"PAMAN NISHIDA! KAU datang!"
Seorang pria jangkung dengan rambut kecokelatan yang cukup panjang tertawa ringan. Dia menerima high five yang dilemparkan seorang pemuda dua belas tahun yang baru saja berlari menghampiri. Kacamata hitam bertengger bangga di hidung bangir si pemuda, hitam kacamatanya tampak begitu kontras dengan kulit putih pucat yang akan membuat banyak anak perempuan merasa iri. Dia kembali memasukkan kedua tangan ke dalam saku hoodie yang dikenakan. Seringaian di wajahnya berhasil membuat beberapa perempuan di bandara itu berhenti sejenak untuk menoleh.
"Bahasa Jepangmu membaik," komentar Ethan, pria yang barusan disapa oleh si pemuda. "Sekarang kau juga sudah sangat besar. Terakhir kali aku melihatmu, kau masih setinggi ini." Ethan menunjuk pinggangnya.
"Aku masih bisa tumbuh. Kau tunggu saja," balas si pemuda. Dia melepas kacamata dan menggantungnya pada kerah pakaian. "Di sekolahku ada anak baru dari Kyoto. Kami bicara dengan bahasa Jepang sepanjang hari. Dia sangat baik. Kurasa dia menyukaiku."
Ethan menatapnya dengan tidak percaya. Dia mengerling pada seorang perempuan pirang yang menyusul menghampiri mereka.
"Bagaimana caramu membesarkannya?" tanya Ethan dengan heran sekaligus terpukau. "Dia akan jadi player sejati."
Airi tertawa rendah. Dia merangkul putranya, Kazuki, dengan sebelah tangan. Tingginya telah mencapai leher, tinggal menunggu waktu saja sampai Kazuki mengunggulinya.
"Entah. Dia tumbuh terlalu cepat," balas Airi. Menjejerkan wajah mereka, dia berkata, "Kami sering disebut sebagai kakak-adik."
"Tiga atau empat tahun lagi dia akan dikira sebagai pacarmu."
Kazuki menimpali. "Aku tidak masalah untuk jadi pacar Ibu."
Detik berikutnya, Kazuki telah menyipitkan mata akibat jambakan di belakang kepalanya.
"Siapa yang mengajarimu tentang pacar-pacar?" ungkap Airi dengan nada sok mengancam.
"Paman Nishida baru saja mengatakannya," kilah Kazuki.
Airi membebaskan Kazuki dari jambakan ringan-nya. Isyarat familier di mata safir ibunya membuat dia berkata, "Tidak mempermainkan anak cewek. Iya, aku mengerti."
Di hadapan mereka, Ethan mendengkuskan tawa. Dia kembali menatap Airi. Ketika pandangan mereka bertubrukan, Airi segera melangkah maju dan melemparkan rangkulan erat pada Ethan. Dia sedikit berjinjit ketika merangkulkan kedua lengan di leher sosok itu.
"Aku tahu kau rindu," ejek Ethan.
Airi menendang tulang keringnya sebelum menguraikan rangkulan.
"Harusnya kau lebih sering mengunjungiku," keluh Airi. Dia menunjuk Ethan dengan jarinya. "Sebagai bayaran, ambilkan koper kami di sana. Aku dan Kazuki akan menunggu di pintu keluar."
Kazuki bersekongkol dengan ibunya. Dia mengangguk dan segera menyambar lengan Airi.
"Ide bagus, Bu," katanya dengan ringan, sama sekali tak merasa bersalah. "Selamat bekerja, Paman. Beberapa koleksi buku dan manga favoritku ada yang langsung kubawa. Beratnya tidak seberapa, kok. Tenang saja."
Ethan ditinggalkan begitu saja di tengah keramaian bandara. Embusan napas keluar dari bibirnya. Dia mendengkuskan tawa, menahan rasa lega setelah melihat keadaan Airi dan Kazuki. Mereka berdua telah melalui banyak hal. Airi telah melalui banyak hal. Senyuman dan pelukan tadi benar-benar meringankan beban di pundak Ethan.
