terkejutnya akibat data tersebut. Namun, tiap kali dia menatap foto yang tertera, dia masih sulit untuk percaya.Fakta bahwa Airi Ishihara telah mempunyai seorang anak tentu saja cukup mengejutkan. Rasa terkejut Mei didasari oleh usia anak dan ibu itu. Airi masih berusia tiga puluh, atau mungkin hendak beru
EMBUSAN ANGIN SALJU tampak membekukan. Tumpukan es telah menutupi sebagian besar tanah lapang. Airi sedang memikirkan nasib tumbuhan di dalam rumah kaca yang dilihatnya ketika seseorang datang, membawakan seduhan teh panas untuk mereka berdua. "Teh hijau adalah favoritku. Kuharap kau menikmatinya juga." Mei Hasegawa tersenyum dan duduk di seberang Airi. Dia memperbaiki baju hangatnya, menyilangkan kaki, dan mulai menyesap minuman panas itu. Airi menghirup segar aroma teh. "Sebenarnya bukan favorit. Saya hanya sering mengonsumsinya saja." Airi sedikit mencicip, merasakan hangat yang memanja indra perasa. "Sering mengonsumsi akan membuatmu terbiasa," ujar Mei sambil melengkungkan senyum. "Ah, aku lupa mem
SEJAK MEREKA MENJALIN hubungan serius, Kei belum pernah semarah ini. Airi bisa menanganinya dengan mudah kalau mereka hanya dihalangi kesalahpahaman, bukan dihalangi oleh keputusan sepihak yang dibuatnya.Sikap diam Kei nyatanya jauh mengkhawatirkan dibandingkan dengan sikap tegasnya yang biasa. Karena kondisi ini, Airi bahkan mengubah rencana menginapnya dan Yugao. Dia tak menghabiskan waktu di penginapan kantor, tapi langsung melakukan check in ulang begitu urusan kerjanya di hari kedua selesai.Pesan balasan dari Lucy, sang kawan baik, datang. Dia tampak tak masalah pada penundaan pertemuan mereka. Airi mengembuskan napas lega. Dia meletakkan tas tangan begitu saja di atas nakas. Kemudian berbaring di atas ranjang. Kedua mata menutup rapat, membayangkan guyuran hujan salju
KESEHARIAN AIRI HINGGA akhir tahun berlangsung jauh lebih normal dari yang dia duga. Menjalin hubungan dengan Kei nyatanya tidak begitu menjungkirbalikkan hidupnya. Sejak tereksposnya hubungan mereka, dia memang jadi lebih sering dihubungi wartawan majalah. Pada awalnya, mereka memang hanya memeras informasi mengenai Airi Ishihara yang merupakan kekasih Kei Hasegawa. Dia hanya dikenal sebagai kekasih seorang pengusaha kaya, bukan seorang wanita dengan karier dan pencapaiannya sendiri. Akan tetapi, selang beberapa waktu, orang-orang mulai menyadari kalau Airi bukan sekadar wanita pendamping saja. Mereka mulai menyoroti nama Airi, dia yang berhasil meniti karier dari seorang asisten produsen hingga menjadi pemimpin sebuah industri perfilman. Eksposur yang demikian jelas-jelas menguntungkan. Airi tidak merasa terganggu lagi. Dia juga mendapatkan lebi
AIRI TAK BEGITU terkejut ketika mendengar berita kerja sama Hasena dengan Huang Industrial Group. Selama ini, dia mengira kegagalan relasi pribadi Kei dan Jia akan berimplikasi besar terhadap status kerja sama perusahaan mereka. Setelah lebih mengenal Kei, Airi pun mengerti. Kei takkan menyia-nyiakan kesempatan besar itu hanya karena masalah pribadi. Dia telah memastikan Huang bergantung padanya, membuat mereka mau tidak mau mempertahankan relasi yang telah terjalin. Strategi bisnis pria itu … Airi cukup mengaguminya. Namun, di saat yang sama dia masih sering diliputi tanya. Bagaimana kalau suatu hari nanti pria itu mengambil keputusan ekstrem yang menurut Airi tak dapat dibenarkan? Cahaya pagi di musim semi menyadarkan Airi dari lamunan. Dia menghabiskan cokelat panasnya dan segera beranjak ke dalam apartemen. Seperti yang pernah dibicarakan dengan Kei