Ketika bergegas ke tempat pengambilan barang, dia merasa tidak keberatan. Asal dua orang itu dapat tersenyum lebar, perkara semacam ini takkan jadi masalah buatnya.
oOo
Pada penghujung tahun lalu, kontrak kerja Airi di Manhattan telah mencapai batas akhir. Di sana dia bekerja di sebuah perusahaan hiburan, tepatnya industri perfilman. Posisi yang didapat Airi di awal usia tiga puluhnya ini cukup menjanjikan. Dia dipercaya untuk menjadi manajer bagian produksi film suatu perusahaan ternama. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan itu bisa dibilang cukup besar. Dia mampu membeli apartemen hingga mobil sendiri, padahal lingkungan tempat tinggalnya dulu bisa dibilang cukup eksklusif.
Selama perjalanan menuju apartemen baru, Airi menceritakan tawaran kerja baru yang telah didapatnya. Salah satu kolega kerjanya di Manhattan telah merekomendasikan sebuah perusahaan film ternama di Jepang. Aplikasi kerja Airi langsung diterima dan tak tanggung-tanggung, dia langsung ditempatkan di posisi tinggi.
"Eksekutif Produser," kata Airi pada Ethan. "Posisi yang mungkin cukup setara dengan CEO di perusahaan film. Pengalaman kerjaku baru sekitar sepuluh tahun, tapi mereka langsung menawarkan posisi ini. Gila. Sangat gila."
Selagi menyetir, Ethan membalas, "Perusahaan apa yang menerimamu?"
"The Kage Summit Cinema," jawabnya. Dia meluruskan kedua kaki. "Kami melakukan wawancara daring. Terus tiba-tiba aku langsung dilemparkan ke salah satu cabang perusahaan yang bernama Hiraishin Picture. 'Kau akan menjadi CEO perusahaan ini,' katanya. 'Tolong selamatkan mereka.'"
Ethan tertawa. Nada suara Airi ketika meniru logat orang lain terdengar amat menggelikan.
"Kage Summit memang salah satu perusahaan hiburan terbesar di Jepang. Tapi, divisi perfilman mereka sedang sedikit terancam."
Airi menoleh. "Kenapa?"
"Karena persaingan," jawab Ethan dengan pendek.
Airi menanyakan saingan yang dimaksud oleh pria di sampingnya.
"Silakan cari tahu sendiri, Nyonya CEO."
Airi hanya berdecak. Mereka melanjutkan percakapan dengan berbicara tentang kegiatan sekolah Kazuki. Yang dibicarakan tidak mendengar dua orang dewasa di kursi depan karena kedua telinganya sedang disumpal earphone.
Setibanya di gedung apartemen, seorang petugas ikut membantu membawakan barang Airi. Mereka naik ke lantai lima belas, lantai di mana apartemen pesanan Airi berada. Ruang sewaan itu memiliki dua kamar utama dengan sebuah kamar mandi. Furnitur dan desainnya terbilang modern dibanding rata-rata apartemen di Tokyo. Ukuran tempat ini juga lebih luas dan besar. Langit-langit ruangannya didesain tinggi, tak seperti kebanyakan apartemen di Tokyo yang bergaya minimalis.
Melepas sepatu dan melangkah masuk, Airi menoleh ketika mendengar komentar Ethan.
"Aku tak tahu kau sudah jadi orang kaya."
Ethan mendaratkan diri di sebuah sofa panjang nan empuk. Permukaan sofa itu terasa begitu halus dan nyaman. Maniknya menatap lampu gantung yang indah di langit-langit ruangan.
Airi melepas jas panjangnya dan ikut duduk di samping Ethan.
"Bukan orang kaya," katanya. Senyuman puas merambat di bibir. "Tahun lalu, aku menanam investasi di sebuah perusahaan besar. Akhir tahun kemarin aku mendapatkan hasilnya." Tiba-tiba dia tertawa. "Dan kau tahu? Gajiku jauh lebih rendah dibanding hasil investasi itu. Upah kerja di Jepang juga sangat parah. Aku berani mengambil risiko untuk tinggal lagi di sini karena telah mendapatkan deviden. Apartemen ini juga kusewa karena aku sedikit ingin menikmati hidup."
Ethan mendengkus.
"Kau mengejekku?" Dia menghela napas panjang. "Ah, aku akan tidur di sini setiap hari. Sofa ini bahkan jauh lebih nyaman dibanding tempat tidurku."
Mengambil sebuah bantal, Airi melemparnya pada Ethan.
"Sebaiknya kau mengumpulkan keberanian kacangmu agar dapat membuka bar sendiri. Tak ada keuntungan tanpa pengorbanan, Pemalas." Airi berdiri dan merenggangkan badan. "Lagi pula, apartemen ini masih di bawah satu juta yen. Fasilitas seperti ini takkan bisa kudapatkan di New York. Tokyo memang terbaik!"
"Lihat, siapa yang baru saja mengeluhkan gaji minimum Jepang dan sekarang menjilat ludahnya sendiri."
Suasana hati Airi sedang terlalu cerah untuk meluapkan kejengkelan. Dia menarik koper ke dalam kamarnya dan memanggil Kazuki untuk makan malam. Yang dipanggil baru saja berkeliling ruangan. Ekspresi datar tergambar di wajahnya, berbanding terbalik dengan kalimat yang dia ucapkan.
"Menakjubkan." Dia melayangkan tangan, menunjuk ruangan dan perabotan yang dimaksud. "Pemanas otomatis di bak mandi, ruangan dengan lantai kayu, dan pintu-pintu geser. Menakjubkan."
Airi mengerutkan kening sebelum berbalik dan berjalan ke ruang tengah.
"Aku tak tahu apakah kau sedang sarkastis atau tidak."
Kazuki menyusulnya dengan langkah lebar.
"No. I'm serious, Mom."
"Boy, look at your face. Wajahmu tak menyuarakan hal yang sama dengan ucapanmu."
Kazuki mengerang lelah, tak lagi ingin membalas candaan Airi.
"It just how my face looks like." Dia menjejeri Airi dan dengan kasual berujar, "Mungkin kau harus mulai mencari pacar biar tidak lagi meledekku, Bu."
Ketika Airi menoleh dari layar ponsel, Kazuki telah mengayunkan kaki untuk berlari. Dia menghampiri Ethan dan bersembunyi di belakangnya, menjadikan lelaki itu sebagai tameng.
Pemandangan yang demikian menambah rasa heran Ethan.
"Kalian benar-benar ibu dan anak?" tanyanya heran.
Suasana hati Airi sedang baik. Dia membiarkan Kazuki bebas. Dengan lugasnya dia berkata, "Dia adalah teman hidupku."
Ethan tak bisa menyangkal ucapan Airi. Sebagai putranya, Kazuki memang telah hidup bersama dengan Airi selama dua belas tahun. Dia memang teman hidup Airi. Tapi ... kalimat di atas tetap terdengar ambigu.
Ekspresinya mungkin terpampang jelas di mata Airi. Ethan berjengit ketika kembali mendapatkan tendangan ringan di tulang keringnya.
"Jangan berpikir macam-macam," ancam Airi. "Aku tak butuh pria," tambahnya.
Mereka berjalan ke pintu keluar. Airi tengah menekan sandi apartemen ketika Ethan berujar, "Kau baru saja meminta bantuan seorang pria untuk menjemputmu di bandara."
Masih memunggungi lawan bicaranya, dia membalas, "Kau bukan pria di mataku."
Dengkusan tawa Kazuki semakin menambah penderitaan Ethan. Saat melihat Kazuki, dia tengah menepuk dada selagi berekspresi kesakitan, seolah jantungnya baru saja ditusuk tombak.
Seulas seringaian kemudian hadir.
Kepala Ethan terasa berdenyut-denyut.
"Aku menyesal sudah menjemput kalian."
Airi menoleh untuk memandang Kazuki, bertanya hal apa yang sekiranya menimpa Ethan.
Kazuki hanya mengedikkan bahu. Dia menyusul Ethan keluar dan merongrongnya untuk mentraktir makanan. Airi menutup pintu dan ikut berjalan. Dari belakang mereka, dia mengulum senyuman saat melihat keduanya berbincang seru, beberapa kali tertawa dan bercanda.
Selama ini, Airi khawatir jika putranya kesepian. Hari-hari Airi banyak dihabiskan di kantor. Dia takut melewatkan keperluan putranya. Dia takut jika Kazuki melampiaskan kesendiriannya pada hal lain yang tidak Airi inginkan.