ENTAH BERAPA TAHUN Kei menantikan momen ini tiba, momen ketika paman congkaknya terlihat marah dan menderita berkat kekalahan yang menimpa. Persis seperti prediksinya, proses persidangan berjalan lancar seperti yang dia harapkan. Rodo Hasegawa terjerat pasal berlipat, pasal mengenai penggelapan dan pencucian dana serta pasal tentang percobaan pembunuhan. Kejahatan kerah putih yang dilakukan Rodo tidaklah sedikit. Seluruh kecurangannya di bidang finansial cukup menggunung. Kei sudah merasa cukup dengan tuntutan itu. Uluran tangan Airi benar-benar memberatkan tuntutan yang menjerat Rodo. Konsekuensi tindakan rencana pembunuhan memang mendapatkan hukuman yang cukup berat. Oleh karena itu, rencana hukuman penjara yang awalnya berselang lima belas tahun, kini menjadi maksimal tiga puluh tahun. Dari hasil ketukan palu, hukuman Rodo ditetapkan menjadi du
“PROSES ITU TAKKAN mudah, tapi semuanya akan berjalan lancar.” Adalah kalimat Kei yang sempat Airi ragukan.Selama kurun waktu sebulan ini, terdapat banyak hal yang terjadi. Airi merasa kewalahan dan terburu-buru, sulit untuk tenang, seolah dia sedang dituntut untuk berlari secepatnya selagi melepaskan diri dari jerat di belakang sana. Dikenal menjadi pasangan Kei Hasegawa tidaklah mudah. Menjadi penuntut hukum seseorang dari keluarga Hasegawa tidaklah enteng. Airi masih dihantui oleh ledakan besar yang hampir merenggut nyawanya. Dia masih sering terbangun di tengah malam, tersentak hebat karena peristiwa tersebut masih mengejarnya hingga ke alam mimpi.Airi telah melalui banyak kesulitan sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sekarang adalah salah satu masa yang membuatnya lelah. Pemberitaan di berbagai media elektronik, bisikan gosip d
SEPERTI PERKIRAAN KEI, sidang pertama Rodo Hasegawa memang dilaksanakan satu minggu kemudian. Airi sempat mendengar beritanya kemarin. Pagi tadi, Kei juga sempat menghubunginya, memberitahukan mengenai dia yang akan hadir di persidangan. Proses peradilan itu bersifat terbuka sehingga masyarakat umum diperbolehkan datang, asal tidak mengganggu proses peradilan. Airi akan mencoba datang juga kalau saja dia tidak mempunyai agenda tersendiri.“Catatan rapat tadi sudah saya back-up pada akun perusahaan, Ishihara-san. Apakah ada yang perlu saya agendakan lagi untuk hari ini?” ujar Mayumi, sekretaris sementara Airi.Kolega kerja mereka sudah meninggalkan ruang pertemuan. Airi pun menoleh pada Mayumi yang telah selesai berberes.
PENAHANAN RODO HASEGAWA memudahkan polisi melakukan pengusutan lebih lanjut. Mereka bekerja sama dengan detektif swasta yang dipekerjakan oleh pengacara penuntut utama. Tak hanya Rodo dan Seizu, nama Toshiki Furuma juga sudah ikut terseret. Salah satu anggota dewan paling berpengaruh itu sudah mendapatkan surat panggilan dari polisi sejak tiga hari lalu. Dari beberapa tahun terakhir, baru kali ini kepolisian pusat menangani kasus yang melibatkan tiga orang besar sekaligus. Pemberitaan kasus pun jadi semakin marak diperbincangkan. “Rodo adalah anak angkat kakekku. Dia tidak sedarah dengan paman ataupun ayah,” jelas Kei. Pintu geser kaca di dekat dapur tampak sedikit terbuka, menampakkan sinar matahari pagi yang masih terasa hangat. Tata letak rumah milik sang lelaki memang jauh lebih lenggang dan terbuka. Mereka dapat melihat keberadaan taman belakang melalui pintu geser yang ada di sana. Airi baru selesai memasukkan es batu ke dalam wadah berisi minuman rasa
AIRI TIDAK INGAT kapan dia terlelap. Matanya tertutup begitu saja setelah mendaratkan diri di atas ranjang. Dia sudah sangat mengantuk sejak selesai berendam. Ketika mengerjap, dia tak tahu sudah jam berapa. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Sampai kemudian dia merasakan erat rangkulan di belakangnya, juga hangat ciuman yang menjatuhi perpotongan lehernya.Airi sempat lupa kalau dia sedang tinggal di apartemen sang kekasih. Harum maskulin menggelitik hidung. Airi menoleh, menatap dalam remang cahaya kamar.“Aku ketiduran,” ungkap Airi, terdengar parau. “Maaf, tak sempat menunggumu.”Kei hanya membalas dalam gumaman. Dia tak mengatakan apa pun ketika kembali mengeratkan pelukan. Kecupan panas itu lagi-lagi hadir pada lekuk leher Airi, terus hingga rahang dan belakang telinga. Airi kontan meremang.“Ada apa?” tanya Airi, bernada rendah.“Kenapa kau tidak tidur di kamarku?” gumam Kei, sedikit tere