Terkadang, anak itu bisa sangat diam dan tak ingin diajak bicara. Mereka hanya akan makan bersama. Dia hanya akan menjawab pertanyaan Airi dengan seperlunya. Sejauh ini, mereka belum pernah bertengkar hebat, Kazuki juga tak pernah meninggikan suara sampai membentak. Airi mengajarinya untuk tak terhayut oleh kemarahan dan emosi lain yang berlebihan. Dia mengajari Kazuki untuk mengatur emosi.
Didikan Airi memang membuahkan hasil. Kazuki tak pernah terlibat masalah di sekolah. Dia memiliki banyak teman dan juga disukai para guru meskipun bukan untuk urusan akademik. Meskipun demikian, tak jarang Airi merasa takut jika putranya memutuskan untuk menutup diri darinya. Dia tak ingin Kazuki merasa kurang karena hanya memiliki seorang ibu.
"Aku sedang memikirkan teori dari buku yang baru saja kubeli," katanya suatu saat ketika Airi sudah tidak tahan dengan sikap diam Kazuki. "Jangan khawatir, Bu. Aku tahu kau bakal mendengarku. Aku baik-baik saja."
Pagi harinya, Airi membaca buku sekolah Kazuki. Buku itu berisi tugas untuk membuat video bakat dari ayah masing-masing siswa. Ketika sore tiba, Airi mengajaknya bicara. Dia ingin Kazuki mengerti dan anak itu memang mengerti. Dia jauh lebih dewasa dan pengertian dibanding anak-anak sepuluh tahun lain.
"Ibu sudah cukup buatku. Asal minggu ini kau menjadi lawanku sebelum aku mengambil ujian kenaikan sabuk hitam."
Kekhawatiran Airi langsung menguap. Senyuman bangga tak bisa lagi ditahan.
"Kau sudah direkomendasikan untuk mengambil ujian itu?"
Kazuki mengangguk. Dia menepuk-nepuk pundak Airi akibat pelukan yang terlalu erat. Ketika pelukan terurai, dia berucap, "Sebenarnya aku sedang mencemaskan ujian itu, bukan memikirkan tugas sekolah. Untuk masalah tugas, aku sudah minta Paman Nishida untuk membuatnya. Sepertinya dia kesal karena aku menyuruh dia melakukan atraksi dengan botol-botol anggur."
Ingatan itu membuat Airi mendengkuskan tawa. Dia mempercepat langkah untuk menyusul dan menarik masing-masing lengan mereka, lanjut berjalan selagi mempertahankan gandengan.
Hari pertamanya di Tokyo terasa hangat. Airi harap, suasana ini akan terus bertahan. Dia harap, kehawatiran dan ketakutannya terhadap kota ini akan sirna. Sekarang dia sudah baik-baik saja. Lukanya telah sembuh dan dia takkan lagi disudutkan oleh rasa takut terhadap masa lalu. []
TINGGAL DI LINGKUNGAN baru tidaklah mudah. Sejak meninggalkan Tokyo dua belas tahun lalu, Airi jadi lupa seberapa disiplinnya orang-orang dari negara ini. Disiplin yang dimaksud Airi merujuk pada sesuatu yang baik. Jepang menjadi salah satu negara maju di Asia dan di dunia bukan tanpa alasan. Warga di negara ini begitu sopan dan patuh pada aturan. Di sini, kau takkan melihat orang-orang berdebat dan menyumpah satu sama lain akibat insiden lalu lintas, kau juga takkan mendapati perkelahian antar orang mabuk di sebuah gang sempit. Banyak hal yang disukai Airi dari negara ini. Namun, rasa sukanya juga sebanding dengan rasa tidak sukanya terhadap upah yang tidak setimpal, banyaknya formalitas, dan budaya senioritas yang begitu kental. Dari tiga ketidaksukaan itu, Airi telah merasakan dua di antaranya. Hari ini, dia baru saja memenuhi undangan pertemuan dengan Presdir Kage Summit Cinema, Akito Shigaki. Beliau adalah kaki tangan dari Presdir Kage Summit Studios, perusahan
MAKAN MALAM KELUARGA besar seharusnya terasa hangat, bukan memuakkan dan membuat para anggota keluarga tidak nyaman. Paling tidak, Kei selalu merasakan hal itu sejak dia kecil. Keluarga adalah omong kosong. Mereka tinggal satu atap hanya karena kesamaan genetika, sebuah garis biologis yang menyatukan, bukan karena keinginan untuk tinggal bersama. Keluarga hanya bagaikan benalu, sebuah jerat yang mengekang hidupnya. Mereka membesarkan anak-anak hanya untuk mendapatkan balasan, agar ketika besar nanti mereka bisa menuntut anak-anak itu untuk memenuhi keinginan—memenuhi ambisi dan keserakahan sang orang tua. Definisi tersebut mungkin akan sangat salah untuk sebagian besar orang. Kei mengerti. Keluarga normal takkan mengartikan sebuah keluarga dengan cara pandang ini. Namun, kata normal tidak berlaku untuk keluarga Hasegawa. Baik secara keseluruhan, maupun keluarga kecil yang dibangun sang ayah. Meja berbentuk oval di sebuah ruangan meg
AIRI TIDAK MENYANGKA bahwa proposalnya diterima dengan mudah. Penerimaan proposal memang belum menunjukkan keputusan final kerja sama. Mereka masih harus melakukan presentasi untuk memperlihatkan nilai dari proyek yang ditawarkan. Melalui presentasi tersebut, pihak yang mendapatkan penawaran akan mempertimbangkan keuntungan yang akan mereka dapat dari partner baru mereka. Airi percaya diri dengan materi presentasi yang akan dibawanya. Namun, di saat yang sama dia cukup ragu. Izanami merupakan sebuah perusahaan yang begitu berjaya. Perusahaan tersebut juga merupakan rival yang beberapa hari lalu dibicarakan Ethan. "Sudah tahu ingin sekolah di mana?" Airi bertanya pada Kazuki selagi menyiapkan sandwich untuk sarapan. Kazuki tengah duduk di belakang konter dapur. Rambutnya masih acak-acakan khas bangun tidur. Dia menelungkupkan kepala di sana, menahan kantuk yang menerpa. Berbanding terbalik dengan penampilannya, sang ibu kelihatan sud
MEREKA SALING MENGENAL setelah Airi menghabiskan waktu istirahat dengan mengunjungi loteng sekolah, tempat terlarang bagi para siswa kecuali staf sekolah dan Kei Hasegawa.Entah kapan Airi memutuskan untuk mendekati Kei. Dia tak terlalu ingat waktu pastinya. Airi mendaftar di Kogakuen High School, sebuah SMA ternama yang rata-rata diisi oleh siswa-siswi yang berlatar belakang menengah ke atas. Jika bukan karena bantuan dana dari Shizune, yang bersikeras menyekolahkan Airi di yayasan bergengsi ini, dia takkan punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di sana.Airi tak punya catatan akademik yang mencolok. Dia hanya memiliki nilai rata-rata, tidak terlalu tinggi ataupun rendah. Alasan dia lulus seleksi di sekolah itu hanya karena motivasi untuk membalas budi baik Shizune. Ethan, yang tak punya kesempatan untuk mencoba mengikuti ujian seleksi di Kogakuen, ikut membantu Airi belajar. Selain karena dia lebih tua dari Airi, dia dapat membantu Airi karena kemampuan akademik
AIRI TIDAK BERENCANA untuk memberikan pengalaman pertama-nya pada Kei. Sudah enam bulan sejak mereka memutuskan untuk saling mengenal. Selama itu pula, mereka hanya akan bertemu di sekolah, dengan Airi yang menghampiri Kei di loteng. Tempat itu seolah telah menjadi persembunyian khusus mereka. Airi akan menemui Kei di sana pada lima belas menit pertama jam istirahat. Mereka juga akan kembali bertemu sepulang sekolah setelah Airi menjadikan ajang 'Kei mentraktir ramen untuk Airi' sebagai agenda rutin. Tindakan ini dilakukan karena Kei bersikeras menolak ajakannya untuk bertemu siswa-siswa lain. Dia memang menerima Airi sebagai teman, tapi bukan berarti dia mau ikut bergaul dengan yang lain. Airi mengerti. Dia tidak memaksa. Mengenal Kei lebih dekat cukup untuk mengonfirmasikan anggapan tentang Kei yang tak seburuk berita-berita di sekitarnya. Dia memang dingin, menutup diri, dan sangat jarang berinisiatif untuk mengawali pembicaraan. Namun, sebenarnya
PENJELASAN SANG WALI kelas terdengar samar di telinga Airi. Dia sedang mengingatkan para murid mengenai ujian seleksi kampus yang akan diadakan kurang dari dua minggu lagi." ... mental dan pikiran. Jangan sampai rasa khawatir kalian mengganggu konsentrasi hingga merusak kompetensi diri. Kogakuen High School adalah sekolah unggulan yang memiliki tingkat penerimaan tertinggi di Tokyo University ...."Airi mengerling pada layar ponsel, memperhatikan jam digital yang menunjukkan pukul tiga lebih tiga belas menit. Dia mengembuskan napas pelan dan mengalihkan pandangan untuk melihat bentang langit kebiruan.Bel pulang sekolah terdengar beberapa saat kemudian. Pertemuan di hari itu selesai. Kelas dibubarkan meski sang guru belum mencurahkan seluruh pidato motivasinya. Airi berberes untuk keluar. Dia sempat membalas high five Nomura dan Itsuki ketika melewati mereka."Kau tak mau main basket lagi?" seru Itsuki."Kita harus bersenang-senang sebelu
KEMBALI MELENTANGKAN TUBUH, Airi mengutuki efek obat yang tak kunjung membuatnya mengantuk.Kenapa juga dia harus setampan itu? Bajingan sekali. Harusnya dia sedikit buruk rupa—tidak, dia harus sangat buruk rupa biar aku bisa langsung menendangnya waktu pertama kali dia menciumku di vila.Rasanya ingin menghantamkan kepala ke dinding terdekat. Pertanyaan-pertanyaan di kepalanya murni untuk menghibur diri. Kei memang bajingan karena memulai hubungan itu. Tapi, Airi sama tidak warasnya. Dia mengikuti permainan Kei dan sesumbar bahwa dia takkan merasakan apa pun.Embusan napas kembali dilakukan. Dia menoleh saat mendengar kedatangan seseorang. Shizune, masih mengenakan jas musim dingin, datang dengan membawa semangkuk sup hangat.Airi bangkit untuk duduk. Dengan pelan, dia berucap, "Sudah kubilang, kau tak perlu merawatku, Shizune-san.""Persediaan makanmu kosong. Tadi aku sempat mampir ke swalayan," tukas Shizune, tak peduli pada prote
KEI BERTAMBAH GAGAH dibandingkan dua belas tahun lalu.Airi mengumpat pelan ketika melihat Kei, alih-alih Juan, memasuki ruangan. Untuk sesaat, Kei tak melihatnya karena dia memang tidak memperhatikan para karyawan sebagai individu. Airi cukup mengenal Kei untuk tahu bahwa dia masih tidak terlalu peduli pada orang lain yang tak berkepentingan dengannya.Salam dan senyum yang dilemparkan Airi hanyalah bagian dari formalitas. Dia tak bermaksud apa pun. Reaksi terkejut Keilah yang membuat Airi terheran-heran. Ketika memikirkan tawaran kerja sama, Airi sudah menebak bahwa dia pasti akan bertemu—atau setidaknya berpapasan—dengan Kei. Mungkin memang tidak secepat ini. Tapi, antisipasi itu membuat dia cukup siap untuk kembali melihatnya.Lagi pula, sudah tak ada apa-apa lagi di antara mereka. Jadi, kenapa dia harus takut?Presentasi yang dibawakan Airi berjalan lancar. Dia tak merasa terusik pada kehadiran Kei. Dua belas tahun yang dilewati telah mem
EMBUSAN ANGIN SALJU tampak membekukan. Tumpukan es telah menutupi sebagian besar tanah lapang. Airi sedang memikirkan nasib tumbuhan di dalam rumah kaca yang dilihatnya ketika seseorang datang, membawakan seduhan teh panas untuk mereka berdua. "Teh hijau adalah favoritku. Kuharap kau menikmatinya juga." Mei Hasegawa tersenyum dan duduk di seberang Airi. Dia memperbaiki baju hangatnya, menyilangkan kaki, dan mulai menyesap minuman panas itu. Airi menghirup segar aroma teh. "Sebenarnya bukan favorit. Saya hanya sering mengonsumsinya saja." Airi sedikit mencicip, merasakan hangat yang memanja indra perasa. "Sering mengonsumsi akan membuatmu terbiasa," ujar Mei sambil melengkungkan senyum. "Ah, aku lupa mem
SEJAK MEREKA MENJALIN hubungan serius, Kei belum pernah semarah ini. Airi bisa menanganinya dengan mudah kalau mereka hanya dihalangi kesalahpahaman, bukan dihalangi oleh keputusan sepihak yang dibuatnya.Sikap diam Kei nyatanya jauh mengkhawatirkan dibandingkan dengan sikap tegasnya yang biasa. Karena kondisi ini, Airi bahkan mengubah rencana menginapnya dan Yugao. Dia tak menghabiskan waktu di penginapan kantor, tapi langsung melakukan check in ulang begitu urusan kerjanya di hari kedua selesai.Pesan balasan dari Lucy, sang kawan baik, datang. Dia tampak tak masalah pada penundaan pertemuan mereka. Airi mengembuskan napas lega. Dia meletakkan tas tangan begitu saja di atas nakas. Kemudian berbaring di atas ranjang. Kedua mata menutup rapat, membayangkan guyuran hujan salju
KESEHARIAN AIRI HINGGA akhir tahun berlangsung jauh lebih normal dari yang dia duga. Menjalin hubungan dengan Kei nyatanya tidak begitu menjungkirbalikkan hidupnya. Sejak tereksposnya hubungan mereka, dia memang jadi lebih sering dihubungi wartawan majalah. Pada awalnya, mereka memang hanya memeras informasi mengenai Airi Ishihara yang merupakan kekasih Kei Hasegawa. Dia hanya dikenal sebagai kekasih seorang pengusaha kaya, bukan seorang wanita dengan karier dan pencapaiannya sendiri. Akan tetapi, selang beberapa waktu, orang-orang mulai menyadari kalau Airi bukan sekadar wanita pendamping saja. Mereka mulai menyoroti nama Airi, dia yang berhasil meniti karier dari seorang asisten produsen hingga menjadi pemimpin sebuah industri perfilman. Eksposur yang demikian jelas-jelas menguntungkan. Airi tidak merasa terganggu lagi. Dia juga mendapatkan lebi
AIRI TAK BEGITU terkejut ketika mendengar berita kerja sama Hasena dengan Huang Industrial Group. Selama ini, dia mengira kegagalan relasi pribadi Kei dan Jia akan berimplikasi besar terhadap status kerja sama perusahaan mereka. Setelah lebih mengenal Kei, Airi pun mengerti. Kei takkan menyia-nyiakan kesempatan besar itu hanya karena masalah pribadi. Dia telah memastikan Huang bergantung padanya, membuat mereka mau tidak mau mempertahankan relasi yang telah terjalin. Strategi bisnis pria itu … Airi cukup mengaguminya. Namun, di saat yang sama dia masih sering diliputi tanya. Bagaimana kalau suatu hari nanti pria itu mengambil keputusan ekstrem yang menurut Airi tak dapat dibenarkan? Cahaya pagi di musim semi menyadarkan Airi dari lamunan. Dia menghabiskan cokelat panasnya dan segera beranjak ke dalam apartemen. Seperti yang pernah dibicarakan dengan Kei
ENTAH BERAPA TAHUN Kei menantikan momen ini tiba, momen ketika paman congkaknya terlihat marah dan menderita berkat kekalahan yang menimpa. Persis seperti prediksinya, proses persidangan berjalan lancar seperti yang dia harapkan. Rodo Hasegawa terjerat pasal berlipat, pasal mengenai penggelapan dan pencucian dana serta pasal tentang percobaan pembunuhan. Kejahatan kerah putih yang dilakukan Rodo tidaklah sedikit. Seluruh kecurangannya di bidang finansial cukup menggunung. Kei sudah merasa cukup dengan tuntutan itu. Uluran tangan Airi benar-benar memberatkan tuntutan yang menjerat Rodo. Konsekuensi tindakan rencana pembunuhan memang mendapatkan hukuman yang cukup berat. Oleh karena itu, rencana hukuman penjara yang awalnya berselang lima belas tahun, kini menjadi maksimal tiga puluh tahun. Dari hasil ketukan palu, hukuman Rodo ditetapkan menjadi du
“PROSES ITU TAKKAN mudah, tapi semuanya akan berjalan lancar.” Adalah kalimat Kei yang sempat Airi ragukan.Selama kurun waktu sebulan ini, terdapat banyak hal yang terjadi. Airi merasa kewalahan dan terburu-buru, sulit untuk tenang, seolah dia sedang dituntut untuk berlari secepatnya selagi melepaskan diri dari jerat di belakang sana. Dikenal menjadi pasangan Kei Hasegawa tidaklah mudah. Menjadi penuntut hukum seseorang dari keluarga Hasegawa tidaklah enteng. Airi masih dihantui oleh ledakan besar yang hampir merenggut nyawanya. Dia masih sering terbangun di tengah malam, tersentak hebat karena peristiwa tersebut masih mengejarnya hingga ke alam mimpi.Airi telah melalui banyak kesulitan sepanjang hidupnya. Akan tetapi, sekarang adalah salah satu masa yang membuatnya lelah. Pemberitaan di berbagai media elektronik, bisikan gosip d
SEPERTI PERKIRAAN KEI, sidang pertama Rodo Hasegawa memang dilaksanakan satu minggu kemudian. Airi sempat mendengar beritanya kemarin. Pagi tadi, Kei juga sempat menghubunginya, memberitahukan mengenai dia yang akan hadir di persidangan. Proses peradilan itu bersifat terbuka sehingga masyarakat umum diperbolehkan datang, asal tidak mengganggu proses peradilan. Airi akan mencoba datang juga kalau saja dia tidak mempunyai agenda tersendiri.“Catatan rapat tadi sudah saya back-up pada akun perusahaan, Ishihara-san. Apakah ada yang perlu saya agendakan lagi untuk hari ini?” ujar Mayumi, sekretaris sementara Airi.Kolega kerja mereka sudah meninggalkan ruang pertemuan. Airi pun menoleh pada Mayumi yang telah selesai berberes.
PENAHANAN RODO HASEGAWA memudahkan polisi melakukan pengusutan lebih lanjut. Mereka bekerja sama dengan detektif swasta yang dipekerjakan oleh pengacara penuntut utama. Tak hanya Rodo dan Seizu, nama Toshiki Furuma juga sudah ikut terseret. Salah satu anggota dewan paling berpengaruh itu sudah mendapatkan surat panggilan dari polisi sejak tiga hari lalu. Dari beberapa tahun terakhir, baru kali ini kepolisian pusat menangani kasus yang melibatkan tiga orang besar sekaligus. Pemberitaan kasus pun jadi semakin marak diperbincangkan. “Rodo adalah anak angkat kakekku. Dia tidak sedarah dengan paman ataupun ayah,” jelas Kei. Pintu geser kaca di dekat dapur tampak sedikit terbuka, menampakkan sinar matahari pagi yang masih terasa hangat. Tata letak rumah milik sang lelaki memang jauh lebih lenggang dan terbuka. Mereka dapat melihat keberadaan taman belakang melalui pintu geser yang ada di sana. Airi baru selesai memasukkan es batu ke dalam wadah berisi minuman rasa
AIRI TIDAK INGAT kapan dia terlelap. Matanya tertutup begitu saja setelah mendaratkan diri di atas ranjang. Dia sudah sangat mengantuk sejak selesai berendam. Ketika mengerjap, dia tak tahu sudah jam berapa. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul. Sampai kemudian dia merasakan erat rangkulan di belakangnya, juga hangat ciuman yang menjatuhi perpotongan lehernya.Airi sempat lupa kalau dia sedang tinggal di apartemen sang kekasih. Harum maskulin menggelitik hidung. Airi menoleh, menatap dalam remang cahaya kamar.“Aku ketiduran,” ungkap Airi, terdengar parau. “Maaf, tak sempat menunggumu.”Kei hanya membalas dalam gumaman. Dia tak mengatakan apa pun ketika kembali mengeratkan pelukan. Kecupan panas itu lagi-lagi hadir pada lekuk leher Airi, terus hingga rahang dan belakang telinga. Airi kontan meremang.“Ada apa?” tanya Airi, bernada rendah.“Kenapa kau tidak tidur di kamarku?” gumam Kei, sedikit tere